Fifi mengemudikan mobilnya dengan hati-hati, apalagi dengan kondisinya yang tengah hamil seperti ini. Tak cukup keberanian untuk melajukan mobilnya dengan cepat. Nayla yang di sepanjang perjalanan membiarkan dirinya terdiam, hanya mendengarkan musik dari radio yang diputar didalam mobil itu. Pikirannya menerawang jauh entah kemana. Sesekali Fifi menoleh ke arah Nayla. Dia cukup bersimpati atas kondisi yang dialami sahabat baiknya tersebut. Dia tahu betul kisah hidup Nayla yang telah banyak menanggung penderitaan dan telah banyak berubah sekarang. Tubuhnya kian susut, wajahnya nampak pucat. Hanya senyumnya yang masih tetap sama seperti dahulu. Senyum yang membuat dua jagoan kampus memperebutkannya hingga terjadi baku hantam diantara mereka. Fifi tersenyum ketika mengenang hal itu. 'Ah! Nando dan Zaid sama-sama keras kepala. Tak seorang pun diantara mereka berdua yang sudi mengalah. Pada akhirnya, Nayla juga yang harus menanggung luka. Kasihan dia.
Sejak hubungannya dengan Nando kandas, Nayla seperti kehilangan perasaannya untuk dapat menerima cinta dari lelaki lain. Banyak lelaki yang mencoba mendekati Nayla, namun selalu mendapati penolakan. Meski paham akan keadaan Nayla, terkadang Fifi dan teman Nayla juga merasa bingung dengan sikap Nayla. Memasuki Jalan Gajahmada, Fifi mulai mengomel karena jalan yang sesak dengan kendaraan. Nayla hanya tersenyum melihat bibir mungil itu meracau. "Apa lagi sih ini...sudah sore juga, masih mau macet lagi. Ini yang buat aku malas buat nyetir. Huh!" Fifi menarik Hand break kemudian mendinginkan suhu didalam mobil Honda Civic berwarna putih tersebut. Nayla bergumam dalam hati, 'macet ini akan menjadi halangan untuk perjumpaanku dengan Arif. Biar dia menunggu, kan dia yang mau ketemu aku.' Dia menarik nafas, Nayla memijit kepalanya sendiri yang masih terasa agak pusing. Dia mulai terbayang Arif, lelaki yang ia kenal sejak setahun yang lalu. Bos dari Fifi yang pada awalnya ia anggap sebagai rekan biasa namun pada akhirnya menaruh hati padanya. 'Mustahil aku menerima cintanya, aku tidak pernah menaruh hati kepadanya. Lagipula, aku sudah berjanji. Ya, hanya Nando saja yang aku cinta, tiada yang lain. Sekuntum rindu ini masih aku simpan untuknya, tak akan kuberikan kepada lelaki manapun. Tapi, dimana Nando kini?'
Sempat ia mendengar kabar bahwa Nando pergi ke Australia untuk melanjutkan studinya. Sudah empat tahun berlalu dan Nayla masih juga mengharapkan dia kembali. Bisa jadi Nando sudah menikah dan hidup bahagia bersama keluarganya. 'Mengapa cuma aku saja yang menunggunya? Aku terlalu sayang padanya,' bisik hatinya perlahan. Masih teringat dengan jelas di ingatannya, betapa perhatiannya Nando telah mampu mencuri hatinya. Ketika itu, Nayla demam tinggi, dan Nando lah orang yang merawatnya. Dia membawanya berobat ke klinik, menyiapkan segala kebutuhan. Bahkan ia rela mondar mandir hanya untuk memastikan Nayla baik-baik saja. Sampai membolos kuliah! Semua itu Nando lakukan dengan senang hati dan tanpa keluhan. Baginya, kesehatan dan keamanan Nayla adalah segalanya. Dia tak mau Nayla sakit apalagi disakiti.
