“Aku mencintaimu dahulu, sekarang, besok, dan seterusnya.” Kalimat itu terngiang di telinga Pijar. Elang benar-benar tidak berubah. Masih sama seperti dulu ketika mereka masih berpacaran. Lelaki itu tak pernah sungkan mengatakan jika dia mencintai Pijar. Dia memperlakukan Pijar yang utama dibandingkan dengan apa pun dan siapa pun. Elang adalah definisi lelaki yang tidak suka berpindah hati. Jika dibandingkan Aurora dengan Pijar, maka mungkin Aurora lebih cantik dan bersinar. Namun, Elang bahkan tidak sekalipun melirik perempuan itu kecuali dia memanfaatkannya. “Bagaimana keadaan Elang sekarang?” Pertanyaan ibu Pijar membuat perempuan itu terkejut. Dia menoleh dan mendapati ibunya sudah duduk di sampingnya. “Udah mulai kerja?” tanyanya lagi. “Masih belum kerja, Bu. Dia kelihatan udah sehat, tapi capek sedikit aja kemarin badannya panas lagi.” Tabiat tipes memang susah untuk dimengerti. Persis seperti Elang. Lelah sedikit saja, panas tubuhnya meningkat lagi. Pijar benar-benar harus
“Aku akan pergi untuk penyuluhan di desa-desa. Mungkin sekitar satu atau minggu. Bisa juga satu bulan.” Pijar mengatakan itu kepada Elang sebagai penyampaian jika dia akan pergi. Sigma sedang bekerja sama untuk membangun sekolah gratis di desa terpencil dan dia mendapatkan peran sebagai pengawas. Sebagai perusahaan besar, hal semacam itu sering dilakukan oleh Sigma dan Infinity sebagai amal. Elang yang sedang membaca email di tabletnya itu lantas mengernyit. Dia tahu tentang kegiatan tersebut, tetapi tidak berpikir jika Pijar akan ikut serta di dalamnya. Apa-apaan itu. Mereka baru saja resmi menjadi pasangan yang sudah bertunangan, tetapi Elang akan ditinggalkan. “Aku nggak izinkan kamu ikut acara seperti itu. Tugaskan orang lain dan tidak perlu kamu yang melakukannya. Leo yang ajukan kamu?” “Bukan. Aku sendiri yang mengajukan diri.” Pijar berucap santai seolah-olah Elang tidak pernah mempermasalahkannya. Elang meletakkan tabletnya di sampingnya dengan kasar karena merasa kesal.
Pijar tidak tahu orang gila mana yang mendatangi tengah malam begini di saat dia sudah terlelap tidur. Melihat jam, sudah pukul 23.45. Dia tak pernah mendapatkan tamu semalam ini sebelumnya. Namun, bel rumahnya terus saja berbunyi dan membuatnya harus mengalah untuk membukakan pintu. Ketika dia mengintip dari jendela rumahnya, dia mendapati Elang berdiri di sana dengan ekspresi dingin. Hanya berpakaian seadanya menunggu pintu rumah terbuka. “Lang.” Pijar terkejut melihat keberadaan Elang yang sudah tengah malam datang ke rumahnya. Tiba-tiba saja, lelaki itu memeluk Pijar dengan erat. “Selamat ulang tahun, Tuan Putri.” Begitu katanya tepat di telinga Pijar. Lelaki itu mencium pundak Pijar yang terlapis baju. Pijar terkejut. Ulang tahun? Sekarang tanggal berapa? Itulah yang berputar di dalam pikirannya. “Aku ulang tahun?” tanyanya kepada Elang yang kini tengah memeluknya. “Aku lupa.” Elang melepaskan pelukannya, menatap mata Pijar yang sayu khas orang bangun tidur. Senyuman kecilny
Pijar tersenyum ketika melihat kalung yang melingkar di lehernya. Elang tidak pernah berubah. Sikap hangat yang diberikan kepadanya adalah keberuntungan buat Pijar. Setelah sepuluh nyatanya tidak mengurangi perasaan lelaki itu kepadanya. “Ternyata berada di sisi Elang adalah sesuatu yang menyenangkan,” gumam Pijar kepada pantulan dirinya di cermin. “Aku berharap dia tidak pernah berubah.” Pijar tidak pernah membayangkan bagaimana perasaannya jikalau Elang berubah dan bersikap buruk kepadanya seperti sebelumnya. Perempuan itu menggelengkan kepalanya membuyarkan bayangan buruk itu dipikirannya. Tidak mungkin Elang melakukan itu kepadanya. Di tempat lain, Elang pulang ke rumah orang tuanya. Kebetulan keluarganya berkumpul dan itu memudahkan dirinya untuk menyampaikan rencananya. “Nggak ke kantor, Bang?” tanya Permata kepada Elang. Pasalnya, ini adalah jam kerja dan tidak biasanya Elang berada di rumah di jam kerja. “Mau bilang sesuatu, Bun.” “Kenapa? Pijar udah mau diajak nikah?” C
Yang perlu dipersiapkan Pijar saat menikah hanyalah jiwa dan raga. Segala hal yang perlu dilakukan untuk pernikahan sudah ada ahlinya masing-masing yang menangani. Kebaya untuk akad nikah dibuat langsung oleh Crystal, perhiasan di desaign langsung oleh Moza. Pijar hanya perlu datang untuk mencoba dan berkomentar.Tidak terasa hubungan Elang dan Pijar sudah melangkah lebih dekat menuju pernikahan. Mengambil keputusan untuk menikah bukan hal yang mudah untuk Pijar, tetapi memikirkan kehilangan Elang juga tidak bisa diterima oleh hatinya. Maka dari itu, keputusan untuk menikah dengan Elang akhirnya diambil dan menjadikan Elang sebagai tambatan hatinya yang terakhir.“Bagaimana rasanya setelah mengambil keputusan besar itu?”Malam ini Pijar bertemu dengan Rio dan mengatakan kalau dia akan menikah dengan Elang. Setelah lama tidak bertemu dengan Rio, Pijar muncul dengan membawa serta kabar baik. Rio tidak menanggapi dengan skeptis karena dia tahu jika perasaan Pijar dari awal begitu dalam u
Elang benar-benar gila sore ini. Dia seperti mendapatkan mainan baru sehingga tidak ingin melepaskan Pijar. Yang lebih membanggakan lagi adalaha tidak ada satu pun orang yang mengganggunya. Tidak ada ketukan pintu atau sejenisnya. Kedamaian itu terasa seperti di surga. Elang mengecup pundak Pijar sebelum menggigitnya. “Bangun, Sayang. Kita belum makan dan aku lapar.” Pijar enggan untuk membuka mata. Dia merasakan kantuk yang luar biasa sampai matanya terasa tak bisa dibuka. “Aku ngantuk. Makan saja sendiri.” Mata boleh tertutup, tetapi telinga yang aktif mendengar, membuat bibirnya sanggup bergumam. “Salah siapa nggak sabaran. Tulangku rasanya lepas semua.” Bukannya marah, Elang justru terkekeh. “Makanya jangan suka menggoda. Aku ini kalau udah berurusan sama kamu nggak akan bisa tahan.” Elang menyangga kepalanya dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya begitu aktif menjamah tubuh istrinya. Mulai dari perut lalu naik ke pundak. “Lang … ih!” Pijar mendorong suaminya itu den
“Aku ini laki-laki. Tahu cara laki-laki lain menatap perempuan yang dia suka. Dan laki-laki tadi melakukannya. Kamu pikir aku akan diam saja? Cih … tentu saja tidak.” “Ya, tapi nggak perlu kayak gitu juga, Lang. Dia itu pasti malu.” “Biar nggak ngelakuin begitu lagi.” Elang mana bisa dikalahkan. Benar atau salah pasti dia tetap akan mencari ucapan yang benar. Pijar tidak ingin berdebat dan memilih meninggalkan Elang di belakang. Elang menyusul, lalu memeluk pinggang Pijar sampai ke dalam ruangan. “Makan, yuk. Laper aku.” “Mau dipesenin apa?” tanya Pijar sambil meletakkan laptop dan juga dokumen di atas meja. Elang sama sekali tidak pernah melewatkan sekalipun makan siang bersama dengan Pijar sejak mereka menikah. “Nasi sambal ayam di tempat biasa.” Pijar segera memesan makan siang mereka sambil duduk di samping Elang. Elang menarik lengan Pijar agar perempuan itu jatuh di pelukannya. Pijar tidak menghindar dan memilih fokus pada ponselnya untuk memesan makan siang mereka. Har
