Dua orang laki-laki mengintip dari celah pintu baja berukuran mungil. Saking mungilnya, pintu itu hanya dapat dilewati oleh satu orang dengan posisi setengah berjongkok. Pintu itu pun telah di desain khusus agar dapat menyaru dengan berbatuan sekitar. Dari luar, siapa pun tak akan pernah menyangka, di sela-sela rimbunan semak belukar yang membelit kuat berbatuan besar, terdapat sebuah pintu mungil yang menjadi akses utama menuju ke sebuah lorong rahasia.
“Bagaimana? Katan? Sakda?” seorang lelaki yang berdiri tak jauh dari pintu bertanya.
“Mereka masih berada di dekat pintu,” jawab Katan.
“Sanna, gawat! Mereka menuju kemari,” Katan menahan pekik. Spontan, ia segera menutup celah kecil di bagian pintu.
“Cepat. Taburkan serbuk ini,” Sanna memberikan perintah sembari menyerahkan satu bungkus kain berisikan serbuk pasir berwarna abu-abu.
Secepatnya, serbuk di dalam kain itu dihamburkan ke arah pintu. Sekejap, butir-butir pasir memenuhi udara. Semua
Setitik cahaya dari celah pintu baja kini berubah menjadi terang yang menyilaukan. Memenuhi setiap sudut penglihatan. Perlahan-lahan, satu per satu Penjaga dari kedua desa keluar dari pengapnya lorong rahasia. Marca menjadi manusia terakhir yang terbebas dari impitan lorong gelap. Kedua matanya menyipit, menghalau sengatan matahari yang tiba-tiba menghunjam nyalang. Pendar cahaya dari atas langit seakan menyebar langsung ke segala penjuru, menampakkan segala hal. Barisan awan menyerupai kapas menggantung di langit biru. Deretan bangunan berukuran besar terhampar di tanah lapang dengan atap berbentuk kerucut. Di depan, kerumunan manusia terlihat tengah mengadang jalan, tersenyum manis, menyambut kedatangan. Berada di posisi paling belakang, Wrahaspati mengembangkan cuping hidungnya, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dengan tatapan sinis, ia mengerling ke arah samping. “Kau sungguh keterlaluan, Budak!” tukasnya. “Maaf, Tuan. Tapi mereka tak mengizinkanku untu
Seonggok kayu kering perlahan-lahan dilahap oleh kobaran api. Nyala api itu menjadi penerang sekaligus penghangat untuk udara malam. Langit berbintang menjadi latar yang menawan. Menaungi beberapa sosok lelaki yang tengah duduk menghampar mengitari api unggun.“Apa persiapan kalian sudah selesai?” Saloth bertanya kepada beberapa lelaki di sekitarnya. Ke arah api unggun, kedua tangannya terjulur dengan telapak membuka.Wakaru mengangguk. “Semua senjata, obat-obatan, dan beberapa makanan sudah kami persiapkan.”Sejenak, Saloth mengangkat kepala. Memandang lamat-lamat langit berbintang. Menarik napas dalam-dalam. “Perjalanan kalian nantinya akan sangat panjang. Lawan kalian juga tidak akan mudah. Dengan bergabungnya para Penjaga dari desa Jamahitpa, semoga kalian dan mereka, benar-benar bisa sampai ke Istana Kerajaan dengan selamat.”“Wakaru,” Katan setengah berseru. “Ada yang menguping.”Wak
Kedua mata indah itu tak lepas mengamati langit berbintang. Suara debur ombak yang sama. Kesiur angin yang sama sekali tak jauh beda. Suasana itu tak berubah sedikit pun, namun tetap terasa kurang. Ada sosok penting yang tiba-tiba hilang.Sebulir air mata jatuh. Buru-buru Kuja menghapus dengan tangan. Tak ia biarkan siapa pun tahu tentang kesedihannya. Cukup ia, dan malam yang terlampau datang lebih awal.Tanpa diminta dan diduga, Seorang lelaki bertubuh gempal datang mendekat. “Apa kau sudah menemui ibumu?” tanya Luca sembari berdiri. Pandangan matanya seketika menyapu ke langit malam.Kuja bergeming. Beberapa hari bersama lelaki itu, tak perlu lagi ia menoleh untuk melihat sosoknya, mendengar suara langkah kakinya saja, ia tahu, Kepala Suku akan mengganggu keheningan malam yang mulai nyaman ia rasakan.“Sudah,” jawab Kuja, datar. Sungguh, ia sedang tak ingin diganggu.Luca berkacak pinggang. “Kau seharusnya tahu, ibu
Kepulan asap membubung naik. Riak air itu kini tak lagi bergerak tenang. Bergetar. Berguncang. Beberapa letupan kecil semakin bertambah seiring dengan waktu yang terus berjalan. Tak lama, air di dalam belanga itu pun akhirnya mendidih sempurna. Bergegas, dua orang perempuan langsung memasukkan beberapa jenis sayuran sekaligus. “Ini adalah tempat yang biasa kami gunakan untuk memasak,” kata Wakaru, menjelaskan. Ia dan rombongan baru saja tiba di sebuah bangunan yang tingginya hampir menyentuh langit. Di dalam bangunan itu, beberapa orang perempuan tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing. “Sebagian besar perempuan di desa ini sehari-sehari memang bertugas untuk membuat berbagai macam makanan.” “Kapan jamuan besarnya akan dimulai?” tak sabar, Wrahaspati langsung menginterupsi. “Tunggu sebentar, Kawan. Kau bisa lihat sendiri, kan, semua perempuan yang ada di sini masih sibuk memasak.” Wrahaspati mengerucutkan bibirnya. Ada kesal yang begitu kentara. “O
Teko emas itu tengah dimiringkan dengan sudut yang pas untuk menumpahkan isi di dalamnya. Aliran Curcas terjun bebas dari moncong teko menuju ke satu cangkir bambu berukuran mungil. Di dekatnya, cangkir-cangkir lain menunggu giliran.Segala hidangan tersaji di atas meja panjang. Saloth menempati posisi tepat di bagian kepala meja. Bertengger di sana, ia bak seorang komandan. Di sebelah kiri dan kanan, para Penjaga dari kedua desa saling duduk berhadapan. Para Penjaga desa Podom menduduki baris sebelah kanan, sementara para Penjaga desa Jamahitpa terduduk di sisi seberang.“Mana yang harus kumakan lebih dulu?” Wrahaspati bergumam. Kedua tangannya telah berada dalam posisi siap sedia untuk meraih apa pun di depannya. Hanya dalam hitungan detik, kedua tangan gemuk itu bergerak gesit.“Tunggu!” duduk tepat di hadapan Wrahaspati, Sakda menyergah dengan suara tinggi. Semua orang spontan melirik ke satu arah.“Ada apa?” tanya
Matahari kini telah hampir berada di atas ubun-ubun, tetapi ketiga lelaki itu masih tak berniat untuk beranjak dari tempat mereka sekarang. Dari selepas perjamuan besar yang mendadak terasa menjengahkan, mereka bertiga memilih untuk tak kembali beristirahat seperti yang telah diinstruksikan.Sebuah pohon besar di pinggir danau dengan dedaunan yang rindang menjadi pilihan. Bisa dibilang, pertemuan mereka kali ini sama sekali tak direncanakan. Terbesit begitu saja dalam kepala Darangga, bahwa kepergian Gunawan harus segera mereka diskusikan.Dua orang yang kini menemaninya pun tak terpikirkan sebelumnya. Tadi, di Ruang Peristirahaan, sesaat setelah pandangannya berkeliling, Darangga merasa bahwa Marca adalah orang yang pas untuk ia ajak berdiskusi. Ia lantas mengirimkan isyarat berupa lirikan mata, yang ternyata dipahami juga oleh Buda. Setelah sedikit berbasa-basi agar tak ada yang curiga, dan agar pertemuan mereka tak diketahui oleh para Penjaga ataupun penduduk desa P
Nampan-nampan besar berisikan berbagai macam hidangan kembali diantar ke Ruang Peristirahatan. Ini adalah perjamuan makan terakhir sebelum menuju keberangkatan.“Maafkan kami. Seharusnya malam ini kita makan malam sambil berkumpul bersama-sama lagi. Tapi⸺”“Kau tak harus meminta maaf sampai berulang kali seperti itu,” sela Darangga, "semua ini berada di luar kehendak kita. Tidak ada juga yang menyangka, kalau semuanya akan terjadi seperti ini."Wakaru mangut-mangut. Wajahnya yang lugu tampak berhiaskan senyum hangat. “Terima kasih atas pengertiannya. Oh, iya. Bagaimana keadaan kalian semua?” perhatiannya beralih ke arah Paramarta. “Bagaimana dengan luka di perutmu?”“Lukaku sudah mulai pulih. Ini hanya tinggal sedikit luka goresan saja,” jawab Paramarta sambil memegangi bekas luka di bagian perutnya yang masih dibalut kain putih.“Baguslah kalau begitu. Berarti besok kita sudah benar
Keheningan malam membuat kedelapan lelaki itu tertidur begitu lelap. Mereka harus benar-benar rehat. Perjalanan yang akan mereka tempuh masih sangat panjang. Esok hari, belum tentu akan ada kemewahan yang sama seperti hari ini.Dengan penuh kehati-hatian, pintu itu dibuka perlahan. Seorang lelaki melangkah masuk. Menyelinap. Menempatkan dirinya tepat di depan sebuah ranjang. Ia menilik. Di hadapannya, seorang lelaki tengah tertidur pulas. Momen yang tepat. Ia pun tersenyum.Kedua tangan lelaki itu lalu terangkat sambil memegangi senjata. Beberapa orang di belakangnya melakukan pergerakan serupa. Mereka mengambil posisi masing-masing. Semua berjalan sesuai rencana. Tepat di ujung malam, mereka akan berpesta. Dalam sekejap, sebuah pedang mengayun ganas ke arah depan.∆Di balik kelopak mata yang tertutup rapat, Marca seakan diseret ke sebuah tempat yang tak pernah ia datangi sebelumnya. Tempat asing tak berpenghuni. Celingak-celinguk ia mencar
Ada rasa tak percaya yang membayanginya sejak kali pertama ia melangkah masuk melewati pintu gerbang. Tak sedetik pun Marca terbayang akan berada di dalam Istana. Semua ini jelas bukanlah impiannya. Akan tetapi, menampakkan kaki di antah berantah yang disebut banyak orang sebagai tempat paling mewah, membuatnya serasa memeluk impiannya sendiri. Soma, kau lihat ini, aku berhasil sampai di Istana. Seutas senyum samar bersarang malu-malu di wajah Marca. Ia melihat persis segala hal yang dulu pernah dikatakan oleh Soma. Di tempat itu, segala hal memang tampak terbuat dari emas. Di area lapang beralaskan ribuan batu yang tak beraturan namun disusun sedemikian rupa sehingga nyaman untuk dipijak, Marca membaur bersama segerombolan lelaki berwajah lelah lainnya. Setelah sekilas menyapukan pandangan, Marca pun menyadari, bahwa dirinya, dan semua lelaki yang baru tiba di Istana, tengah ditontoni oleh ratusan manusia yang tersebar di segala penjuru. Wajah-wajah itu ter
Buda menelengkan kepala ke arah belakang. Pandangannya sesaat mengamati sekitar.“Apa mereka masih mengejar kita?” tanya Marca. Perhatiannya ikut teralih.“Kurasa tidak. Tetapi kita tak boleh berhenti. Kita harus terus lari. Matahari sudah hampir tenggelam.”∆“Kenapa kalian kembali?” kedua mata Wakaru membundar lebar ketika melihat Muriel dan Mormo berjalan ke arah berlawanan. “Apa semua orang sudah kalian bunuh?”“Tinggal tersisa lima,” jawab Mormo.“Dua,” sela Muriel.“Iya. Dua maksudku. Dua orang.”“Lalu kenapa tak kalian habisi mereka sekalian?”“Kami tak mau Ayah marah. Tadi kami sudah terlalu dekat ke pintu gerbang.”“Paman tidak akan marah.”“Siapa yang bilang?” potong Mormo. “Jelas-jelas Ayah sudah melarang kami untuk tidak mendekati pintu Gerbang I
Napas Darangga kian memburu tatkala ia kembali harus mengelak dari sebuah sabetan pedang yang menyasar tepat ke bagian leher. Sebelum lawan di hadapannya kembali melancarkan serangan, ia memanfaatkan celah waktu sempit itu untuk menghirup napas dalam-dalam. Ia harus terus bertahan, walau tak tahu akan sampai kapan. Saat ini situasi jelas tak berpihak kepada dirinya. Satu-satunya senjata yang Darangga bawa dari desa Sikmatu sudah tak mungkin dipergunakan karena bilah pedangnya telah patah menjadi dua. Kini, yang bisa ia lakukan hannyalah terus menghindar dari serangan bertubi yang dilancarkan oleh seorang lelaki berkulit hitam di depannya. Sembari menarik napas panjang, pandangan Darangga sekilas beredar. Dari ujung penglihatannya, area di sekitar tempatnya berdiri tampak begitu sunyi. Sepi. Tak terlihat sedikit pun tanda-tanda akan datangnya pertolongan. Belum genap ia mengambil napas, sebuah serangan kembali menghampiri. Kaweni tak henti-hentinya terkikik ge
Darangga mesti memosisikan diri untuk berjalan merangkak jika tak ingin berpapasan dengan salah seorang Penjaga desa Dansu. Sekumpulan ilalang setinggi lutut sudah cukup menyamarkan tubuhnya agar dapat menyaru dengan alam sekitar.Beberapa kali suara riuh menghampiri pendengaran, tetapi Darangga sama sekali tak mengidahkan. Untuk mengisi kembali tenaga, Darangga pun menghentikan sejenak pergerakannya. Sekilas, kepalanya mendongak. Di atas langit sana, matahari sudah mulai turun ke arah barat. Hari beranjak gelap.Waktuku hampir habis, batin Darangga. Aku harus bergegas. Ia kembali melanjutkan pergerakan. Sekumpulan kerikil kecil yang menyebar hampir di setiap bagian sabana membuatnya meringis tatkala tubuhnya mesti tergores berulang kali oleh bebatuan mungil yang runcingnya bukan main.Akan tetapi, mendadak pergerakan Darangga kembali terhenti. Ekor matanya langsung mendarat ke sepasang kaki yang jaraknya kin
Menjadi seorang Muka Panto bukan berarti tak memiliki konsekuensi. Sedari kecil, hampir setiap kali terjadi gerhana bulan, ia akan selalu diasingkan jauh ke dalam hutan. Seorang diri. Menyepi.Di dalam ruangan sempit berbentuk kerucut dengan alas segi lima, kedua kaki dan tangannya akan selalu diikat kuat-kuat. Kepalanya akan selalu terbungkus rapat oleh kain hitam. Di dalam sana, ia akan mengerang kesakitan. Menjerit, lalu kemudian menangis histeris.Hawa panas yang teramat akan menjalar ke sekujur tubuhnya. Mengeluarkan seluruh peluh dari setiap sel-sel kulitnya. Berbarengan dengan itu, seluruh bagian tubuhnya akan terasa seperti tercabik-cabik. Dingin yang begitu dingin selalu datang sesudahnya. Dalam sekejap, tubuh kurusnya akan terasa beku bagai batu. Diselimuti rasa sakit yang tak mungkin terjabarkan, kesadarannya pun akan setia menghilang hingga pagi datang.Akan tetapi, semua penderitaan yang kerap ia rasakan, katanya belum seberapa jika dibandingkan den
Hanso dan Ringga tampak terkejut ketika melihat dua orang yang tak mereka kenal berlari terbirit-birit. Melintas cepat di hadapan mereka. Tak lama kemudian, kini giliran dua orang yang mereka kenal, Arin dan Saga, juga terlihat tengah berlari mengejar dua orang sebelumnya.“Kalian urus tiga orang di belakang, kami akan mengejar mereka,” seru Arin kepada Hanso dan Ringga. Ia memberikan perintah tanpa menolehkan kepala.Sesaat setelah saling tatap, Hanso dan Ringga akhirnya mengerti dengan maksud dari perintah Arin. Tiga orang lelaki lainnya mendekat. Tak dikenal. Terlihat asing.Hanso lekas-lekas membentangkan kedua tangan. “Tunggu,” sergahnya.Mendadak, pergerakan Wrahaspati, Tumpak, dan Sukra kembali terhenti. Di tempatnya berdiri, Wrahaspati menelan ludah. Di hadapannya, kini telah berdiri dua orang lelaki berkulit hitam legam yang masing-masing terlihat membawa satu kepala manusia.“Siapa kalian?” tanya Ringga
Bodoh! Kenapa mereka bisa sebegitu nekatnya. Satu tangan Sukra meremas kuat-kuat daun kering yang tanpa sadar ia pungut. Sambil terus mengawasi pertarungan Marca dan Buda—melawan tiga orang yang diduga sebagai para Penjaga desa Dansu—kekesalannya kian membeludak seiring dengan detik yang terus berlalu.Dalam lamunan, Sukra teringat akan pesan kakeknya dulu, “Kau harus menjaga anak itu, Sukra. Apa pun taruhannya.”“Tapi itu tak adil, Kek,” protes Sukra. “Derajatku ini lebih tinggi. Tidak sepantasnya aku menjaga manusia yang derajatnya berada di bawahku.”“Ini bukan lagi soal derajat. Ini tentang misi penting yang harus kita jalankan. Misi ini sama sekali tidak boleh gagal. Kau harus ingat itu,” cetus kakeknya.Sambil termenung dengan kepala tertunduk dan mulut manyun, Sukra mengurut pelipisnya. Entah bagaimana bisa, namun mendadak kepalanya terasa begitu pusing.“Lag
Mengikuti pergerakan Darangga, Marca kembali mengintip dari balik batang pohon. Dari ekor matanya, walau hanya terlihat menghadapi satu orang lelaki berkulit hitam legam, sekelompok orang berpakaian serba hitam tampak kewalahan. Di sana, situasi mereka bagai sedang berada di ujung tanduk.“Kita harus menolong mereka,” gumam Marca, pandangannya terpaku ke arah pertarungan di depan.Sontak, perhatian semua orang tertuju ke arah yang sama. Marcapada tengah diamati lekat-lekat. Wajah-wajah itu tampak tak sependapat.“Untuk apa?” sahut Darangga. “Tujuan kita pergi ke Istana, bukan membantu mereka.”Marca mengedarkan pandangan. Mencari dukungan lain. Dalam sekelebat, tak ia jumpai satu pun orang yang memiliki pemikiran serupa, kecuali Buda. Meski samar, Buda terlihat menganggukkan kepala.∆Bertopang pada bilah pedang yang telah menancap kuat-kuat di tanah, Kausiki terus berusaha agar tubuhnya tak
Langkahnya mendadak gontai setelah sabetan pedang menyayat tepat di bagian pundak, sekepalan tangan lagi menuju leher. Darah bercucuran. Napasnya kian tersengal. Di ujung penglihatan yang mulai berbayang, Wipasa hanya dapat menyaksikan teman-temannya, masih terus berjuang melawan satu orang Penjaga desa Dansu.“Apa kubilang, Saga sudah pasti tak akan mau berlama-lama membiarkan mereka hidup,” kata Arin, tenang. Kedua tangannya masih terlipat di depan dada.“Itu tidak bisa dihitung sebagai serangan balik,” balas Rangjasa.“Bagaimana bisa tidak dihitung? Jelas-jelas tadi itu Saga melakukan serangan.”Terbungkam. Rangjasa tak lagi memiliki alibi kuat untuk membantah segala ucapan. Rahangnya mengencang. Ia tengah berusaha keras memendam kekesalan.Di tempatnya berdiri, Arin tersenyum penuh kemenangan. “Persiapkan senjatamu, kau tak ingin jika Saga memenggal semua kepala musuhnya, kan?”Rangjasa ter