Terlalu banyak kenangan manis yang tertinggal dihatinya. Seperti ketika ia menerima bunga matahari berwarna kuning sempurna dengan kartu ucapan yang diletakkan diatas tempat duduknya saat kuliah. Sontak hal tersebut menjadi bahan tertawaan teman-teman sekelasnya. "Hahaha, orang lain dapat bunga mawar merah di hari valentine. Tapi kamu malah dapat bunga matahari berwarna kuning, seperti bunga untuk orang mati saja" ejek teman-temannya disertai gelak tawa. Tapi Nayla tak ambil pusing dengan itu semua. Dia bahagia dengan pemberian Nando. Dia tahu, bunga mawar jadi lebih mahal ketika hari valentine. Bunga matahari boleh lah. Sama-sama bunga. Nayla senyum sendiri. Nando adalah tipe lelaki yang pandai menciptakan kejutan-kejutan yang tak terduga. Hal itulah yang membuat hubungan mereka kian erat. Nayla tersenyum puas mengenang nostalgia yang dapat menenangkan pikirannya. Ah! itu hanya kenangan, lupakan sajalah kalau bisa.
"Nay, kamu tak berniat mengakhiri masa lajangmu ini ?" Fifi bertanya setelah melihat Nayla tersenyum sediri. Nayla menoleh ke arah Fifi, pertanyaan itu sering ia dapatkan dari teman-temannya. Nayla menggelengkan kepalanya kemudian membuka kaca jendela mobil untuk menadahkan tangannya keluar. " Gerimis, Fi." ujarnya pelan lalu menaikkan kembali kaca mobil. "Kamu mau tunggu siapa lagi Nay? Bukannya tak ada yang menyukaimu dengan serius, tapi kamunya yang tak mau dengan mereka. Jangan gitu lah Nay..."
"Jodoh belum datang, Fifi sayang, habis mau gimana lagi? Biar aja lah, aku nggak mau terlalu sibuk mikirin soal jodoh. Aku yakin kok, Allah sudah menyiapkannya untukku. Tinggal nunggu datangnya pertemuan aja. Cepat atau lambat pasti bakal ketemu kok." Nayla tersenyum melihat Fifi tertawa kecil dan kemudian disusul tawa yang keras. Ketika mobil mulai bergerak, Fifi kembali mengemudi, tetapi baru beberapa meter berjalan mobil sudah berhenti lagi. Lagi-lagi Fifi hanya bisa mendengus kesal. "Tapi Tuhan menyuruh kita untuk berusaha, bukan hanya pasrah saja. Setahuku nih, banyak kok yang ngejar-ngejar kamu. Bahkan sejak masih kuliah dulu. Lihat saja Makhfudin, bahkan setelah lulus dari kampus dia juga masih mengharap cintamu." Nayla tertawa, "Makhfudin? Yang bener aja Fi. Kenapa juga kamu gosipkan aku dengan dia, setahuku dia sekarang ada di Jepang." Masih ada sisa tawa dari Nayla ketika mengatakan kalimat tersebut.
"Terus siapa dong, Iqbal? Dia itu ganteng banget lho!" "Buat apa ganteng kalau lebih pendek dari aku." Kali ini Nayla dan Fifi kompak untuk tertawa. Lucu rasanya, ketika mengenang sosok Iqbal. Lelaki yang lebih muda dan lebih pendek dari Nayla namun tetap coba memikat hati Nayla. Sebenarnya dia lelaki yang cukup menarik, dia tampan, kulitnya kuning langsat. Dia juga termasuk mahasiswa yang populer di kampus. Karena dia sosok yang aktif dengan organisasi pecinta alam. Seringkali ia melakukan kegiatan diluar ruangan. Yang paling sering adalah mendaki gunung. Karena alasan tersebutlah dia populer dikalangan mahasiswa yang lain. Hanya saja, dia memiliki tubuh yang pendek yang membuatnya tampak tak begitu menarik dimata Nayla. Pada akhirnya, dia harus menarik diri ketika Nando memberikan sedikit gertakan. "Halah Nay...aku tahu kau mencoba untuk menunggu Nando. Pria tampan idaman kaum hawa. Kenapa kamu masih mau menunggunya sih?" Mobil kembali melaju. "Aku antar sampai depan hotel
"Nayla, kamu baik-baik saja?" tanya Arif setelah dilihatnya Nayla hanya diam membatu. Nayla menoleh ke Arif dengan lemah. Arif tahu, sinar matanya tak seceria dulu. "Nayla baik-baik saja kok Mas." Nayla mencoba melempar sebuah senyuman, walaupun ia tahu itu hanya senyum palsu. Arif yang mengenakan kemeja berwarna merah hati tersebut menunduk kemudian mearaih tas kulit yang diletakkannya di kursi yang ada disebelahnya. Ketika itu, seorang pramusaji kembali datang mengantarkan minum yang dipesan oleh Nayla. "Mas Arif tahu masalah Nayla dari Fifi, kenapa Nayla gak cerita sih?" Nayla menatap Arif dalam-dalam. Alunan musik tak lagi ia perhatikan. Dia seolah ingin mencari jawaban dalam diri lelaki berkulit kuning langsat tersebut. 'Duh! situasi ini begitu sulit.' desisnya dalam hati. "Kenapa Nayla diam?" "Nayla nggak mau menyusahkan Mas Arif. Itu saja." Hatinya begitu sukar untuk menjelaskan semuanya. 'Kau suami orang, Arif' bisik hatinya. Arif melenguh, "Kamu tidak menyusahkan Mas Arif,
Di suatu sore, di sebuah kawasan perumahan mewah di Bukit Kendal Asri suasana nampak tenang dan nyaman. Dari balkon rumah Pak Abdi pemandangan sungguh nampak elok, dimana Gunung Ungaran, Gunung Merapi, Gunung Merbabu dan Gunung Andong terpapar dengan jelas. Nando yang sedang menghadap kopi panas dan kue coklat kesukaannya tengah berbincang dengan Ibu dan Ayahnya. Di sekitar tempatnya duduk terdapat susunan pot yang berisi bunga matahari. Nando tersenyum, 'biarpun aku tak disini selama empat tahun namun bunga ini tetap mekar. Ah! bunga kenangan yang mempesona. Nayla, bunga ini ibarat dirimu, walaupun tidak dalam jangkauan mata namun tetap ada dalam ingatan'. Kopi yang terletak dihadapan pun ia raih lalu perlahan ia hirup sambil melanjutkan gumaman nya dalam hati. 'Nayla, ini semua kesalahanku.' "Nando, kamu setuju atau tidak dengan tawaran Ayah untuk bekerja di perusahaan teman Ayah? Kalau setuju, nanti kita ngobrol bareng beliau," suara ayahnya memecah keheningan. Nando hany
"Bagaimana dengan Tari, apa kamu sudah berteman dengan dia? Gimana orangya, baikkah?" Tanya Ibu Nando dengan nada menyelidik. Nando terpaku. Ya, Tari memang gadis yang baik, juga cantik. Tapi entahlah, Nando pun bingung untuk mendeskripsikan pandangannya. Tari adalah juniornya ketika dia melanjutkan studi di Australia, keluarga Nando berharap supaya Tari bisa menjadi menantu mereka dengan menjodohkan Nando dengan Tari. Hal yang sama juga berlaku untuk Tari, yang juga dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan Nando. Namun Nando merasa seperti ada yang tidak pas antara dia dengan Tari. Nando merasa bahwa Tari bukan untuknya. Seingatnya, hanya dua kali ia mengajak Tari keluar untuk makan bersama. Pertama, ketika hari ulang tahun Tari. Dan yang kedua saat gadis itu lulus SMA. Setelah itu, keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Hanya, kadang-kadang ketika Tari menghadapi masalah Nando akan membantu. Nando sendiri hanya menganggap dirinya sebagai Kakak untuk Tari. Tidak pernah ada ni
Berhenti kerja?? Gila!! Kemana lagi mau cari kerja di kota Semarang ini? Persaingan bukannya mudah. Tapi, aku kan ada ijazah. Keadaan ku juga tak begitu mendesak, Nayla bermonolog pada dirinya sendiri. Memang cuma aku saja yang punya ijazah, yang lain nggak punya, gitu? Dia menjatuhkan diri ke kursi, pikirannya sungguh kacau. Aduh! Rasanya ingin ia keluarkan semua beban yang memenuhi kepalanya. Dia tersandar di kursi, matanya tertancap pada layar komputer yang kaku didepannya. Diusapnya layar yang telah menemani dirinya sejak dua tahun lalu. Kemudian dia membuang pandangannya ke arah rekan-rekan kerjanya yang lain. Mereka juga sama seperti dirinya, murung dan nampak frustasi. Ya, siapapun pasti akan risau jika dalam keadaan seperti ini, Tahun baru tinggal menghitung hari dan kabar yang datang justru pemberhentian kerja dengan terpaksa. Gaji Nayla bulan ini pun sudah lewat bagai angin di bulan Agustus, sepoi namun cukup untuk membuatmu masuk angin. Sehingga, mau tak
Nayla melangkah dengan hampa. Didalam tubuhnya seakan tertinggal satu rongga kosong yang tak terjamah. Kadang kala bila ia rasakan dapat membuatnya tumbang lalu merebah. Baju gamis hijau yang ia kenakan dibuai angin sore itu. Ketika dia menyusuri jalan di tepi sungai yang berdekatan dengan sebuah Masjid. Dia kemudian memandang ke arah yang berlawanan, sebuah toko atau lebih tepatnya gerai makanan yang sesak oleh pelanggan. Seketika itu ia sadar kalau perutnya belum terjamah oleh apapun sejak malam tadi. Dia kehilangan selera makannya. Dia meneruskan langkahnya sambil memeluk erat tas punggungnya. Beberapa ekor merpati nampak turun memungut sisa makanan kecil yang berurai di jalanan. Ketika melewati mereka, Nayla tersenyum pahit. Ia sudah menghubungi beberapa kantor penerbit dan media lokal untuk mencoba peruntungannya mencari pekerjaan, namun semuanya terasa percuma. "Maaf, kami sedang tidak membuka lowongan pekerjaan". Jawaban seragam yang ia dapat dari beberapa perusahaan.
Banyak orang berlalu lalang dibawah sana, beragam gelagat bisa dilihat dan diperhatikan. Kebanyakan, remaja yang tengah asyik nongkrong. Dahulu, itu adalah bahan yang menjadi bahan tulisannya. Tapi sekarang? Dia menghela nafas, cukup dalam. 'Aku nggak boleh kalah, tidak untuk saat ini. Aku harus menang dalam perjuangan kali ini', batinnya lirih. Lalu disesapnya es tebu dihadapannya. "Makanlah Nay, kau ini makhluk hidup. Buat dirimu berharga". Luah Rena sambil memasukkan ayam goreng ke dalam mulutnya yang dihiasi lipstik berwarna merah jambu. Sejak dulu, Luna's cafe menjadi tempat favorit mereka sejak masih kuliah. Selain harga makanan yang ditawarkan relatif terjangkau, suasana disana sungguh mampu membuatnya lupa dengan segala keletihan hidup yang ia alami. "Kau dan Anita makan saja dulu, aku...aku tak lapar", ujar Nayla berdalih. Dia lebih suka melihat para remaja yang sedang berlalu lalang. 'Ah! mereka tak punya masalah seperti aku', dia tersenyum pahit. 'Masa sih, manusia ng
"Dia cemburu tandanya dia sayang, aku tidak menyalahkan dia", luah Nayla lagi. Sementara Zaid tersandar di kursi. Dia mendapati dirinya benar-benar hampa. Tapi, api kemarahan antara Zaid dengan Nando tak pernah benar-benar sampai pada klimaksnya. Fakta bahwa segalanya telah usai, meskipun ada beberapa teman yang mengatakan bahwa Zaid dan Nando tidak boleh bertatap muka secara langsung masih tetap membuat Nayla cemas. Ia khawatir jika suatu saat akan ada perkelahian yang disebabkan oleh dirinya. Dua hari setelah itu, Nayla terpeleset karena menuruni bukit. Zaid yang kebetulan sedang mengobrol dengan teman-temannya memapah Nayla bangun, kemudian memijat pegelangan kaki Nayla. Wajah Nayla meringis menahan sakit. Tanpa sadar, Nando lewat disitu dengan sepeda motornya. Dengan tergesa-gesa, ia turun dari motor. Mukanya mulai memerah. Zaid sudah keterlaluan! hajar dia! "Hei, Zaid! sudah berapa kali aku katakan, jangan ganggu Nayla." Zaid terkekeh mendengar ucapan Nando. Dia tak mempedulika
"Bagaimana dengan Tari, apa kamu sudah berteman dengan dia? Gimana orangya, baikkah?" Tanya Ibu Nando dengan nada menyelidik. Nando terpaku. Ya, Tari memang gadis yang baik, juga cantik. Tapi entahlah, Nando pun bingung untuk mendeskripsikan pandangannya. Tari adalah juniornya ketika dia melanjutkan studi di Australia, keluarga Nando berharap supaya Tari bisa menjadi menantu mereka dengan menjodohkan Nando dengan Tari. Hal yang sama juga berlaku untuk Tari, yang juga dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan Nando. Namun Nando merasa seperti ada yang tidak pas antara dia dengan Tari. Nando merasa bahwa Tari bukan untuknya. Seingatnya, hanya dua kali ia mengajak Tari keluar untuk makan bersama. Pertama, ketika hari ulang tahun Tari. Dan yang kedua saat gadis itu lulus SMA. Setelah itu, keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Hanya, kadang-kadang ketika Tari menghadapi masalah Nando akan membantu. Nando sendiri hanya menganggap dirinya sebagai Kakak untuk Tari. Tidak pernah ada ni
Di suatu sore, di sebuah kawasan perumahan mewah di Bukit Kendal Asri suasana nampak tenang dan nyaman. Dari balkon rumah Pak Abdi pemandangan sungguh nampak elok, dimana Gunung Ungaran, Gunung Merapi, Gunung Merbabu dan Gunung Andong terpapar dengan jelas. Nando yang sedang menghadap kopi panas dan kue coklat kesukaannya tengah berbincang dengan Ibu dan Ayahnya. Di sekitar tempatnya duduk terdapat susunan pot yang berisi bunga matahari. Nando tersenyum, 'biarpun aku tak disini selama empat tahun namun bunga ini tetap mekar. Ah! bunga kenangan yang mempesona. Nayla, bunga ini ibarat dirimu, walaupun tidak dalam jangkauan mata namun tetap ada dalam ingatan'. Kopi yang terletak dihadapan pun ia raih lalu perlahan ia hirup sambil melanjutkan gumaman nya dalam hati. 'Nayla, ini semua kesalahanku.' "Nando, kamu setuju atau tidak dengan tawaran Ayah untuk bekerja di perusahaan teman Ayah? Kalau setuju, nanti kita ngobrol bareng beliau," suara ayahnya memecah keheningan. Nando hany
"Nayla, kamu baik-baik saja?" tanya Arif setelah dilihatnya Nayla hanya diam membatu. Nayla menoleh ke Arif dengan lemah. Arif tahu, sinar matanya tak seceria dulu. "Nayla baik-baik saja kok Mas." Nayla mencoba melempar sebuah senyuman, walaupun ia tahu itu hanya senyum palsu. Arif yang mengenakan kemeja berwarna merah hati tersebut menunduk kemudian mearaih tas kulit yang diletakkannya di kursi yang ada disebelahnya. Ketika itu, seorang pramusaji kembali datang mengantarkan minum yang dipesan oleh Nayla. "Mas Arif tahu masalah Nayla dari Fifi, kenapa Nayla gak cerita sih?" Nayla menatap Arif dalam-dalam. Alunan musik tak lagi ia perhatikan. Dia seolah ingin mencari jawaban dalam diri lelaki berkulit kuning langsat tersebut. 'Duh! situasi ini begitu sulit.' desisnya dalam hati. "Kenapa Nayla diam?" "Nayla nggak mau menyusahkan Mas Arif. Itu saja." Hatinya begitu sukar untuk menjelaskan semuanya. 'Kau suami orang, Arif' bisik hatinya. Arif melenguh, "Kamu tidak menyusahkan Mas Arif,
"Terus siapa dong, Iqbal? Dia itu ganteng banget lho!" "Buat apa ganteng kalau lebih pendek dari aku." Kali ini Nayla dan Fifi kompak untuk tertawa. Lucu rasanya, ketika mengenang sosok Iqbal. Lelaki yang lebih muda dan lebih pendek dari Nayla namun tetap coba memikat hati Nayla. Sebenarnya dia lelaki yang cukup menarik, dia tampan, kulitnya kuning langsat. Dia juga termasuk mahasiswa yang populer di kampus. Karena dia sosok yang aktif dengan organisasi pecinta alam. Seringkali ia melakukan kegiatan diluar ruangan. Yang paling sering adalah mendaki gunung. Karena alasan tersebutlah dia populer dikalangan mahasiswa yang lain. Hanya saja, dia memiliki tubuh yang pendek yang membuatnya tampak tak begitu menarik dimata Nayla. Pada akhirnya, dia harus menarik diri ketika Nando memberikan sedikit gertakan. "Halah Nay...aku tahu kau mencoba untuk menunggu Nando. Pria tampan idaman kaum hawa. Kenapa kamu masih mau menunggunya sih?" Mobil kembali melaju. "Aku antar sampai depan hotel
Fifi mengemudikan mobilnya dengan hati-hati, apalagi dengan kondisinya yang tengah hamil seperti ini. Tak cukup keberanian untuk melajukan mobilnya dengan cepat. Nayla yang di sepanjang perjalanan membiarkan dirinya terdiam, hanya mendengarkan musik dari radio yang diputar didalam mobil itu. Pikirannya menerawang jauh entah kemana. Sesekali Fifi menoleh ke arah Nayla. Dia cukup bersimpati atas kondisi yang dialami sahabat baiknya tersebut. Dia tahu betul kisah hidup Nayla yang telah banyak menanggung penderitaan dan telah banyak berubah sekarang. Tubuhnya kian susut, wajahnya nampak pucat. Hanya senyumnya yang masih tetap sama seperti dahulu. Senyum yang membuat dua jagoan kampus memperebutkannya hingga terjadi baku hantam diantara mereka. Fifi tersenyum ketika mengenang hal itu. 'Ah! Nando dan Zaid sama-sama keras kepala. Tak seorang pun diantara mereka berdua yang sudi mengalah. Pada akhirnya, Nayla juga yang harus menanggung luka. Kasihan dia. Sejak hubungannya dengan Nan
"Dia cemburu tandanya dia sayang, aku tidak menyalahkan dia", luah Nayla lagi. Sementara Zaid tersandar di kursi. Dia mendapati dirinya benar-benar hampa. Tapi, api kemarahan antara Zaid dengan Nando tak pernah benar-benar sampai pada klimaksnya. Fakta bahwa segalanya telah usai, meskipun ada beberapa teman yang mengatakan bahwa Zaid dan Nando tidak boleh bertatap muka secara langsung masih tetap membuat Nayla cemas. Ia khawatir jika suatu saat akan ada perkelahian yang disebabkan oleh dirinya. Dua hari setelah itu, Nayla terpeleset karena menuruni bukit. Zaid yang kebetulan sedang mengobrol dengan teman-temannya memapah Nayla bangun, kemudian memijat pegelangan kaki Nayla. Wajah Nayla meringis menahan sakit. Tanpa sadar, Nando lewat disitu dengan sepeda motornya. Dengan tergesa-gesa, ia turun dari motor. Mukanya mulai memerah. Zaid sudah keterlaluan! hajar dia! "Hei, Zaid! sudah berapa kali aku katakan, jangan ganggu Nayla." Zaid terkekeh mendengar ucapan Nando. Dia tak mempedulika
Banyak orang berlalu lalang dibawah sana, beragam gelagat bisa dilihat dan diperhatikan. Kebanyakan, remaja yang tengah asyik nongkrong. Dahulu, itu adalah bahan yang menjadi bahan tulisannya. Tapi sekarang? Dia menghela nafas, cukup dalam. 'Aku nggak boleh kalah, tidak untuk saat ini. Aku harus menang dalam perjuangan kali ini', batinnya lirih. Lalu disesapnya es tebu dihadapannya. "Makanlah Nay, kau ini makhluk hidup. Buat dirimu berharga". Luah Rena sambil memasukkan ayam goreng ke dalam mulutnya yang dihiasi lipstik berwarna merah jambu. Sejak dulu, Luna's cafe menjadi tempat favorit mereka sejak masih kuliah. Selain harga makanan yang ditawarkan relatif terjangkau, suasana disana sungguh mampu membuatnya lupa dengan segala keletihan hidup yang ia alami. "Kau dan Anita makan saja dulu, aku...aku tak lapar", ujar Nayla berdalih. Dia lebih suka melihat para remaja yang sedang berlalu lalang. 'Ah! mereka tak punya masalah seperti aku', dia tersenyum pahit. 'Masa sih, manusia ng
Nayla melangkah dengan hampa. Didalam tubuhnya seakan tertinggal satu rongga kosong yang tak terjamah. Kadang kala bila ia rasakan dapat membuatnya tumbang lalu merebah. Baju gamis hijau yang ia kenakan dibuai angin sore itu. Ketika dia menyusuri jalan di tepi sungai yang berdekatan dengan sebuah Masjid. Dia kemudian memandang ke arah yang berlawanan, sebuah toko atau lebih tepatnya gerai makanan yang sesak oleh pelanggan. Seketika itu ia sadar kalau perutnya belum terjamah oleh apapun sejak malam tadi. Dia kehilangan selera makannya. Dia meneruskan langkahnya sambil memeluk erat tas punggungnya. Beberapa ekor merpati nampak turun memungut sisa makanan kecil yang berurai di jalanan. Ketika melewati mereka, Nayla tersenyum pahit. Ia sudah menghubungi beberapa kantor penerbit dan media lokal untuk mencoba peruntungannya mencari pekerjaan, namun semuanya terasa percuma. "Maaf, kami sedang tidak membuka lowongan pekerjaan". Jawaban seragam yang ia dapat dari beberapa perusahaan.
Berhenti kerja?? Gila!! Kemana lagi mau cari kerja di kota Semarang ini? Persaingan bukannya mudah. Tapi, aku kan ada ijazah. Keadaan ku juga tak begitu mendesak, Nayla bermonolog pada dirinya sendiri. Memang cuma aku saja yang punya ijazah, yang lain nggak punya, gitu? Dia menjatuhkan diri ke kursi, pikirannya sungguh kacau. Aduh! Rasanya ingin ia keluarkan semua beban yang memenuhi kepalanya. Dia tersandar di kursi, matanya tertancap pada layar komputer yang kaku didepannya. Diusapnya layar yang telah menemani dirinya sejak dua tahun lalu. Kemudian dia membuang pandangannya ke arah rekan-rekan kerjanya yang lain. Mereka juga sama seperti dirinya, murung dan nampak frustasi. Ya, siapapun pasti akan risau jika dalam keadaan seperti ini, Tahun baru tinggal menghitung hari dan kabar yang datang justru pemberhentian kerja dengan terpaksa. Gaji Nayla bulan ini pun sudah lewat bagai angin di bulan Agustus, sepoi namun cukup untuk membuatmu masuk angin. Sehingga, mau tak