Kedua mata Ben terus menyipit. Keningnya terlipat. Kulit keriputnya seakan mengencang ditarik otot-otot yang terkadang menolak usia yang sudah tak lagi muda. Di depannya, dengan posisi terduduk di atas kursi, seorang lelaki telah basah kuyup terguyur peluh.
“Apa lagi yang kau curi, Saka?” Ben bertanya dengan nada tinggi. Wajah itu mengintimidasi.
“A—aku tak mencuri apa pun,” tergagap, Saka berusaha menjawab.
“Bohong! Kau pasti mencuri sesuatu lagi dari tempat ini!” hardik Ben.
“Tidak. Sungguh. Aku tidak mencurinya.”
“Lalu?”
Saka menundukkan kepala. Tak mungkin lagi ia berbohong. Perlahan, ia mulai membuka suara, “Aku hanya meminjamnya … sebentar.”
Telah mendapat jawaban yang diinginkan, Ben bangkit berdiri. Tersenyum tipis. “Barang apa yang sekarang kau ambil?” ia kembali bertanya. Kali ini nada suaranya sedikit diturunkan.
Saka tak
Gundukan bekas api unggun sisa semalam kini hanya mengepulkan cerih-cerih asap ke udara. Tepat setelah cahaya matahari memperjelas pandangan, kesembilan Penjaga desa Jamahitpa bergegas kembali melanjutkan perjalanan. Di depan, Paramarta gantian bertugas memimpin jalan.Di tengah-tengah perjalanan, beberapa kali sudah, kesembilan lelaki itu dikejutkan oleh kehadiran orang-orang berpenampilan mengerikan yang tanpa ancang-ancang langsung menyerang. Dalam kondisi semacam itu, jelas tak ada lagi pilihan. Mereka harus terus berjalan sembari menggenggam erat senjata di tangan. Bersiap kapan saja memulai pertarungan.“Aku sudah tak kuat. Kita harus istirahat dulu,” gumam Wrahaspati yang berjalan di bagian paling belakang. Tubuhnya tiba-tiba merosot jatuh.“Tuan Muda, kau tak apa-apa?” Tumpak beringsut cepat.Wrahaspati mencureng ke arah Tumpak. “Aku kelelahan, Bodoh! Cepat. Suruh mereka berhenti.”“Ba⸺baik, Tuan.&r
Kedua mata Gunawan tak beranjak menerawang ke dalam gumpalan kabut. Kedua kakinya tak mungkin lagi melangkah lebih jauh. Kabut pekat di depannya kini telah benar-benar memangkas jarak pandang.“Apa benar semua kabut ini ada akibat benturan kekuatan dua pendiri kerajaan?” gumam Gunawan dengan mata berbinar. Ada rasa takut bercampur kagum.“Tak kusangka, akan sedahsyat ini kekuatan mereka,” berdiri di sebelah Gunawan, Paramarta ikut bergumam, sama takjubnya.“Kita tak lagi punya banyak waktu,” kata Darangga. “Kita harus mencoba melewati jembatan ini.” Ia menarik napas panjang. Kedua kakinya lalu bergerak. Melangkah masuk ke dalam gumpalan kabut.“Bagaimana, Tuan?”“Jangan tanya aku, Budak!”“Kau dulu, Adikku,” kata Gunawan kepada Paramarta. “Aku akan berada tepat di belakangmu.”Sontak, Paramarta mengerling ke arah samping.“Suda
Dari ekor matanya, dua tiang menara raksasa berdiri kokoh, menjulang tinggi menyentuh langit. Di kiri dan kanan, ada dua tali baja seukuran satu batang pohon besar, yang masing-masing membentang menuju ke satu ujung menara.Pandangan Buda lalu menyapu ke arah bawah. Lantai jembatan itu tampak masih bisa dilalui. Walau terlihat jelas, di beberapa titik ada bagian-bagian berkarat yang mestinya sudah harus diganti.Sekilas kemudian, Buda mengangkat kepala. Mengamati latar hitam yang menaungi Jembatan Pertemuan. Langit gelap dengan hanya sedikit penghias sudah cukup meremangkan bulu kuduknya. Sedari tadi, ia tak henti-hentinya mengedip-ngedipkan bola mata. Menelan ludah. Apa yang ia lihat ternyata tak berubah.Sangsi pun bertumbuh. Berjalan semakin dekat ke arah jembatan, degup jantung Buda semakin tak karuan.“Jangan terlalu banyak berpikir. Inilah konsekuensi yang harus kau ambil.” Berada tepat di belakang Buda, Marca berbisik sinis. “Cepa
Kedua mata Marca tetap awas menerawang. Tak begitu sulit menemukan ranting kering di lebatnya semak belukar ketika cahaya bulan menyorot tepat di tempatnya berdiri. Tangannya lalu terjulur, satu lagi ranting kering berhasil ia kumpulkan.“Terima kasih kau telah menolongku,” Buda berkata kepada Marca. Di saat yang sama, ia juga tengah berburu ranting-ranting kering. Di tempat itu, hanya ada mereka berdua.Marca terdiam. Begitu saja, ia melangkah pergi.“Kau harus memberi tahuku bagaimana semuanya bisa terjadi? Bagaimana kau bisa tahu mengenai semua hal itu? Bagaimana kau tahu, kalau dengan mandi di sungai, kita bisa melihat wujud Jembatan Pertemuan?”Langkah Marca tertunda. Ia telengkan kepala. “Kurasa tak akan ada satu pun dari pertanyaanmu yang akan kujawab,” ujarnya, dingin. “Lebih baik kau mempercepat gerakkanmu. Ini sudah larut malam. Kita harus segera beristirahat.” Dengan pandangan lurus, Marca melanju
Satu per satu bulir keringat berjatuhan. Sambil mengepalkan kedua tangan, Kuja bangkit berdiri. “Siapa berikutnya?” ia edarkan pandangan. Melihat sekeliling.Puluhan lelaki sontak berdiri gemetaran. Perempuan muda yang kini tengah mereka hadapi sangat jauh dari kesan anggun dan menawan—seperti yang sempat dibayangkan di awal. Waktu pertama kali Kuja hadir pun, ada aura yang amat jauh berbeda dari perempuan kebanyakan.Dua hari lalu, Luca membawa Kuja ke sebuah tempat rahasia. Sebuah tempat yang sangat tersembunyi dan hanya diketahui oleh segelintir orang. Namun sebelum sampai ke tempat yang dijanjikan itu, mereka berdua terlebih dahulu berdiri di pinggiran tebing curam. Memandangi riak air laut yang bergerak tak menentu.“Kita akan turun ke bawah sana?” Kuja melongok, mengamati tebing terjal yang dihempas berkali-kali oleh ombak-ombak besar.Luca mengangguk. “Ikuti aku.” Ia lalu berjalan ke sebuah rumah usang yang
Terdengar bunyi tulang bergemeretak. Buda melompat terpaksa dari satu batang pohon. Ia mengernyit. Sudah sejak semalam, seluruh persendiannya terasa begitu nyeri.“Lain kali kita lebih baik tidur di atas batu daripada di atas pohon seperti ini,” keluh Wrahaspati, “Kalau begini caranya, aku bisa mati lebih cepat.”“Waspada!” sekonyong-konyong, Darangga berseru. Senjata di tangannya seketika teracung.Dari balik semak belukar dan jajaran batang pohon, beberapa orang pria berpakaian lusuh tiba-tiba datang mendekat. Dalam sekejap, mereka semua mengepung para Penjaga desa Jamahitpa.“Siapa kalian?” tanya Gunawan.Salah seorang pria berbadan kekar dengan satu bekas luka sayatan di wajahnya tertawa. “Lucu sekali. Harusnya aku yang bertanya, siapa kalian ini? Berani-beraninya memasuki daerah kekuasaanku.”“Kami adalah para Penjaga dari desa Jamahitpa,” jawab Wrahaspati. &l
Seonggok tubuh tanpa kepala tergeletak di hadapan tiga orang laki-laki. Masing-masing dari mereka menunggangi hewan berkaki dua, berbulu lebat, bertaring tajam. Muriel, Behemoth, dan Mormo. Mereka bertiga adalah orang-orang yang paling ditakuti di daerah bebas. Mereka dijuluki “Tiga Kanibal”. Tiga Kanibal tak pernah segan-segan menghabisi nyawa orang-orang yang mereka temui. Mereka akan membunuh siapa saja, dan kemudian memakannya.Tepat di dekat tubuh tanpa kepala, seorang lelaki telah basah kuyup terguyur peluh. Wajahnya terbungkus rapat oleh darah merah. Seluruh bagian tubuhnya terasa kaku. Sedari tadi, kedua mata Gunawan tak lepas membelalak ke arah tiga lelaki yang kini berada tepat di depannya.Masih tergambar jelas di ingatan, pria berbadan kekar yang ia kejar sempat melancarkan serangan ke arah tiga lelaki penunggang hewan bertaring tajam. Akan tetapi, hanya dengan sekali tebas, kepala lelaki berbadan kekar itu terpisah dari tubuhnya, darah segar me
Dua orang laki-laki mengintip dari celah pintu baja berukuran mungil. Saking mungilnya, pintu itu hanya dapat dilewati oleh satu orang dengan posisi setengah berjongkok. Pintu itu pun telah di desain khusus agar dapat menyaru dengan berbatuan sekitar. Dari luar, siapa pun tak akan pernah menyangka, di sela-sela rimbunan semak belukar yang membelit kuat berbatuan besar, terdapat sebuah pintu mungil yang menjadi akses utama menuju ke sebuah lorong rahasia. “Bagaimana? Katan? Sakda?” seorang lelaki yang berdiri tak jauh dari pintu bertanya. “Mereka masih berada di dekat pintu,” jawab Katan. “Sanna, gawat! Mereka menuju kemari,” Katan menahan pekik. Spontan, ia segera menutup celah kecil di bagian pintu. “Cepat. Taburkan serbuk ini,” Sanna memberikan perintah sembari menyerahkan satu bungkus kain berisikan serbuk pasir berwarna abu-abu. Secepatnya, serbuk di dalam kain itu dihamburkan ke arah pintu. Sekejap, butir-butir pasir memenuhi udara. Semua