Kemudian dengan perlahan Gendhis menyentuh dan meraih tangan Farid kalau menciumnya dengan takzim. Farid tersenyum melihat ke arah istrinya. Kemudian ia memegang pucuk kepala Gendhis dan membaca do’a setelah akad. “”Ya Allah, berkahilah aku dalam permasalahan keluargaku. Berkahilah keluargaku dalam permasalahanku. Berilah mereka rizki dariku, dan berilah aku rizki dari mereka. Satukan kami selama dalam kebaikan, dan pisahkan kami selama dalam kebaikan.” “Amin.” Gendhis mengaminkan do’a Farid. Gendhis masih menundukkan kepalanya. Ia tak berani melihat wajah Farid yang sekarang sudah sah menjadi suaminya. Farid hanya tersenyum melihat Gendhis yang masih saja malu-malu.Kemudian pasangan suami istri itu menyalami kedua orang tua Gendhis dan Bu Wartini. Gendhis menyalami Mamanya, ia menciumi tangan sang Bunda dengan takzim. Netra Bu Widya mengembun, kini anak gadisnya sudah mengakhiri masa lajangnya, tanggung jawabnya sebagai orang tua kini telah selesai. Sebagai seorang Ibu, Bu Widy
Gendhis acuh, ia segera melangkah naik ke lantai dua di mana kamarnya berada. Sebenarnya ia juga merasa tak karuan, jantungnya juga berdetak kencang. Sedangkan Farid mengikuti Gendhis di belakang. Begitu sampai di depan pintu kamar, Ia berhenti ini kali pertama Gendhis berada dengan laki-laki setalah hijrah. Gendhis membuka pintu kamar dan pintu terbuka. Terlihat kamar yang luas dan tempat tidur yang besar. Ada lemari besar dan sebuah meja rias lengkap dengan beraneka macam make up.“Mari masuk Bang, ini kamar ku,” ucap Gendhis. “Ah, Eh, baik.” Gendhis masuk ke kamarnya diikuti oleh Farid, Gendhis terlihat bingung, ia melihat ke kiri dan ke kanan bingung sendir, pdahal itu kamarnya. Apa yang selanjutnya yang harus ia lakukan, menyuruh Farid beristirahat atau apa? “Gendhis di mana aku akan sholat?” tanya Farid. Gendhis kaget, bukannya Farid ke mari hanya ini Shalat, mengapa ia bisa terlupa ya? Gendhis meringis menahan malu, melihat Farid yang kebingungan sendiri di kamar Gendhis,
Tiba-tiba Gendhis keluar dari toilet, gegas Farid menutup ponselnya, bukannya ia tak ingin istrinya tahu, tapi ini hari pertama mereka menikah, ia tak ingin merusak suasana. “Masih sakit perutnya?” tanya Farid. “Tidak Mas.” “Sudah Azan tuh, aku mau mandi dulu,” ucap Farid, Gendhis mengangguk, Farid mengambil handuknya dan berlalu ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, Farid keluar dengan lilitan handuk di pinggangnya, Gendhis yang sedang menyusun baju-baju Farid ke lemari, menoleh pada Farid, sontak saja terkejut dan menutup wajahnya. “Astaghfirullah, Mas, kok nggak pakai baju?” Farid yang melihat Gendhis terkejut, ikut-ikutan terkejut. “Ya Allah, maaf, aku nggak sengaja Ndis.” Seketika Farid membalikkan tubuhnya. Kemudian ia tersenyum sendiri, mengapa harus malu Gendhis itu kan istrinya, ia halal melihat tubuhnya bahkan lebih dari itu. “Gendhis, kok kamu menutupi wajah kamu? Aku ini suami kamu, kamu halal melihatku begini,” ucap Farid, ia merasa geli melihat tingkah Gendhis yan
“Jadi mengapa wajahmu seperti tak suka?” tanya Farid menyelidik. Ia benar-benar heran dengan sikap Gendhis yang seolah-olah menghindarinya. Jadi Farid berpikir bahwa Gendhis menghindarinya? “Apa kau marah karena Seruni datang tiba-tiba dan merusak acara pernikahan kita!?” tanya Farid.“Ah, tidak Mas, sama sekali tidak, aku hanya ...” Gendhis tak melanjutkan ucapannya. Apa harus Gendhis harus mengatakan kalau dia merasa canggung pada Farid?“Hanya apa!?” Farid memotong ucapan Gendhis. “A-aku merasa canggung berada di dekat Mas Farid, mungkin karena aku belum terbiasa saja, bisanya aku hanya sendiri di kamar ini, tiba-tiba ada Mas Farid, jadinya agak aneh,” ucap Gendhis sambi tertawa kecil. “Oh, begitu, Jadi bagaimana? Apa aku harus pulang sekarang?” Nada bicara Farid terdengar dingin.“Tidak, tidak, bukan begitu juga maksudku, aduh kok aku bingung sendiri ya,” ucap Gendhis kesusahan. Kemudian Farid tertawa, ia merasa lucu melihat tingkah istrinya ini. “Kok Mas tertawa? Mas menertaw
