Sesampainya di bandara kota Bangkok, Thailand. Hardiansyah memimpin jalan dengan membawa Dinara menggunakan kursi roda menuju rumah sewa mereka untuk mereka menyimpan barang-barang mereka lebih dulu untuk setelahnya mereka menuju rumah sakit. Kali ini kedua orang tua Dinara mengharapkan dan mengandalkan Hardiansyah untuk membimbing jalan mereka dan juga melindungi Dinara.
Kini Dinara dan yang lain sudah berada di rumah sakit dan mereka akan mengurus surat administrasi pendaftaran Dinara lebih dulu. Setelah selesai, Hardiansyah mendorong kursi roda Dinara melewati beberapa lorong menuju ruang dokter khusus syaraf dan diikuti oleh kedua orang tua Dinara.“Om, Tan, Hardi gak bisa lama di sini, mungkin lusa Hardi akan pulang ke Jakarta atau nanti pria gila itu akan curiga dan melacak Dinara. Tapi kalian tenang aja, sebisa mungkin dan secepat mungkin Hardi akan melindungi kalian. Aku akan rahasiakan keberadaan kalian sampai tidak ada seorang pun yang tau kalau kaliaDinara terlihat sangat terkejut mendengar ucapan Hardiansyah barusan. Itu benar-benar sangat menakutkan. Apakah Arka ingin mencelakainya lagi setelah Dinara keguguran? Bayangan buruk nan menyeramkan kini terputar di kepala Dinara membuat Dinara mendadak merasa sakit kepala hingga Dinara harus dibawa kembali ke kamarnya padahal Dinara baru belajar berjalan selama 10 menit di lorong dekat kamar Dinara dengan diawasi oleh perawat. “Dinara, maaf aku buat kamu sakit lagi.” Hardiansyah merasa bersalah pada Dinara yang saat ini sedang diperiksa oleh dokter sedang Dinara tidak merespon sama sekali karena sibuk menahan rasa denyut di kepalanya. Setelah Dinara diperiksa dan diberi obat khusus sakit kepala, Dinara sudah terlihat lebih tenang. Dinara diam merenungkan dan memikirkan apa yang sedang Arka lakukan saat ini. Dinara selalu sangat marah ketika mengingat rekaman suara itu. Jika bisa, Dinara ingin membalas dendam pada Sandra dan juga Arka nanti. “Nis, ka
“Dia pikir dia bisa menipuku hah? Dasar bodoh,” ujar Arka ditujukan pada Hardiansyah setelah mereka berada di dalam pesawat pribadi milik keluarganya. “Untung aja tadi Pak Dimas ngasih tau sebelum kita berangkat, Tuan. Kalau tidak, kita pasti akan benar-benar terjebak. Tapi, ngapain si bodoh itu ke Singapura?” Sahut Dimas memberi reaksi pada Arka yang terlihat tengah bersantai bermain ponsel. Sesampainya mereka di bandara, mereka segera melaju menuju rumah sakit tempat teman Arka bertugas. Sayangnya ternyata Arka terlambat karena Dinara sudah keluar dari rumah sakit pagi tadi, tepatnya 2 jam yang lalu. Terpaksa Arka dan Dimas harus bekerja keras lagi untuk mencari mereka tanpa alamat dan juga nomor ponsel karena tak satupun dari keluarga Dinara yang memakai nomor ponsel lama mereka. Sebelum pergi dari rumah sakit tadi, Hardiansyah menyuruh Dinara dan kedua orang tuanya untuk mengganti kartu telepon mereka dengan yang baru yang sudah Hardiansyah persi
“Apakah kita salah kamar? Tidak ada orang di sini,” ujar Dinara pada mamanya. “Iya, kayaknya kita salah kamar. Yaudah kita pergi aja dari sini.” Yulia menarik Dinara menjauhi kamar yang tampak kosong tersebut namun seseorang petugas hotel yang bersama mereka tiba-tiba mendorong Dinara dan Yulia masuk ke dalam kamar dan menguncinya. “Ma, kita dijebak.” Dinara sangat panik dan segera berjalan ke arah pintu dan menggedor-gedor pintu. “Dinara, kamu duduk dulu saja di sana, biar mama yang buka pintunya. Kalau kamu bawa ponsel, segera hubungi polisi yang menunggu di depan tadi.” Pinta Yulia pada Dinara seraya Yulia berusaha berteriak mengetuk pintu. Dinara belum sepenuhnya pulih, maka dari itu Yulia meminta agar Dinara duduk saja dan tidak terlalu banyak bergerak agar sesuatu yang tidak diinginkan tidak sampai terjadi. Dinara berusaha menghubungi polisi yang tadi pergi bersama dengan mereka, tapi ternyata mereka sudah pergi dan tengah meng
Malam semakin larut dan Dinara masih belum memberikan jawabannya. Dinara tampaknya belum menyerah untuk bisa kabur dari Arka yang sejak tadi memperhatikannya. Tadi Arka sudah memesan makan malam untuk mereka dan saat ini, pintu kamar mereka terdengar diketuk oleh seseorang. Segera Dinara dengan cepat berdiri di depan pintu sedang Arka hanya tersenyum dari atas ranjang. “Percuma saja, kamu tidak bisa kabur. Hotel ini sudah aku beli dan mereka akan memihakku untuk menangkap kamu. Jangan habiskan tenaga kamu untuk kabur.” Arka bangkit dari atas ranjang dan berjalan ke arah pintu untuk membuka pintu. Setelah pintu dibuka, seorang pelayan masuk ke dalam kamar Arka dan mengantarkan makanan pesanan Arka. Tak lama setelahnya, pelayan tersebut pergi namun Dinara tampaknya tidak berani kabur sehingga Arka menertawakan Dinara yang masih tidak percaya jika Arka sudah membeli hotel ini. “Kamu bohong kan? Mana mungkin kamu beli hotel ini,” ujar Dinara mulai merasa
Entah kenapa sangat sulit bagi Hardiansyah untuk mendapat akses berangkat ke Thailand. Semua tiket mendadak habis untuk penerbangan hari ini padahal Hardiansyah harus segera sampai ke sana dan menyelamatkan Dinara dari Arka. Hardiansyah tidak hilang akal, segera Hardiansyah menghubungi temannya yang waktu itu meminjamkan pesawat pribadinya pada Hardiansyah. Namun sial seribu sial, pesawat pribadi tersebut ternyata sedang disewa oleh orang perusahaan lain untuk tour bisnis mereka. Hardiansyah harus bersabar hingga besok untuk bisa mendapat tiket penerbangan menuju Thailand. Sebenarnya bisa saja jika Hardiansyah melakukan penerbangan ke Malaysia atau Singapura lebih dulu lalu setelahnya Hardiansyah baru menuju Thailand. Tapi dalam keadaan panik seperti ini, akal Hardiansyah mendadak kering. Pagi hari. Dinara terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya sedang berada di dalam pelukan Arka yang terlihat masih asik tertidur. Posisi ini sangat tidak nyaman bagi Dinara karena Dinara memb
Dinara diam berpikir lama, namun tiba-tiba saja Dinara tersenyum dan mengangguk setuju. Ternyata sejak tadi Dinara memikirkan tentang rencana balas dendamnya dan ini adalah pilihan yang bagus untuk Dinara dengan menggunakan hati dan kepercayaan Arka. Nanti jika sudah saatnya, Dinara akan menunjukkan apa itu karma. Dinara tidak bisa melawan Arka dengan cara memberontak, jadi asal Dinara memiliki kepercayaan dan cinta Arka, maka ini akan lebih baik untuk Dinara melakukan balas dendam. Setidaknya keluarga Dinara akan aman dan mereka bisa pulang. Acara dilakukan sesingkat mungkin. Setelah acara tukar cincin dan berfoto sudah selesai, Dinara yang merasa tidak nyaman berada di sana sengaja mengajak Arka untuk kembali ke hotel padahal mereka belum melakukan makan siang romantis berdua. Tapi karena tidak ingin membuat Dinara jenuh, akhirnya Arka setuju untuk membawa Dinara kembali ke hotel dan menemui orang tuanya yang sudah tidak diikat lagi namun tetap dijaga oleh Di
Setelah berpikir panjang akhirnya Arka memutuskan untuk mengembalikan ponsel Dinara agar Dinara tidak merasa kalau Arka mengekangnya. Setelah Arka menyerahkan kembali ponsel Dinara pada Dinara, segera Arka berlalu masuk ke dalam kamar mandi berharap Dinara tidak akan membuat masalah. Dinara memastikan Arka masuk ke dalam kamar mandi dan dirinya mulai mengubungi orang tuanya yang kini mungkin baru saja sampai di Jakarta. Panggilan terhubung dan Dinara mulai mengobrol dengan orang yang ia hubungi tersebut sampai Arka keluar dari kamar mandi dan Dinara menutup teleponnya entah Dinara sengaja atau apakah ini hanya sebuah kebetulan saja. “Uda selesai, Sayang? Ngomong sama siapa tadi?” Arka berbasa-basi. “Mama,” jawab Dinara singkat lalu berpura-pura Dinara menyerahkan ponselnya pada Arka namun untungnya Arka menolak dan memberi Dinara kebebasannya. “Itu hak kamu dan milik kamu. Kamu simpan saja,” ujar Arka berlalu mengambil pakaiannya dan memak
“Sayang, aku takut.” Dinara berlindung di dalam pelukan Arka membuat Sandra merasa semakin diprovokasi oleh Dinara sedang Arka segera menyuruh petugas untuk menyuntikan sesuatu pada Sandra. Dinara tersenyum senang dengan jahatnya di depan kesengsaraan derita Sandra yang berteriak memberontak dan berteriak kesakitan. Ini sangat mengerikan hingga Dinara segera menutup mata dan telingannya ketika mendengar Sandra berteriak. Sedang Arka dengan cepat membawa Dinara yang terlihat ketakutan keluar dari ruangan tersebut. “Kamu baik-baik aja kan, Sayang?” Tanya Arka setelah mereka berada jauh dari ruangan isolasi Sandra. “Aku baik-baik aja, terima kasih. Tapi bagaimana dengan wanita itu? Apa yang disuntikkan padanya?” “Itu obat penenang. Kamu tenang aja. Tidak ada orang yang bisa menyakiti kamu selama aku masih hidup. Aku akan melindungi kamu dari apapun.” Arka kembali memeluk hangat Dinara seolah Arka mengatakan jika Dinara akan aman berada di dek
"Dinara? Ya, pasti ini." Raisa tersenyum puas merasa beruntung karena tiba-tiba Dinara mengirimkan pesan pada Hardiansyah. Raisa juga sangat yakin dengan nama Dinara di kontrak ponsel Hardiansyah. Sayangnya Raisa tidak bisa mengambil nomor ponsel Dinara karena Raisa tidak mengetahui password ponsel Hardiansyah.Isi pesan Dinara. "Hai, Har. Apa kabar? Rasanya Uda lama banget ya kita gak ngobrol bareng. Aku ada sedikit problem nih dan aku butuh banget kamu. Kira-kira kapan dan dimana ya kita bisa ketemuan?" Membaca itu, Raisa jadi memiliki ide untuk ikut dengan Hardiansyah saat Hardiansyah pergi nanti. Dengan begitu, Raisa bisa lebih dekat dengan Dinara dan Raisa juga sangat yakin, orang yang bisa membantunya adalah Dinara."Baiklah, aku harus mengenalnya dan dekat dengannya. Dengan begitu, aku akan punya alasan untuk keluar dan mendekatkan diri pada wanita itu." Raisa bermonolog seraya mengembalikan ponsel Hardiansyah.Tak lama, Hardiansyah pulang ke rumah dengan diantar oleh Sandra.
"Temui aku di kantor sekarang juga." Arka menghubungi Sandra dan memintanya segera datang."Oke." Singkat Sandra tersenyum seakan dia menang. Di kantor Arka, tepatnya di dalam ruangan Arka."Bagaimana, Sayang? Aku sudah datang," ujar Sandra mendekat ke arah Arka hendak menggodanya. Namum, bukannya tergoda oleh Sandra, Arka malah terlihat jijik dan menghindari sentuhannya."Duduk di sana." Pinta Arka menunjuk ke arah kursi yang ada di seberang mejanya.Sandra tidak menjawab dan hanya menuruti perintah Arka. Setelah Sandra mendudukkan bokongnya. Barulah obrolan berjalan."Baiklah, apa yang ingin kamu bicarakan denganku?" Sandra memulai obrolan karena Arka tak kunjung memulai obrolan."Aku ingin kamu lakukan tes ulang, bukan di rumah sakit yang sama." Pinta Arka secara blak-blakan membuat Sandra sedikit terkejut namun Sandra masih tetap memaksa senyum."Ternyata kamu masih belum percaya aku ya. Bagaimana kalau aku menolak?" Sandra memastikan apa yang saat ini muncul di otaknya.Kalau b
Setelah mandi dan berpakaian, Raisa kembali mendudukkan bokongnya ke bibir ranjang dan menggulung rambutnya tanpa menggunakan apapun. Wangi khas yang semerbak dari Raisa tercium dalam oleh Hardiansyah.Aroma tubuh Raisa bercampur dengan aroma segar dari sabun yang Raisa gunakan selalu menjadi favorit Hardiansyah.Hardiansyah membuka matanya dan bergerak mendekati Raisa, memeluknya lalu menarik tubuh Raisa hingga tubuh Raisa ambruk di atasnya."Temani aku sebentar, Sayang. Tetap dalam posisi ini, ya." Pinta Hardiansyah memejamkan matanya lagi dan mengunci posisi Raisa yang ambruk di atasnya."Tapi aku sudah tidur tadi. Aku gak pengen tidur lagi," ujar Raisa merasa tidak nyaman dengan posisinya sebab tangan Hardiansyah terlalu erat memeluknya.Merasakan ketidaknyamanan Raisa, Hardiansyah segera menaruh tubuh Raisa ke sampingnya dan memeluknya erat."Sebentar saja," ujar Hardiansyah sedikit memelas dengan suara seksinya yang Raisa pun tidak mampu menolaknya selain hanya menghela nafas pa
Di apartemen Sandra."Bagaimana cara kamu melakukannya? Dan soal tadi, terimakasih ya, kamu menyelamatkan aku." Hardiansyah duduk santai di atas sofa memperhatikan Sandra yang baru saja selesai mandi dan bergerak ke sana-kemari tanpa busana.Sandra tersenyum licik. "Kamu mau tau bagaimana caranya?" Wanita jahat itu berjalan ke arah Hardiansyah dengan wajah menggoda kemudian duduk di pangkuan Hardiansyah sedang Hardiansyah hanya diam saja."Aku tidur dengan dokter itu. Aku menjadi selingkuhannya hahaha. Bagaimana menurutmu?" Sejenak Hardiansyah panas dan jijik, tapi Hardiansyah juga harus sadar diri dengan keadaan mereka semua dan status mereka."Apa menurutmu dia merasa puas olehmu? Kamu bisa?" Hardiansyah tampak meremehkan Sandra dari raut wajahnya."Tentu saja. Malah aku yang kurang puas. Aku hanya puas denganmu saja, Sayang. Bagaimana kalau kita," goda Sandra mengajak Hardiansyah."Aku lelah. Aku tadi baru main sama Raisa." Hardiansyah membalas balik melihat reaksi Sandra yang sek
Sesampainya di rumah setelah berdiaman di dalam mobil. Dengan wajah murung Raisa masuk ke dalam rumah lalu langsung masuk ke dalam kamar dengan membantingnya.Raisa tidak ingin Hardiansyah masuk ke dalam kamar, oleh sebab itu Raisa mengunci pintu kamar. "Aku harus cari sesuatu yang bisa membantuku mengetahui siapa aku." Pikir Raisa membongkar isi kamarnya sedang Hardiansyah mencoba membuka pintu dengan membujuk Raisa. Tapi Raisa tidak mendengarnya sama sekali."Bagaimana ini bisa terjadi? Kalau begini terus, semuanya bisa berantakan." Pikir Hardiansyah menjambak rambutnya kesal."Untung aja Sandra datang di saat yang tepat. Setelah mengurus anak ini, aku akan segera menemui Sandra." Hardiansyah harus menyusun rencana ulang. "Baiklah, aku harus buat Raisa tidur dulu, aku akan kurung dia sebentar di rumah, lalu aku akan pergi menemui Sandra." Tidak ingin menggunakan cara kekerasan, Hardiansyah mencari kunci cadangan pintu kamarnya untuk membuka pintu. Hardiansyah punya beberapa, jad
"Aku seperti mengenal wanita itu. Aku merasa familiar dengannya," jawab Raisa jujur."Baiklah. Sekarang fokus sama kesehatan kamu dulu ya. Dokter dan perawat uda siap. Kamu juga bersiaplah," ujar Hardiansyah memberi arahan pada Raisa.Raisa menurut dan proses pemeriksaan segera berjalan. Hardiansyah diam berdiri memperhatikan Raisa di samping dokter yang memeriksanya menggunakan alat medis yang cukup canggih.Dari layar monitor, terlihat bentuk tengkorak kepala Raisa dan Hardiansyah yang tidak mengerti apapun hanya diam saja melihat dokter membuat catatan di bukunya sambil melihat monitor tersebut.Setelah beberapa saat, pemeriksaan selesai. Hardiansyah dan Raisa diminta menunggu di ruang tunggu sedang dokter membuat rincian dan menganalisa hasil pemeriksaan kepala Raisa."Sayang, aku pasti baik-baik aja kan?" Tanya Raisa pada Hardiansyah yang sejak tadi hanya diam saja memikirkan sesuatu."Aku berharap seperti itu, Sayang." Hardiansyah tersenyum memaksa. Waktu sudah menunjukkan puku
Drtttt... Drtttt ...Hardiansyah menyadari merasakan ponselnya bergetar dari bawah bantalnya, namun karena Hardiansyah sangat mengantuk akhirnya Hardiansyah memilih untuk mengabaikan ponselnya. Pasalnya Hardiansyah baru saja berhasil terlelap setelah mengalami beberapa drama singkat.Sedang di ujung dunia lain, Sandra terlihat sangat kesal karena panggilannya tidak dijawab oleh Hardiansyah."Kenapa dia tidak menjawab telepon ku? Biasanya dia selalu menjawab dengan cepat. Apa dia,-" Sandra mulai menduga-duga."Tidak, ini tidak bisa terjadi. Enak saja dia." Sandra mengomel seraya terus berusaha menghubungi Hardiansyah. Namun baru sekali deringan, panggilan Sandra ditolak. Membuatnya sakit hati dan bertambah kesal hingga Sandra melempar ponselnya ke atas lantai."Sialan!" Makinya tidak senang.Sedang di tempat lain, Hardiansyah merasa terganggu dengan getaran ponselnya yang juga membuat Raisa terbangun. Malas dengan drama mereka, Hardiansyah akhirnya menolak panggilan Sandra dan segera
"Iri denganku? Hah, apa yang bisa dia iri kan dari aku? Aku penyakitan gini, selalu nyusahin orang," jawab Raisa terkekeh mengasihani dirinya sendiri."Huss, Sayang.. Jangan ngomong gitu ah, aku gak suka. Kamu itu gak nyusahin aku kok." Dengan cepat Hardiansyah yang peka dengan perkataan Raisa memeluknya hangat membuat Raisa tersenyum menyeringai."Kalau gitu, aku boleh gak, minta kamu jangan terlalu dekat dengannya dan jangan sering bertemu dengannya? Jujur saja, aku cemburu." Raisa melancarkan rencananya dengan sangat baik."Aku tau, dia temanmu, mungkin kalian juga lebih dulu kenal dari kamu kenal aku. Tapi Sayang, aku kan wanita kamu." Sambungnya lagi sebelum Hardiansyah menjawab.Sedang Hardiansyah entah kenapa menjadi degdegan setelah perlakuan dan ucapan Raisa ini. Hardiansyah diam menatap Raisa seraya menelan ludah kasar. Hardiansyah sadar perasaannya kian berubah karena kehadiran Raisa. Tujuannya bisa goyah. Di sisi lain, Hardiansyah juga tidak bisa berhenti dari perjalanann
Setibanya di rumah sakit. Hardiansyah dengan cepat segera menggendong Raisa masuk ke dalam rumah sakit dan menuju ruang UGD diikuti oleh para perawat yang siap siaga ketika melihat Hardiansyah."Bapak dan ibu harap tunggu di luar saja ya. Saya akan segera memanggil dokter." Perawatan tersebut meminta agar Hardiansyah dan Sandra keluar dari ruangan ketika Raisa sudah berada di atas ranjang.Hardiansyah dan Sandra menurut. Mereka segera keluar bersama dengan perawat yang akan pergi memanggil dokter tersebut. "Hufttt, menyusahkan saja. Kenapa sih gak dari dulu aja kita lenyap kan dia? Ini juga gara-gara kamu ya." Keluh Sandra pada Hardiansyah.Sedang Hardiansyah yang lelah juga khawatir pada Raisa memilih untuk diam dari pada harus menjawab Sandra yang selalu memarahinya. Apalagi saat ini wanita gila itu sedang mengandung anaknya.Tak lama, dokter datang bersama perawat yang memanggilnya. Hardiansyah hanya bisa berdoa kali ini agar Raisa baik-baik saja.Beberapa waktu kemudian, pintu ru