Langit senja ini mulai menghitam, sepertinya hujan akan membasahi bumi malam ini. Azan magrib terdengar berkumandang memanggil umat-Nya untuk melaksanakan kewajiban.
Aku segera berwudhu, katanya Ibu ingin shalat berjamaah bersamaku, aku membantunya berwudhu kemudian kami shalat berjamaah bersama dengan khusyu'.Kondisi Ibu tampak semakin lemah, walaupun begitu Ibu tak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim.Entah kenapa perasaanku tak tenang malam ini, setelah shalat magrib kuambil mushaf, aku tenggelam sejenak dengan bacaan ayat-ayat-Nya yang menenangkan jiwa yang sedang kalut ini.“Nduk ... sudah azan isya, bantu Ibu berwudhu, Ibu mau istirahat cepat malam ini.”“Baik Bu.”Aku segera membantu Ibu berwudhu, kemudian shalat isya.“Ibu shalatnya sambil duduk aja, Nis, kok Ibu gak kuat berdiri.”“Iya Bu, seberapa mampunya Ibu aja, agama kita tidak memberatkaKu raih kembali lengan Ibu, dan merasakan denyut nadi di pergelangan tangannya, benar, aku tak merasakannya.“Inna ilaihi wa innailaihi Raji’un.” Kuusap wajah Ibuku, kuciumi pipinya.Allah ... Ibu benar-benar sudah berpulang, semalam Ibu ingin melihat aku segera menikah, semalam Ibu masih shalat berjamaah bersamaku, semalam Ibu masih bisa tersenyum.Kini wajah tua itu sudah pucat dan kaku.“Ibuuu ... jangan tinggalin Nisa.“Air mata yang semula kutahan lolos juga bak berkejar-kejaran dari netraku.Ya Rabb ... ini mimpi, ini mimpi, aku berharap ini mimpi aku mencubit lenganku, tidak aku tak bermimpi ini nyata, Ibu sudah kembali kepada sang pencipta.Ibu telah meninggalkan aku sendirian di dunia ini tak ada lagi orang yang menguatkan dan meghiburku.Semoga Allah menerima segala amal ibadah Ibu. Amin!***Aku terpaku di depan pusara Ibu yang masih basah
Hari berlalu tak terasa sudah satu minggu semenjak kepergian ibu, rumah ini rasanya sepi sekali, biasanya ada ibu yang bisa di ajak bicara, masak bersama dan sarapan bersama.Kuedarkan pandang ke sekeliling rumah berharap bertemu bayangan ibu dan memeluknya. Tak terasa bulir bening itu jatuh lagi hangat terasa di pipiku. Ibu ... aku benar-benar rindu padamu.Hari ini aku diajak Gendhis ke pengajian di sebuah mesjid di kota ini. Selama ini Gendhis sudah rutin ikut pengajian kadang-kadang jika aku tak bekerja kami akan pergi bersama.Gendhis sudah menungguku di depan rumah.“Aku ngajak kamu biar gak terlalu larut dalam kesedihan Nis,” ucapnya setelah berada di mobil.“Ukhti Aisya yang memberitahuku bahwa ada pengajian di mesjid Taqwa, dan dia juga nanyak kamu kok gak pernah kelihatan ikut pengajian lagi, kubilang kamu sibuk banget akhir-akhir ini,” terang Gendhis seraya tetap fokus menyetir.Aku hanya menanggapi Gendhis dengan ters
Aku menceritakan semua awal pertemuan dengan Gendhis kepada Pak Danu.“Oh begitu.”Kami berbincang-bincang sejenak sambil menunggu Gendhis. Tak lama kemudian Gendhis datang sembari membawa jus jeruk dan cemilan. Ia meletakkannya di atas meja.“Pa, ini Annisa sahabat Gendhis.” Ia memperkenalkan aku pada kedua orang tuanya.“Iya, Papa udah kenal, Annisa kan sekretaris Damar, oh iya, Damar kemana, Ndis?”“Di kamarnya mungkin, Pa,” jawab Gendhis.“Ya udah, Papa istirahat dulu ya, kalian lanjutkan ngobrol-ngobrolnya,” ucap Pak Danu sembari tersenyum.“Baik Pa.”Kami mengobrol santai bersama Gendhis sambil makan cemilan yang sudah disediakan oleh Gendhis.“Oh iya, aku mau menyampaikan amanah dari ukhti Aisya kepadamu, hampir aja aku lupa Ndis.”“Amanah apa Nis?” tanya Gendhis sambil mengernyitkan dahinya penasaran.“Kakak sepup
POV. DamarAku masuk ke kamar dengan perasaan tak karuan, kuhempaskan bobot tubuhku di tempat tidur.Mengapa semua jadi begini, Mama memutuskan sebelah pihak dan aku tak bisa mengelaknya lagi.Aku mengacak rambutku kasar, Gendhis masuk ke kamarku tanpa mengucapkan salam.“Kak, kenapa Kakak seperti orang pasrah begitu, perusahaan besar dengan karyawan yang banyak bisa Kakak tangani, kenapa Mama tidak bisa,” ucap Gendhis.“Tolak pertunangan ini, Adelia itu bukan perempuan yang baik buat Kakak,” lanjutnya.“Sudah aku tolak Ndis, aku tak punya alasan lagi, Mama ingin aku membawakan calon istri ke hadapannya, itupun jika Mama setuju.” Ucapku sembari bangun dari tempat tidur.“Kak, sekarang aku mau nanyak serius kepada Kakak.” Ia memperbaiki duduknya.“Kakak jatuh hati pada Nisa bukan?”Aku tetap bergeming.“Kak, jawab aku? Kakak menaruh hati pada Nisa bukan?” Ia memperjelas lagi pertanyaannya.
POV. DamarPOV. DamarSuasana meriah dan mewah terlihat di sebuah gedung yang telah didekor sedemikian rupa untuk acara pertunanganku.Tampak para tamu sudah berdatangan, Mama hanya mengundang teman-teman dekatnya saja, begitu juga Adelia dan Mamanya. Hanya aku yang tak mengundang siapapun.Acara segera dimulai, dibuka oleh MC yang sudah berpengalaman. Mama terlihat bahagia di samping Papa, sedangkan Gendhis tak terlihat entah dimana.Di sudut sana ada Adelia dan kedua orang tuanya yang tersenyum lebar.“Mar, senyum dong, hargai teman-teman Mama yang telah hadir.” Mama menyikutku. Aku tersenyum seperti dipaksakan. Tak lama MC memanggil aku dan Adelia untuk bertukar cincin yang sudah dipersiapkan oleh Mama.Aku menyarungkan cincin di jari manis Adelia dengan ogah-ogahan, kemudian dia juga menyarungkan cincin kepadaku.Tepuk tangan bergemuruh seantero ruangan,
Ternyata pak Damar memang menyukai Adelia, kalau tidak suka mengapa dia menghadiri acara pertunangan itu. Berarti aku tidak salah, pak Damar memang tidak menaruh hati padaku, pasti dia akan memilih yang selevel dengan Clarissa juga.Semoga saja pak Damar bahagia dengan pilihannya. Kabar tentang pertunangan pak Damar dan Adelia tersebar di kantor, aku tak tau dari siapa yang jelas bukan dariku.Seperti pagi ini,“Nis,elu udah dengar belum pak Damar udah tunangan?” tanya Andina kepadaku.“Pak Damar tunangan sama Adelia, Nis, ternyata kecurigaan gue salah selama ini,” ujar Andina lagi.“Memangnya kecurigaan apa, Ndin?” tanyaku.“Gue curiga pak Damar menaruh hati sama lu, Nis, ternyata dia tetap mencari yang gak jauh-jauh dengan Clarissa,” ujar Andina menjelaskan.“Kok kamu bisa berpendapat pak Damar suka sama aku, Ndin?” tanyaku lagi.“Gue sama Cellin melihat gelagat yang tak biasa pada pak Damar, kalau dia sedang
POV.DAMAR“Kak, masih ada jalan untuk menolak perjodohan ini, kalau Kakak mau mengakui perasaan Kakak, Kakak terlalu gengsi untuk mengakuinya,”lanjutnya lagi.Aku bangun dan duduk sambil melihat sayu ke arah Gendhis, mengapa aku seperti dihantui oleh perasaanku sendiri, benar aku terlalu gengsi untuk mengungkapkan semua perasaanku sehingga pertunangan ini terjadi.“Kakak hanya tidak yakin saja dengan perasaan ini, apa mungkin Kakak menyukai Nisa, yang penampilannya berbanding terbalik dengan Clarissa,”“Apa Kakak pernah rindu ketika dia tak ada?” Gendhis bertanya.Aku mengingat-ingat,“ya, pernah,”“Apa Kakak cemburu ketika Lukman melamar Nisa?”“Ya.”aku tertunduk.“Apa Kakak tidak suka kalau Nisa mendapat perhatian dari orang lain?”“Ya.”“Apakah Kakak rela jika Nisa disakiti oleh orang lain?”“tidak.”Aku menggeleng.“Ya udah, Kakak memang sudah jatuh hati kepadanya, buk
Sudah beberapa hari ini pak Damar tidak terlihat ke kantor, entah apa yang sedang terjadi, Gendhis juga tak pernah mampir ke rumahku bahkan untuk sekedar meneleponku.Kabar pak Damar memutuskan hubungan pertunangan dengan Adelia juga menyebar dengan cepat, pak Lukman yang memberikan informasi itu, apa yang terjadi, baru saja beberapa hari bertunangan sudah putus, sangat aneh.Andina yang paling heboh, “Nisa, ada kabar baru lagi, pak Damar sudah putus dengan Adelia, wihh gue seneng banget,” ucapnya bersemangat.“Astaghfirullah Andina, kok kamu senang diatas penderitaan orang lain, kasian tau Adelia diputuskan secara sepihak begitu,” ujarku menasehati.“Ngapain sedih, dia kan juga pernah memaki elu waktu itu, karena perangainya yang gak baik makanya dia diputusin sama pak Damar,” ucapnya cuek.“Tapi jangan gitu juga dong Ndin, kasian juga pak Damarnya Ndin, gagal menikah kedua kalinya,” ucapku.“Iya, s
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis