Bibi Ani membuka pintu lemari dengan hati-hati, berusaha mencari selimut yang dia butuhkan. Namun, sebelum dia bisa mencari lebih lanjut, Stella tiba-tiba menghentikannya dengan nada yang panik.“Bibi!” serunya cepat, suaranya bergetar oleh kecemasan yang tiba-tiba muncul.Bibi Ani memalingkan kepalanya ke arah Stella yang berdiri di belakangnya dengan ekspresi heran. “Kenapa, Stella?” tanyanya, mencoba menangkap gelagat yang tidak biasa dari keponakannya.“Bibi mau mengambil selimut, kan? Selimut Bibi ada di tempat tidur.” Stella menunjuk ke arah tempat tidur, di mana selimut masih terlipat rapi.Bibi Ani memandang ke arah tempat tidur, baru menyadari keberadaan selimut yang dimaksud oleh Stella. “Oh ya, selimut itu memang bekas milikku,” gumam Bibi Ani sambil menepuk pelan jidatnya, mengakui kesalahannya karena lupa bahwa selimutnya masih ada di tempat tidur.Stella mengangguk cepat, membenarkan kesimpulan Bibi Ani. “Ya, ini belum dipakai kok, Bibi,” tambahnya sambil menunjuk ke sel
Stella merangkulkan kedua lengannya dengan santai di leher kokoh Tristan. Dalam keadaan yang intim seperti ini, tatapan matanya yang menenangkan berhasil menembus jantung Tristan, memberinya kelegaan dan ketenangan di tengah-tengah kebingungan yang melanda pikirannya. Tristan merasa hangat oleh kehadiran Stella, dan dia merasakan sentuhan halus rambut wanita itu saat ia menyelipkan sehelai rambut ke belakang daun telinga Stella.“Apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Stella dengan suara yang tenang, tetapi pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan yang lebih dalam. Apa yang sebenarnya diinginkan Tristan? Apakah tindakannya ini hanya bagian dari candaan ataukah ada sesuatu yang lebih serius di baliknya?Tristan tersenyum melihat ketenangan yang terpancar dari wajah Stella. Dia merasa seperti dia bisa merasa aman dengan wanita ini, seperti bisa menemukan kedamaian di sampingnya. Namun, di balik senyumnya yang ramah, ada kegelisahan yang tidak terungkap di dalam hatinya. Apa yang sebenarnya
Stella melangkah dengan gerakan yang agak gontai menuju dapur, merasa kerongkongannya kering dan haus yang menggebu-gebu. Meskipun matahari sudah menyinari bumi dengan sinarnya, udara pagi masih terasa dingin, membuatnya merinding sedikit.Sesampainya di dapur, Stella melihat Bibi Ani sibuk memasak di dapur. Senyum melintas di wajahnya ketika Bibi Ani melihat ke arahnya. Stella mengambil gelas di rak. Tanpa berlama-lama, ia segera mengisi gelasnya dengan air dari teko.“Pagi, Bi,” sapa Stella sambil mengucapkan salam. Stella menenggak air dengan lahap, merasakan kesegaran menyebar di kerongkongannya.“Pagi juga, Stella. Kamu sudah bangun?” sahut Bibi Ani dengan senyum hangat, membalas sapaan Stella sambil memperhatikan kegiatannya.Stella mengangguk. Ketika gelasnya sudah kosong, ia pun menuangkan air lagi ke dalam gelasnya. “Bibi sedang masak apa?” tanyanya sambil menatap Bibi Ani yang sibuk.Bibi Ani tersenyum. “Bibi sedang memasak nasi goreng,” jawabnya, sambil tetap fokus pada pek
Stella dengan cepat menepis tangan Tristan yang sedang mengelap keringatnya ketika dia melihat Dafina tengah memperhatikan mereka berdua. Ia khawatir akan kesan yang diberikan oleh Dafina, Stella langsung berdiri dari batu yang sedang ia duduki dan bergegas berjalan menuju beberapa sapi yang berada di peternakan.Stella mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri saat berjalan menuju hewan-hewan yang merumput di padang rumput hijau. Wanita itu mencoba membuang perasaan canggung yang menghampirinya sejak Tristan menyentuhnya tadi. Dia tak ingin membuat situasi menjadi canggung di antara mereka bertiga.Sementara itu, Tristan diam-diam menghela napas lega saat Stella beranjak dari tempat duduknya. Dia menyadari bahwa tindakannya tadi mungkin terlalu gegabah untuk diperlihatkan di depan Dafina. Dengan cemas, dia berharap tindakannya itu tidak menimbulkan kesan yang salah.‘Ada hubungan apa sebenarnya dengan mereka berdua? Bukankah aku sudah mengingatkan Stella agar tak lagi mendekati Tuan
Wajah Bi Ani terlihat begitu khawatir saat melihat Tristan yang sudah sampai di rumah dengan Stella yang ada di gendongannya. Dia langsung merasa cemas dan bertanya dengan panik. “Apa yang terjadi dengan Stella, Tristan?”Tristan menatap Bi Ani dengan ekspresi serius. “Stella terjatuh di peternakan, Bi,” jawabnya, sambil meletakkan tubuh Stella dengan perlahan di kursi yang ada di depan rumah.Paman Dul yang sedang sibuk memotong rumput di halaman rumahnya, mendengar kehebohan dan segera bergegas ke arah mereka. “Apa yang terjadi, Stella?” tanyanya, khawatir.Stella menunjuk sepatu bootnya dengan raut wajah bersalah. “Itu gara-gara sepatuku,” akunya, merasa malu.Paman Dul menggelengkan kepala dengan sedikit kesal. “Kamu ini Stella, selalu saja terjadi hal-hal seperti ini,” ujarnya, sambil menepuk pelan jidatnya.Sementara itu, Tristan yang masih berlutut di dekat Stella, memeriksa luka di lututnya. Dia kemudian menoleh ke arah Bi Ani dengan bertanya. “Apa Bibi punya obat luka?”Bi Ani
Ketika Tristan berada di luar kamar, matanya tertuju pada sebuah vas bunga yang terjatuh di lantai. Langkahnya terhenti, dan dia merenung sejenak, mencoba mengidentifikasi penyebab jatuhnya pas bunga itu. Dengan hati-hati, Tristan memindai setiap sudut ruangan, mencari petunjuk atau tanda-tanda yang mungkin membantunya memahami kejadian tersebut.Saat Tristan mendekati pembatas dinding, matanya terfokus pada siluet seseorang yang ia kenal. Meskipun tanpa bicara, Tristan dengan cepat menyimpulkan siapa yang mungkin menjadi penyebab jatuhnya vas bunga itu. Namun, dia memilih untuk kembali lagi ke kamar menemui Stella.Ketika Tristan kembali ke dalam kamar, Stella langsung bertanya “Siapa yang berada di luar?”“Tidak apa-apa, hanya vas bunga yang terjatuh,” jawab Tristan, sengaja merahasiakan identitas orang yang ia lihat tadi. Dia ingin melindungi Stella dari rasa khawatir yang tak perlu, tidak ingin menambah beban di pundak wanita yang ia sayangi.***Saat malam tiba, Stella merasa leb
Di dalam mobil yang gelap, Tristan menunggu dengan sabar di dekat gang yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah Bi Ani dan Paman Dul. Namun, waktunya terus berlalu dan Stella belum juga muncul. Tristan mulai merasa cemas dan mencoba mengirim pesan kepada Stella untuk mengetahui keberadaannya. Namun, belum juga Tristan mengirim pesan kepada Stella, ada yang mengetuk pintu mobilnya.Tristan terkejut saat melihat Stella di luar mobil. Dia membuka kunci pintu mobil dengan cepat, menyambut kedatangan Stella dengan senyum ramahnya. “Ada apa? Kenapa kamu lama sekali?” tanyanya yang sedikit khawatir.Stella masuk ke dalam mobil dengan wajah yang sedikit terengah-engah. “Bagaimana menurutmu, apakah Paman dan Bibi curiga kepada kita?” tanyanya begitu duduk di kursi yang ada di samping Tristan.Tristan memikirkannya sejenak sebelum menjawab, “Sepertinya tidak.” Dia memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, lalu menatap Stella dengan penuh perhatian. “Tapi dengan penampilanmu seperti ini, m
Setelah beberapa menit mengendarai mobil hitamnya, Tristan memutuskan untuk menepikan kendaraannya di pinggir jalan yang berdekatan dengan pasar malam. Stella memandang dengan antusias ke arah pasar malam yang begitu ramai. Sorot matanya berbinar melihat permainan-permainan yang menjulang tinggi ke atas langit.Mereka berdua keluar dari mobil dengan penuh semangat. Langkah-langkah mereka terhenti sejenak ketika aroma makanan khas pasar malam menyambut mereka, menggoda lidah dan penciuman mereka. Tristan melihat senyum cerah di wajah Stella, membuatnya merasa senang.“Kamu suka?” tanya Tristan sambil tersenyum melihat kegembiraan Stella.Stella mengangguk cepat. “Iya, aku suka sekali! Pasar malam ini begitu hidup dan bersemangat.”Tristan tersenyum puas melihat antusiasme Stella. “Ayo kita jelajahi pasar malam ini.”Mereka berdua berjalan menyusuri deretan kios-kios yang berjejer di sepanjang jalan. Suasana pasar malam begitu riuh dengan suara jualan, tawa riang anak-anak, dan lampu-la
Keesokan paginya, Stella terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Dia menoleh ke samping dan melihat Tristan masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya tampak damai dan bahagia. Stella bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Tristan. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru sebagai seorang istri. Ketika Stella selesai bersiap, dia keluar dari kamar mandi dan menemukan Tristan yang sudah bangun dan sedang duduk di tepi tempat tidur. "Selamat pagi," sapa Tristan dengan senyum lebar. "Selamat pagi," balas Stella sambil menghampiri Tristan dan duduk di sampingnya. "Apa kau tidur nyenyak?" tanya Tristan sambil mengusap lembut rambut Stella yang masih basah. "Ya, terima kasih. Kamu?" balas Stella sambil menatap mata Tristan dengan penuh cinta. "Aku juga. Ini hari pertama kita sebagai suami istri. Apa rencana
"Hay Stella," sapa Weni dengan senyum ramah. "Oh, iya, aku hanya kaget saja. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Stella, yang juga tersenyum ke arah Weni. "Aku pasti datang, Stella. Selamat ya," ucap Weni dengan tulus. Stella dan Tristan memang sempat ragu untuk mengundang Weni ke pernikahan mereka, terutama dengan apa yang terjadi belakangan ini. Weni masih bersikukuh untuk mendapatkan hati Tristan kembali. Namun, Tristan tak goyah dengan pendiriannya untuk terus bersama Stella. Meskipun beberapa orang menentang pernikahan mereka, terutama karena sebelumnya Weni menginginkan pernikahan bisnis dengan Tristan untuk membantu perusahaan yang dikelola Tristan, tapi Tristan tetap menolaknya. Tristan lebih memilih cara lain. Ia bahkan pergi ke luar negeri untuk mengurus semuanya dan bekerja sama dengan perusahaan asing. Setelah kembali ke Indonesia, usaha keras Tristan membuahkan hasil. Ia akhirnya bisa membangun kembali perusahaan keluarganya tanpa harus bergantung pada perni
Stella memandangi dirinya dalam cermin, memperhatikan gaunnya yang terlihat begitu indah. Gaun itu berwarna putih gading dengan desain klasik yang elegan. Potongan A-line yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna, sementara renda halus menghiasi bagian atas gaun, memberikan sentuhan romantis. Tali bahu yang tipis menambahkan kesan anggun, dan ekor gaun yang panjang menambah kemegahan penampilannya. Veil yang panjang menutupi punggungnya, melengkapi penampilan yang sempurna sebagai pengantin. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Tristan. Ia tak menyangka bila akhirnya bisa menikah dengan pria yang begitu dicintainya. Stella teringat kembali saat-saat ketika ia dan Tristan pertama kali bertemu kembali di kantor. Waktu itu, Tristan menggantikan Damian sebagai CEO, dan Stella menjadi sekretarisnya. Mereka tak sengaja bertemu di ruang rapat saat Tristan baru saja mengambil alih jabatan. Stella merasa canggung, tapi Tristan dengan senyum hangatnya membuat Stella merasa nyaman. Pe
"Tristan," gumam Stella lirih, matanya sudah berkaca-kaca ketika melihat Tristan yang ada di hadapannya kini. Tristan malam ini tampil begitu menawan dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya disisir rapi, dan ia membawa buket bunga mawar merah yang cantik di tangannya. Cahaya lilin yang redup membuat penampilannya terlihat semakin mempesona. "Stella," kata Tristan ketika melihat Stella yang hanya terdiam. "Ini beneran kamu?" tanya Stella, mencoba untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. Tristan mengangguk dan memberikan buket bunga mawar yang cantik kepada Stella. Stella meraih bunga tersebut dengan perasaan kesal. "Jahat," gumamnya. "Jahat?" tanya Tristan sambil mengerutkan keningnya, ia merasa bingung. "Kamu jahat," kata Stella dengan suara serak. "Aku sudah menghubungi bahkan mengirim banyak pesan kepadamu, tapi kamu tidak membalasnya." Tristan tersenyum, lalu mengusap air mata yang jatuh di pipi Stell
"Sayang, bangun, ini sudah jam 8 pagi. Apa kamu mau tidur terus?" Safira membangunkan anaknya, Stella, yang masih tidur begitu pulas. Ia mengelus rambut Stella dengan lembut, berharap putri kesayangannya itu bangun. Stella menggeliat ketika merasakan tangan hangat ibunya mengelus rambutnya. "Stella masih ngantuk," gumamnya, yang masih enggan untuk bangun. "Ini udah pagi, Sayang. Mama sudah siapin sarapan, kita sarapan bareng, ya." "Hm, Stella nggak laper," jawab Stella dengan suara serak. "Tadi malam kamu juga makannya cuma sedikit. Sekarang harus makan lagi, ya." "Tapi, Ma ...." "Hust, nurut sama mama, ya. Di luar juga ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu." Stella langsung membuka matanya lebar-lebar ketika ibunya berkata ada seseorang di luar. "Siapa, Ma?" "Temui dia, dia bilang sudah kangen sama kamu." "Mm, iya deh, Ma," ujar Stella sambil bangun dari tidurnya. Ia pun menyingkap selimut dan mulai merapikan rambutnya yang masih berantakan. Namun, ketika Stel
"Ya, tiba-tiba ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan, dan aku juga mau menemui kamu. Aku nggak bisa tinggal lama di Jakarta," kata Elsa dengan nada menyesal. Stella menghela napas panjang. "Aku mengerti, tapi aku terkejut mendengar itu. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?" Elsa tertawa kecil. "Tenang, Stella. Aku cuma sebentar di Jogja. Lagi pula, aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sudah kangen sama kamu. Memangnya kamu gak kangen sama aku?" Stella tersenyum lemah. "Hm, ya, aku juga kangen sama kamu." Stella menghela napas lega. "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini." "Aku akan segera menemui kamu, Stella. Kita bisa ngobrol banyak hal seperti biasa," ujar Elsa dengan nada meyakinkan. "Baiklah. Jaga diri di perjalanan, ya. Dan segera hubungi aku kalau sudah sampai Jogja," kata Stella dengan suara pelan. "Pasti, Stella. Kamu juga jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku selalu siap buat kamu," balas Elsa. "Terima kasih,
Safira terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Stella, tetapi ia tetap tenang. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Tristan tidak ada di sini sekarang, dan mama khawatir kamu akan sendirian mengurus semuanya." Stella menggelengkan kepalanya. "Aku tidak butuh orang lain, Ma. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan bayiku." Emir yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Stella, kami hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian. Kami tahu ini berat, tapi coba beri kesempatan." Stella mendesah, ia merasa frustrasi, begitu bingung dengan sikap kedua orang tuanya. "Aku sudah bilang, aku tidak butuh orang lain. Aku hanya ingin fokus pada kesehatanku dan bayiku." Safira mencoba mendekati Stella dan memegang tangannya. "Sayang, mama mengerti perasaanmu. Tapi setidaknya, temuilah dia. Tidak ada salahnya berteman, 'kan?" Stella menarik tangannya dari genggaman Safira. "Ma, aku sudah punya Tristan. Meski dia tidak ada di sini sekarang, aku yakin dia akan kembali dan bertanggung jawa
Stella baru saja selesai mandi dan berjalan ke arah meja. Wanita yang masih mengenakan bathrobe itu segera meraih ponselnya yang ada di atas meja. Ia membuka layar ponselnya dan memeriksa pesan serta panggilan yang masuk. Namun, tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari kekasihnya, Tristan. "Apa dia begitu sibuk sampai tak mengabariku?" gumam Stella sambil memandangi ponsel yang ada digenggamannya. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya. Stella pun mencoba untuk menghubungi Tristan, namun ponsel lelaki itu ternyata tidak aktif. Rasa kecewanya semakin bertambah. Akhirnya, Stella memutuskan untuk mencoba menghubungi Dafina, sekretaris Tristan yang ikut pergi ke luar negeri. Ia berharap mendapatkan kabar tentang Tristan dari Dafina. Stella menunggu beberapa saat hingga panggilannya terhubung. "Halo, Dafina?" sapa Stella dengan nada penuh harap. "Halo, Stella. Ada apa?" balas Dafina dari ujung telepon. "Dafina, aku khawatir karena tidak bisa menghubungi Tristan. Ponselnya tid
Stella sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak ingin meninggalkan Jakarta, tapi ibunya tetap saja bersikeras. Safira terus melipat baju-baju Stella dan memasukkannya ke dalam koper dengan cepat. "Ma, aku sudah bilang aku gak mau," rengek Stella, suaranya terdengar putus asa ketika melihat ibunya yang tak berhenti memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Safira menghela napas panjang dan menatap Stella dengan mata penuh kasih sayang. "Sebentar saja, Stella. Memangnya kamu tidak mau melihat adik-adikmu dan papamu di kampung?" Stella menghela napas panjang, ia merasa terpojok. "Baiklah, tapi aku tidak mau Mama membawa semua baju-bajuku. Aku masih punya banyak urusan di sini." Safira tersenyum sedikit, ia merasa senang karena Stella mulai luluh. "Mama hanya membawa beberapa bajumu saja. Sekarang, bersiaplah. Kamu mandi dulu. Mama takut kita akan ketinggalan kereta." Stella mengangguk dengan enggan. "Hm, baiklah." Stella berjalan gontai menuju kamar mandi, merasa berat hati