PRAAAK!PRAAANG!Wajan jatuh, gagangnya menyenggol teko kaca dan pecah begitu saja."WAAAH! Maaf, Nana! Aku kepanasan, jadi wajannya kelepas aja gitu," kata Dea sesantuy itu. Matanya masih melotot besar ke arah pecahan beling di dekat kaki, juga cecaran makaroni telor balado hasil praktiknya bersama Nana Banana.Sangat disayangkan sekali malah tumpah. Padahal saat Nana koreksi rasa dan memeriksa tingkat kematangannya, sudah jauh lebih baik dari pada masakan Dea yang tadi. Beberapa kali gagal, bahkan tak jarang menjadi hitam legam akibat gosong total.Haduh ....Nana tepuk jidat. Makanan yang baginya adalah harta karun berharga itu ikut tumpah gara-gara si manja. Sudah berapa kali itu, bahkan ia belum sempat menghitung kelalaian Dea Posa di dapur ini. Meleng sedikit saja hancur."Na, Nana Sayang ... jangan marah, ya, pliiiis." Dea merengek kali ini, meminta dimaafkan. Melihat wajah Nana yang sudah merah merona akibat kesal, membuat Dea sedikit takut.Saat ini Nana sedang memegang sendo
[Orang kecamatan butuh koyo sepuluh kotak. Besok bisa antarkan tidak ke depan kecamatan?]Hening ....Dea terdiam sebentar ketika membuka pesan dari ayang Daffa. Sedikit cemberut karena ternyata si dia bukan membalas pesan 'I love you' yang Dea kirim sebelumnya. Yang ada malah minta dibawakan koyo untuk orang lain."Asem," ujar Dea bergumam.Dia menghela napasnya panjang sebelum akhirnya menghembuskannya sekali lagi tak kalah panjang."Kupikir mau balas pesan cintaku, eh ternyata cuma pesen koyo," gerutunya mulai meracau. Tapi Dea menghibur diri dalam hati. Tak apa ... tak apa ... bisa saja cinta Daffa tumbuh karena koyo.[Ada. Besok Dea antar ke sana. Mas yang ambil, kan?]Centang dua biru. Dan hal ini lumayan membuat Dea semringah. Tak biasanya laki-laki itu membuka pesannya secepat ini. Hwah~Tapi, setelah cukup lama Dea menunggu lagi balasan pesan, eh tak ada. Semangat yang sudah tegak berdiri itu kembali melempem macam kerupuk terkena angin. Ck, sudahlah! Dea membanting ponsel ke
Langit begitu cerah, secerah senyum Dea yang mampu menyilaukan kaum adam yang melihatnya.GDUBRAAK!"Aduh!" Bahkan sampai membuat dua pemuda yang mengendarai motor nyungsep setelah menabrak tiang listrik di depan sana, gara-gara semua mata mereka tertuju pada Dea.Tapi Dea tak tahu soal itu, karena dia langsung berbelok masuk ke rumah Nana Banana."Pagi Momi!" sapa Dea pada sang pemilik rumah. Momi Kirana yang cantik itu sedang sibuk menyiram bunga."Pagi Dea. Kamu udah siap aja pagi ini. Nana kayaknya masih belum siap. Coba aja kamu tengok dia lagi apa di dalam.""Baik, Mom. Izin masuk, ya ...."Gadis itu sungguh ceria. Cerianya menular pada Momi Kirana, membuat lengkung indah pelangi muncul di bibirnya."Naaa! Nana!" Sementara itu, Dea Posa memanggil-manggil Nana dengan segenap rasa dan tenaga. Sampai orang yang dipanggilnya nyebut akibat kaget."Ya Allah Dea! Kamu itu hobi banget ngagetin aku. Asyem!" ujar Nana.Saat Dea menoleh ke sumber suara, ternyata sahabatnya itu sedang mencu
"Ini, Pak Amir koyonya." Daffa menyerahkan koyo untuk stok kantor ke orang yang kemarin meminta Daffa membelikan benda tersebut.Dan diterima dengan baik. "Makasih banyak, ya. Maaf merepotkan.""Tidak masalah, Pak. Kalau ada hal lain yang bisa saya bantu, jangan ragu untuk memanggil saya." Cukup sadar diri saja, sebagai anak baru masuk, Daffa harus sering berbaur dan mau membantu. Hal itu juga merupakan usahanya untuk bisa akur dan kenal dengan semua karyawan yang ada di sana."Untuk sekarang tak ada lagi. Kamu boleh ke meja kerjamu. Sebentar lagi jam kerja tiba.""Baik, Pak."Daffa kembali ke meja kerjanya. Di sana ternyata sudah ada Herman. Daffa jadi sedikit terheran-heran, sejak kapan dia ada di sana? Seingatnya, saat Daffa pergi ke luar usai membaca pesan Dea, dia belum ada. Embuhlah ... tak mau lagi memikirkan.Eco bag berisi makanan pemberian Dea Posa disimpannya di kolong meja. Daffa pun bekerja seperti biasa tanpa memikirkan apa pun, terutama tentang Dea.Sampai ketika jam is
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Usaha Dea yang belajar masak sejak kemarin itu nampaknya sedikit membuahkan hasil. Daffa cowok super cuek yang kerjanya hanya mematahkan hati itu kini sudah berani melantangkan suara menyebut namanya.Keajaiban macam apa ini?"Ya, Mas?" Andai saja tak ada banyak pasang mata di sana, Dea pasti sudah kelonjotan dari tadi macam cacing tanah kepentok daratan dan panasnya matahari. Tapi untungnya kali ini urat malu masih utuh, jadi kegilaannya tidak kumat.Dea hanya berjalan berlaga anggun sembari menyibak sebelah anak rambut yang meriak-riak dihempas angin lewat. Ah, Nana sebal melihatnya. Diam-diam mencibir di belakang Dea dengan nada suara membisik pelan. Namun meski begitu, tak terpungkiri rasa senang dan harunya karena usaha belajar masak kemarin bisa dikatakan tak sia-sia.Bermodalkan kotak bekal makan saja sudah pasti membuat hati si manusia es itu sedikit cair."Saya nggak bisa makan ini sendirian. Kebanyakan," ujar Daffa.Aduh, jantung Dea semakin jeda
Sejak dirinya pulang ke rumah, jangankan nafsu makan atau ingin beraktivitas bergabung dengan keluarga besarnya, yang ada Dea rebahan sepanjang waktu."Hmh ...."Semua mulai terasa memuakkan, tapi entah mengapa hati Dea masih saja enggan menyingkirkan perasaan itu kepada Daffa. Padahal kurang sakit bagaimana lagi setelah dirinya dibuat malu setengah mati siang tadi?Hati Dea sekeras batu meski seorang Nana sudah mengutarakan rasa jengkelnya dengan mengatakan sumpah serapah tak akan pernah lagi mau membantu Dea dalam usahanya PDKT kalau itu kepada Daffa.Baginya si gay itu terlalu arogan dan sangat tidak laki."Haih ...." Dea hanya bisa menghela napas dalam-dalam, kemudian menutup wajahnya dengan sebuah bantal.Ingin menangis saja, tapi urung sebab rumah ini banyak CCTV berjalannya, maka apa pun yang ia perbuat saat ini pasti akan terlaporkan ke Pak Jhon. Bisa-bisa membuat acara lamarannya semakin dipercepat lagi.Dea akhirnya duduk, mengambil posisi tegak di kursi berbantal empuk itu
Terluka ... tapi tak berdarah ....Kata seorang penyanyi.Itu yang Dea rasakan saat ini. Karena di depan mata kepalanya sendiri, Daffa tersenyum dan menatap wanita di hadapannya. Bibir Dea gemetar bagai moncong lele piaraan Pak Jhon.'Waduh, aku aja nggak pernah, tuh dapat senyuman seperti itu.' Sengatnya memang tak pernah. Ketika melihat adegan tersebut, bukan lagi hati tersayat sembilu rasanya. Sudah mau mati berdiri, bah!Apalagi saat Daffa membantu wanita itu membuka helm yang nyangkut di kepala. Alamak ... seketika dunia Dea menggelap. Semua menjadi remang."Loh, loh, DEA! Wey, si Dea pingsan! Guys!" Rizki heboh sendiri, karena kebetulan yang ada di luar minimarket cuma dia seorang.Ya ... pada akhirnya Dea tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Semua karena syok berat dan rasa kaget yang seperti meledakkan jantungnya hingga ia yang terbiasa kuat tetiba limbung ke pijakan.Dalam keadaan setengah sadarnya, tetap saja nama Daffa tersebutkan berulang di hati.'Mas Daffa, Mas Daffa ...
Seperti biasa, breafing mengawali aktivitas latihan pagi ini. Semua tim dikumpulkan di lapang yang sama dengan tim lawan. Banyak sosok cowok ganteng tak kalah dari Daffa nangkring di sana, bahkan mereka beberapa melirik Dea yang cantiknya memang tak ada lawan.Sayangnya Dea cuek bebek. Bersikap bodo amat, hingga dianggapnya angkuh tingkat dewa. Tapi semuanya memaklum, kok. Namanya orang cantik, kalau sombong itu wajar. Hal itu sama sekali tak membuat dirinya dijauhi, justru mereka tambah tergila-gila padanya."Heh, Dea! Perhatiin kata pak manager. Kamu jangan ngelamun terus, nanti pingsan lagi!" Dea hampir mengaduh keras ketika lengan Nana Banana menyenggol pinggangnya saat itu.Sontak Dea memperbaiki posisi berdiri dan mulai memerhatikan pak manager yang tak lain juga merupakan salah satu pelatihnya di sana. Meski sejujurnya Dea ingin sekali menggetok kepala Nana karena sudah lancang mengagetkannya, padahal sedang asyik membayangkan Daffa.Hmm ... absurd sekali gadis satu ini memang.
Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a
"Bu-bukan begitu, Om. Sa-saya hanya ... aih, ya sedikit—""Dakjaaaaaal! Kamu kurang ajar!" Jelas Pak Jhon murka. Tak ada orang tua yang akan diam saja mengetahui anaknya sudah disentuh pria asing yang bukan pria sah-nya.Pak Jhon melepas kedua sisi perahu yang akhirnya mengakibatkan oleng. Kedua tangan Daffa segera bergerak mencoba menenangkan."Om, tenang dulu. Saya akan jelaskan! Se-semua terjadi begitu saja. Saya mengaku salah, tolong maafkan saya sekali ini saja, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah demi Allah!" Ia juga ikut berdiri sekarang, gara-gara takut perahunya terbalik tiba-tiba. Mana hujan belum reda, ombaknya semakin ganas.Wah, kalau sampai nyemplung, untuk selamat rasanya sangat mustahil sekali. Daffa tetap ingin hidup, belum mau mati."Kamu gila?! Terjadi begitu saja?! Bawa-bawa Allah segala! Disambar petir baru tahu rasa!""Haih, Om boleh marah! Boleh memukul saya, tapi tolong jangan sekarang. Sekarang tidak tepat, kita bisa jatuh ke lautan, Om. Saya mo
GLEGAAAR!Hujan kembali turun dari angkasa, menyerbu manusia yang ada di muka bumi, termasuk Dea dan lainnya yang kini masih panik melihat pertikaian antara Pak Jhon dan Daffa.Payung yang Dea kenakan akhirnya tak berguna gara-gara dihantam angin kencang. Melayang, terbang, lalu entah mendarat di mana.Pada akhirnya menunggu hujan reda hanya sia-sia, sebab badan Dea tetap saja basah."Kak Anita! Tolong itu gimana ya Allah!" Dea merangkul kakaknya, tapi Kak Anita pun sama tak tahu harus bagaimana. Dia stres hanya dengan melihat pedang itu bergerak ke kanan dan kiri berusaha menebas Daffa."Telepon polisi!""Jangan Dea! Mau mampus bapakmu masuk sel?!"Ya, pilihan sulit. "Tapi kalau sampai Daffa terluka, bapak tetap akan masuk penjara!" kukuhnya."Ya Allah Dea, masih aja kamu bela pacarmu di saat begini. Iya aku tahu ini sangat menakutkan, aku juga takut bapak melukai anak orang, tapi aku lebih takut bapak kenapa-kenapa. Kecapean aja bisa kumat jantungnya!"Kak Anita melepaskan tangan De
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa