“Mas tolong profesionalnya dong. Kita ini di kantor.” Ruby lelah menghadapi Orion. Perempuan itu malas kalau harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh karyawan lain kepadanya. “Di mana letak ketidak profesionalan saya? Saya mengunggah foto kamu itu di akun pribadi saya. Bukan di akun perusahaan.” Orion menjelaskan dengan sabar. “Seharusnya Mas nggak perlu mengunggah hal yang tidak perlu.” “Saya tidak akan memutus kebahagiaan saya hanya karena orang lain. Kalau mereka mau ribut, biarkan mereka ribut. Bukankah kamu sudah biasa mengabaikan hal-hal yang begitu? Kenapa sekarang kamu merespon berlebihan?” Ruby terdiam. Orion memang benar, biasanya dia hanya mengabaikan hal-hal yang tidak penting itu masuk ke dalam telinganya. Sekarang lantas kenapa dia harus meributkan hal seperti itu? Ruby tertunduk. Helaan napas panjang itu dia keluarkan dari mulutnya. Orion berdiri masih di depan kursi kerjanya. Tangannya terulur untuk mengelus puncak kepala Ruby. Ruby mendongak dan
Ruby menutup matanya dengan tubuh menyandar di sandaran kursi kerjanya. Rasa kantuk tak tertahankan itu membuatnya tidak bisa membuka matanya. Ini bahkan sudah pukul delapan malam, tetapi sejak tadi dia tak kunjung bangun sejak setengah jam lalu. Getaran ponselnya sejak tadi bahkan sama sekali tidak sedikitpun mengusiknya. Di tempat lain, Orion tengah mondar-mandir karena sejak tadi tidak kunjung mendapatkan kabar dari Ruby. Kekhawatirannya melambung tinggi. “Ini bocah ke mana sih?” Orion sekali lagi mencoba menghubungi Ruby, tetapi tidak kunjung mendapatkan respon. Orion tidak ada di kantor sehingga dia tidak bisa mengecek ruangan Ruby untuk mendapatkan jawaban. Dia pulang lebih dulu karena ada pekerjaan di luar seharian. Memutuskan untuk pergi kembali ke kantor, Orion tampak terburu-buru ketika masuk ke dalam lobby. Dia dihentikan oleh satpam hanya untuk bertanya. “Mas Orion ada yang ketinggalan?” tanyanya. “Pacar saya yang ketinggalan di dalam, Pak,” jawabnya sambil berlalu. L
“Saya tidak mau ikut campur masalah keluarga kalian tanpa persetujuan dari Ruby.” Orion menjawab tegas ucapan Daniel. “Silakan bicara sendiri dengan Ruby dan keputusan apa pun yang akan diambilnya nanti artinya itu yang terbaik untuk Ruby.” “Kenapa? Kamu takut dengannya?” tanya Dustin, “kamu takut dia akan marah kepadamu?” “Tidak. Tapi saya tidak memiliki hak apa pun untuk ikut campur dengan urusan keluarga kalian. Saya tidak berhak sedikitpun.” “Bukannya itu akan mudah bagi kamu untuk masuk ke dalam keluarga kami? Kalau kamu mampu meyakinkan Ruby, maka kamu akan mendapatkan restu dari kami dengan mudah.” Dustin kembali bersuara. Seorang Kapten Tentara itu memiliki wajah dingin. “Jangan menggunakan hal seperti itu sebagai sebuah alasan. Saya tetap akan menolak. Lagi pula, saya bukan pengkhianat. Ruby adalah kekasih saya dan saya menghargainya dengan tidak mengkhianatinya.” Orion bukan orang yang mudah tergiur dengan hal-hal abu-abu yang sedang dipamerkan kepadanya. Orion tidak su
Orion sebenarnya masih kekanakan. Setidaknya itulah yang terlihat di mata Elang. Lelaki yang menuruni sifatnya itu terkadang masih uring-uringan atas hal-hal yang tidak penting. Belum bisa mengendalikan emosinya, dan ada banyak hal lain yang bagi Elang masih sangat membutuhkan bimbingan darinya. Jika itu mengenai kepemimpinan, lelaki itu tentu sudah bisa diandalkan. Dia tanggap dan cepat bertindak. Sifat otoriternya pun tak ada bedanya dengan Elang. “Kenapa Papa manggil aku?” Orion masuk ke dalam ruangan Elang dengan ekspresi kesalnya. Duduk tepat di depan sang ayah. Menunggu apa pun yang barangkali akan dikatakan oleh lelaki paruh baya tersebut. “Kenapa moodmu jadi buruk seperti ini?” tanya Elang memulai, “Papa nggak sengaja dengar dari para karyawan katanya seharian ini kamu marah-marah nggak jelas. Ada apa?” “Nggak ada apa-apa,” elak Orion, “Papa mendingan jangan tanya hal-hal yang nggak penting begitu deh. Aku lagi nggak mau bahas begituan.” Benar, ‘kan penilaian Elang tentan
“Sorry, sudah membuat Mas tidur nggak nyaman di sini. Saya semalam benar-benar udah ngantuk banget.” Ruby meletakkan secangkir teh di depan Orion sebelum dia duduk di depan lelaki itu. Dia merasa tidak enak karena sudah membuat Orion lagi-lagi tidur di tempat yang kurang layak. Orion tidak bersuara. Dia hanya menatap Ruby yang sudah segar dengan rambut basah sehabis keramas. Kantuk yang dirasakan oleh Ruby belum sepenuhnya hilang, pun tubuhnya masih terasa lelah. “Saya dengar, Mas semalam bilang akan ditugaskan sama Pak Elang ke Batam. Kapan berangkat?” Orion melepaskan tarikan napasnya panjang mendengar pertanyaan itu. Lelaki itu yang tadinya ingin marah kepada Ruby pun akhirnya urung. Ketika dia bersuara, rasanya begitu berat. “Iya, Papa ingin saya memantau perkembangan proyek di sana. Satu bulan. Rencananya dua hari lagi saya akan berangkat.” Lagi-lagi, dia menarik napasnya panjang. “By, saya nggak bisa ninggalin kamu sejauh itu. Kamu pergi seharian tanpa kabar begini saja, say
“Ada apa dengan Orion?” Ruby duduk di depan sang kakak sambil bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang pembahasan yang kira-kira akan diangkat oleh lelaki itu. “Kamu yakin berhubungan dengan lelaki seperti itu?” “Lelaki seperti apa?” tanya Ruby mengernyit aneh, “dia lelaki yang baik dan sayang sama aku. Apa yang salah?” Biarlah Ruby merasa percaya diri dengan mengatakan itu, tetapi itulah kata Orion yang pernah dikatakan kepadanya. “Dia bukan lelaki yang baik buat kamu.” Dustin menilai dengan berani. “Kamu bisa mendapatkan lelaki lebih dari itu. Abang akan carikan dari TNI atau dari kalangan dokter. Abang tahu dia atasanmu, tapi bagi Abang dia hanyalah lelaki yang tidak akan serius dengan hubungan kalian.” “Atas dasar apa Abang menilai Orion seperti itu? Apa karena Abang nggak berhasil menghasut dia untuk membawaku pulang?” Dustin tampak terkejut mendengar itu. Tidak menyangka kalau Ruby akan mengatakan hal demikian. Lelaki itu hanya diam tak bersuara. “Aku tahu kalau kalian
Ruby menatap kamar yang sudah ditinggalkan selama bertahun-tahun dengan tatapan tajam. Kamar itu masih rapi dan tidak ada yang berubah sedikitpun. Ruby tidak tahu sampai kapan dia akan berada di rumahnya. Ayahnya benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk pergi. Semua barang-barangnya juga tertinggal di rumahnya sendiri, bahkan ponselnya sekalipun. “Kali ini aku sudah terjebak.” Ruby menatap langit malam dari balkon kamarnya tampak merasa sedih. Segala hal yang sudah diupayakan selama ini seolah tidak ada gunanya lagi. Memilih untuk berbaring dan beristirahat, Ruby akhirnya mengakhiri malam ini dengan tidur nyenyak. Tepat pukul tiga pagi dia bangun bermaksud untuk keluar rumah. Sayangnya, rumahnya terkunci rapat. Ruby akhirnya menyerah dan memilih untuk berbaring di sofa ruang keluarga. Dia lagi-lagi hanya menatap langit-langit ruangan tersebut tanpa ada hal yang bisa dilakukan. Ruby tak memiliki ponsel untuk menghubungi siapa pun. Pada akhirnya dia kembali tertidur sampai mataha