Elang hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat penampilan Pijar. Usia kandungannya sudah 6 bulan. Perutnya sudah terlihat besar, tetapi sepatu tinggi yang digunakan sama sekali tidak pernah tertinggal. Sudah berkali-kali Elang melarangnya untuk tidak menggunakan sepatu berhak tinggi, tetapi pijar terlalu bebal untuk menuruti ucapan sang suami.“Yang ….”“Udah, ya, Mas. Aku udah tahu apa yang akan kamu bilang. Kamu pasti minta aku buat nggak pakai sepatu hak tinggi ‘kan?”Pijar tahu apa yang akan dikatakan oleh Elang, sehingga dia segera menjawab. Saat hamil, Pijar semakin suka berdandan. Sepatu hak tinggi menjadi koleksinya akhir-akhir ini. Pakaian-pakaian cantik berupa dress, tas, dan bahkan perhiasan. Sungguh bukan seperti Pijar yang sebelumnya.“Kamu tahu kamu lagi hamil, Sayang. Kamu boleh beli sebanyak yang kamu mau, tapi jangan dipakai dulu.”Pijar menyeringai. “Mubadzir kalau nggak dipakai,” jawab Pijar dengan santai seolah ucapan Elang bukan apa-apa. Lagi pula, dia sudah ah
Pernikahan itu tidak mewah seperti yang diinginkan oleh Ruby sebelumnya. Namun, bisa dirasakan begitu khidmatnya acara akad nikah tersebut. Tamu yang datang benar-benar hanya teman dekat dari dua belah keluarga sehingga acara itu sungguh begitu nyaman.Sepanjang acara, Orion tidak melepaskan Ruby sama sekali. Entah itu dengan menggenggam tangannya, memeluk pinggangnya, atau hanya menempelkan bahunya dengan bahu Ruby. Lelaki itu seolah tidak ingin ditinggalkan oleh Ruby. Acara itu hanya berjalan dua jam, tetapi Orion merasa dia lelah luar biasa.“Pa, Ma, aku pamit.” Ruby berdiri di depan anggota keluarganya untuk pergi dari rumah dan tinggal berdua dengan Orion. Mereka bahkan tidak ingin seharipun menginap di rumah orang tua Ruby.“Kamu baik-baik, ya. Sekarang kamu sudah menjadi istri. Yang nurut sama suami. Kalau ada sesuatu yang dirundingkan dan jangan asal ambil keputusan sendiri,” pesan ibunya dengan mata berkaca-kaca.“Iya, Ma. Aku ngerti.” Ruby mengangguk dan tidak lagi banyak bic
Ruby tampak anggun dengan dress navy di bawah lutut. Rambutnya diurai dengan model curly, make up tipis menghiasi wajahnya. Keseluruhan penampilannya begitu cantik luar biasa. Sebelumnya dia tak pernah berpenampilan seperti ini. Tentu saja hal itu membuat Orion tampak terpesona. Senyum tipis penuh makna itu terlihat di bibirnya. Dua keluarga itu duduk berhadapan untuk membicarakan masalah pernikahan. Pada akhirnya, hubungan yang dianggap tidak akan bertahan lama itu ternyata akan berakhir di pelaminan. “Untuk mengikat keduanya, kami sudah menyiapkan cincin pertunangan untuk mereka. Maaf kalau sebelumnya kami tidak mengatakan apa pun terkait ini, tapi, akan lebih baik kalau mereka tunangan lebih dulu.” Pijar meletakkan kotak cincin di atas meja dengan keadaan terbuka. Dua cincin berkilauan itu terlihat. Satu cincin bertahtakan berlian itu tampak begitu mewah dan indah. Cincin itu diperuntukkan untuk Ruby dan satu cincin polos tentu saja untuk Orion. “Bu Pijar, bukankah ini terlalu
“Pasti ada hal penting yang ingin dr. Daniel katakan kepada kami sehingga jauh-jauh datang ke kantor kami.” Elang menyambut dengan baik kedatangan Daniel. Setelah mengetahui jika Elang adalah seorang CEO, lelaki itu tampaknya mengubah pandanganya tentang Orion. Dia belum tahu mendalam tentang Orion dan keluarganya dan hanya dengan semua ini saja dia sudah terkejut luar biasa. Daniel mengangguk sebelum berbicara. “Ruby menerima tawaran Orion. Dia mau menikah dengan Orion dan saya diminta Papa untuk menemui Pak Elang untuk membicarakan tentang ini. Kapan keluarga kami bisa datang ke kediaman Pak Elang untuk membahas pernikahan?” Elang menatap Orion yang juga tengah menatapnya dengan serius. Dia tak memiliki apa pun untuk dikatakan. Lelaki itu hanya diam seolah masih mencerna setiap kejadian yang terjadi hari ini. “Kalau memang ingin membicarakan pernikahan, kami saja yang akan datang. Sekalian melamar secara resmi.” Elang menjawab dengan lugas dan tegas. “Tidak, Pak. Bapak dan kelu
“Aku sudah memutuskan untuk menikah. Nggak peduli kalau hanya menjadi ibu rumah tangga.” Setelah memikirkan selama berhari-hari, akhirnya Ruby mengambil keputusan dan mengatakan kepada keluarganya. setelah makan malam, dia mengumpulkan empat anggota keluarganya untuk diajak berbicara serius. Baginya semua akan sama saja. Dia sekarang terkurung di rumah besar orang tuanya tanpa melakukan apa pun. Semua yang dia mau sudah tersedia dan sekedar menginginkan es krim saja sudah tersedia. Ruby sudah merasa lelah dengan semua yang terjadi sekarang. Biarlah dia menikah dan menjadi istri Orion. Dia tidak pernah apa keputusannya menikah muda adalah keputusan yang tepat, tetapi baginya ini lebih baik. “Aku sudah memikirkan secara matang dan mendalam. Aku akan menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku banyak cinta dan Orion adalah orang itu.” Ruby menatap satu per satu keluarganya. Bisa dilihat bagaimana mereka tampak terkejut yang berusaha ditutupi. Rahang sang ayah tampak mengerat, pun d
Seluruh anggota keluarga Ruby dibuat terkejut dengan kemunculan Orion di rumah mereka. Orion tidak datang sendiri melainkan bersama dengan kedua orang tuanya. Lelaki itu seolah ingin menunjukkan keseriusannya kepada Ruby atas hubungannya dengan gadis itu. Ayah Ruby tentu saja menerima kedatangan mereka dengan santun selayaknya tuan rumah menerima tamu. “Maafkan kami, Pak, kalau kedatangan kami mengejutkan Bapak dan keluarga.” Elang mengawali. “Tujuan kami ke sini tak lain adalah untuk itikad baik kami dalam hubungan Orion dan Ruby.” Ruby yang juga berada di sana pun terlihat terdiam tak mengatakan apa pun. Elang adalah bos besar dan dia bahkan tidak pernah berhadapan langsung dengan lelaki itu sejauh dia bekerja di Infinity. Namun, sekarang lelaki itu tiba-tiba datang dan membicarakan masalah hubungan putranya dengan mantan karyawannya. Sungguh, dalam bayangan Ruby pun dia tak pernah menyangka hari ini akan tiba. “Orion mengatakan jika dia sangat mencintai Ruby dan tidak siap jika
Total sudah dua bulan Orion tidak bertemu dengan Ruby. Jangan tanyakan bagaimana rindunya lelaki itu kepada sang pujaan hati. Setelah dia mendapatkan alamat rumah orang tua Ruby, alih-alih segera mendatangi rumah gadis itu, dia justru terus memutar ucapan sang ayah di dalam kepalanya. Dia selama ini tidak pernah mendapatkan penolakan dalam hal apa pun. Tentu saja ada sebuah ketakutan yang muncul di dalam hatinya jika orang tua Ruby akan menolaknya mentah-mentah. Oleh karena itu, dia belum berani ambil resiko. Namun, semakin dia merasakan rindu itu menggebu, semakin tidak bisa dia mengendalikan emosinya. Hampir setiap hari dia marah kepada orang-orang di sekitarnya. “Silakan, Mas.” Orion terhenyak ketika seorang pelayan datang membawa pesanan makan siangnya. Dia mengangguk dan berterima kasih kepada pelayan tersebut sebelum memulai makan. Merasa ada yang memperhatikan, Orion mendongak dan seperti ada tamparan di wajahnya, tepat di depannya ada Ruby yang menatap ke arahnya. Orion den
Perjalanan cinta Orion sama sekali tidak mudah. Pertentangan itu bukan hanya muncul dari satu orang, tetapi satu keluarga Ruby. Orion memang belum pernah bertemu dengan ayah Ruby, tetapi dia pun yakin semua ucapan Daniel sudah mewakili ayahnya. Sekarang dia hanya menunggu sebuah keajaiban barangkali dia akan bertemu dengan Ruby tanpa disengaja. “Mas Orion.” Orion mendongak menatap dua orang yang ada di depannya. Dia memanggil dua orang tersebut untuk ke ruangannya. “Duduk!” perintahnya setelah itu. “Di antara kalian, apa ada yang tahu sesuatu tentang Ruby?” tanya Orion. “Kalian satu divisi dengan Ruby saya rasa mungkin ada sesuatu yang bisa kalian bagi tentang dia.” Dua orang itu saling menatap sebelum salah satu dari mereka menjawab. “Jujur saja selama kami bekerja bersama dengan Ruby selama ini, nggak pernah sekalipun dia bercerita tentang kehidupan pribadinya, Pak.” Orion sudah menduga jawaban itu yang diberikan. Namun, dia memilih untuk tidak berbicara lebih dulu. “Ruby itu ti
Seorang lelaki berbadan kekar berdiri di depan Ruby dengan wajah garangnya. Ruby tidak tahu kenapa ada lelaki asing itu di rumah orang tuanya, tetapi tiba-tiba saja dia mengingat ucapan ayahnya saat itu. Jika Ruby ingin ke mana-mana, maka ada seorang bodyguard yang akan menemaninya. Apa jangan-jangan ….“Namanya Brama.” Ayah Ruby tiba-tiba bersuara. “Dia yang akan menemani kamu ke mana pun kamu pergi. Kamu bisa jalan-jalan ke mana pun kamu mau dan Brama yang akan membayar semuanya. Papa sudah memberikan kartu debitmu kepadanya.” Ruby tahu kenapa ayahnya melakukan itu karena memang kartu debit yang diberikan kepadanya bahkan tidak diterima. “Aku nggak mau ke mana-mana.” Ruby berlalu dari hadapan sang ayah untuk pergi ke ruang makan. Ruby tidak berlama-lama mogok makan. Bagaimanapun dia tidak ingin mati secara mengenaskan hanya karena kelaparan. “Aku butuh HP-ku, Pa.” Ruby duduk di kursi makan. Menerima roti yang baru saja dibuatkan oleh ibunya. “Daniel bilang kalau kamu sudah dibel
“Semua urusan di kantormu sudah Abang selesaikan. Kamu per hari ini sudah nggak tercatat lagi sebagai karyawan Infinity.” Daniel baru saja pulang dari rumah sakit ketika melihat adiknya tengah melamun di halaman samping rumah dengan sebuah buku di tangannya. Lelaki itu meletakkan barang belanjaan di atas meja sebelum duduk di kursi berseberangan dengan kursi yang diduduki oleh Ruby. “Ini Abang belikan HP dan tablet baru buat kamu. Nomornya sudah ada dan kamu tinggal pakai.” Ruby melirik tanpa minat seolah dia tak membutuhkan itu. Untuk apa barang-barang mewah itu? Toh dia sebenarnya membutuhkan itu untuk bekerja. Sekarang semuanya sudah berakhir dan sudah tidak menyisakan apa pun lagi di dalam hidupnya. “Non Ruby, dipanggil untuk ke ruangan Bapak.” Belum satu terjawab, dia sudah diminta menghadap sang ayah. Betapa kakunya hidupnya sekarang. Ini adalah hal yang paling tidak disenangi ketika dia berada di rumahnya. Segalanya terasa begitu berat untuknya. Ruby beranjak untuk menemui