Alamak, habis sudah tisu angkringan. Gara-gara Dea Posa nangis bombai. Daffa sudah membujuk dengan segala cara agar dirinya berhenti menangis, tetapi hasilnya nihil. Jangankan mampu membuat tangis tu sejenak reda, didengar pun tidak. "Mas, maaf ya." Daffa tersenyum malu ketika pemilik angkringan mengintip di balik gerobaknya, tapi tak lama mas-mas yang itu tersenyum seraya mengangguk. Berpikir jika pasangan yang sedang makan di tempatnya lagi bertengkar. Iya, mas penjualnya mengira jika Dea dan Daffa adalah sepasang kekasih. Mas penjualnya juga berisyarat agar Daffa melanjutkan acara makannya sampai selesai. Tidak memintanya untuk membuat Dea berhenti dari tangisnya. Daffa mengerti, mungkin mas penjualnya sering mengalami hal serupa bila sedang berduaan dengan kaum yang tiba-tiba menangis begini. Daffa akhirnya membiarkan Dea menangis sepuas hati, dan ia pun hanya menunggu Dea mau berhenti sendiri. *** Angin malam melambai-lambai pucuk kepala Dea dan Daffa di sepanjang trotoar me
Sesuai instruksi Dea, pak sopir melajukan kendaraannya dengan cepat hingga cepat pula Dea sampai ke kawasan di mana ia tinggal. Namun, ternyata Rio tak berhenti mengikuti, dia pun turut turun ketika sampai. "Dea, Dea tunggu!" "Apa lagi, sih? Aku males berdebat lagi, soalnya mulut kamu itu lemes!" Ditepisnya tangan Rio yang erat memegang lengan Dea, gadis itu sungguh tak sudi tangan yang sudah berani mengasarinya menyentuh sekena hati. Bagi Dea sudah tak ada lagi hal yang perlu dijadikan bahasan, sebab Rio akan tetap memaksa untuk memenangkan perdebatan. Serasa percuma jika berhadapan dengan lawan bicara yang egois ingin menang sendiri. Dea menatap mata Rio mendalam, menyampaikan perasaannya yang tak lebih menganggap Rio hanya lelaki pilihan Pak Jhon yang sama sekali tak ia jadikan raja dalam hatinya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu tidak akan kabur di hari pernikahan kita nanti. Aku minta maaf soal yang tadi, aku sadar aku salah. A-aku begitu karena cemburu. Aku terlalu ta
Menunggu menjadi hal biasa bagi Dea Posa, apalagi jika itu menyangkut Daffa. Pesannya yang sudah terkirim beberapa itu masih tak kunjung berbalas. Jangankan sampai berbalas, dibaca saja belum. Sejam .... Dua jam .... Tiga jam .... Tanpa Dea sadari waktu sudah lebih larut. Tapi pesannya tak kunjung dibaca. Dalam rasa gundahnya karena ingat terus, Dea mulai dirundung rasa kesal akibat pesannya diabaikan lagi. Ya, Dea menganggap jika Daffa memang sengaja mengabaikan lagi. Ponsel di tangan yang sedari tadi Dea tatap tak henti-henti diletakan juga di atas kasur empuknya. Ia memandang langit, menghela nafas lelahnya seolah sedang mengadukan keresahan hati. "Dia itu sebenernya serius nggak, sih pas bilang mau temenan?" Merasa pesannya kembali diabaikan, Dea Posa mengira jika apa yang Daffa katakan sebelumnya hanya candaan. "Kalau itu benar, aku bakal dendam banget," ujarnya lalu mengguling ke samping kanan. Dea menarik selimutnya, memejam mata tanpa mau berganti dahulu pakaian. Lagi p
