Di ujung dedaunan yang bergumul berkelindan, ekor mata Darangga menangkap selarik cahaya jingga. Sekejap, langkahnya tertunda. “Berhenti,” ia berseru.
Hampir berbarengan, pergerakan barisan di balik punggung Darangga terhenti. Beberapa sempat tersentak tatkala mendengar instruksi yang diberikan sekonyong-konyong.
“Sebentar lagi akan gelap, kita istirahat di tempat ini,” ujar Darangga. Ia lalu berbalik. “Bagi jadi dua kelompok. Satu kelompok mencari kayu bakar, dan satu kelompok lagi menyiapkan lahan untuk tempat istirahat.”
“Siapa yang menyuruhmu memberikan perintah? Kau bukan pemimpin di sini,” tukas Sukra.
“Jadi, begitu?” Darangga menyunggingkan senyum sebelah sudut. “Silakan. Kita lihat, apakah kau punya rencana yang lebih baik?”
Dengan mulut terkatup, Sukra hanya bisa membisu di tempatnya berdiri. Kedua tangannya kuat mengepal.
Melihat ekspresi dari lawan bicaranya,
Kedua mata Ben terus menyipit. Keningnya terlipat. Kulit keriputnya seakan mengencang ditarik otot-otot yang terkadang menolak usia yang sudah tak lagi muda. Di depannya, dengan posisi terduduk di atas kursi, seorang lelaki telah basah kuyup terguyur peluh.“Apa lagi yang kau curi, Saka?” Ben bertanya dengan nada tinggi. Wajah itu mengintimidasi.“A—aku tak mencuri apa pun,” tergagap, Saka berusaha menjawab.“Bohong! Kau pasti mencuri sesuatu lagi dari tempat ini!” hardik Ben.“Tidak. Sungguh. Aku tidak mencurinya.”“Lalu?”Saka menundukkan kepala. Tak mungkin lagi ia berbohong. Perlahan, ia mulai membuka suara, “Aku hanya meminjamnya … sebentar.”Telah mendapat jawaban yang diinginkan, Ben bangkit berdiri. Tersenyum tipis. “Barang apa yang sekarang kau ambil?” ia kembali bertanya. Kali ini nada suaranya sedikit diturunkan.Saka tak
Gundukan bekas api unggun sisa semalam kini hanya mengepulkan cerih-cerih asap ke udara. Tepat setelah cahaya matahari memperjelas pandangan, kesembilan Penjaga desa Jamahitpa bergegas kembali melanjutkan perjalanan. Di depan, Paramarta gantian bertugas memimpin jalan.Di tengah-tengah perjalanan, beberapa kali sudah, kesembilan lelaki itu dikejutkan oleh kehadiran orang-orang berpenampilan mengerikan yang tanpa ancang-ancang langsung menyerang. Dalam kondisi semacam itu, jelas tak ada lagi pilihan. Mereka harus terus berjalan sembari menggenggam erat senjata di tangan. Bersiap kapan saja memulai pertarungan.“Aku sudah tak kuat. Kita harus istirahat dulu,” gumam Wrahaspati yang berjalan di bagian paling belakang. Tubuhnya tiba-tiba merosot jatuh.“Tuan Muda, kau tak apa-apa?” Tumpak beringsut cepat.Wrahaspati mencureng ke arah Tumpak. “Aku kelelahan, Bodoh! Cepat. Suruh mereka berhenti.”“Ba⸺baik, Tuan.&r
Kedua mata Gunawan tak beranjak menerawang ke dalam gumpalan kabut. Kedua kakinya tak mungkin lagi melangkah lebih jauh. Kabut pekat di depannya kini telah benar-benar memangkas jarak pandang.“Apa benar semua kabut ini ada akibat benturan kekuatan dua pendiri kerajaan?” gumam Gunawan dengan mata berbinar. Ada rasa takut bercampur kagum.“Tak kusangka, akan sedahsyat ini kekuatan mereka,” berdiri di sebelah Gunawan, Paramarta ikut bergumam, sama takjubnya.“Kita tak lagi punya banyak waktu,” kata Darangga. “Kita harus mencoba melewati jembatan ini.” Ia menarik napas panjang. Kedua kakinya lalu bergerak. Melangkah masuk ke dalam gumpalan kabut.“Bagaimana, Tuan?”“Jangan tanya aku, Budak!”“Kau dulu, Adikku,” kata Gunawan kepada Paramarta. “Aku akan berada tepat di belakangmu.”Sontak, Paramarta mengerling ke arah samping.“Suda
Dari ekor matanya, dua tiang menara raksasa berdiri kokoh, menjulang tinggi menyentuh langit. Di kiri dan kanan, ada dua tali baja seukuran satu batang pohon besar, yang masing-masing membentang menuju ke satu ujung menara.Pandangan Buda lalu menyapu ke arah bawah. Lantai jembatan itu tampak masih bisa dilalui. Walau terlihat jelas, di beberapa titik ada bagian-bagian berkarat yang mestinya sudah harus diganti.Sekilas kemudian, Buda mengangkat kepala. Mengamati latar hitam yang menaungi Jembatan Pertemuan. Langit gelap dengan hanya sedikit penghias sudah cukup meremangkan bulu kuduknya. Sedari tadi, ia tak henti-hentinya mengedip-ngedipkan bola mata. Menelan ludah. Apa yang ia lihat ternyata tak berubah.Sangsi pun bertumbuh. Berjalan semakin dekat ke arah jembatan, degup jantung Buda semakin tak karuan.“Jangan terlalu banyak berpikir. Inilah konsekuensi yang harus kau ambil.” Berada tepat di belakang Buda, Marca berbisik sinis. “Cepa
Kedua mata Marca tetap awas menerawang. Tak begitu sulit menemukan ranting kering di lebatnya semak belukar ketika cahaya bulan menyorot tepat di tempatnya berdiri. Tangannya lalu terjulur, satu lagi ranting kering berhasil ia kumpulkan.“Terima kasih kau telah menolongku,” Buda berkata kepada Marca. Di saat yang sama, ia juga tengah berburu ranting-ranting kering. Di tempat itu, hanya ada mereka berdua.Marca terdiam. Begitu saja, ia melangkah pergi.“Kau harus memberi tahuku bagaimana semuanya bisa terjadi? Bagaimana kau bisa tahu mengenai semua hal itu? Bagaimana kau tahu, kalau dengan mandi di sungai, kita bisa melihat wujud Jembatan Pertemuan?”Langkah Marca tertunda. Ia telengkan kepala. “Kurasa tak akan ada satu pun dari pertanyaanmu yang akan kujawab,” ujarnya, dingin. “Lebih baik kau mempercepat gerakkanmu. Ini sudah larut malam. Kita harus segera beristirahat.” Dengan pandangan lurus, Marca melanju
Satu per satu bulir keringat berjatuhan. Sambil mengepalkan kedua tangan, Kuja bangkit berdiri. “Siapa berikutnya?” ia edarkan pandangan. Melihat sekeliling.Puluhan lelaki sontak berdiri gemetaran. Perempuan muda yang kini tengah mereka hadapi sangat jauh dari kesan anggun dan menawan—seperti yang sempat dibayangkan di awal. Waktu pertama kali Kuja hadir pun, ada aura yang amat jauh berbeda dari perempuan kebanyakan.Dua hari lalu, Luca membawa Kuja ke sebuah tempat rahasia. Sebuah tempat yang sangat tersembunyi dan hanya diketahui oleh segelintir orang. Namun sebelum sampai ke tempat yang dijanjikan itu, mereka berdua terlebih dahulu berdiri di pinggiran tebing curam. Memandangi riak air laut yang bergerak tak menentu.“Kita akan turun ke bawah sana?” Kuja melongok, mengamati tebing terjal yang dihempas berkali-kali oleh ombak-ombak besar.Luca mengangguk. “Ikuti aku.” Ia lalu berjalan ke sebuah rumah usang yang
Terdengar bunyi tulang bergemeretak. Buda melompat terpaksa dari satu batang pohon. Ia mengernyit. Sudah sejak semalam, seluruh persendiannya terasa begitu nyeri.“Lain kali kita lebih baik tidur di atas batu daripada di atas pohon seperti ini,” keluh Wrahaspati, “Kalau begini caranya, aku bisa mati lebih cepat.”“Waspada!” sekonyong-konyong, Darangga berseru. Senjata di tangannya seketika teracung.Dari balik semak belukar dan jajaran batang pohon, beberapa orang pria berpakaian lusuh tiba-tiba datang mendekat. Dalam sekejap, mereka semua mengepung para Penjaga desa Jamahitpa.“Siapa kalian?” tanya Gunawan.Salah seorang pria berbadan kekar dengan satu bekas luka sayatan di wajahnya tertawa. “Lucu sekali. Harusnya aku yang bertanya, siapa kalian ini? Berani-beraninya memasuki daerah kekuasaanku.”“Kami adalah para Penjaga dari desa Jamahitpa,” jawab Wrahaspati. &l
Seonggok tubuh tanpa kepala tergeletak di hadapan tiga orang laki-laki. Masing-masing dari mereka menunggangi hewan berkaki dua, berbulu lebat, bertaring tajam. Muriel, Behemoth, dan Mormo. Mereka bertiga adalah orang-orang yang paling ditakuti di daerah bebas. Mereka dijuluki “Tiga Kanibal”. Tiga Kanibal tak pernah segan-segan menghabisi nyawa orang-orang yang mereka temui. Mereka akan membunuh siapa saja, dan kemudian memakannya.Tepat di dekat tubuh tanpa kepala, seorang lelaki telah basah kuyup terguyur peluh. Wajahnya terbungkus rapat oleh darah merah. Seluruh bagian tubuhnya terasa kaku. Sedari tadi, kedua mata Gunawan tak lepas membelalak ke arah tiga lelaki yang kini berada tepat di depannya.Masih tergambar jelas di ingatan, pria berbadan kekar yang ia kejar sempat melancarkan serangan ke arah tiga lelaki penunggang hewan bertaring tajam. Akan tetapi, hanya dengan sekali tebas, kepala lelaki berbadan kekar itu terpisah dari tubuhnya, darah segar me
Ada rasa tak percaya yang membayanginya sejak kali pertama ia melangkah masuk melewati pintu gerbang. Tak sedetik pun Marca terbayang akan berada di dalam Istana. Semua ini jelas bukanlah impiannya. Akan tetapi, menampakkan kaki di antah berantah yang disebut banyak orang sebagai tempat paling mewah, membuatnya serasa memeluk impiannya sendiri. Soma, kau lihat ini, aku berhasil sampai di Istana. Seutas senyum samar bersarang malu-malu di wajah Marca. Ia melihat persis segala hal yang dulu pernah dikatakan oleh Soma. Di tempat itu, segala hal memang tampak terbuat dari emas. Di area lapang beralaskan ribuan batu yang tak beraturan namun disusun sedemikian rupa sehingga nyaman untuk dipijak, Marca membaur bersama segerombolan lelaki berwajah lelah lainnya. Setelah sekilas menyapukan pandangan, Marca pun menyadari, bahwa dirinya, dan semua lelaki yang baru tiba di Istana, tengah ditontoni oleh ratusan manusia yang tersebar di segala penjuru. Wajah-wajah itu ter
Buda menelengkan kepala ke arah belakang. Pandangannya sesaat mengamati sekitar.“Apa mereka masih mengejar kita?” tanya Marca. Perhatiannya ikut teralih.“Kurasa tidak. Tetapi kita tak boleh berhenti. Kita harus terus lari. Matahari sudah hampir tenggelam.”∆“Kenapa kalian kembali?” kedua mata Wakaru membundar lebar ketika melihat Muriel dan Mormo berjalan ke arah berlawanan. “Apa semua orang sudah kalian bunuh?”“Tinggal tersisa lima,” jawab Mormo.“Dua,” sela Muriel.“Iya. Dua maksudku. Dua orang.”“Lalu kenapa tak kalian habisi mereka sekalian?”“Kami tak mau Ayah marah. Tadi kami sudah terlalu dekat ke pintu gerbang.”“Paman tidak akan marah.”“Siapa yang bilang?” potong Mormo. “Jelas-jelas Ayah sudah melarang kami untuk tidak mendekati pintu Gerbang I
Napas Darangga kian memburu tatkala ia kembali harus mengelak dari sebuah sabetan pedang yang menyasar tepat ke bagian leher. Sebelum lawan di hadapannya kembali melancarkan serangan, ia memanfaatkan celah waktu sempit itu untuk menghirup napas dalam-dalam. Ia harus terus bertahan, walau tak tahu akan sampai kapan. Saat ini situasi jelas tak berpihak kepada dirinya. Satu-satunya senjata yang Darangga bawa dari desa Sikmatu sudah tak mungkin dipergunakan karena bilah pedangnya telah patah menjadi dua. Kini, yang bisa ia lakukan hannyalah terus menghindar dari serangan bertubi yang dilancarkan oleh seorang lelaki berkulit hitam di depannya. Sembari menarik napas panjang, pandangan Darangga sekilas beredar. Dari ujung penglihatannya, area di sekitar tempatnya berdiri tampak begitu sunyi. Sepi. Tak terlihat sedikit pun tanda-tanda akan datangnya pertolongan. Belum genap ia mengambil napas, sebuah serangan kembali menghampiri. Kaweni tak henti-hentinya terkikik ge
Darangga mesti memosisikan diri untuk berjalan merangkak jika tak ingin berpapasan dengan salah seorang Penjaga desa Dansu. Sekumpulan ilalang setinggi lutut sudah cukup menyamarkan tubuhnya agar dapat menyaru dengan alam sekitar.Beberapa kali suara riuh menghampiri pendengaran, tetapi Darangga sama sekali tak mengidahkan. Untuk mengisi kembali tenaga, Darangga pun menghentikan sejenak pergerakannya. Sekilas, kepalanya mendongak. Di atas langit sana, matahari sudah mulai turun ke arah barat. Hari beranjak gelap.Waktuku hampir habis, batin Darangga. Aku harus bergegas. Ia kembali melanjutkan pergerakan. Sekumpulan kerikil kecil yang menyebar hampir di setiap bagian sabana membuatnya meringis tatkala tubuhnya mesti tergores berulang kali oleh bebatuan mungil yang runcingnya bukan main.Akan tetapi, mendadak pergerakan Darangga kembali terhenti. Ekor matanya langsung mendarat ke sepasang kaki yang jaraknya kin
Menjadi seorang Muka Panto bukan berarti tak memiliki konsekuensi. Sedari kecil, hampir setiap kali terjadi gerhana bulan, ia akan selalu diasingkan jauh ke dalam hutan. Seorang diri. Menyepi.Di dalam ruangan sempit berbentuk kerucut dengan alas segi lima, kedua kaki dan tangannya akan selalu diikat kuat-kuat. Kepalanya akan selalu terbungkus rapat oleh kain hitam. Di dalam sana, ia akan mengerang kesakitan. Menjerit, lalu kemudian menangis histeris.Hawa panas yang teramat akan menjalar ke sekujur tubuhnya. Mengeluarkan seluruh peluh dari setiap sel-sel kulitnya. Berbarengan dengan itu, seluruh bagian tubuhnya akan terasa seperti tercabik-cabik. Dingin yang begitu dingin selalu datang sesudahnya. Dalam sekejap, tubuh kurusnya akan terasa beku bagai batu. Diselimuti rasa sakit yang tak mungkin terjabarkan, kesadarannya pun akan setia menghilang hingga pagi datang.Akan tetapi, semua penderitaan yang kerap ia rasakan, katanya belum seberapa jika dibandingkan den
Hanso dan Ringga tampak terkejut ketika melihat dua orang yang tak mereka kenal berlari terbirit-birit. Melintas cepat di hadapan mereka. Tak lama kemudian, kini giliran dua orang yang mereka kenal, Arin dan Saga, juga terlihat tengah berlari mengejar dua orang sebelumnya.“Kalian urus tiga orang di belakang, kami akan mengejar mereka,” seru Arin kepada Hanso dan Ringga. Ia memberikan perintah tanpa menolehkan kepala.Sesaat setelah saling tatap, Hanso dan Ringga akhirnya mengerti dengan maksud dari perintah Arin. Tiga orang lelaki lainnya mendekat. Tak dikenal. Terlihat asing.Hanso lekas-lekas membentangkan kedua tangan. “Tunggu,” sergahnya.Mendadak, pergerakan Wrahaspati, Tumpak, dan Sukra kembali terhenti. Di tempatnya berdiri, Wrahaspati menelan ludah. Di hadapannya, kini telah berdiri dua orang lelaki berkulit hitam legam yang masing-masing terlihat membawa satu kepala manusia.“Siapa kalian?” tanya Ringga
Bodoh! Kenapa mereka bisa sebegitu nekatnya. Satu tangan Sukra meremas kuat-kuat daun kering yang tanpa sadar ia pungut. Sambil terus mengawasi pertarungan Marca dan Buda—melawan tiga orang yang diduga sebagai para Penjaga desa Dansu—kekesalannya kian membeludak seiring dengan detik yang terus berlalu.Dalam lamunan, Sukra teringat akan pesan kakeknya dulu, “Kau harus menjaga anak itu, Sukra. Apa pun taruhannya.”“Tapi itu tak adil, Kek,” protes Sukra. “Derajatku ini lebih tinggi. Tidak sepantasnya aku menjaga manusia yang derajatnya berada di bawahku.”“Ini bukan lagi soal derajat. Ini tentang misi penting yang harus kita jalankan. Misi ini sama sekali tidak boleh gagal. Kau harus ingat itu,” cetus kakeknya.Sambil termenung dengan kepala tertunduk dan mulut manyun, Sukra mengurut pelipisnya. Entah bagaimana bisa, namun mendadak kepalanya terasa begitu pusing.“Lag
Mengikuti pergerakan Darangga, Marca kembali mengintip dari balik batang pohon. Dari ekor matanya, walau hanya terlihat menghadapi satu orang lelaki berkulit hitam legam, sekelompok orang berpakaian serba hitam tampak kewalahan. Di sana, situasi mereka bagai sedang berada di ujung tanduk.“Kita harus menolong mereka,” gumam Marca, pandangannya terpaku ke arah pertarungan di depan.Sontak, perhatian semua orang tertuju ke arah yang sama. Marcapada tengah diamati lekat-lekat. Wajah-wajah itu tampak tak sependapat.“Untuk apa?” sahut Darangga. “Tujuan kita pergi ke Istana, bukan membantu mereka.”Marca mengedarkan pandangan. Mencari dukungan lain. Dalam sekelebat, tak ia jumpai satu pun orang yang memiliki pemikiran serupa, kecuali Buda. Meski samar, Buda terlihat menganggukkan kepala.∆Bertopang pada bilah pedang yang telah menancap kuat-kuat di tanah, Kausiki terus berusaha agar tubuhnya tak
Langkahnya mendadak gontai setelah sabetan pedang menyayat tepat di bagian pundak, sekepalan tangan lagi menuju leher. Darah bercucuran. Napasnya kian tersengal. Di ujung penglihatan yang mulai berbayang, Wipasa hanya dapat menyaksikan teman-temannya, masih terus berjuang melawan satu orang Penjaga desa Dansu.“Apa kubilang, Saga sudah pasti tak akan mau berlama-lama membiarkan mereka hidup,” kata Arin, tenang. Kedua tangannya masih terlipat di depan dada.“Itu tidak bisa dihitung sebagai serangan balik,” balas Rangjasa.“Bagaimana bisa tidak dihitung? Jelas-jelas tadi itu Saga melakukan serangan.”Terbungkam. Rangjasa tak lagi memiliki alibi kuat untuk membantah segala ucapan. Rahangnya mengencang. Ia tengah berusaha keras memendam kekesalan.Di tempatnya berdiri, Arin tersenyum penuh kemenangan. “Persiapkan senjatamu, kau tak ingin jika Saga memenggal semua kepala musuhnya, kan?”Rangjasa ter