“Semua urusan di kantormu sudah Abang selesaikan. Kamu per hari ini sudah nggak tercatat lagi sebagai karyawan Infinity.” Daniel baru saja pulang dari rumah sakit ketika melihat adiknya tengah melamun di halaman samping rumah dengan sebuah buku di tangannya. Lelaki itu meletakkan barang belanjaan di atas meja sebelum duduk di kursi berseberangan dengan kursi yang diduduki oleh Ruby. “Ini Abang belikan HP dan tablet baru buat kamu. Nomornya sudah ada dan kamu tinggal pakai.” Ruby melirik tanpa minat seolah dia tak membutuhkan itu. Untuk apa barang-barang mewah itu? Toh dia sebenarnya membutuhkan itu untuk bekerja. Sekarang semuanya sudah berakhir dan sudah tidak menyisakan apa pun lagi di dalam hidupnya. “Non Ruby, dipanggil untuk ke ruangan Bapak.” Belum satu terjawab, dia sudah diminta menghadap sang ayah. Betapa kakunya hidupnya sekarang. Ini adalah hal yang paling tidak disenangi ketika dia berada di rumahnya. Segalanya terasa begitu berat untuknya. Ruby beranjak untuk menemui
Pernikahan itu tidak mewah seperti yang diinginkan oleh Ruby sebelumnya. Namun, bisa dirasakan begitu khidmatnya acara akad nikah tersebut. Tamu yang datang benar-benar hanya teman dekat dari dua belah keluarga sehingga acara itu sungguh begitu nyaman.Sepanjang acara, Orion tidak melepaskan Ruby sama sekali. Entah itu dengan menggenggam tangannya, memeluk pinggangnya, atau hanya menempelkan bahunya dengan bahu Ruby. Lelaki itu seolah tidak ingin ditinggalkan oleh Ruby. Acara itu hanya berjalan dua jam, tetapi Orion merasa dia lelah luar biasa.“Pa, Ma, aku pamit.” Ruby berdiri di depan anggota keluarganya untuk pergi dari rumah dan tinggal berdua dengan Orion. Mereka bahkan tidak ingin seharipun menginap di rumah orang tua Ruby.“Kamu baik-baik, ya. Sekarang kamu sudah menjadi istri. Yang nurut sama suami. Kalau ada sesuatu yang dirundingkan dan jangan asal ambil keputusan sendiri,” pesan ibunya dengan mata berkaca-kaca.“Iya, Ma. Aku ngerti.” Ruby mengangguk dan tidak lagi banyak bic
Ruby tampak anggun dengan dress navy di bawah lutut. Rambutnya diurai dengan model curly, make up tipis menghiasi wajahnya. Keseluruhan penampilannya begitu cantik luar biasa. Sebelumnya dia tak pernah berpenampilan seperti ini. Tentu saja hal itu membuat Orion tampak terpesona. Senyum tipis penuh makna itu terlihat di bibirnya. Dua keluarga itu duduk berhadapan untuk membicarakan masalah pernikahan. Pada akhirnya, hubungan yang dianggap tidak akan bertahan lama itu ternyata akan berakhir di pelaminan. “Untuk mengikat keduanya, kami sudah menyiapkan cincin pertunangan untuk mereka. Maaf kalau sebelumnya kami tidak mengatakan apa pun terkait ini, tapi, akan lebih baik kalau mereka tunangan lebih dulu.” Pijar meletakkan kotak cincin di atas meja dengan keadaan terbuka. Dua cincin berkilauan itu terlihat. Satu cincin bertahtakan berlian itu tampak begitu mewah dan indah. Cincin itu diperuntukkan untuk Ruby dan satu cincin polos tentu saja untuk Orion. “Bu Pijar, bukankah ini terlalu
“Pasti ada hal penting yang ingin dr. Daniel katakan kepada kami sehingga jauh-jauh datang ke kantor kami.” Elang menyambut dengan baik kedatangan Daniel. Setelah mengetahui jika Elang adalah seorang CEO, lelaki itu tampaknya mengubah pandanganya tentang Orion. Dia belum tahu mendalam tentang Orion dan keluarganya dan hanya dengan semua ini saja dia sudah terkejut luar biasa. Daniel mengangguk sebelum berbicara. “Ruby menerima tawaran Orion. Dia mau menikah dengan Orion dan saya diminta Papa untuk menemui Pak Elang untuk membicarakan tentang ini. Kapan keluarga kami bisa datang ke kediaman Pak Elang untuk membahas pernikahan?” Elang menatap Orion yang juga tengah menatapnya dengan serius. Dia tak memiliki apa pun untuk dikatakan. Lelaki itu hanya diam seolah masih mencerna setiap kejadian yang terjadi hari ini. “Kalau memang ingin membicarakan pernikahan, kami saja yang akan datang. Sekalian melamar secara resmi.” Elang menjawab dengan lugas dan tegas. “Tidak, Pak. Bapak dan kelu
“Aku sudah memutuskan untuk menikah. Nggak peduli kalau hanya menjadi ibu rumah tangga.” Setelah memikirkan selama berhari-hari, akhirnya Ruby mengambil keputusan dan mengatakan kepada keluarganya. setelah makan malam, dia mengumpulkan empat anggota keluarganya untuk diajak berbicara serius. Baginya semua akan sama saja. Dia sekarang terkurung di rumah besar orang tuanya tanpa melakukan apa pun. Semua yang dia mau sudah tersedia dan sekedar menginginkan es krim saja sudah tersedia. Ruby sudah merasa lelah dengan semua yang terjadi sekarang. Biarlah dia menikah dan menjadi istri Orion. Dia tidak pernah apa keputusannya menikah muda adalah keputusan yang tepat, tetapi baginya ini lebih baik. “Aku sudah memikirkan secara matang dan mendalam. Aku akan menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku banyak cinta dan Orion adalah orang itu.” Ruby menatap satu per satu keluarganya. Bisa dilihat bagaimana mereka tampak terkejut yang berusaha ditutupi. Rahang sang ayah tampak mengerat, pun d
Seluruh anggota keluarga Ruby dibuat terkejut dengan kemunculan Orion di rumah mereka. Orion tidak datang sendiri melainkan bersama dengan kedua orang tuanya. Lelaki itu seolah ingin menunjukkan keseriusannya kepada Ruby atas hubungannya dengan gadis itu. Ayah Ruby tentu saja menerima kedatangan mereka dengan santun selayaknya tuan rumah menerima tamu. “Maafkan kami, Pak, kalau kedatangan kami mengejutkan Bapak dan keluarga.” Elang mengawali. “Tujuan kami ke sini tak lain adalah untuk itikad baik kami dalam hubungan Orion dan Ruby.” Ruby yang juga berada di sana pun terlihat terdiam tak mengatakan apa pun. Elang adalah bos besar dan dia bahkan tidak pernah berhadapan langsung dengan lelaki itu sejauh dia bekerja di Infinity. Namun, sekarang lelaki itu tiba-tiba datang dan membicarakan masalah hubungan putranya dengan mantan karyawannya. Sungguh, dalam bayangan Ruby pun dia tak pernah menyangka hari ini akan tiba. “Orion mengatakan jika dia sangat mencintai Ruby dan tidak siap jika
Total sudah dua bulan Orion tidak bertemu dengan Ruby. Jangan tanyakan bagaimana rindunya lelaki itu kepada sang pujaan hati. Setelah dia mendapatkan alamat rumah orang tua Ruby, alih-alih segera mendatangi rumah gadis itu, dia justru terus memutar ucapan sang ayah di dalam kepalanya. Dia selama ini tidak pernah mendapatkan penolakan dalam hal apa pun. Tentu saja ada sebuah ketakutan yang muncul di dalam hatinya jika orang tua Ruby akan menolaknya mentah-mentah. Oleh karena itu, dia belum berani ambil resiko. Namun, semakin dia merasakan rindu itu menggebu, semakin tidak bisa dia mengendalikan emosinya. Hampir setiap hari dia marah kepada orang-orang di sekitarnya. “Silakan, Mas.” Orion terhenyak ketika seorang pelayan datang membawa pesanan makan siangnya. Dia mengangguk dan berterima kasih kepada pelayan tersebut sebelum memulai makan. Merasa ada yang memperhatikan, Orion mendongak dan seperti ada tamparan di wajahnya, tepat di depannya ada Ruby yang menatap ke arahnya. Orion den
Perjalanan cinta Orion sama sekali tidak mudah. Pertentangan itu bukan hanya muncul dari satu orang, tetapi satu keluarga Ruby. Orion memang belum pernah bertemu dengan ayah Ruby, tetapi dia pun yakin semua ucapan Daniel sudah mewakili ayahnya. Sekarang dia hanya menunggu sebuah keajaiban barangkali dia akan bertemu dengan Ruby tanpa disengaja. “Mas Orion.” Orion mendongak menatap dua orang yang ada di depannya. Dia memanggil dua orang tersebut untuk ke ruangannya. “Duduk!” perintahnya setelah itu. “Di antara kalian, apa ada yang tahu sesuatu tentang Ruby?” tanya Orion. “Kalian satu divisi dengan Ruby saya rasa mungkin ada sesuatu yang bisa kalian bagi tentang dia.” Dua orang itu saling menatap sebelum salah satu dari mereka menjawab. “Jujur saja selama kami bekerja bersama dengan Ruby selama ini, nggak pernah sekalipun dia bercerita tentang kehidupan pribadinya, Pak.” Orion sudah menduga jawaban itu yang diberikan. Namun, dia memilih untuk tidak berbicara lebih dulu. “Ruby itu ti
Seorang lelaki berbadan kekar berdiri di depan Ruby dengan wajah garangnya. Ruby tidak tahu kenapa ada lelaki asing itu di rumah orang tuanya, tetapi tiba-tiba saja dia mengingat ucapan ayahnya saat itu. Jika Ruby ingin ke mana-mana, maka ada seorang bodyguard yang akan menemaninya. Apa jangan-jangan ….“Namanya Brama.” Ayah Ruby tiba-tiba bersuara. “Dia yang akan menemani kamu ke mana pun kamu pergi. Kamu bisa jalan-jalan ke mana pun kamu mau dan Brama yang akan membayar semuanya. Papa sudah memberikan kartu debitmu kepadanya.” Ruby tahu kenapa ayahnya melakukan itu karena memang kartu debit yang diberikan kepadanya bahkan tidak diterima. “Aku nggak mau ke mana-mana.” Ruby berlalu dari hadapan sang ayah untuk pergi ke ruang makan. Ruby tidak berlama-lama mogok makan. Bagaimanapun dia tidak ingin mati secara mengenaskan hanya karena kelaparan. “Aku butuh HP-ku, Pa.” Ruby duduk di kursi makan. Menerima roti yang baru saja dibuatkan oleh ibunya. “Daniel bilang kalau kamu sudah dibel
“Semua urusan di kantormu sudah Abang selesaikan. Kamu per hari ini sudah nggak tercatat lagi sebagai karyawan Infinity.” Daniel baru saja pulang dari rumah sakit ketika melihat adiknya tengah melamun di halaman samping rumah dengan sebuah buku di tangannya. Lelaki itu meletakkan barang belanjaan di atas meja sebelum duduk di kursi berseberangan dengan kursi yang diduduki oleh Ruby. “Ini Abang belikan HP dan tablet baru buat kamu. Nomornya sudah ada dan kamu tinggal pakai.” Ruby melirik tanpa minat seolah dia tak membutuhkan itu. Untuk apa barang-barang mewah itu? Toh dia sebenarnya membutuhkan itu untuk bekerja. Sekarang semuanya sudah berakhir dan sudah tidak menyisakan apa pun lagi di dalam hidupnya. “Non Ruby, dipanggil untuk ke ruangan Bapak.” Belum satu terjawab, dia sudah diminta menghadap sang ayah. Betapa kakunya hidupnya sekarang. Ini adalah hal yang paling tidak disenangi ketika dia berada di rumahnya. Segalanya terasa begitu berat untuknya. Ruby beranjak untuk menemui