Farid dan Gendhis tidur di tempat tidur yang sama, mereka tidur sambil menatap langit-langit kamar, Farid tidur di sisi kanan tempat tidur, sedang Gendhis di sisi kirinya. Hening, tak ada percakapan apa pun, atmosfer di ruangan itu terasa panas dan agak berbeda padahal AC menyala.Gendhis memainkan selimut tipis yang ia gunakan untuk menutupi tubuhnya, ia menarik-narik ujung selimut tersebut, jantungnya kini semakin berdebar tak karuan, ingin rasanya ia keluar dari kamar itu tapi tak mungkin, jilbab panjang instannya juga masih melekat di kepalanya.Farid yang semula tenang kini juga tampak agak gelisah, kemudian ia memberanikan diri untuk bertanya. “Kok jilbabmu tidak kamu buka Sedari tadi?” Gendhis menoleh pada Farid seketika padangan mereka bertemu. Gegas Gendhis membuang pandangannya ke arah lain. “Kepalaku dingin Mas, karena AC nya,” ucap Gendhis asal. Farid melihat ke arah AC yang menyala.“Mana remotenya biar aku kecilin,” ucap Farid sambil bangun.“Eh tidak usah Mas, nanti
Bu Wartini, Farid dan Gendhis sedang berbincang-bincang di ruang keluarga. Emak Farid begitu bahagia, ia terus tersenyum dari tadi sambi mengobrol dengan Gendhis dan Farid. “Mak nggak nyangka akhirnya kalian berjodoh, padahal Farid sudah bertunangan, Mak pikir Gendhis juga sudah menikah, Mak akan bahagia kalau kalian berdua juga bahagia,” ucap Bu Wartini.“Alhamdulillah Mak, inilah yang namanya mencintai dalam diam, berdo’a setiap sepertiga malam agar Allah memberikan jodoh yang terbaik, ternyata jodohku Gendhis,” ucap Farid kemudian ia menyeruput tehnya. Gendhis tersenyum mendengar pernyataan sang suami. “Oh iya Seruni kok bisa tiba-tiba datang kemarin Farid? Emak benar-benar ketakutan waktu itu, mengapa dia bisa tahu kalau kamu menikah dengan Gendhis ya?” tanya Bu Wartini kemudian. Ia begitu khawatir melihat Seruni yang histeris ingin merusak pernikahan Gendhis dan Farid kemarin. “Tadi orang kantor bilang, ia mencari tahu pada teman-teman di kantor entah dia menyamar jadi klien
Apartemen Clarissa pukul 22 : 00 Wib.Clarissa terbangun dari tidurnya, ia merasakan haus dan sakit di bagian perutnya, tapi tak terlalu sakit, sehingga dia pikir itu hanya kontraksi palsu yang sering terjadi, kemudian ia beranjak dari ranjangnya dan keluar dari kamar. Clarissa menuju meja makan menuangkan air putih ke dalam gelas, sambil memegangi perutnya yang kini sedang menunggu hari persalinan. Kini dia sudah pasrah pada keadaan apa Damar mau tanggung jawab atau tidak, bahkan Ayah bayi tersebut tak saja tak mau bertanggung jawab, apa lagi orang lain. Tapi ia tetap berusaha, mungkin saja Damar bisa menjadi miliknya walaupun hanya menjadi yang ke dua setidaknya bayi dalam perutnya ini akan menjadi ahli waris, karena Bu Widya juga masih percaya bahwa padanya dan mendukungnya, ia berpikir bahwa bayi yang ia kandung adalah anak dari Damar pewaris perusahaan besar itu. Ia membawa gelas berisi air putih tersebut dan duduk di sofa, ia mengelus perutnya dan meneguk air putih di dalam
Tangannya bergetar memegang bayi Clarissa, jika benar ini anaknya, ia pasti akan sangat bahagia sekali. Tapi sayang bayi ini bukan anaknya. Ia menatap bayi laki-laki mungil tanpa dosa tersebut, wajahnya mirip sekali dengan Clarissa. Andai saja anak ini adalah terlahir dari rahim Annisa, tentu saja lengkap lah sudah kebahagiaannya.“Damar, azankan bayinya, dia kan anakmu, lihat bayi itu lucu dan menggemaskan,” ucap Bu Widya yang tidak menghiraukan perasaan Annisa. Damar yang sedang termenung seketika tersadar. Clarissa yang melihat akan hal itu hanya tersenyum getir. Clarissa berharap Damar terbuka hatinya untuk menikahi Clarissa saat melihat bayi itu.Annisa menatap suaminya yang sedang menggendong bayi orang lain, ia merasa bersalah karena sampai saat ini, Annisa belum juga memberikan Damar seorang anak. Netranya mengembun, tak terasa bulir bening nan hangat mengalir di pipinya, Annisa tertegun menatap suaminya yang sedang menggendong bayi Clarissa yang digadang-gadang bayi itu ada
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis