Aku segera memeluk Gendhis, “Maafkan aku ya, aku terlalu terbawa emosi tadi, oke, kamu boleh mendandaniku, tapi jangan berlebihan,” ucapku manja pada Gendhis.
“Siap, Kakak ipar,” Gendhis tertawa bahagia.Aku segera memakai gamis cantik berwarna mocca berpadu hitam, yang dibawa Gendhis, dipadukan dengan jilbab lebar berwarna soft mocca, Gendhis merias wajahku tipis-tipis.“Udah Ndis, jangan tebal-tebal gitu bedaknya, kelihatan kayak topeng monyet mukaku,” ketika Gendhis mulai memakaikan bedak di wajahku.“Kamu diem aja, Nis, aku tau, tanganmu jangan reseh deh.” ucapnya kesal seraya menampik tanganku yang hendak menyentuh bagian mataku.“Coba bibirnya jangan monyong gitu, biasa aja, susah aku makekinnya,” ujar Gendhis menggerutu, aku gak pernah make up jadi agak risih kalau pakai lipstik.“Warna apa lipstiknya? Merah cabe ya?” tanyaku lagi gundah.“Bukan, udah, nanti kamu liat aja hasilnyPOV DamarTernyata inilah jawaban dari kegelisahanku selama ini, tapi aku terlalu gengsi untuk mengakuinya, aku benar-benar menyukai Annisa, ternyata aku bukan mengaguminya karena dia wanita yang bisa menjaga diri, karena prilakunya yang lemah lembut, taat pada Tuhannya dan sayang pada orangtuanya, tapi aku benar-benar telah jatuh hati kepadanya.Ketika ia datang ke rumahku bersama Gendhis, ia terlihat sangat cantik rasanya mata ini tak ingin lepas memandangnya, mata indahnya, bibirnya yang mungil, hidungnya yang bangir, dan lesung pipi yang membuat wajahnya tak pernah bosan untuk dipandang. Sebagai seorang lelaki normal rasanya aku segera ingin menghalalkannya.Rencananya hari ini aku akan memberitahu Lukman, bahwa aku akan melamar Annisa, sebaiknya malam ini aku segera bertemu dengannya agar tak terjadi kesalah pahaman.Aku dan Lukman duduk di sebuah Cafe bergaya modern seraya minum kopi dan cemilan.“Man, aku ngajak
POV Annisa“Kok tiba-tiba Nis, kamu gak diapa-apain, kan?” tanya Angga curiga“Astaghfirullah, kenapa jadi heboh begini, gimana aku mau menjawab, kalau kalian nanyak terus!” ucapku agak keras.“Ya udah, kalian diam diong, biar Annisa kasih klarifikasi,” Raka menengahi.Aku menghela nafas, dikerumuni begini membuat aku sesak saja, apa lagi dihujani pertanyaan-pertanyaan seperti itu sudah seperti selebritis aja, sungguh aku malu.“Hei, hei, kalian apa-apaan begini, kalo Pak Damar liat kalian gangguin calon istrinya bakal dipecat nanti!” ucap Pak Lukman yang tiba-tiba datang.“Cie, cie, calon istri,” celutuk seseorang.“Emang Bapak gak marah, Nisa ditikung Pak Damar? “ Cellin malah bertanya pada Pak Lukman.“Ya gak lah, Pak Damar ngelamar Nisa ketika Nisa sudah memberikan jawaban tidak pada lamaranku.” terangnya.“Pak Lukman, luar biasa, bisa berbesar hati menerima N
Sore nanti keluarga Pak Damar akan datang mengkhitbahku, dari pagi aku dibantu oleh Andina, Cellin, Lia, Ukhti Aisya, Mas Farid dan tetangga dekat lainya sibuk mempersiapkan tempat dan beberapa makanan dan minuman untuk jamuan, sebagian ada yang dipesan supaya lebih praktis.Kemarin aku mengundang beberapa tetangga dekat saja, hanya Bik Sartinah dan Teh Diah yang tetangga jauh karena mereka lumayan dekat denganku.Seperti kemarin aku datang ke rumah Bu Romlah, “Bu Romlah, besok datang ke rumah Nisa ya, bantu-bantu Nisa mempersiapkan jamuan untuk tamu,”“Emang lu bikin acara apa, Nisa? Pengajian untuk mendiang emak, lu?” tanya Bu Romlah.“Bukan Bu Romlah, ada yang mau datang ngelamar Nisa.”“Akhirnya lu laku juga, Nis, anak mane bakal calon laki, lu? Kang ojol, kang cendol, atau kang parkir?” tanyanya mengejek.“Orang biasa, Bu, kayak kita,” ucapku tak ingin memberitahu Bu Romlah, nanti dia tak percaya sehingga jadi panjang kali l
Setelah selesai aku segera keluar, diapit oleh Andina dan Cellin, semua mata tertujukepadaku, aku menunduk malu, wajahku menghangat, seakan aku tak berpijak di bumi lagi.Aku segera duduk bersama yang lain, sedangkan Pak Damar duduk bersama keluarganya.Seorang kerabat dari Pak Damar segera berdiri, dan mengutarakan maksud kedatangan mereka untuk melamarku.Setelah itu Mas Farid berdiri, dan menyampaikan sepatah dua patah sebagai kerabatku. Mas Farid juga menceritakan sedikit tentang kisahku yang sejak kecil sudah ditinggal oleh ayah, berjuang bersama ibu hingga bisa menamatkan kuliah.sampai akhirnya ibu juga ikut menyusul ayah, sehingga aku tinggal sebatang kara di dunia ini. Semua yang hadir merasa terharu mendengar kisahku, hanya Bu Widyalah yang kelihatan tak suka.Aku sengaja menyuruh Mas Farid, agar mereka tau latar belakangku, agar mereka taknmerasa dibohongi.Kemudian Bu Widya menyarungkan cincin ke jari manisku, aku tak
Aku duduk di beranda rumah menikmati udara sore sambil menyeruput teh hangat, hujan sore ini membuat udara sedikit sejuk.Biasanya sore-sore begini ada ibu yang menemaniku sambil berbincang-bincang ringan, tapi kini yang ada hanya kesepian.Hari berlalu, hari pernikahanku semakin dekat, aku tak menyangka bahwa aku akan menerima lamaran dari pak Damar bosku sendiri, semua begitu cepat, perasaanku bercampur aduk menjadi menjadi satu.Aku tak tau sebesar apa rasa sayangnya kepadaku, hingga dia menyanggupi syaratku menghafal surat Ar-Rahman selama satu minggu, kurasa tak akan sulit baginya ia memiliki otak di atas rata-rata.Poselku berdering, ada panggilan dari Gendhis, setelah mengucap salam.[“Nis, bagaimana kabarmu?” tanya Gendhis.][“Alhamdulillah, aku baik-baik saja, ada apa, Ndis?”][“Semua persiapan untuk akad dan resepsi sudah selesai, semua di urus secara dadakan dan alhamdulillahnya g
“Pengantin wanita, silahkan duduk disini,” ucap penghulu menyuruhku untuk duduk disamping Pak Damar.Aku melihat ke arah Cellin dan Andina, mereka menganggukkan kepalanya memberi isyarat agar aku segera beranjak. Entah kenapa rasa gugup menyelimutiku, tanganku semakin dingin, aku segera berdiri digandeng oleh Andina dan Cellin.Semua mata tertuju kepadaku, aku berjalan pelan ke arah Pak Damar sambil menundukkan kepalaku. Aku segera duduk di samping Pak Damar yang sekarang sudah sah menjadi suamiku.“Alhamdulillah sekarang kalian berdua sudah sah menjadi suami istri,” ucap penghulu. Aku segera meraih tangan Pak Damar dan menciumnya dengan ta’zim, untuk pertama kalinya aku menyentuh seorang pria yang bergelar suami. Ada rasa yang aneh menjalar di dadaku.Kemudian Pak Damar mengecup keningku pelan, rasanya aku ragaku tak berada lagi di bumi ini, wajahku menghangat menahan rasa malu dan gugup.Semua yang hadir besorak
“Mar, sekarang dia istri kamu, bukan sekretaris kamu, perlakukan dia dengan baik,” ucap Pak Danu menasehati. Pak Damar mengangguk. Gendhis tertawa cekikikan di dekat mobilnya sedangkan Bu Widya tersenyum kecut.Pak Damar segera masuk ke mobil dan duduk disebelahku, aku tak menggeser dudukku seperti biasanya, sekarang sudah sah sudah boleh dong duduk dekat-dekatan.Sepanjang perjalanan tak ada kata yang terucap, Pak Damar hanya diam, dan aku pun tak berani membuka percakapan.Ketika hendak turun dari mobil, Pak Damar membukakan pintu mobil dan memegang tanganku, dengan gaun pengantin yang menjuntai membuatku agak kerepotan berjalan ditambah sepatu high heels yang tak biasa kupakai.Kamar Pak Damar berada di lantai dua, aku harus membuka heels-ku agar tak terjatuh, pikirku, entah kenapa sepatu ini sangat susah dibuka, Pak Damar menoleh ke arahku yang kerepotan membuka heels-ku.Ia berjongkok dan meletakkan tanganku
“Kamu makin cantik kalau malu-malu seperti itu,” ucapnya lagi.Ya Allah, wajahku semakin memanas, rasanya aku ingin keluar saja dari kamar ini, atau aku tutup saja wajahku dengan bantal. Sungguh aku malu pada suamiku sendiri.“Nisa, mendekatlah,” ucap suamiku.Ada apa ini? Aku beringsut dari dudukku mendekati Pak Damar, ia mendekatkan tubuhnya padaku, apa yang ia lakukan? Apa secepat ini, bahkan kita belum shalat isya? Tubuhku gemetaran gugup luar biasa.“Pak, apakah kita --- emm? Kita kan belum shalat isya, Pak?” ucapku gugup.Ia memegang ubun-ubunku dengan tangan kanannya. Kemudian ia berucap, “Aku lupa membaca do’a setelah akad tadi.”“Allahumma baarikli fi ahli wa baarik li-ahli fiyya warzuqhum minni warzuqniy minhum : Ya Allah ya Tuhan, berkahilah aku dalam permasalahan keluargaku, berkahilah keluargaku dalam permasalahan ku, berilah keluargaku (istri dan keturunan) rezeki dariku, dan berilah aku rezeki dari mereka.”
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis