Setelah selesai aku segera keluar, diapit oleh Andina dan Cellin, semua mata tertujukepadaku, aku menunduk malu, wajahku menghangat, seakan aku tak berpijak di bumi lagi.
Aku segera duduk bersama yang lain, sedangkan Pak Damar duduk bersama keluarganya.Seorang kerabat dari Pak Damar segera berdiri, dan mengutarakan maksud kedatangan mereka untuk melamarku.Setelah itu Mas Farid berdiri, dan menyampaikan sepatah dua patah sebagai kerabatku. Mas Farid juga menceritakan sedikit tentang kisahku yang sejak kecil sudah ditinggal oleh ayah, berjuang bersama ibu hingga bisa menamatkan kuliah.sampai akhirnya ibu juga ikut menyusul ayah, sehingga aku tinggal sebatang kara di dunia ini. Semua yang hadir merasa terharu mendengar kisahku, hanya Bu Widyalah yang kelihatan tak suka.Aku sengaja menyuruh Mas Farid, agar mereka tau latar belakangku, agar mereka taknmerasa dibohongi.Kemudian Bu Widya menyarungkan cincin ke jari manisku, aku takAku duduk di beranda rumah menikmati udara sore sambil menyeruput teh hangat, hujan sore ini membuat udara sedikit sejuk.Biasanya sore-sore begini ada ibu yang menemaniku sambil berbincang-bincang ringan, tapi kini yang ada hanya kesepian.Hari berlalu, hari pernikahanku semakin dekat, aku tak menyangka bahwa aku akan menerima lamaran dari pak Damar bosku sendiri, semua begitu cepat, perasaanku bercampur aduk menjadi menjadi satu.Aku tak tau sebesar apa rasa sayangnya kepadaku, hingga dia menyanggupi syaratku menghafal surat Ar-Rahman selama satu minggu, kurasa tak akan sulit baginya ia memiliki otak di atas rata-rata.Poselku berdering, ada panggilan dari Gendhis, setelah mengucap salam.[“Nis, bagaimana kabarmu?” tanya Gendhis.][“Alhamdulillah, aku baik-baik saja, ada apa, Ndis?”][“Semua persiapan untuk akad dan resepsi sudah selesai, semua di urus secara dadakan dan alhamdulillahnya g
“Pengantin wanita, silahkan duduk disini,” ucap penghulu menyuruhku untuk duduk disamping Pak Damar.Aku melihat ke arah Cellin dan Andina, mereka menganggukkan kepalanya memberi isyarat agar aku segera beranjak. Entah kenapa rasa gugup menyelimutiku, tanganku semakin dingin, aku segera berdiri digandeng oleh Andina dan Cellin.Semua mata tertuju kepadaku, aku berjalan pelan ke arah Pak Damar sambil menundukkan kepalaku. Aku segera duduk di samping Pak Damar yang sekarang sudah sah menjadi suamiku.“Alhamdulillah sekarang kalian berdua sudah sah menjadi suami istri,” ucap penghulu. Aku segera meraih tangan Pak Damar dan menciumnya dengan ta’zim, untuk pertama kalinya aku menyentuh seorang pria yang bergelar suami. Ada rasa yang aneh menjalar di dadaku.Kemudian Pak Damar mengecup keningku pelan, rasanya aku ragaku tak berada lagi di bumi ini, wajahku menghangat menahan rasa malu dan gugup.Semua yang hadir besorak
“Mar, sekarang dia istri kamu, bukan sekretaris kamu, perlakukan dia dengan baik,” ucap Pak Danu menasehati. Pak Damar mengangguk. Gendhis tertawa cekikikan di dekat mobilnya sedangkan Bu Widya tersenyum kecut.Pak Damar segera masuk ke mobil dan duduk disebelahku, aku tak menggeser dudukku seperti biasanya, sekarang sudah sah sudah boleh dong duduk dekat-dekatan.Sepanjang perjalanan tak ada kata yang terucap, Pak Damar hanya diam, dan aku pun tak berani membuka percakapan.Ketika hendak turun dari mobil, Pak Damar membukakan pintu mobil dan memegang tanganku, dengan gaun pengantin yang menjuntai membuatku agak kerepotan berjalan ditambah sepatu high heels yang tak biasa kupakai.Kamar Pak Damar berada di lantai dua, aku harus membuka heels-ku agar tak terjatuh, pikirku, entah kenapa sepatu ini sangat susah dibuka, Pak Damar menoleh ke arahku yang kerepotan membuka heels-ku.Ia berjongkok dan meletakkan tanganku
“Kamu makin cantik kalau malu-malu seperti itu,” ucapnya lagi.Ya Allah, wajahku semakin memanas, rasanya aku ingin keluar saja dari kamar ini, atau aku tutup saja wajahku dengan bantal. Sungguh aku malu pada suamiku sendiri.“Nisa, mendekatlah,” ucap suamiku.Ada apa ini? Aku beringsut dari dudukku mendekati Pak Damar, ia mendekatkan tubuhnya padaku, apa yang ia lakukan? Apa secepat ini, bahkan kita belum shalat isya? Tubuhku gemetaran gugup luar biasa.“Pak, apakah kita --- emm? Kita kan belum shalat isya, Pak?” ucapku gugup.Ia memegang ubun-ubunku dengan tangan kanannya. Kemudian ia berucap, “Aku lupa membaca do’a setelah akad tadi.”“Allahumma baarikli fi ahli wa baarik li-ahli fiyya warzuqhum minni warzuqniy minhum : Ya Allah ya Tuhan, berkahilah aku dalam permasalahan keluargaku, berkahilah keluargaku dalam permasalahan ku, berilah keluargaku (istri dan keturunan) rezeki dariku, dan berilah aku rezeki dari mereka.”
Ia terus tertawa, tak sengaja aku menatapnya tertawa, baru kali ini aku melihatnya tertawa lepas begitu, sungguh aku terpesona.“Kok tertawa? Aku serius, kenapa dia datang lagi?” aku mengulang pertanyaanku.Pak Damar menghentikan tawanya, kemudian berucap, “ternyata seorang Annisa Nur Cahya bisa cemburu juga ya.”Ia menjawil pipiku pelan. Aku tertunduk malu, kemudian ku tegakkan lagi wajahku menghadap Pak Damar.“Aku tidak bilang kalau aku cemburu, aku cuma bertanya kenapa dia harus datang lagi,” jelasku.“Sikapmu menunjukkan kalau kamu sedang cemburu kepadaku.” Ia tertawa senang.Aku manyun, lalu ia berucap, “ oke, oke, aku tak tau apa maksud Clarissa datang ke pernikahan kita, aku juga tidak mengundangnya, yang jelas aku tidak tertarik lagi kepadanya,” ucap Pak Damar menjelaskan.“Baiklah, aku percaya, tapi yang jelas aku tidak cemburu,” ucapku membela diri.“Ya sudah, k
Setelah shalat aku segera mandi dan berganti pakaian dengan yang lebih sopan dan tertutup, aku hendak keluar kamar, menuju dapur, untuk mempersiapkan sarapan pagi, seperti yang biasa kulakukan di rumah.“Nisa, hendak kemana pagi-pagi begini,” tanya Pak Damar yang baru saja keluar dari kamar mandi.Aku menoleh ke belakang dan menjawab, “Aku mau membuat sarapan pagi, Mas.”Pak Damar mendekatiku seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk.“Annisa, kamu gak usah repot-repot membuatkan sarapan, ada Bik Jum.”“Duduklah disini, temani aku, nanti kalau sarapan sudah siap kita turun ke bawah,” sambung Pak Damar lagi.Aku kembali duduk di tempat tidur seraya mengecek ponselku.“Kamu masih menggunakan ponsel itu?” tanya Pak Damar.“Iya, aku masih menggunakannya,” jawabku.Kemudian ia bangun dari duduknya dan membuka lemari dan mengambil paper bag kecil putih dan memberikannya ke
Kumandang azan membangunkan aku, aku membuka mataku, Mas Damar masih terlelap di alam mimpinya, aku menatap wajahnya lama, menikmati setiap lekukan di wajahnya seraya tersenyum.Benar kata orang-orang suamiku ini begitu tampan dan rupawan, berbanding terbalik dengan sikapnya yang dingin waktu itu, aku tidak menyangka aku bisa memilikinya.Tiba-tiba Mas Damar membuka matanya. “Selamat pagi istriku,” ucapnya mesra, rasanya aku menjadi wanita yang paling bahagia di dunia.“Assalamualaikum, selamat pagi juga suamiku,” sambutku.“Wa’alaikumsalam, kok kamu gak bangunin aku?” ucapnya lagi.“Aku juga baru bangun kok." "Tadi kamu mandangin aku ya?" tanya Pak Damar. Aku segera bangun. "Tidak kok, aku tidak menatap, Mas, aku kan sudah bilang aku baru saja bangun," ucapku berdalih.Pak Damar bangun dan menatapku yang sedang salah tingkah, " Tapi aku merasakan kamu merasakan kalau kamu sedang menatapku tadi.""Aduh kok Mas
Malam ini aku mengemas bajuku dan Pak Damar, esok kami akan berangkat ke Italia, bulan madu katanya.“Mas, rasanya aku udah gak sabar, ingin ke Italia, seumur-umur baru kali ini aku terbang ke luar Negeri,” ucapku seraya memasukkan pakaian dan keperluan lainnya ke dalam koper.“Iya dong, aku harus membahagiakan istriku, supaya rezekiku juga melimpah,” ucapnya.“Oh iya, Nis, setelah kita pulang dari Italia, kita segera pindah ke rumahku saja bagaimana? Biar kita mandiri, lagipula sikap Mama tidak terlalu ramah kepadamu, aku merasa tidak enak,” lanjut Mas Damar lagi.“Tidak apa-apa Mas, namanya juga orang tua, walau bagaimanapun, aku tetap menghormatinya dan menganggapnya seperti Ibuku sendiri,” ucapku.“Apa tidak masalah kalau kita pindah secepat itu? Rasanya biarlah kita tinggaldisini dulu, tak kenal makanya tak sayang, siapa tau setelah sama-sama saling mengenal Mama bisa menerimaku,” lanjutku lagi.“Kamu baik sekali,
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis