Orion sebenarnya masih kekanakan. Setidaknya itulah yang terlihat di mata Elang. Lelaki yang menuruni sifatnya itu terkadang masih uring-uringan atas hal-hal yang tidak penting. Belum bisa mengendalikan emosinya, dan ada banyak hal lain yang bagi Elang masih sangat membutuhkan bimbingan darinya. Jika itu mengenai kepemimpinan, lelaki itu tentu sudah bisa diandalkan. Dia tanggap dan cepat bertindak. Sifat otoriternya pun tak ada bedanya dengan Elang. “Kenapa Papa manggil aku?” Orion masuk ke dalam ruangan Elang dengan ekspresi kesalnya. Duduk tepat di depan sang ayah. Menunggu apa pun yang barangkali akan dikatakan oleh lelaki paruh baya tersebut. “Kenapa moodmu jadi buruk seperti ini?” tanya Elang memulai, “Papa nggak sengaja dengar dari para karyawan katanya seharian ini kamu marah-marah nggak jelas. Ada apa?” “Nggak ada apa-apa,” elak Orion, “Papa mendingan jangan tanya hal-hal yang nggak penting begitu deh. Aku lagi nggak mau bahas begituan.” Benar, ‘kan penilaian Elang tentan
“Sorry, sudah membuat Mas tidur nggak nyaman di sini. Saya semalam benar-benar udah ngantuk banget.” Ruby meletakkan secangkir teh di depan Orion sebelum dia duduk di depan lelaki itu. Dia merasa tidak enak karena sudah membuat Orion lagi-lagi tidur di tempat yang kurang layak. Orion tidak bersuara. Dia hanya menatap Ruby yang sudah segar dengan rambut basah sehabis keramas. Kantuk yang dirasakan oleh Ruby belum sepenuhnya hilang, pun tubuhnya masih terasa lelah. “Saya dengar, Mas semalam bilang akan ditugaskan sama Pak Elang ke Batam. Kapan berangkat?” Orion melepaskan tarikan napasnya panjang mendengar pertanyaan itu. Lelaki itu yang tadinya ingin marah kepada Ruby pun akhirnya urung. Ketika dia bersuara, rasanya begitu berat. “Iya, Papa ingin saya memantau perkembangan proyek di sana. Satu bulan. Rencananya dua hari lagi saya akan berangkat.” Lagi-lagi, dia menarik napasnya panjang. “By, saya nggak bisa ninggalin kamu sejauh itu. Kamu pergi seharian tanpa kabar begini saja, say
“Ada apa dengan Orion?” Ruby duduk di depan sang kakak sambil bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang pembahasan yang kira-kira akan diangkat oleh lelaki itu. “Kamu yakin berhubungan dengan lelaki seperti itu?” “Lelaki seperti apa?” tanya Ruby mengernyit aneh, “dia lelaki yang baik dan sayang sama aku. Apa yang salah?” Biarlah Ruby merasa percaya diri dengan mengatakan itu, tetapi itulah kata Orion yang pernah dikatakan kepadanya. “Dia bukan lelaki yang baik buat kamu.” Dustin menilai dengan berani. “Kamu bisa mendapatkan lelaki lebih dari itu. Abang akan carikan dari TNI atau dari kalangan dokter. Abang tahu dia atasanmu, tapi bagi Abang dia hanyalah lelaki yang tidak akan serius dengan hubungan kalian.” “Atas dasar apa Abang menilai Orion seperti itu? Apa karena Abang nggak berhasil menghasut dia untuk membawaku pulang?” Dustin tampak terkejut mendengar itu. Tidak menyangka kalau Ruby akan mengatakan hal demikian. Lelaki itu hanya diam tak bersuara. “Aku tahu kalau kalian
Ruby menatap kamar yang sudah ditinggalkan selama bertahun-tahun dengan tatapan tajam. Kamar itu masih rapi dan tidak ada yang berubah sedikitpun. Ruby tidak tahu sampai kapan dia akan berada di rumahnya. Ayahnya benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk pergi. Semua barang-barangnya juga tertinggal di rumahnya sendiri, bahkan ponselnya sekalipun. “Kali ini aku sudah terjebak.” Ruby menatap langit malam dari balkon kamarnya tampak merasa sedih. Segala hal yang sudah diupayakan selama ini seolah tidak ada gunanya lagi. Memilih untuk berbaring dan beristirahat, Ruby akhirnya mengakhiri malam ini dengan tidur nyenyak. Tepat pukul tiga pagi dia bangun bermaksud untuk keluar rumah. Sayangnya, rumahnya terkunci rapat. Ruby akhirnya menyerah dan memilih untuk berbaring di sofa ruang keluarga. Dia lagi-lagi hanya menatap langit-langit ruangan tersebut tanpa ada hal yang bisa dilakukan. Ruby tak memiliki ponsel untuk menghubungi siapa pun. Pada akhirnya dia kembali tertidur sampai mataha
“Semua urusan di kantormu sudah Abang selesaikan. Kamu per hari ini sudah nggak tercatat lagi sebagai karyawan Infinity.” Daniel baru saja pulang dari rumah sakit ketika melihat adiknya tengah melamun di halaman samping rumah dengan sebuah buku di tangannya. Lelaki itu meletakkan barang belanjaan di atas meja sebelum duduk di kursi berseberangan dengan kursi yang diduduki oleh Ruby. “Ini Abang belikan HP dan tablet baru buat kamu. Nomornya sudah ada dan kamu tinggal pakai.” Ruby melirik tanpa minat seolah dia tak membutuhkan itu. Untuk apa barang-barang mewah itu? Toh dia sebenarnya membutuhkan itu untuk bekerja. Sekarang semuanya sudah berakhir dan sudah tidak menyisakan apa pun lagi di dalam hidupnya. “Non Ruby, dipanggil untuk ke ruangan Bapak.” Belum satu terjawab, dia sudah diminta menghadap sang ayah. Betapa kakunya hidupnya sekarang. Ini adalah hal yang paling tidak disenangi ketika dia berada di rumahnya. Segalanya terasa begitu berat untuknya. Ruby beranjak untuk menemui
Seorang lelaki berbadan kekar berdiri di depan Ruby dengan wajah garangnya. Ruby tidak tahu kenapa ada lelaki asing itu di rumah orang tuanya, tetapi tiba-tiba saja dia mengingat ucapan ayahnya saat itu. Jika Ruby ingin ke mana-mana, maka ada seorang bodyguard yang akan menemaninya. Apa jangan-jangan ….“Namanya Brama.” Ayah Ruby tiba-tiba bersuara. “Dia yang akan menemani kamu ke mana pun kamu pergi. Kamu bisa jalan-jalan ke mana pun kamu mau dan Brama yang akan membayar semuanya. Papa sudah memberikan kartu debitmu kepadanya.” Ruby tahu kenapa ayahnya melakukan itu karena memang kartu debit yang diberikan kepadanya bahkan tidak diterima. “Aku nggak mau ke mana-mana.” Ruby berlalu dari hadapan sang ayah untuk pergi ke ruang makan. Ruby tidak berlama-lama mogok makan. Bagaimanapun dia tidak ingin mati secara mengenaskan hanya karena kelaparan. “Aku butuh HP-ku, Pa.” Ruby duduk di kursi makan. Menerima roti yang baru saja dibuatkan oleh ibunya. “Daniel bilang kalau kamu sudah dibel
Perjalanan cinta Orion sama sekali tidak mudah. Pertentangan itu bukan hanya muncul dari satu orang, tetapi satu keluarga Ruby. Orion memang belum pernah bertemu dengan ayah Ruby, tetapi dia pun yakin semua ucapan Daniel sudah mewakili ayahnya. Sekarang dia hanya menunggu sebuah keajaiban barangkali dia akan bertemu dengan Ruby tanpa disengaja. “Mas Orion.” Orion mendongak menatap dua orang yang ada di depannya. Dia memanggil dua orang tersebut untuk ke ruangannya. “Duduk!” perintahnya setelah itu. “Di antara kalian, apa ada yang tahu sesuatu tentang Ruby?” tanya Orion. “Kalian satu divisi dengan Ruby saya rasa mungkin ada sesuatu yang bisa kalian bagi tentang dia.” Dua orang itu saling menatap sebelum salah satu dari mereka menjawab. “Jujur saja selama kami bekerja bersama dengan Ruby selama ini, nggak pernah sekalipun dia bercerita tentang kehidupan pribadinya, Pak.” Orion sudah menduga jawaban itu yang diberikan. Namun, dia memilih untuk tidak berbicara lebih dulu. “Ruby itu ti
Total sudah dua bulan Orion tidak bertemu dengan Ruby. Jangan tanyakan bagaimana rindunya lelaki itu kepada sang pujaan hati. Setelah dia mendapatkan alamat rumah orang tua Ruby, alih-alih segera mendatangi rumah gadis itu, dia justru terus memutar ucapan sang ayah di dalam kepalanya. Dia selama ini tidak pernah mendapatkan penolakan dalam hal apa pun. Tentu saja ada sebuah ketakutan yang muncul di dalam hatinya jika orang tua Ruby akan menolaknya mentah-mentah. Oleh karena itu, dia belum berani ambil resiko. Namun, semakin dia merasakan rindu itu menggebu, semakin tidak bisa dia mengendalikan emosinya. Hampir setiap hari dia marah kepada orang-orang di sekitarnya. “Silakan, Mas.” Orion terhenyak ketika seorang pelayan datang membawa pesanan makan siangnya. Dia mengangguk dan berterima kasih kepada pelayan tersebut sebelum memulai makan. Merasa ada yang memperhatikan, Orion mendongak dan seperti ada tamparan di wajahnya, tepat di depannya ada Ruby yang menatap ke arahnya. Orion den