Setelah malam itu .... Malam ketika Daffa mengalami kecelakaan maut yang hampir menghilangkan nyawanya. Daffa dirawat di rumah sakit yang tak jauh dari tempat ia mengalami insiden menyialkan itu. Kendaraan roda duanya sudah masuk ke bengkel dan rusak parah. Beruntungnya perusahaan pemuat pasir itu sangat bertanggung jawab, mengakui kesalahannya dan akan menanggung biaya perawatan Daffa serta perbaikan kendaraan roda dua Daffa. Lelaki mandiri itu akhirnya ditumbangkan oleh takdir mengerikan yang tak bisa ia hindari. Setengah sadar matanya terbuka saat malam itu, sebelum pandangan mengabur, hati Daffa berkata siapa sangka dirinya akan mengalami kecelakaan. Sama sekali tak pernah Daffa bayangkan. Kini dia terbaring lemah di ruang rawat inap kelas tiga, seruangan dengan tiga pasien lain dengan penyakit lain. Jadi, total ranjang yang ada di ruangan tersebut tepat empat. Dan semuanya penuh. Sebuah keajaiban Daffa tak mengalami cedera parah apalagi hingga mendapat diagnosis luka dalam. I
Usai memastikan bahwa Daffa benar-benar tidak koma seperti apa yang Rizki katakan, Dea kontan memeluk Daffa. Perasaan lega menyeruak menyebar ke sela-sela hatinya, setelah kecemasan membombandir tak henti-henti. Bahkan di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit tersebut, Dea merasa sesak kesulitan bernafas, membayangkan lelaki yang sangat Dea cintai terbaring koma. Dia naik gojek untuk meminimalisir keterlambatan yang sia-sia, meski sebenarnya jalan kaki dari lapang belakang kecamatan bisa diakses dengan gerak jalan biasa, atau lari. Hanya saja Dea tak bisa, merasa akan banyak waktu terbuang sia-sia. Saat mengetahui untuk kali pertamanya kabar tak mengenakan hati itu, Dea berpikir untuk cepat-cepat pergi ke sana dengan sangat cepat. "De-Dea, kamu kirim chat?" Masih dalam dekapan Dea Posa, bisa-bisanya Daffa sekaligus meruntuhkan rasa sedih Dea dengan menanyakan hal tersebut. Sontak Dea menarik diri, dan itu sedikit membuat Daffa kesakitan. Akan tetapi, di hadapan Dea, Daffa berp
Sejak saat itu ... Dea tak pernah jauh dari Daffa. Sehari-harinya setelah mengunjungi dia, Dea selalu meluangkan waktunya untuk terus menemui Daffa. Tak peduli gosip sudah merebak ke mana-mana tentangnya dan Daffa, Dea tetap datang. Tapi, semakin sering Dea melakukannya, semakin rindang pohon cinta dalam hati Daffa, semakin sakit pula rasanya. Sebab lelaki itu tak bisa mengungkapkan perasaannya. Pagi ini Dea membantu Daffa berkemas untuk pulang ke rumah kontrakannya. Setelah berhari-hari melewati masa perawatan di rumah sakit, akhirnya Daffa bisa juga pulang. Namun ada yang beda dari diri Dea, entah mengapa hari ini di matanya dia terlihat murung. "Kamu baik-baik aja, Dea? Ada masalah di lapangan? Atau jangan-jangan kamu ada ribut lagi sama Nadewi?" tebak Daffa, menghentikan tangan Dea yang sibuk merapikan ranjang pasien. Sesaat sebelum benar-benar pergi, Dea ingin membantu Daffa merapikan ranjangnya dahulu. Meski sebenarnya hal itu tak perlu, sebab akan ada orang lain yang melakuk
Hujan tak turun hari ini, hari yang sangat sempurna untuk sepasang sejoli yang jatuh cinta menghabiskan waktunya di luaran sana.Pagi diawali dengan terdengarnya suara semangat para muda mudi yang akan melaksanakan upacara bendera, peringatan hari kemerdekaan yang dilaksanakan setiap tahunnya.Kembang-kembang sorak sudah mengemuka di bawah langit. Pasukan Paskibraka sudah bersiap, menyiapkan mental untuk menunjukkan hasil latihannya selama ini.Jam berdenting seirama. Telah menunjukkan pukul tujuh. Sudah terlalu siang untuk orang yang antusias menanti panjangnya hari spesial ini.Layaknya Daffa yang menanti waktu pertemuan dengan Dea Posa yang kemarin mengajaknya untuk menghabiskan waktu bersama sehari penuh.Ah, mungkin tak sampai penuh. Malam muda sudah akan Daffa pastikan Dea harus kembali ke rumahnya.Namun, waktu singkat itu tak akan membuat Daffa bersedih. Dia berpikir, mungkin dengan waktu yang cukup singkat itu akan membuat hati Dea kembali luluh olehnya. Daffa ingin gadis itu
Jam berdenting membawa waktu. Saat jarum utamanya menunjukkan pukul setengah dua belas malam tiba, di saat lorong rumah sakit mulai sepi orang, hanya beberapa gelintir manusia saja yang hilir mudik, tapi tak sepadat ketika siang datang.Namun, di ujung lorong rumah sakit di lantai bawah, seseorang lari tergesa-gesa bak kesetanan arwah pelari maraton yang sedang balas dendam gara-gara mati penasaran sebelum menyentuh pita kemenangan.Dia Rio, calon suami Dea yang baru saja mendengar kabar tentang Dea yang dioperasi beberapa saat lalu setelah berhasil dihubungi Pak Jhon atas permintaan khusus Dea.Lelaki itu mengeluarkan segenap tenaga hanya untuk bisa segera menemui calon istrinya yang entah bagaimana sekarang kondisinya. Yang namanya orang habis dibedah, pasti kondisinya lemah, bukan? Dan entah mengapa Rio malah berpikir gila, takut sekali Dea sekarat atau lebih parah dari sebelumnya.Menemukan lift, Rio dengan mata memerah karena kurang istirahatnya segera menuju ke sana. Sampailah d
Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a
"Bu-bukan begitu, Om. Sa-saya hanya ... aih, ya sedikit—""Dakjaaaaaal! Kamu kurang ajar!" Jelas Pak Jhon murka. Tak ada orang tua yang akan diam saja mengetahui anaknya sudah disentuh pria asing yang bukan pria sah-nya.Pak Jhon melepas kedua sisi perahu yang akhirnya mengakibatkan oleng. Kedua tangan Daffa segera bergerak mencoba menenangkan."Om, tenang dulu. Saya akan jelaskan! Se-semua terjadi begitu saja. Saya mengaku salah, tolong maafkan saya sekali ini saja, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah demi Allah!" Ia juga ikut berdiri sekarang, gara-gara takut perahunya terbalik tiba-tiba. Mana hujan belum reda, ombaknya semakin ganas.Wah, kalau sampai nyemplung, untuk selamat rasanya sangat mustahil sekali. Daffa tetap ingin hidup, belum mau mati."Kamu gila?! Terjadi begitu saja?! Bawa-bawa Allah segala! Disambar petir baru tahu rasa!""Haih, Om boleh marah! Boleh memukul saya, tapi tolong jangan sekarang. Sekarang tidak tepat, kita bisa jatuh ke lautan, Om. Saya mo
GLEGAAAR!Hujan kembali turun dari angkasa, menyerbu manusia yang ada di muka bumi, termasuk Dea dan lainnya yang kini masih panik melihat pertikaian antara Pak Jhon dan Daffa.Payung yang Dea kenakan akhirnya tak berguna gara-gara dihantam angin kencang. Melayang, terbang, lalu entah mendarat di mana.Pada akhirnya menunggu hujan reda hanya sia-sia, sebab badan Dea tetap saja basah."Kak Anita! Tolong itu gimana ya Allah!" Dea merangkul kakaknya, tapi Kak Anita pun sama tak tahu harus bagaimana. Dia stres hanya dengan melihat pedang itu bergerak ke kanan dan kiri berusaha menebas Daffa."Telepon polisi!""Jangan Dea! Mau mampus bapakmu masuk sel?!"Ya, pilihan sulit. "Tapi kalau sampai Daffa terluka, bapak tetap akan masuk penjara!" kukuhnya."Ya Allah Dea, masih aja kamu bela pacarmu di saat begini. Iya aku tahu ini sangat menakutkan, aku juga takut bapak melukai anak orang, tapi aku lebih takut bapak kenapa-kenapa. Kecapean aja bisa kumat jantungnya!"Kak Anita melepaskan tangan De
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa