Chapter 4
Bertemu Harvey Di depan pintu masuk Basketball City, Nichole langsung menemukan Maddy yang berdiri tidak jauh dari empatnya berdiri. Wanita berambut cokelat itu mengenakan dres pendek berbahan katun dan dipadukan dengan sneakers putih, berdiri sendirian di samping meja resepsionis. Betapa menyenangkannya memiliki kebebasan, pikir Nichole muram. Nichole melambaikan tangannya kepada Maddy seraya melangkah mendekati temannya itu, sementara Maddy tersenyum lebar dan menyongsong kedatangan Nichole. "Aku merindukanmu," kata Nichole seraya memeluk Maddy. "Aku juga merindukanmu," kata Maddy seraya memeluk Nichole. "Seharusnya kau memberitahu kami kalau kau kembali hari ini beberapa hari sebelumnya agar kami bisa menyambut kedatanganmu. Tidak seperti ini," lanjutnya seraya melepaskan pelukannya. Nichole menggeleng. "Aku suka memberimu kejutan." Maddy mengamati sekitarnya. "Apa tidak masalah kau berkeliaran di sini?" bisik Maddy. Nichole menyeringai sembari melepaskan pelukannya. "Jangan khawatir." "Terakhir kau mengunggah kegiatanmu di media sosial adalah dua tahun yang lalu, aku bahkan tidak pernah tahu kabarmu." Maddy menatap Nichole dan memutar bola matanya. "Apa tidak nyaman menjadi cucu presiden?" "Aku hanya tidak memiliki sesuatu yang spesial untuk dibagikan ke media sosial," jawab Nichole sembari tersenyum, menutupi jika sebenarnya dirinya tidak ingin kehidupannya diketahui publik setelah kakeknya menjadi presiden karena khawatir akan memancing opini publik. "Ya. Sejak dulu kau memang tidak terlalu peduli dengan media sosialmu." Maddy mengedikkan bahunya dan Nichole tersenyum. "Omong-omong, selamat atas gelar cumlaude-mu." "Terima kasih," kata Nichole dan tersenyum. "Itu patut dirayakan. Bagaimana?" "Itu... bukan sesuatu yang besar." Maddy mendengus. "Bukan sesuatu yang besar bagaiamana?" Masih ada yang lebih besar lagi yang harus ia raih, tetapi Nichole bukan orang yang biasa membagi isi pikirannya dengan orang lain meskipun Maddy adalah teman baiknya. Ia lebih memilih membicarakan cita-citanya dengan kelurganya. Nichole menatap Maddy dengan serius. "Jadi, bagaimana aku harus merayakannya?" "Kita pikirkan nanti. Sekarang, ayo kita masuk dan kita beri kejutan pada Harvey," kata Maddy seraya menggandeng Nichole. Bertemu Harvey setelah tiga tahun mereka tidak berjumpa membuat Nichole sedikit merasa gugup, apalagi Harvey sekarang bukan lagi Harvey yang dulu. Harvey yang sekarang memiliki banyak penggemar dari penjuru Amerika dengan ketenaran yang dimilikinya sementara dirinya? Selain statusnya sebagai cucu presiden Amerika Serikat, ia tidak memiliki sesuatu yang spesial. "Omong-omong, siapa dia?" Maddy berbisik pada Nichole. Pria tinggi besar berkulit gelap dengan setelan jas hitam dan kemeja putih mengenakan walkie talkie mini yang terpasang di telinganya sungguh terlalu mencolok. Di Cambridge, Fred tidak pernah mengenakan atribut lengkap seperti itu. Fred hanya mengenakan setelan jas setiap kali Nichole keluar rumah dan mengemudikan mobil untuknya, juga membukakan pintu mobil untuknya. Fred juga tidak pernah berdiri terlalu dekat dengannya, tetapi Fred selalu memastikan jika Nichole aman. Sementara di Amerika tentu saja Fred harus mengenakan pakaian dan atribut lengkap. "Dia bodyguard-ku," jawab Nichole malas. "Jangan hiraukan dia." Maddy melirik Fred kemudian mengedikkan bahunya lalu berkata, "Kau pasti risi." Maddy benar. Nichole ingin sekali memberikan skor 100 kepada Maddy. Ia memang sangat risi terutama pada Max yang pada hari pertama sudah berdebat dengannya, bahkan tatapan Max seolah sedang menentangnya. Berani sekali, Fred saja yang sudah dua tahun mengekorinya tidak pernah berani membalas tatapannya apalagi menentangnya. Oleh sebab itu ia memilih Fred yang pergi bersamanya masuk ke dalam gedung olah raga dan memerintahkan Max untuk tetap berada di dalam mobil. Sialan, batin Nichole kesal dan berpikir akan mengadukan pada kekeknya jika dirinya tidak menyukai agen Secret Service yang satu itu. Nichole berdehem. "Omong-omong, bagaimana studimu?" tanya Nichole pada Maddy. "Aku tidak melanjutkan pasca sarjana, aku lebih tertarik terjun ke dunia hiburan," jawab Maddy. "Seperti ibumu?" Maddy mengangguk sembari tersenyum semringah. Ibu Maddy adalah seorang aktris yang tersohor pada masanya dan setelah menikahi ayah Maddy yang merupakan putra dari salah satu politikus yang berpengaruh di Amerika, ibu Maddy memutuskan untuk meninggalkan dunia keartisannya. "Nah, itu Harvey," ujar Maddy seraya melambaikan tangan kepada Harvey yang sedang berlatih di tengah lapangan basket sayangnya Harvey tidak menyadari kedatangan mereka. Dari pinggir lapangan Nichole masih bisa melihat Harvey dengan jelas. Rambut Harvey bergaya cepak, kulitnya mengilap bersimbah keringat, lengannya berotot, dan masih seperti dulu. Penuh semangat dalam setiap gerakan di tengah lapangan basket. "Kau sering ke sini?" tanya Nichole, pandangannya tidak melepaskan Harvey walaupun hanya satu detik. "Ya. Terkadang, kebetulan pacarku satu tim dengan Harvey," jawab Maddy. Nichole menoleh kepada Maddy. "Jadi, kau sudah punya pacar?" Maddy tersipu. "Sebenarnya kami belum jadian sih, tapi dia sudah beberapa kali mengajakku makan malam." "Dia belum menyatakan cinta?" tanya Nichole sembari menatap Maddy yang tersipu. "Aku menunggunya." "Kenapa kau tidak menyatakan terlebih dulu?" Maddy tertawa. "Tidak. Itu memalukan, sebagai seorang wanita aku ingin dikejar. Menyatakan cinta terlebih dulu? Yang benar saja." Nichole tidak mengerti dengan aturan seperti itu dalam percintaan, ia tidak memiliki pengalaman berpacaran dan ia juga tidak ingin ambil pusing. "Jadi, yang mana calon pacarmu?" "Jason!" teriak Maddy sambil mengangkat tangannya dan seorang pria di lapangan membalas lambaian tangan Maddy. "Itu dia," kata Maddy seraya tersenyum lebar karena pria yang dipanggil mendekat. "Dia meninggalkan lapangan, dia pasti sangat menyukaimu, Maddy," kata Nichole. Maddy tidak menyahut karena Jason sudah sangat dekat, gadis itu hanya tersenyum. "Aku akan menyelesaikan latihanku sebentar lagi, apa tidak masalah?" tanya Jason seraya Membenarkan kaus tanpa lengannya yang basah oleh keringat. "Bukan masalah," jawab Maddy sembari tersenyum. "Oh, iya. Ini Nichole Elingthon, kau seharusnya tahu dia." Jason mengalihkan pandangannya pada Nichole dan ekspresinya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Hai, kau tidak pernah menceritakan kalau kau berteman dengan cucu presiden kita." "Di juga teman Harvey," kata Maddy. "Teman di sekolah menengah atas," imbuh Nichole sebari tersenyum. "Kenapa tidak memanggil Harvey?" "Tidak. Tidak perlu," kata Nichole. Namun, Jason justru memanggil Harvey dengan suara yang nyaring dan berhasil membuat Harvey menoleh. Tatapan Nichole dan Harvey beradu dan menyadari kehadiran Nichole, Harvey melangkah ke pinggir lapangan. "Nichole?" kata Harvey sembari tersenyum lebar. "Kau Di New York ternyata?" "Hai," sapa Nichole sembari tersenyum lembut kepada Harvey yang menyapu keringatnya di keningnya menggunakan bahunya. "Sudah empat tahun kita tidak bertemu, bagaimana kabarmu?" tanya Harvey seraya mengulurkan tangan, berniat untuk berjabat tangan Nichole. Nichole menjabat tangan Harvey. "Aku sangat senang karena di hari pertamaku di New York bisa bertemu kalian." "Jadi, kau baru kembali dari Inggris?" tanya Harvey. "Yeah, dan aku berencana melanjutkan kuliahku di sini," jawab Nichole. "Benarkah?" tanya Maddy antusias. "Ya. Aku berencana menlanjutkan Pascasarjana di Columbia University," kata Nichole sambil tersenyum. "Omong-omong, apa ada teman kita yang kuliah di sana?" Harvey dan Maddy saling bertatapan beberapa saat lalu Maddy berkata, "Aku tidak ingat. Mungkin kau harus bertanya di grup sekolah." "Kau tidak ada di grup, bukan?" Tanya Harvey dan Nichole mangngguk. "Aku akan memasukkanmu ke dalam grup nanti." Bersambung....Chapter 5 Tantangan Paginya setelah membersihkan diri Nichole segera pergi ke ruang makan di mana seperti biasanya setiap hari seluruh anggota keluarganya akan berkumpul di sana untuk menikmati sarapan mereka juga makan malam yang hangat. “Selamat pagi, Mom,” sapa Nichole pada ibunya yang berada di sana dan hanya bersama pelayan. Ayah dan kedua adiknya mungkin masih berada di kamar. Margaretha Elingthon, ibu Nichole yang sedang mengawasi pelayan menata peralatan makan tersenyum kepada putrinya semata wayangnya yang masih mengenakan setelan piyamanya. “Apa rencanamu hari ini, Sayang?” tanya wanita yang berprofesi sebagai wakil komisaris di departemen kepolisian New York. Nichole menarik sebuah kursi kemudian duduk dan bibirnya menyunggingkan senyum. “Kurasa hari ini akan cerah, tapi aku ingin bermalas-malasan di kamarku." Setidaknya sampai hari senin ia masih memiliki waktu untuk memutar otaknya, memikirkan cara mendekati Oleg Rumanov, mengakrabinya meskipun terdengar sangat
Chapter 6 Teman Lama Max memeriksa jam tangannya, sudah sepuluh menit Nichole belum juga menampakkan batang hidungnya. "Apa dia selalu begini?" tanya Max pada Fred. "Tidak juga, dia gadis yang manis dan disiplin." "Benarkah?" "Dia juga sangat gigih dengan cita-citanya." Max menatap Fred dengan serius. "Dia ingin menyelesaikan misi ini dalam waktu satu bulan." "Kurasa dia akan menyelesaikannya," ujar Fred dengan serius. "Kau tidak bosan hanya mengawalnya setiap hari?" tanya Max setelah beberapa detik. "Ini adalah bagian dari pekerjaan, kenapa harus bosan?" Max mengedikkan bahunya karena Nichole keluar dari rumah dan berjalan menuju ke arah mereka berdua. Max mengamati Nichole sekilas, wanita itu mengenakan gaun di atas lutut berlengan panjang dengan tali spageti di bagian dada berwarna putih dengan corak hitam itu terlihat cocok di tubuh Nichole dipadukan dengan sepatu tinggi membuat kaki Nichole terlihat panjang dan ramping. "Apa penampilanku tidak cocok?" tanya Nic
Chapter 7Kehilangan Teman Nichole berada di kamar Lindsay bersama Maddy dan Lindsay tentu saja. Kamar Lindsay didekorasi seperti kamar remaja menginjak dewasa pada umumnya, tidak banyak memberikan kesan yang menarik untuk Nichole. "Apa kau ingin minum sesuatu?" tanya Lindsay. "Terima kasih, aku sudah minum di bawah," jawab Nichole. Lindsay tersenyum. "Beritahu aku jika kau ingin minum, jangan sungkan. Dan... duduklah di mana pun kau mau." Maddy meletakkan tangannya di bahu Nichole dengan lembut. "Lindsay dan aku sudah berteman sejak lama, seperti kau dan aku. Kuharap kita bertiga bisa berteman." Tentu saja Nichole tidak keberatan berteman dengan Lindsay, tetapi jika Lindsay dan Harvey memiliki hubungan tentu saja Nichole tidak ingin berteman dengan gadis yang memiliki hubungan dengan pria idamannya. Nichole tersenyum. "Tentu saja." "Apa kalian sudah lama berteman?" tanya Lindsay."Sejak sekolah menengah atas," jawab Maddy seraya melepaskan tangannya dari bahu Nichole lalu dud
Chapter 8 Berita BagusNichole menuruni tangga untuk bergabung di ruang makan bersama keluarganya, tetapi ia mendapati Max berdiri di lantai bawah kediaman orang tuanya. "Nona Elingthon, ada kabar bagus pagi ini," kata Max.Nichole menyapukan pandangannya pada sekitar, untuk memastikan jika tidak ada orang lain yang mungkin akan mendengar percakapan mereka di ruangan itu dan ibunya berada tidak jauh dari tempatnya sedang merangkai bunga di vas besar yang berada tidak jauh dari tangga yang berbentuk melengkung setengah lingkaran."Apa kalian menemukan sesuatu?" Margaretha berdehem. "Sayang, sebaiknya kau bawa mereka ke ruang belajar," katanya. Nichole buru-buru menuruni tangga lalu melangkah menuju ruang belajar orang tuanya lalu ia duduk di kursi tempat ayahnya biasa duduk di ruangan itu sementara Max duduk di depannya seperti dua orang bawahan sedang menghadap bosnya. Max mengusap layar iPad lalu menyentuh layarnya dan menyodorkan iPad tersebut kepada Nichole. "Kemarin malam Ole
Prolog Di sebuah kondominium di jantung kota New York, Oleg Rumanov baru saja kembali dari pusat kebugaran. Ia meletakkan tasnya yang berisi peralatan olah raganya di atas meja kemudian membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sebotol minuman dingin lalu menikmati isinya. “Aku akan berangkat ke pusat pangkalan mata-mata malam ini,” kata Igor Rumanov, ayah Oleg Rumanov sambil. Oleg meletakkan botol minuman di tangannya ke atas meja dan menatap ayahnya yang berusia lima puluh lima tahun. Seorang mantan komandan angkatan darat dari Rusia yang baru saja pensiun tetapi bukannya menikmati masa pensiunnya justru bergabung dengan agen mata-mata dari negaranya, hal ini tidak membuat Oleg heran karena ayahnya sudah mengemukakan keinginannya sejak lama. Bahkan saat ayahnya masih aktif di angkatan militer Rusia. Ayahnya menerima upah yang sangat tinggi untuk menjalankan misi ini, tetapi Oleg tahu jika upah tinggi bukan satu-satunya sebab ayahnya mengambil misi berbahaya ini. Kecintaan
Chapter 1 Misi Penting “Bagaimana perjalananmu?” tanya Grayson J. Elingthon seraya merentangkan tangannya kepada Nichole Georgia Elingthon. Nichole memeluk kakeknya yang memasuki ruangan yang digunakan sebagai ruang keluarga lalu mencium pipi tua pria itu kemudian berkata, “Sejujurnya aku sangat marah padamu.” Nichole baru mendarat dari penerbangannya menggunakan first class selama delapan jam dua puluh lima menit dari London ke Washington D.C dan langsung menemui kakeknya di gedung putih, alih-alih pulang dulu ke tempat tinggal orang tuanya di New York, ia memilih penerbangan ke Washington karena tidak sabar lagi untuk bertemu dengan kakeknya. Wanita berusia dua puluh satu tahun itu baru aja menyelasaikan pendidikannya di Cambridge University dan mendapatkan gelar sarjana, ia bercita-cita menjadi seorang pengacara dan untuk merai cita-citanya itu ia harus mengambil pendidikan satu tahun lagi agar mendapatkan gelar master dan Nichole ingin mendapatkan gelar Juris Doctor di
Chapter 2 Agen Secret Service Menjadi pengawal Nichole Georgia Elingthon bukanlah ide yang menyenangkan bagi seorang anggota Secret Service yang terbiasa menghadapi tingkat stres setara dengan pilot pesawat tempur setiap kali mengawal presiden. Dengan pelatihan tingkat atas yang pernah dijalani dari pada menjadi pengawal seorang nona muda, Maxim Parker Hilton lebih baik diberi misi mematikan sepanjang Minggu atau tidur di hutan yang penuh dengan serigala, harimau, beruang, dan binatang buas dibandingkan harus mengawal seorang gadis. Di lingkungan kerjanya Max terkenal dengan dedikasinya yang tinggi, juga belum pernah Max gagal dalam menjalankan misi dan sukses menjadi agen kesayangan kepala bagian perlindungan, Jhon Praeger dan Jhon merekomendasikan dirinya kepada Tuan Presiden. Tentunya setelah mempelajari sepak terjang dan latar belakang Max, presiden akhirnya memilihnya padahal bagi Max mendapatkan misi mengawal cucu presiden adalah sebuah kesialan pertama seumur hidupnya. M
Chapter 3 Seseorang yang dikagumi Nichole Nichole memiliki dua orang adik laki-laki yang usianya masih remaja. Tetapi, di keluarga Elingthon, Nichole merupakan cucu yang paling disayang oleh kakeknya karena dirinya adalah cucu pertama di keluarga itu. Ayahnya adalah satu-satunya putra di keluarga Elingthon, dan ibunya adalah putri dari mantan senator senior di negara bagian Arizona. Lahir dengan sendok emas di mulutnya membuat Nichole tidak lantas besar kepala apa lagi manja. Orang tuanya mendidiknya dengan baik sehingga Nichole tumbuh menjadi pribadi yang bijaksana dalam menyikapi kehidupannya. Justru Nichole memanfaatkan segala yang ia miliki dengan sangat baik. Ia tidak ingin mengecewakan siapa pun dsn selalu berusaha menjadi yang terbaik dalam setiap hal baik di sekolah maupun di bidang lain seperti olah raga dan seni. Ia selalu mendapatkan nilai tertinggi di setiap mata pelajaran, bahkan ia berhasil mendapatkan gelar Cumlaude saat menyelesaikan program sarjana dan pasca
Chapter 8 Berita BagusNichole menuruni tangga untuk bergabung di ruang makan bersama keluarganya, tetapi ia mendapati Max berdiri di lantai bawah kediaman orang tuanya. "Nona Elingthon, ada kabar bagus pagi ini," kata Max.Nichole menyapukan pandangannya pada sekitar, untuk memastikan jika tidak ada orang lain yang mungkin akan mendengar percakapan mereka di ruangan itu dan ibunya berada tidak jauh dari tempatnya sedang merangkai bunga di vas besar yang berada tidak jauh dari tangga yang berbentuk melengkung setengah lingkaran."Apa kalian menemukan sesuatu?" Margaretha berdehem. "Sayang, sebaiknya kau bawa mereka ke ruang belajar," katanya. Nichole buru-buru menuruni tangga lalu melangkah menuju ruang belajar orang tuanya lalu ia duduk di kursi tempat ayahnya biasa duduk di ruangan itu sementara Max duduk di depannya seperti dua orang bawahan sedang menghadap bosnya. Max mengusap layar iPad lalu menyentuh layarnya dan menyodorkan iPad tersebut kepada Nichole. "Kemarin malam Ole
Chapter 7Kehilangan Teman Nichole berada di kamar Lindsay bersama Maddy dan Lindsay tentu saja. Kamar Lindsay didekorasi seperti kamar remaja menginjak dewasa pada umumnya, tidak banyak memberikan kesan yang menarik untuk Nichole. "Apa kau ingin minum sesuatu?" tanya Lindsay. "Terima kasih, aku sudah minum di bawah," jawab Nichole. Lindsay tersenyum. "Beritahu aku jika kau ingin minum, jangan sungkan. Dan... duduklah di mana pun kau mau." Maddy meletakkan tangannya di bahu Nichole dengan lembut. "Lindsay dan aku sudah berteman sejak lama, seperti kau dan aku. Kuharap kita bertiga bisa berteman." Tentu saja Nichole tidak keberatan berteman dengan Lindsay, tetapi jika Lindsay dan Harvey memiliki hubungan tentu saja Nichole tidak ingin berteman dengan gadis yang memiliki hubungan dengan pria idamannya. Nichole tersenyum. "Tentu saja." "Apa kalian sudah lama berteman?" tanya Lindsay."Sejak sekolah menengah atas," jawab Maddy seraya melepaskan tangannya dari bahu Nichole lalu dud
Chapter 6 Teman Lama Max memeriksa jam tangannya, sudah sepuluh menit Nichole belum juga menampakkan batang hidungnya. "Apa dia selalu begini?" tanya Max pada Fred. "Tidak juga, dia gadis yang manis dan disiplin." "Benarkah?" "Dia juga sangat gigih dengan cita-citanya." Max menatap Fred dengan serius. "Dia ingin menyelesaikan misi ini dalam waktu satu bulan." "Kurasa dia akan menyelesaikannya," ujar Fred dengan serius. "Kau tidak bosan hanya mengawalnya setiap hari?" tanya Max setelah beberapa detik. "Ini adalah bagian dari pekerjaan, kenapa harus bosan?" Max mengedikkan bahunya karena Nichole keluar dari rumah dan berjalan menuju ke arah mereka berdua. Max mengamati Nichole sekilas, wanita itu mengenakan gaun di atas lutut berlengan panjang dengan tali spageti di bagian dada berwarna putih dengan corak hitam itu terlihat cocok di tubuh Nichole dipadukan dengan sepatu tinggi membuat kaki Nichole terlihat panjang dan ramping. "Apa penampilanku tidak cocok?" tanya Nic
Chapter 5 Tantangan Paginya setelah membersihkan diri Nichole segera pergi ke ruang makan di mana seperti biasanya setiap hari seluruh anggota keluarganya akan berkumpul di sana untuk menikmati sarapan mereka juga makan malam yang hangat. “Selamat pagi, Mom,” sapa Nichole pada ibunya yang berada di sana dan hanya bersama pelayan. Ayah dan kedua adiknya mungkin masih berada di kamar. Margaretha Elingthon, ibu Nichole yang sedang mengawasi pelayan menata peralatan makan tersenyum kepada putrinya semata wayangnya yang masih mengenakan setelan piyamanya. “Apa rencanamu hari ini, Sayang?” tanya wanita yang berprofesi sebagai wakil komisaris di departemen kepolisian New York. Nichole menarik sebuah kursi kemudian duduk dan bibirnya menyunggingkan senyum. “Kurasa hari ini akan cerah, tapi aku ingin bermalas-malasan di kamarku." Setidaknya sampai hari senin ia masih memiliki waktu untuk memutar otaknya, memikirkan cara mendekati Oleg Rumanov, mengakrabinya meskipun terdengar sangat
Chapter 4 Bertemu Harvey Di depan pintu masuk Basketball City, Nichole langsung menemukan Maddy yang berdiri tidak jauh dari empatnya berdiri. Wanita berambut cokelat itu mengenakan dres pendek berbahan katun dan dipadukan dengan sneakers putih, berdiri sendirian di samping meja resepsionis. Betapa menyenangkannya memiliki kebebasan, pikir Nichole muram. Nichole melambaikan tangannya kepada Maddy seraya melangkah mendekati temannya itu, sementara Maddy tersenyum lebar dan menyongsong kedatangan Nichole. "Aku merindukanmu," kata Nichole seraya memeluk Maddy. "Aku juga merindukanmu," kata Maddy seraya memeluk Nichole. "Seharusnya kau memberitahu kami kalau kau kembali hari ini beberapa hari sebelumnya agar kami bisa menyambut kedatanganmu. Tidak seperti ini," lanjutnya seraya melepaskan pelukannya. Nichole menggeleng. "Aku suka memberimu kejutan." Maddy mengamati sekitarnya. "Apa tidak masalah kau berkeliaran di sini?" bisik Maddy. Nichole menyeringai sembari mele
Chapter 3 Seseorang yang dikagumi Nichole Nichole memiliki dua orang adik laki-laki yang usianya masih remaja. Tetapi, di keluarga Elingthon, Nichole merupakan cucu yang paling disayang oleh kakeknya karena dirinya adalah cucu pertama di keluarga itu. Ayahnya adalah satu-satunya putra di keluarga Elingthon, dan ibunya adalah putri dari mantan senator senior di negara bagian Arizona. Lahir dengan sendok emas di mulutnya membuat Nichole tidak lantas besar kepala apa lagi manja. Orang tuanya mendidiknya dengan baik sehingga Nichole tumbuh menjadi pribadi yang bijaksana dalam menyikapi kehidupannya. Justru Nichole memanfaatkan segala yang ia miliki dengan sangat baik. Ia tidak ingin mengecewakan siapa pun dsn selalu berusaha menjadi yang terbaik dalam setiap hal baik di sekolah maupun di bidang lain seperti olah raga dan seni. Ia selalu mendapatkan nilai tertinggi di setiap mata pelajaran, bahkan ia berhasil mendapatkan gelar Cumlaude saat menyelesaikan program sarjana dan pasca
Chapter 2 Agen Secret Service Menjadi pengawal Nichole Georgia Elingthon bukanlah ide yang menyenangkan bagi seorang anggota Secret Service yang terbiasa menghadapi tingkat stres setara dengan pilot pesawat tempur setiap kali mengawal presiden. Dengan pelatihan tingkat atas yang pernah dijalani dari pada menjadi pengawal seorang nona muda, Maxim Parker Hilton lebih baik diberi misi mematikan sepanjang Minggu atau tidur di hutan yang penuh dengan serigala, harimau, beruang, dan binatang buas dibandingkan harus mengawal seorang gadis. Di lingkungan kerjanya Max terkenal dengan dedikasinya yang tinggi, juga belum pernah Max gagal dalam menjalankan misi dan sukses menjadi agen kesayangan kepala bagian perlindungan, Jhon Praeger dan Jhon merekomendasikan dirinya kepada Tuan Presiden. Tentunya setelah mempelajari sepak terjang dan latar belakang Max, presiden akhirnya memilihnya padahal bagi Max mendapatkan misi mengawal cucu presiden adalah sebuah kesialan pertama seumur hidupnya. M
Chapter 1 Misi Penting “Bagaimana perjalananmu?” tanya Grayson J. Elingthon seraya merentangkan tangannya kepada Nichole Georgia Elingthon. Nichole memeluk kakeknya yang memasuki ruangan yang digunakan sebagai ruang keluarga lalu mencium pipi tua pria itu kemudian berkata, “Sejujurnya aku sangat marah padamu.” Nichole baru mendarat dari penerbangannya menggunakan first class selama delapan jam dua puluh lima menit dari London ke Washington D.C dan langsung menemui kakeknya di gedung putih, alih-alih pulang dulu ke tempat tinggal orang tuanya di New York, ia memilih penerbangan ke Washington karena tidak sabar lagi untuk bertemu dengan kakeknya. Wanita berusia dua puluh satu tahun itu baru aja menyelasaikan pendidikannya di Cambridge University dan mendapatkan gelar sarjana, ia bercita-cita menjadi seorang pengacara dan untuk merai cita-citanya itu ia harus mengambil pendidikan satu tahun lagi agar mendapatkan gelar master dan Nichole ingin mendapatkan gelar Juris Doctor di
Prolog Di sebuah kondominium di jantung kota New York, Oleg Rumanov baru saja kembali dari pusat kebugaran. Ia meletakkan tasnya yang berisi peralatan olah raganya di atas meja kemudian membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sebotol minuman dingin lalu menikmati isinya. “Aku akan berangkat ke pusat pangkalan mata-mata malam ini,” kata Igor Rumanov, ayah Oleg Rumanov sambil. Oleg meletakkan botol minuman di tangannya ke atas meja dan menatap ayahnya yang berusia lima puluh lima tahun. Seorang mantan komandan angkatan darat dari Rusia yang baru saja pensiun tetapi bukannya menikmati masa pensiunnya justru bergabung dengan agen mata-mata dari negaranya, hal ini tidak membuat Oleg heran karena ayahnya sudah mengemukakan keinginannya sejak lama. Bahkan saat ayahnya masih aktif di angkatan militer Rusia. Ayahnya menerima upah yang sangat tinggi untuk menjalankan misi ini, tetapi Oleg tahu jika upah tinggi bukan satu-satunya sebab ayahnya mengambil misi berbahaya ini. Kecintaan