Dari sepuluh kandidat yang sudah diuji, hanya terdapat dua orang yang memenuhi standar Evan. Yang satu laki-laki dan lainnya perempuan. Keduanya sama-sama unggul dalam hal administratif—salah satu kemampuan terpenting sebagai sekretaris, tetapi mereka harus bisa mengikuti cara kerja sang GM. Dari hasil tes psikologi, mereka berdua tergolong dalam tipe pekerja yang dominan melankolis, terlalu berhati-hati.
Situasi ini berbanding terbalik dengan Evan, sang koleris yang sangat gesit, cocok menjadi seorang pemimpin. Setiap pekerjaan yang ia lakukan selalu diselesaikan dengan cepat. Ia bukan tipe orang yang berlambat-lambat.
Hal ini ingin dimanfaatkan oleh Grace untuk bisa mendapatkan posisi sekretaris itu. Ia belum mau berhenti berjuang. Otak briliannya itu memberinya sebuah ide untuk berbicara mengenai kelemahan para kandidat dengan Evan.
"Pak Evan yakin dua orang yang terpilih itu bisa jadi sekretaris? Mereka justru kebalikannya Bapak loh," ucap Grace, masih berdiri di depan meja Evan setelah memberikan berkas ujian terakhir yang akan datang untuk kedua kandidat.
"Apa urusannya dengan Anda?" sahut Evan sarkastik. Ia bahkan tidak melihat ke arah lawan bicaranya.
Kalau kamu bukan sahabatku, udah kulempar mangga busuk kamu, Van. Grace mengumpat dalam hati. Ia masih tidak percaya seorang yang lembut sepertinya menjadi sedingin iblis. "Tanpa mengurangi rasa hormat, saya sangat mengenal Bapak. Orang-orang yang melankolis bukan pilihan Bapak. Justru seorang sanguinis seperti sayalah yang bisa mengikuti ritme kerja Bapak," katanya mempromosikan diri sendiri.
Kali ini, Evan melirik pada Grace. "Kata siapa? Anda nggak benar-benar mengenal saya," sahutnya. "Sekarang tolong tinggalkan ruangan ini. Saya perlu ketenangan."
Grace merasa kesal sekali. Ia sudah lelah mengurus ujian para kandidat dan membereskan semuanya dalam waktu satu hari. Hanya saja perlakuan yang ia terima dari sahabatnya justru membakar emosinya lebih lagi. Ia ingin meledak dalam kemarahan tetapi kemudian berpikir bahwa ini merupakan sebuah jebakan. Pikirnya Evan sengaja melakukan ini agar dia menyerah dan menjauh.
Nggak, Van. Aku nggak akan berhenti di sini cuma karena perkataan sarkastikmu itu. Grace menarik ujung bibirnya, berlagak tenang dengan memasang senyuman. "Oke. Silakan menikmati ketenangan, Bapak Evan Williams," katanya.
Evan bersikap cuek dan memperhatikan layar laptopnya saja.
Tidak terpengaruh atas sikap dingin Evan, Grace meninggalkan tempat dengan tenang. Ia berjalan kembali menuju ke ruangannya.
Di tengah jalan Grace berpapasan dengan salah satu asisten manajer dengan seorang staf yang tidak pernah ia lihat. Mereka tersenyum palsu di depannya, tetapi telinganya cukup tajam mendengar ujaran mengejek yang disebutkan di belakangnya.
"Emang nggak tahu malu si Grace nih. Tadinya Pak Mario, sekarang Pak Evan. Dipikirnya dia cantik apa?"
Sebagai seorang manusia fana, bukanlah hal yang mengejutkan jika Grace ingin membantai kedua wanita itu dengan perkataan kasar. Telinganya panas sekali dan ia yakin bahwa ia sanggup melakukannya. Jika bukan karena Evan yang mengajarinya untuk menahan emosi dulu, ia sekarang pasti sudah mendapatkan gelar 'Iblis Wanita'. Tidak akan ada orang yang sanggup bertahan setelah menerima makian darinya.
Grace mempercepat langkahnya demi pergi ke pantry sesegera mungkin. Ia ingin mendinginkan kepalanya yang kini membara seperti hutan terbakar.
Salah satu hal yang Grace sukai tentang bekerja di hotel ini adalah fasilitas yang disediakan untuk para pegawai. Pantry ini tampak seperti sebuah bar mewah yang dilengkapi dengan berbagai alat pembuat minuman serta bahan-bahannya. Minuman siap minum juga selalu tersedia; hampir tidak pernah habis.
Dari dalam lemari es yang kira-kira lima belas centimeter lebih tinggi darinya itu, Grace mengambil sekotak jus jeruk. Ia menancapkan sedotan ke dalam kotak itu dan meneguk minuman yang langsung menyegarkan tenggorokannya.
Di tengah menikmati jusnya, dua pegawai wanita dan pria masuk ke dalam pantry. Yang wanita agaknya sedang mengeluh pada koleganya.
"Kenapa gue yang disuruh sih? Ada juga tuh OB lain. Memangnya gue kerja di sini untuk jadi babu apa? Kalau mau jilat GM tuh harusnya usaha sendiri. Jangan nyuruh-nyuruh orang lain." Begitulah unek-unek yang demikian keras dikemukakan oleh pegawai wanita itu.
Grace tidak tahu manajer mana yang menyuruh wanita tersebut, tetapi ia tahu bahwa ini berkaitan dengan Evan. Ia tersenyum saat sebuah ide muncul di benaknya. Tanpa berlama-lama, ia mendekat pada kedua pegawai yang tidak dikenalnya itu.
"Hai. Maaf menginterupsi. Tapi kalau nggak salah, kamu disuruh ngelakuin sesuatu untuk Pak Evan?" tanya Grace tanpa berbasa-basi.
Wanita itu menghela napas panjang seraya mengatur emosinya dan mengangguk. "Iya. Disuruh bikinin minuman," jawabnya.
"Ya udah. Saya aja nggak papa. Kebetulan saya memang mau ke tempat Pak Evan," ucap Grace menawarkan diri.
Dengan mata membulat dan senyuman merekah wanita itu menyahut, "Beneran nih? Wah, lo emang cakep banget. Makasih ya!"
Grace mengangguk lalu berbalik menuju lemari es. Ia mengambil sekotak susu coklat dan buah-buahan seperti stroberi dan blueberry. Diambilnya juga mixer dari rak yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan cekatan ia membuat smoothies kesukaan Evan dulu.
Minuman menyehatkan itu sudah siap dan Grace meletakkannya di atas sebuah nampan. Dengan hati-hati ia membawanya menuju ke ruangan Evan.
"Grace, Grace!" Suara Mario memanggil terdengar dari belakang. Ia baru saja keluar dari ruang kantornya.
Grace berhenti berjalan dan berpaling pada atasannya. "Ya, Pak?" tanyanya.
Mario mengerutkan dahi melihat apa yang Grace bawa. "Kenapa kamu bawa minuman? Untuk siapa? Pak Evan?" tebaknya sambil berjalan mendekatinya.
"Iya, Pak."
"Tapi kenapa kamu, bukannya OB?"
Grace menekan kedua bibirnya. "Hmm. Tadi sih saya dengar OB lagi nggak bisa. Terus ada pegawai yang disuruh. Tapi sepertinya dia sendiri sibuk. Jadi saya menawarkan diri saja. Kebetulan ada sisa waktu bebas dan jam kerja hampir selesai," jelasnya apa adanya.
Mario tidak menyahut sejenak. Ia tampak seperti memikirkan sesuatu. "Grace, pekerjaan kamu di sini adalah asisten manajer. Kamu bisa menyerahkan tugas ini ke OB. Jangan sia-siakan talenta dan reputasimu," katanya.
Grace menaikkan sebelah alisnya. "Apakah serendah itu tugas mengantarkan minuman?" Pertanyaannya menghujam jantung atasannya seketika itu juga.
"Bukan gitu maksud saya—"
"Bukankah bapak selalu bilang untuk punya inisiatif membantu saat diperlukan? Dan kebetulan bantuan yang diperlukan saat ini adalah mengantar minuman. Jangan khawatir, Pak. Hal seperti ini nggak akan mempengaruhi reputasi saya," ujar Grace memberikan penjelasan yang tidak bisa dibantah oleh Mario.
Dengan menghela napas panjang serta mengangguk-angguk, Mario menyahut, "Kamu benar. Maaf, saya cuma nggak mau reputasi kamu jatuh karena ini. Kamu tahu kan banyak yang membicarakan kamu di belakang?"
Grace tersenyum. "Terima kasih untuk perhatiannya, Pak. Saya nggak punya kendali untuk menutup mulut mereka. Tapi saya punya kendali untuk menutup telinga saya," ucapnya. "Apa ada hal lain yang perlu Pak Mario sampaikan ke saya? Karena kalau nggak saya perlu mengantarkan minuman ini ke Pak Evan."
Memang tidak ada hal lain yang ingin Mario sampaikan. Ia menghampiri Grace hanya karena melihatnya dengan minuman itu. Kini ia semakin merasa jatuh hati pada gadis itu dengan jawaban yang diberikannya barusan.
"Nggak ada kok. Silakan," kata Mario dengan senyuman simpul.
Grace sedikit menunduk lalu lanjut berjalan menuju tujuan awalnya. Fokusnya langsung teralihkan dari percakapannya dengan Mario pada apa yang akan ia katakan di ruangan Evan nanti.
Terlalu girang akan bertemu Evan untuk kedua kalinya dalam satu hari ini, Grace hampir-hampir menabrak manajer keuangan yang tiba-tiba muncul di tikungan. Beruntung ia bisa menjaga minuman itu agar tidak tumpah ataupun jatuh.
"Hei! Kalau jalan pakai mata dong. Hati-hati!" seru wanita yang lebih tua darinya itu.
"Maaf, Bu Gwen. Saya terburu-buru mengantar minuman ini untuk Pak Evan," balas Grace.
Gwen menatap ke arah minuman itu lalu berkata, "Sini. Saya yang antarkan aja." Ia menarik nampan itu dari tangan Grace.
Namun Grace tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ialah yang mendapatkan kesempatan ini dan sudah bersusah payah membuatkan minuman itu. "Tidak perlu, Bu. Saya bisa melakukannya sendiri," tolaknya halus.
"Kalau saya bilang saya yang antar, jangan halangi saya." Gwen melotot pada Grace, tanda memulai peperangan yang sengit antar dua wanita.
Grace memang lebih kecil daripada Gwen, tapi tidak berarti kekuatannya lebih kecil pula. Ia menahan nampan itu sambil memegangi gelasnya agar isinya tidak tumpah. "Bu, mohon lepaskan. Biarkan saya melakukan tugas saya," ucapnya dengan nada yang lebih tegas kali ini.
"Kamu tuh cuma asisten ya. Jangan ngelawan saya!" Gwen berseru lalu dengan kasar mendorong nampan itu ke arah Grace.
Sebagai hasilnya Grace oleng ke belakang dan menabrak dinding dengan punggungnya. Smoothies yang enak rasanya itu pun tumpah, mengotori blus putihnya.
"Tuh kan! Karma karena kamu ngelawan atasan!" bentak Gwen dengan kedua tangan bersedekap.
Kedua tangan Grace penuh, yang satu menggenggam nampan dan yang lainnya gelas. Kepalanya benar-benar mendidih sekarang. Ia siap untuk memukul sang manajer dengan apa yang ia pegang sekarang.
Namun sebelum perang benar-benar pecah, Evan keluar dari ruangannya dan berseru, "Apa-apaan ini? Kenapa bikin ribut di depan kantor saya?"
Demi membela diri, Gwen buru-buru berkata, "Saya tadi mau mengantarkan minuman untuk Pak Evan. Tapi dia merebutnya dan memaksa mau mengantarkannya ke Bapak. Jadilah minumannya tumpah begitu. Tangan saya juga jadi lengket begini."
Grace tidak habis pikir bagaimana wanita itu bisa bersilat lidah, memutarbalikkan fakta yang ada. Kurang ajar! Setetes air aja nggak ada di tangannya, bisa-bisanya dia bilang tangannya lengket? "Anda percaya ceritanya?" sergahnya, melirik pada Evan.
Evan tahu betul bahwa Grace bukan pembuat onar. Jika ia sampai mendapatkan masalah, itu hanya karena dia ingin membela diri. Namun demikian, ia tetap bersikap tenang untuk menilai masalah ini dengan bijaksana tanpa memihak siapapun.
"Saya nggak peduli siapa yang benar. Tapi kalian berdua ada di lokasi tempat kejadian perkara. Bereskan semuanya. Saya mau ini bersih kembali sebelum jam kerja selesai," perintah Evan.
Sementara Gwen menampakkan wajah kecewa dan marah, Grace kini justru tersenyum sinis. Puas karena sang manajer keuangan turut kena damprat Evan. Tambahan lagi, ia tidak merasa keberatan untuk membersihkan noda kecil di karpet itu. Bersih-bersih adalah hal yang biasa baginya untuk dilakukan di rumah.
Gwen berkacak pinggang lalu pergi dari tempatnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Entah ia akan kembali melakukan sesuai dengan perintah Evan atau tidak.
"Maaf untuk kekacauan ini," kata Grace sebelum Evan masuk kembali ke ruangannya.
Entah bisa dikatakan beruntung atau tidak yang pasti Grace merasa lega. Dari yang bisa ia lihat, Evan sebenarnya mempercayainya.
Seorang OB keluar dari tikungan kemana Gwen pergi tadi. Ia menghampiri Grace dan menawarkan untuk membereskannya. Awalnya Grace menolak karena Evan memintanya untuk bertanggung jawab. Tetapi dengan desakan sang OB, pada akhirnya ia menyetujui. Diberikannya juga gelas serta nampan kotor itu pada wanita paruh baya di depannya.
Grace bergegas menuju ke toilet. Beruntung ia selalu mengantongi HP-nya. Dihubunginya Nita untuk memberikan bantuan. Ia menunggu beberapa lama sambil membersihkan blusnya dengan air dan tisu.
Jarak dari ruangannya ke toilet dimana ia ada sekarang tidak jauh. Tetapi Nita baru sampai dua puluh menit kemudian dengan napas terengah-engah.
"Lama banget sih, Nit? Ada kerjaan ya?" tanya Grace.
Nita menggeleng sambil setengah mengangkat telapak tangannya."Lo ... berantakan banget sih? Nyusahin aja ... tahu nggak? Habis perang apa gimana sih lo?" ujarnya lalu menegakkan badan setelah bisa mengatur napas. "Nih baju ganti."
"Ya ampun, makasih loh, Nit. Sampai dibeliin baru," katanya Grace tersenyum-senyum melihat blus batik yang ia tahu dijual di toko di lantai satu.
"Emang gue yang ke sana beliin. Tapi yang nyuruh Pak Evan. Uangnya dia." Nita memberitahu.
Mendengar perkataan itu, hati Grace menjadi hangat. Ia sudah bisa menduga bahwa sahabatnya itu tidak akan tega melihatnya mengalami hal buruk. Seburuk apapun sikap yang ditunjukan Evan saat ini, tidak lantas mengubah pemikiran Grace mengenai pria itu.
[SK]
Ah, Evan tsundere ini. Wkwkw.
Evan tidak mau menghabiskan banyak waktu untuk menyeleksi sekretaris eksekutif yang baru. Setelah kedua kandidat tersisa melewati ujian terakhir, ia memilih yang laki-laki karena terbukti lebih unggul. Hal ini jelas menutup kesempatan bagi Grace sama sekali untuk menggagalkannya.Namun Grace yakin bahwa ia tetap punya akses untuk terhubung dengan sahabatnya, baik menjadi sekretarisnya atau tidak. Lagi pula ia adalah seorang asisten manajer HRD yang akan senantiasa berurusan dengan GM.Hari itu berjalan seperti biasanya. Hampir tidak ada yang berbeda. Grace selesai mengerjakan semua tugasnya hari itu dan bersiap untuk pulang."Grace, lo beneran nggak ikuthangoutmalam ini?Friday nightloh ini." Nita berusaha membujuk koleganya yang selalu menolak
Sudah sekitar dua bulan lebih semenjak Evan menjadi GM di hotel ini. Belum ada perubahan berarti dari setiap usaha yang Grace kerahkan untuk mematahkan sikap dinginnya.Yang terjadi justru pekerjaannya bertambah banyak. Perombakan sistem di sana sini serta pergantian staf juga dilakukan. Mau tidak mau Grace jadi terforsir bekerja dan menjadi terlalu lelah untuk mengejarnya.Terlepas dari keinginan memajukan hotel, Evan memiliki tujuan lain yaitu menjauhkan Grace darinya. Untuk beberapa waktu terakhir usahanya cukup berhasil. Ia merasa cukup senang.Tetapi entah bagaimana melihat Grace cukup sering dijemput oleh lelaki yang tampak begitu akrab dengannya itu menimbulkan perasaan aneh di benak Evan. Pasalnya Grace yang ia kenal tidak mudah bergaul sedekat itu dengan laki-laki. Sebelum ia
"Berhenti." Emosi Grace naik ketika Evan tidak memberikan jawaban. "Berhenti aku bilang!"Evan tidak mempedulikannya. Ia tetap menjalankan mobilnya."Kamu bilang kita nggak bisa bersahabat lagi kaya dulu, jadi tolongstopmobilnya. Aku mau turun," ucap Grace memaksa. Namun perutnya terasa tidak nyaman sehingga ia memilih untuk memakai nada rendah. "Please, Evan."Evan menghentikan laju mobilnya, tetapi ia mengunci sentral semua pintu mobil sehingga tidak bisa dibuka.Setelah Grace melepaskan sabuk pengamannya, ia mencoba membuka pintu tapi tidak bisa. "Buka kuncinya," perintahnya."Grace. Denger. Kita memang nggak bisa lagi kaya dulu. Tapi bukan berarti ak
Ada berbagai macam cara yang Grace terus lakukan dalam melaksanakan 'Operasi Menggangu Evan' setiap harinya. Mulai dari hal kecil seperti mengambil pekerjaan OB untuk membawakan minuman untuk Evan sampai mengurus segala sesuatunya di departemen HRD yang memerlukan kontak dengan GM.Banyak desas-desus mengenai tindakan Grace yang semakin terlihat ini. Di antaranya adalah menggoda pimpinan untuk mendapatkan promosi. Sementara subjek pembicaraan justru tidak mempedulikannya, sang kolega terdekat sudah mengomel selama satu jam terakhir."Tenang aja, Nit. Semua bakalan baik-baik aja. Kalau memang sampai terdesak banget, baru aku akan buka kalau Evan itu sahabat aku." Grace menyahut dengan santai.Nita memasang wajah datar sambil memperdengarkan desahan. "Lo tuh emang ngeyel ya anaknya," tuk
"Grace, kamu kelihatan belum sehat loh." Indah, sang bunda tampak khawatir melihat putrinya masih lemas.Di sepanjang akhir minggu Grace paling banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri di dalam kamar. Paling jauh ia akan duduk di teras rumahnya. Ia berusaha memulihkan dirinya agar kenangan buruk itu tidak mengusik pikirannya. Pasalnya ia perlu fokus bekerja, terutama pada tiga bulan terakhir sebelum tahun berganti."Grace nggak papa, Bun. Lihat nih, udah bisa senyum lebar kan?" Grace mempertontonkan deretan gigi rapinya.Indah menggeleng-geleng heran akan kegigihan Grace. Ia tahu betul sang putri tidak pernah ingin membuatnya khawatir. Namun yang mengherankan, gadis itu memang membuktikannya. Kesedihan yang dialaminya berlalu dengan cepat dan senyuman semringah akan datang kembali
"Jadi cewek nggak punya harga diri banget sih si Grace? Mana nggak sopan gitu panggil Pak Evan pakai nama doang.""Iya. Dia pikir Pak Evan mau sama dia? Baru juga dikasih kesempatan bicara sekali udah ngelunjak.""Cewek rendahan, tinggal di kampung. Nggak level banget kali sama Pak Evan yang lulusan Oxford."Ucapan-ucapan itu semakin membabi buta diperdengarkan dalam beberapa hari berikutnya. Bukan hanya di belakang Grace, tetapi juga di depannya. Ia semakin merasa muak dijadikan bulan-bulanan. Emosinya hampir-hampir meledak dan fokusnya jadi sempat teralihkan. Namun ia masih bisa menahan diri untuk memproklamirkan dirinya sebagai sahabat lama Evan.Beruntung Mario adalah manajer yang bijaksana. Sedari awal ia sudah menciptakan atmosf
"Grace, ada Anthony tuh." Indah menyentuh Grace yang sedang bersandar malas di sofa.Meskipun bukan hari libur atau akhir minggu, Grace akhirnya meminta satu hari libur dengan alasan sakit. Beruntung ia mendapatkan izin dari Mario yang memang merasa bahwa dirinya perlu istirahat.Semalam Grace menghabiskan waktu yang lama untuk menangis di kamar. Ketika bangun lebih lambat kira-kira pukul delapan pagi, ia hanya sarapan sedikit lalu duduk di sofa. Di depannya TV menyala, tetapi ia sama sekali tidak menontonnya.Grace menoleh pada Bundanya. "Suruh masuk aja, Bun. Grace lagi sulit gerak. Mungkin karena haid," ia beralasan. Padahal sebenarnya haidnya sudah selesai minggu lalu.Indah merasa ada hal buruk yang sudah terjadi. Tetapi putrinya
Kembali ke kantor bisa disamakan dengan kembali ke medan perang. Grace memperlengkapi dirinya dengan beberapa senjata. Yang pertama untuk menghadang serangan perundungan dari para pegawai yang mulutnya setajam pedang. Yang kedua untuk menghindari keterlibatan dengan Evan. Grace mengajukan permintaan pada Mario agar mengizinkan Nita menjadi asisten manajer pengganti selama beberapa waktu. Awalnya permintaan itu memberatkan baik Mario maupun Nita. Mario lebih suka Grace karena punya lebih banyak pengalaman dan sangat cekatan. Sementara Nita merasa lebih cakap bekerja di depan komputer daripada di depan publik. Namun dengan alibi yang masuk akal, ia mendapatkan izin tersebut. Selama kurang lebih satu bulan Grace berhasil menghindari Evan. Setiap kali diminta untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan GM, selalu ada alasan yang berha
Ekstra 02 : Masa DepanMengurus kepindahan dan beberapa hal lain rupanya memakan banyak waktu. Barulah pada bulan Februari sang pengantin baru mendapatkan kesempatan untuk melakukan bulan madu. Namun siapa sangka pandemi yang tidak disangka-sangka menyerang seluruh bumi di awal tahun 2020? Beruntung Evan dan Grace bisa kembali ke Indonesia tepat sebelum pemerintah menutup perbatasan Indonesia.Rumor tentang kejatuhan perekenomian sektor pariwisata sudah ada di sana sini. Sebagai pekerja hotel, Evan dan Grace sangat terlibat mengatasi masalah ini. Terutama setelah pemilik hotel berkata bahwa harus ada pemangkasan pekerja di setiap cabang hotel demi mempertahankan kelangsungan bisnis.Selama beberapa bulan berikutnya, mereka pun harus bekerja lebih keras. Sebagai akibatnya, pasangan suami istri yang baru ini mengalami tantangan dalam mendapatkan keturunan. Program kehamilan sudah pasti menjadi solusi yang terbaik. Namun di sisi lain mereka juga harus mempert
[12 September 2008]“Dua es kelapa muda spesial untuk pelanggan setia Mbok yang paling imut.” Dahayu membawakan dua buah minuman khas kafenya untuk Grace dan Evan yang kembali datang pada akhir minggu. Kedua pemuda itu langsung mengambil untuk mereka masing-masing. “Sebenernya Mbok penasaran sih. Kalian berdua itu pacaran ya?”Mendengar hal itu, masing-masing spontan bereaksi terkejut. Grace menyemburkan minumannya yang sudah ada di mulut sementara Evan terbatuk-batuk.“Eh, aduh. Kenapa jadi gini kalian?” Dahayu menepuk-nepuk punggung keduanya. “Kaget ya sama pertanyaan Mbok?” Ia terkekeh-kekeh geli.“Iya lah. Dari mana coba Mbok pikir begitu? Kami berdua tuh sahabat deket.” Grace yang tidak mengalami masalah dengan tenggorokannya menjawab.Evan menoleh pada Grace setelah batuknya mereda. “Ya tapi maklum Mbok pikir gitu. Kita berdua soalnya deket banget,” ujarnya memikirkan alasan yang paling mungkin. “Mana tiap minggu ke sini untuk nonto
[8 Desember 2006]"Loh, kamu nggak ngumpulin tugas, Grace? Kan Bu Diana bilang ini untuk tugas akhir semester satu? Nanti kamu nggak dapat nilai kelas seni rupa loh."Sebuah gantungan kunci yang terbuat dari resin bening dengan setengah cangkang kerang terjebak di dalamnya tergeletak manis di atas tumpukan buku teks. Grace mengamatinya dengan senyuman lebar, merasa puas melihat hasil kerja kerasnya. "Udah kok. Aku bikin dua," sahutnya."Kenapa bikin dua?""Nggak tahu. Kepingin aja. Siapa tahu gantungan ini bisa bawa kebahagiaan untuk seseorang." Grace asal menjawab. Ia mengangkat gantungan itu di depan wajah sebelum memasukkannya ke dalam saku jaketnya. "Aku pulang duluan ya."Grace berjalan meninggalkan ruang kelasnya yang masih cukup ramai dengan anak-anak kelas delapan. Sementara yang lainnya masih bisa bersenang-senang dengan kawan-kawannya sehabis sekolah, ia harus segera pulang ke rumah. Sang bunda memerlukan bantuannya untuk
Tinggal beberapa jam lagi sebelum hari yang ditunggu-tunggu tiba. Demi mempermudah semuanya, Grace menginap di hotel tempatnya bekerja bersama dengan sang bunda. Tentu saja sebagai calon istri seorang GM di hotel tersebut, ia mendapatkan sebuah akses khusus. Semua yang bertugas menjadikannya seorang ratu sehari juga akan berada di sana sekitar pukul empat pagi keesokan harinya.Hanya saja Grace tidak bisa tidur. Ia terus gelisah, tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Kata Indah hal itu wajar bagi seorang calon pengantin. Namun ia merasa ada hal lain yang mengganjal."Tapi kamu harus coba tidur, Grace. Besok bakalan jadi hari yang panjang." Indah memberikan wejangan sambil menepuk-nepuk bahunya sendiri. "Bunda juga udah agak ngantuk, pegel dikit juga, habis bikin kue sama Rosa."
"Grace, terima kasih udah kasih Ayah kesempatan untuk bertemu dan bicara." Randy, masih tidak percaya bahwa ia akhirnya mendapatkan momen yang sudah lama ditunggu. Dengan pandangan mata yang sayu akibat air mata, ia menatap putrinya yang telah sekian lama terpisah darinya."Mama juga terima kasih sama Evan. Seharusnya dari awal Mama kasih tahu yang sebenarnya, supaya kamu nggak harus melewati semuanya sendirian." Rosa menyambung, mengungkapkan rasa terima kasihnya terhadap putra tunggalnya. "Juga maaf sekali lagi. Mama pikir menyimpan semuanya sendiri dan membiarkan kamu menyalahkan Mama itu pilihan yang baik."Bukan perkara mudah bagi Grace dan Evan untuk benar-benar melepaskan pengampunan. Rasa sakit di hati mereka tentu masih terasa, bak luka pasca operasi yang belum sepenuhnya sembuh. Memutuskan untuk mengadakan pe
"Ciyehyang bulan depan udah sah jadi suami istri." Nita menyambangi Grace di jam istirahat setelah mendengar berita tentang penetapan tanggal pernikahannya dengan Evan. "Lo ... bakalan jadiin guebridesmaidkan? Kata orang kalau udah jadibridesmaidtiga kali, lo bakalan menikah habis itu." Grace langsung tertawa begitu mendengar ucapan Nita. "Eh, mana ada hal kaya gitu, Nit? Buktinya aja aku nggak pernah jadibridesmaidtapi bakalan nikah bulan depan," sanggahnya geli. Duduk bersebelahan dengan Grace di atas sofa kecil, Nita menyikutnya. "Songong amat dah nih anak," celetuknya. "Yah, bersyukur aja lo beruntung ketemu Pak Evan. Nggak kaya gue. Udah tunangan, hampir nikah, tapi tiba-tiba ditinggal tanpa jejak." Ia menghela napas panjang.
Sikap kasar Anthony sedikit banyak mempengaruhi pikiran Grace. Bagaimanapun ia pernah dekat dengan lelaki itu; seseorang yang bahkan pernah membuatnya tertawa ketika Evan belum kembali. Setelah Ngaben sang ayah selesai, Anthony menghilang tanpa kabar. Akibat permasalahan yang melibatkan Anthony itu, Grace terpaksa mencari pengganti Nina untuk membantu menjalankan tokopastryIndah. Bukannya ia tidak mau lagi mempekerjakan gadis itu, tetapi keluarganya menarik diri dari berurusan dengan keluarga Grace. Itu bukan sesuatu yang mengejutkan, tetapi tetap saja menyedihkan bagi dirinya. Perlu diakui bahwa pengganti Nina tidak sekompeten dan secekatan gadis itu. Tetapi menemukan seorang yang jujur dan mau bekerja sebagai kasir sebuah toko kecil tidaklah mudah. Maka dari itu, Grace kembali meluangkan sed
Sinar matahari menembus masuk melalui celah tirai yang tidak tertutup sempurna. Dinginnya malam perlahan tergantikan oleh kehangatan matahari. Namun kenyamanan yang menyelimuti Grace membuatnya enggan untuk beranjak dari tempatnya. Tangannya bergerak hendak menarik selimut yang sedikit menjuntai ke lantai. Saat itulah ia merasakan suatu kejanggalan. Suhu AC dipasang paling rendah dan sinar matahari yang tidak langsung itu bukan sumber kehangatannya. Ketika matanya menjadi terang, jelaslah bahwa kini ada sebuah lengan yang menjadi bantalan kepalanya dan lengan lain memeluk pinggangnya dari belakang. Bahkan jemarinya bertautan dengan pemilik lengan tersebut. 'Astaga. Gimana ceritanya aku bisa disini?'Grace menarik selimut sedikit ke atas hanya untuk memeriksa apakah ia masih berpakaian utuh.
Tugas khusus yang diberikan kepada Grace mengharuskannya untuk melakukan perjalanan singkat ke Lombok. Pasangan investor dari Spanyol menyambutnya dengan hangat, bak putri mereka sendiri; terutama sang wanita yang selalu menggelayuti tangannya sedari bertemu sampai tiba di resort indah di selatan Lombok.Adalah sebuah villa pribadi dengan tiga kamar dimana Grace, pasangan Dominguez serta sang pemilik hotel, Roger dan istrinya tinggal. Seperti yang seharusnya, dua kamar lain denganking bedditempati oleh kedua suami istri, dan Grace sendiri di kamar dengantwin beds. Tujuannya adalah memudahkan mereka bernegosiasi tetapi sekaligus saling membangun keakraban di tempat yang menyejukkan hati. Benar-benar tipikal orang Spanyol yang hangat, seperti yang sering Grace baca dari artikel-artikel budaya.