Tak lama kemudian Bu Widya pulang dari salon, ia mendapati anak dan menantunya sedang mengobrol santai di ruang keluarga. Dirga dan Farra yang baru saja melihat Omanya pulang langsung berhamburan memeluk Bu Widya. “Oma!!” seru mereka berdua hampir bersamaan. “Oma dari mana?” tanya Dirga manja.“Oma dari salon sayang, emangnya kenapa? Kamu kangen sama Oma ya?” Bu Widya menggoda Dirga, Dirga mengangguk. “Farra juga kengen Oma!” “Oh semuanya kangen sama Oma, sini, sini, Oma cium satu-satu,” ucap Bu Widya, ia mengecup cucu-cucunya satu persatu. Kemudian Gendhis dan Farid menyalami Bu Widya dengan takzim, biasanya hari Minggu begini mereka akan berkumpul hanya sekedar untuk mengobrol atau makan bersama, tapi sayang Damar sedang tak berada di sini. Karena dia sedang di luar kota.“Bagaimana restoran kamu Ndis?” tanya Bu Widya setelah mereka duduk semua. Farra dan Dirga bermain bersama di dekat Telivisi. “Alhamdulillah, lancar Ma, hanya saja ada beberapa karyawan yang resign, jadi aku
“Oke Mas, gini ya, aku juga punya hak atas hartanya ayah, jika tahu seperti ini, waktu dulu, aku akan meminta Ayah untuk mewariskan perusahaan ini padaku,” ucap Fiza agak meninggi. “Maksud kamu apa berbicara seperti itu?” tanya Farid, emosinya agak terpancing saat Fiza berkata seperti itu. Padahal mereka tahu perusahaan keluarga ini hanya diwariskan pada anak laki-laki, walaupun Eyang Farid tidak suka sama Bu Watini, ia mengharapkan agar anak dari istri baru dari ayah Farid laki-laki. Tapi Allah menakdirkan Farid yang akan memimpin perusahaan itu, anak yang dibenci oleh Eyangnya. hanya Farid lah cucu laki-laki dari Eyang Farid, sehingga perusahaan itu jatuh ke tangan Farid tanpa Farid minta.“Yah, aku tahu Mas Farid cucu yang tidak diinginkan oleh Eyang, seharusnya aku yang memimpin perusahaan itu, Mas Fadhlan juga bisa, dia kan kuliah juga waktu itu,” beber Fiza. Fadhlan hanya mengangguk-angguk membenarkan istrinya. Sesungguhnya Farid tahu, Fadhlan yang mempengaruhi istrinya, semu
Rintik hujan di luar rumah, membuat udara menjadi dingin, Surendra melayangkan pandangannya, teringat bayi yang baru dilahirkan oleh istrinya ia ambil paksa dan ia menukarnya dengan bayi lain. Ia kembali menyesap rokoknya dalam.“Yah, aku rindu, tapi mungkin kini dia hidup bahagia, anak kita sudah jadi orang kaya, mungkin kelak jika dia sudah jadi pewaris, dia akan mengangkat kita orang tua kandungnya dari kemiskinan,” ucap Surendra. Tak bisa dipungkiri ia juga merindukan darah dagingnya.“Yah, semoga saja Bang, jika kau rindu mengapa kau tak mau menjenguknya? Mungkin sekarang dia sudah jadi anak yang tampan.”“Ada, aku pernah melihatnya dari jauh saat itu, tapi tidak terlalu jelas terlihat, karena diusir oleh satpam rumah besar itu,” ucap Surendra. Ia melemparkan kacang goreng ke mulutnya. Ternyata suaminya ini juga rindu pada bayinya dan ia sering mengunjungi anak itu secara diam-diam, Rania tersenyum dan kembali berucap.“Bagaimana rupa anak kita Bang dua mirip siapa?” tanya Rani
Raka menghentikan belajarnya dan ia mempertajam pendengarannya. Terdengar suara Kanaya yang tidak mau memberikan uang untuk SPP Raka. Kemudian Raka bangun dari duduknya maksud hati ingin mengatakan pada Rania agar tidak usah meminjam uang pada Kanaya, ia tahu Kanaya keberatan akan hal itu. “Dia kan bukan adikku Bu, untuk apa aku membantunya,” ucap Kanaya. Raka menghentikan langkahnya. ‘Jadi benar aku bukan adik Kanaya, mengapa Kak Naya berkata begitu?’ Ucap Raka dalam hati. Kanaya sering mengucapkan hal itu, bahkan ia tak pernah bersikap baik pada Raka. Raka keluar rumah, Kanaya dan Rania menghentikan perdebatannya. “Bu, tidak usah meminjam uang Kak Naya, nanti saja kalau Ibu sudah punya uang, bayar SPP Raka,” ucap Raka pelan. Kemudian ia berbalik dan masuk ke dalam. Umur Raka memang masih kecil tapi sikapnya begitu dewasa, entah karena tuntutan keadaan yang membuat ia harus bersikap dewasa. “Bu dia itu bukan anak Ibu, untuk apa sampai menyekolahkan dia segala sih, keluarin aja di
Annisa menatap Raka lama, ia menghabiskan es krimnya, penampilannya juga sangat sederhana, kaos buluk yang yang warnanya sudah kusam, celana pendek selutut nya juga demikian.“Oh begitu ya, Ayah kamu kerja apa?” tanya Annisa lagi.“Bapak kerjanya kuli angkut, tukang parkir, beda- beda Bu,” ucap Raka sopan. Annisa mengangguk-angguk, kasihan sekali anak ini, pikir Annisa. Kemudian Annisa merogoh sakunya, ia menyelipkan dua lembar uang seratus ribuan ke tangan Raka.“Ini apa Tan?” ucapnya menarik tangannya, ia tak mau menerima uang pemberian Annisa.“Ambil ini, untukmu,” ucap Annisa.“Tidak, Tan, aku tidak bekerja, Kata Ibu tidak boleh minta-minta, harus bekerja dulu baru boleh menerima uang,” ucapnya sambil menatap Annisa.“Ini rezekimu dari Tante, ambilah, kau tidak minta-minta, Tante yang memberikannya padamu, ambillah,” ucap Annisa sambil memberikan uang itu lagi pada Raka.“Tan, biarkan aku membersihkan taman Tante ya, mencabut rumpu-rumput itu,aku tidak bisa menerima unag ini tanpa
Hujan rintik-rintik membuat Raka dan Rania mempercepat langkah agar lebih cepat sampai di rumah. Rania menanyakan pada Raka soal Dirga dan Annisa. "Mengapa Bu Annisa itu baik padamu Raka? Dia ngomong sesuatu nggak sama kamu?" tanya Rania."Nggak tahu Bu, aku juga ditawari makan dan mereka juga memberikan berbagai camilan yang enak-enak, tapi...," ucap Raka menggantung kalimatnya. "Tapi kenapa Raka?" tanya Rania penasaran."Oma nya Bu, Oma Dirga seperti tak suka Raka bermain dengan Dirga," ucap Raka."Mungkin Oma nya tidak mau ada orang asing yang bermain bersama cucunya," ucap Rania."Mungkin Bu.""Besok-besok tidak usah ke rumah itu lagi ya, mereka orang kaya, status sosialnya beda," ucap Rania."Terus apa Bu Annisa itu pernah menatapmu lama atau bagaimana begitu?" tanya Rania, Raka benar-benar kebingungan oleh kan pernyataan Rania. Maksud Rania adalah, apa ada keterikatan batin antara Annisa dan Raka, jika ada bisa jadi ada hubungan antara Annisa dan Raka.Beberapa hari kemudian R
"Tidak usah repot-repot Bu, di sini aja," ucap Rania. Sebenarnya ia hanya ingin melihat Dirga saja. Kemudian karena dipaksa akhirnya Rania mau masuk juga ke rumah besar itu.Mata Rania tak pernah lepas dari Dirga, ia terus memandangi Dirga dengan rasa rindu yang amat dalam. Rasanya Rania ingin memeluk anak itu tapi tidak mungkin pasti Ibunya akan marah. Rania memindai ruang tamu besar itu ada foto-foto Dirga saat masih kecil yang digantung dengan rapi di dinding rumah. Rania. tersenyum melihat foto Dirga saat masih kecil."Ayo Raka kita main di kamarku," ajak Dirga, Raka menurut saja saat Dirga mengamit tangannya dan menarinya ke kamar. Annisa tersenyum melihat mereka."Oh, iya boleh saya tahu nama kamu siapa?" tanya Aannisa setelah anak-anak mereka pergi."Rania Bu, nama saya Rania," ucap Rania agak gugup. "Tidak usah sungkan, anggap saja saya Ibunya anak teman Kamu Bu Rania," ucap Annisa. Rania begitu bersyukur Dirga bisa hidup dengan layak, tapi Raka, dia hidup serba Kekurangan ba
Esok harinya Rania datang lebih pagi, ia tak mau terlambat lagi seperti hari pertama bekerja. Ia harus bisa mengambil hati Bu Widya yang galak itu. Karena terlalu pagi bangun dan beberes Rania membangunkan suaminya. Ia bangun dan pergi ke dapur tak biasanya pagi buta begini Rania sudah bangun dan memasak.Surendra mengucek matanya dan menuju dapur mungil itu dengan setengah mengantuk."Bising banget sih Ran? pagi-pagi udah ribut aja, ini masih terlalu pagi," ucap Surendra kesal. Rumah petak itu akan terdengar jelas jika ada yang membuat kebisingan, selain hanya berdindingkan triplek tipis ditambah lagi karena rumah itu hanya sepetak, sehingga terdengar jelas ke kamar tidur."Iya Mas, aku harus bekerja, kebetulan kemarin kau mendapatkan pekerjaan baru, majikannya agak galak, jadi harus tempat waktu, jangan seperti kemarin telat," ucap Rania sambil terus mengaduk sayur kangkung yang ia tumis dengan bawang cabai. Wangi ikan asin digoreng menyeruak ke seluruh penjuru rumah itu."Kerja apa
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis