Chapter 5
Tantangan Paginya setelah membersihkan diri Nichole segera pergi ke ruang makan di mana seperti biasanya setiap hari seluruh anggota keluarganya akan berkumpul di sana untuk menikmati sarapan mereka juga makan malam yang hangat. “Selamat pagi, Mom,” sapa Nichole pada ibunya yang berada di sana dan hanya bersama pelayan. Ayah dan kedua adiknya mungkin masih berada di kamar. Margaretha Elingthon, ibu Nichole yang sedang mengawasi pelayan menata peralatan makan tersenyum kepada putrinya semata wayangnya yang masih mengenakan setelan piyamanya. “Apa rencanamu hari ini, Sayang?” tanya wanita yang berprofesi sebagai wakil komisaris di departemen kepolisian New York. Nichole menarik sebuah kursi kemudian duduk dan bibirnya menyunggingkan senyum. “Kurasa hari ini akan cerah, tapi aku ingin bermalas-malasan di kamarku." Setidaknya sampai hari senin ia masih memiliki waktu untuk memutar otaknya, memikirkan cara mendekati Oleg Rumanov, mengakrabinya meskipun terdengar sangat mustahil. "Sayang sekali," kata Margaretha, "Kau sudah lama tidak berjumpa dengan teman-temanmu di sini, kenapa tidak menjumpai mereka?" Ibunya pasti akan terkejut jika tahu ia telah menjumpai teman-temannya begitu mendarat dari pesawat kemarin. "Aku akan berada di New York untuk waktu yang cukup lama, tidak perlu terburu-buru." “Kudengar kau sudah setuju untuk kuliah di Columbia University," kata Margaretha seraya menatap putrinya dengan serius. Sepertinya misi yang diberikan kakeknya sifatnya sangat rahasia sehingga ibunya pun tidak mengetahuinya. “Ya. Aku sudah setuju," jawab Nichole. Margaretha menuangkan susu di gelas dan meletakannya di depan Nichole. “Sukurlah, aku lega mendengarnya karena kau tidak menentang keinginan kakekmu. Percayalah, kakekmu melakukannya demi kebaikanmu." Nichole mengangguk tanpa menyahut sambil mengambil sosis lalu meletakkan di piringnya. Ibunya tidak tahu jika kakeknya itu tidak seperti yang dipikirkan ibunya, juga dirinya yang tidak seperti yang ibunya duga. Ia tidak akan membuang waktu berlama-lama di New York dan ibunya mungkin akan kecewa dengan keputusannya nanti. “Sayang sekali kau kebebasan dengan terus tinggal di Cambridge,” celetuk Miller Elingthon, adik pertamanya yang berusia Tujuh belas tahun yang datang dengan membawa ransel yang kelihatannya cukup berat. Nichole memutar bola matanya dengan malas. “Urus saja sekolahmu agar kau tidak remedial lagi di kelas matematika,” ejek Nichole pada Miller yang pernah mendapatkan nilai lima di ujian matematika. “Lihat saja aku akan mendapat nilai terbaik di kelulusanku nanti dan kau haru mengakui kehebatanku,” kata Miller seraya meletakkan ranselnya di kursi seberang Nichole. Kejadian itu sudah berlalu lima tahun lebih, tetapi Nichole masih menjadikannya senjata untuk mengejek adiknya dan hal itu selalu membuat Nichole merasa mendapatkan satu poin di atas Miller saat mereka saling mengejek. Nichole mengedikkan bahunya. “Aku akan memberikan gelang Cartier jika kau mendapatkan nilai matematika terbaik, tidak perlu menjadi lulusan terbaik,” katanya dengan nada mengejek. “Aku tidak yakin bisa mendapatkan nilai sempurna di ujian matematika,” kata Miller seraya mengambil dua potong roti lalu duduk. “Aku lebih tidak yakin padamu,” ejek Nichole. Adiknya tidak menyukai matematika, mustahil mendapatkan nilai matematika tertinggi. Tetapi, adiknya cukup baik di mata pelajaran lain sehingga Miller bisa saja mendapatkan lulusan terbaik dengan mengandalkan pelajaran lain. “Aku sangat senang karena kau sudah setuju untuk menlajutkan studi di sini,” kata Margaretha lalu menarik kursi di sebelah Nichole. Ibunya pasti akan kecewa jika tahu kebenarannya, batin Nichole sambil mengambil sebuah telur goreng lalu menempatkan di piringnya. “Ada banyak universitas bergengsi di sini,” kata Margaretha sambil duduk. Ibunya benar ada banyak universitas bergengsi di New York, tetapi kehidupan di Cambridge yang tenang lebih menarik. Dan yang pasti karena Cambridge adalah universitas terbaik nomor satu di dunia saat ini sehingga Nichole hanya menginginkan melanjutkan studinya di sana. Apa ibunya tidak mengerti betapa sulitnya masuk ke universitas itu? “Seharusnya kauau bisa kembali ke Cambridge kalau kau bisa meyakinkan kakekmu,” kata ayahnya yang datang bersama adik keduanya yang berusia tujuh tahun. Nichole menyeringai. “Yeah, tapi aku tidak berhasil meyakinkannya.” “Kalau tidak begini apa kau akan pulang?” tanya ayahnya sembari menarik kursi untuk Jonathan lalu menarik kursi untuk dirinya dan duduk. Sebenarnya Nichole berniat untuk tidak ada rencana untuk pulang ke New York sama sekali sampai program Pascasarjana nya selesai lalu melanjutkan pendidikan Juris Doctor di Amerika. Bukan tidak merindukan keluarga. Lagi pula orang tua dan kedua adiknya menghadiri wisuda kelulusannya di Cambridge, sudah cukup untuk melepaskan rindu walaupun mereka hanya beberapa hari. Nichole berdehem pelan. “Tentu saja aku akan sering pulang. Sayangnya aku sudah kehilangan kesempatan untuk kembali ke Cambridge." David menatap Nichole dengan tenang dan Nichole yakin jika ayahnya sebenarnya mengetahui sesuatu yang ia sembunyikan kerana ayahnya adalah orang yang sangat jeli di balik sikap tenangnya dan itu adalah salah satu hal yang membuat dirinya ingin menjadi seperti David Elingthon, ayahnya yang merupakan pengacara dengan sepak terjangnya diakui di Amerika. “Jika kau ingin kau masih bisa kembali ke Cambridge," kata David sembari mengelus kepala Nichole. “David, kau terlalu memanjakannya,” kata Margaretha sembari menatap suaminya dengan tatapan kesal. Di keluarganya selain ayahnya yang sangat memanjakan Nichole, kakeknya juga sangat memanjakannya. Hanya saja kedua pria itu berada di bawah kendali istri mereka, ayahnya yang ada di bawah kendali ibunya dan kakeknya yang berada di bawah kendali neneknya. Ibunya sudah sering membujuknya untuk kuliah di New York dan sekarang mendengar jika dirinya sudah setuju untuk kuliah di New York pasti ibunya itu sangat senang dan akan kecewa jika kali ini ia hanya akan menjadi mahasiswa gadungan di Columbia University. Sepertinya dengan mengorbankan sedikit waktunya untuk membantu kakeknya tidak akan membuatnya rugi, batin Nichole karena apa yang telah keluarganya berikan keluarganya padanya sangat banyak. Kasih sayang yang tidak terhingga dan meteri yang cukup adalah kebahagiaan yang tiada duanya sehingga menerima misi penting itu sebagai salah satu tantangan dalam hidupnya bukanlah hal yang buruk. Tiba-tiba ponsel Nichole berbunyi panggilan masuk dan Nichole segera mengalihkan perhatiannya pada ponselnya. Nichole tersenyum karena panggillan itu dari Harvey dan sangat menantikannya dari kemarin. “Hai," sapa Harvey. "Hai," balas Nichole seraya meninggalkan kursi dan berjalan ke arah ruang keluarga. "Kuharap aku tidak mengganggu tidurmu.” Nichole berdehem. "Aku terbiasa bangun pagi, jangan khawatir." "Baiklah kalau begitu. Omong-omong, apa kau sibuk hari ini?" Nichole tersenyum lalu menjilat bibirnya. "Yeah, kurasa akan menjadi sibuk. Ada apa?” “Kapten basketku berulang tahun dan aku bermaksud mengajakmu pergi, jika kau ada waktu.” Nichole mematung beberapa detik, hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Harvey mengajaknya ke pesta ulang tahun kaptennya? "Oh, ya? Kapan? Maksudku agar aku bisa mengatur jadwalku," kata Nichole berpura-pura menjadi orang yang sibuk. Tidak mungkin mengatakan jika hari ini ia tidak memiliki kesibukan di New York, itu tidak keren. "Malam ini," jawab Harvey. Bersambung....Chapter 6 Teman Lama Max memeriksa jam tangannya, sudah sepuluh menit Nichole belum juga menampakkan batang hidungnya. "Apa dia selalu begini?" tanya Max pada Fred. "Tidak juga, dia gadis yang manis dan disiplin." "Benarkah?" "Dia juga sangat gigih dengan cita-citanya." Max menatap Fred dengan serius. "Dia ingin menyelesaikan misi ini dalam waktu satu bulan." "Kurasa dia akan menyelesaikannya," ujar Fred dengan serius. "Kau tidak bosan hanya mengawalnya setiap hari?" tanya Max setelah beberapa detik. "Ini adalah bagian dari pekerjaan, kenapa harus bosan?" Max mengedikkan bahunya karena Nichole keluar dari rumah dan berjalan menuju ke arah mereka berdua. Max mengamati Nichole sekilas, wanita itu mengenakan gaun di atas lutut berlengan panjang dengan tali spageti di bagian dada berwarna putih dengan corak hitam itu terlihat cocok di tubuh Nichole dipadukan dengan sepatu tinggi membuat kaki Nichole terlihat panjang dan ramping. "Apa penampilanku tidak cocok?" tanya Nic
Chapter 7Kehilangan Teman Nichole berada di kamar Lindsay bersama Maddy dan Lindsay tentu saja. Kamar Lindsay didekorasi seperti kamar remaja menginjak dewasa pada umumnya, tidak banyak memberikan kesan yang menarik untuk Nichole. "Apa kau ingin minum sesuatu?" tanya Lindsay. "Terima kasih, aku sudah minum di bawah," jawab Nichole. Lindsay tersenyum. "Beritahu aku jika kau ingin minum, jangan sungkan. Dan... duduklah di mana pun kau mau." Maddy meletakkan tangannya di bahu Nichole dengan lembut. "Lindsay dan aku sudah berteman sejak lama, seperti kau dan aku. Kuharap kita bertiga bisa berteman." Tentu saja Nichole tidak keberatan berteman dengan Lindsay, tetapi jika Lindsay dan Harvey memiliki hubungan tentu saja Nichole tidak ingin berteman dengan gadis yang memiliki hubungan dengan pria idamannya. Nichole tersenyum. "Tentu saja." "Apa kalian sudah lama berteman?" tanya Lindsay."Sejak sekolah menengah atas," jawab Maddy seraya melepaskan tangannya dari bahu Nichole lalu dud
Chapter 8 Berita BagusNichole menuruni tangga untuk bergabung di ruang makan bersama keluarganya, tetapi ia mendapati Max berdiri di lantai bawah kediaman orang tuanya. "Nona Elingthon, ada kabar bagus pagi ini," kata Max.Nichole menyapukan pandangannya pada sekitar, untuk memastikan jika tidak ada orang lain yang mungkin akan mendengar percakapan mereka di ruangan itu dan ibunya berada tidak jauh dari tempatnya sedang merangkai bunga di vas besar yang berada tidak jauh dari tangga yang berbentuk melengkung setengah lingkaran."Apa kalian menemukan sesuatu?" Margaretha berdehem. "Sayang, sebaiknya kau bawa mereka ke ruang belajar," katanya. Nichole buru-buru menuruni tangga lalu melangkah menuju ruang belajar orang tuanya lalu ia duduk di kursi tempat ayahnya biasa duduk di ruangan itu sementara Max duduk di depannya seperti dua orang bawahan sedang menghadap bosnya. Max mengusap layar iPad lalu menyentuh layarnya dan menyodorkan iPad tersebut kepada Nichole. "Kemarin malam Ole
Prolog Di sebuah kondominium di jantung kota New York, Oleg Rumanov baru saja kembali dari pusat kebugaran. Ia meletakkan tasnya yang berisi peralatan olah raganya di atas meja kemudian membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sebotol minuman dingin lalu menikmati isinya. “Aku akan berangkat ke pusat pangkalan mata-mata malam ini,” kata Igor Rumanov, ayah Oleg Rumanov sambil. Oleg meletakkan botol minuman di tangannya ke atas meja dan menatap ayahnya yang berusia lima puluh lima tahun. Seorang mantan komandan angkatan darat dari Rusia yang baru saja pensiun tetapi bukannya menikmati masa pensiunnya justru bergabung dengan agen mata-mata dari negaranya, hal ini tidak membuat Oleg heran karena ayahnya sudah mengemukakan keinginannya sejak lama. Bahkan saat ayahnya masih aktif di angkatan militer Rusia. Ayahnya menerima upah yang sangat tinggi untuk menjalankan misi ini, tetapi Oleg tahu jika upah tinggi bukan satu-satunya sebab ayahnya mengambil misi berbahaya ini. Kecintaan
Chapter 1 Misi Penting “Bagaimana perjalananmu?” tanya Grayson J. Elingthon seraya merentangkan tangannya kepada Nichole Georgia Elingthon. Nichole memeluk kakeknya yang memasuki ruangan yang digunakan sebagai ruang keluarga lalu mencium pipi tua pria itu kemudian berkata, “Sejujurnya aku sangat marah padamu.” Nichole baru mendarat dari penerbangannya menggunakan first class selama delapan jam dua puluh lima menit dari London ke Washington D.C dan langsung menemui kakeknya di gedung putih, alih-alih pulang dulu ke tempat tinggal orang tuanya di New York, ia memilih penerbangan ke Washington karena tidak sabar lagi untuk bertemu dengan kakeknya. Wanita berusia dua puluh satu tahun itu baru aja menyelasaikan pendidikannya di Cambridge University dan mendapatkan gelar sarjana, ia bercita-cita menjadi seorang pengacara dan untuk merai cita-citanya itu ia harus mengambil pendidikan satu tahun lagi agar mendapatkan gelar master dan Nichole ingin mendapatkan gelar Juris Doctor di
Chapter 2 Agen Secret Service Menjadi pengawal Nichole Georgia Elingthon bukanlah ide yang menyenangkan bagi seorang anggota Secret Service yang terbiasa menghadapi tingkat stres setara dengan pilot pesawat tempur setiap kali mengawal presiden. Dengan pelatihan tingkat atas yang pernah dijalani dari pada menjadi pengawal seorang nona muda, Maxim Parker Hilton lebih baik diberi misi mematikan sepanjang Minggu atau tidur di hutan yang penuh dengan serigala, harimau, beruang, dan binatang buas dibandingkan harus mengawal seorang gadis. Di lingkungan kerjanya Max terkenal dengan dedikasinya yang tinggi, juga belum pernah Max gagal dalam menjalankan misi dan sukses menjadi agen kesayangan kepala bagian perlindungan, Jhon Praeger dan Jhon merekomendasikan dirinya kepada Tuan Presiden. Tentunya setelah mempelajari sepak terjang dan latar belakang Max, presiden akhirnya memilihnya padahal bagi Max mendapatkan misi mengawal cucu presiden adalah sebuah kesialan pertama seumur hidupnya. M
Chapter 3 Seseorang yang dikagumi Nichole Nichole memiliki dua orang adik laki-laki yang usianya masih remaja. Tetapi, di keluarga Elingthon, Nichole merupakan cucu yang paling disayang oleh kakeknya karena dirinya adalah cucu pertama di keluarga itu. Ayahnya adalah satu-satunya putra di keluarga Elingthon, dan ibunya adalah putri dari mantan senator senior di negara bagian Arizona. Lahir dengan sendok emas di mulutnya membuat Nichole tidak lantas besar kepala apa lagi manja. Orang tuanya mendidiknya dengan baik sehingga Nichole tumbuh menjadi pribadi yang bijaksana dalam menyikapi kehidupannya. Justru Nichole memanfaatkan segala yang ia miliki dengan sangat baik. Ia tidak ingin mengecewakan siapa pun dsn selalu berusaha menjadi yang terbaik dalam setiap hal baik di sekolah maupun di bidang lain seperti olah raga dan seni. Ia selalu mendapatkan nilai tertinggi di setiap mata pelajaran, bahkan ia berhasil mendapatkan gelar Cumlaude saat menyelesaikan program sarjana dan pasca
Chapter 4 Bertemu Harvey Di depan pintu masuk Basketball City, Nichole langsung menemukan Maddy yang berdiri tidak jauh dari empatnya berdiri. Wanita berambut cokelat itu mengenakan dres pendek berbahan katun dan dipadukan dengan sneakers putih, berdiri sendirian di samping meja resepsionis. Betapa menyenangkannya memiliki kebebasan, pikir Nichole muram. Nichole melambaikan tangannya kepada Maddy seraya melangkah mendekati temannya itu, sementara Maddy tersenyum lebar dan menyongsong kedatangan Nichole. "Aku merindukanmu," kata Nichole seraya memeluk Maddy. "Aku juga merindukanmu," kata Maddy seraya memeluk Nichole. "Seharusnya kau memberitahu kami kalau kau kembali hari ini beberapa hari sebelumnya agar kami bisa menyambut kedatanganmu. Tidak seperti ini," lanjutnya seraya melepaskan pelukannya. Nichole menggeleng. "Aku suka memberimu kejutan." Maddy mengamati sekitarnya. "Apa tidak masalah kau berkeliaran di sini?" bisik Maddy. Nichole menyeringai sembari mele
Chapter 8 Berita BagusNichole menuruni tangga untuk bergabung di ruang makan bersama keluarganya, tetapi ia mendapati Max berdiri di lantai bawah kediaman orang tuanya. "Nona Elingthon, ada kabar bagus pagi ini," kata Max.Nichole menyapukan pandangannya pada sekitar, untuk memastikan jika tidak ada orang lain yang mungkin akan mendengar percakapan mereka di ruangan itu dan ibunya berada tidak jauh dari tempatnya sedang merangkai bunga di vas besar yang berada tidak jauh dari tangga yang berbentuk melengkung setengah lingkaran."Apa kalian menemukan sesuatu?" Margaretha berdehem. "Sayang, sebaiknya kau bawa mereka ke ruang belajar," katanya. Nichole buru-buru menuruni tangga lalu melangkah menuju ruang belajar orang tuanya lalu ia duduk di kursi tempat ayahnya biasa duduk di ruangan itu sementara Max duduk di depannya seperti dua orang bawahan sedang menghadap bosnya. Max mengusap layar iPad lalu menyentuh layarnya dan menyodorkan iPad tersebut kepada Nichole. "Kemarin malam Ole
Chapter 7Kehilangan Teman Nichole berada di kamar Lindsay bersama Maddy dan Lindsay tentu saja. Kamar Lindsay didekorasi seperti kamar remaja menginjak dewasa pada umumnya, tidak banyak memberikan kesan yang menarik untuk Nichole. "Apa kau ingin minum sesuatu?" tanya Lindsay. "Terima kasih, aku sudah minum di bawah," jawab Nichole. Lindsay tersenyum. "Beritahu aku jika kau ingin minum, jangan sungkan. Dan... duduklah di mana pun kau mau." Maddy meletakkan tangannya di bahu Nichole dengan lembut. "Lindsay dan aku sudah berteman sejak lama, seperti kau dan aku. Kuharap kita bertiga bisa berteman." Tentu saja Nichole tidak keberatan berteman dengan Lindsay, tetapi jika Lindsay dan Harvey memiliki hubungan tentu saja Nichole tidak ingin berteman dengan gadis yang memiliki hubungan dengan pria idamannya. Nichole tersenyum. "Tentu saja." "Apa kalian sudah lama berteman?" tanya Lindsay."Sejak sekolah menengah atas," jawab Maddy seraya melepaskan tangannya dari bahu Nichole lalu dud
Chapter 6 Teman Lama Max memeriksa jam tangannya, sudah sepuluh menit Nichole belum juga menampakkan batang hidungnya. "Apa dia selalu begini?" tanya Max pada Fred. "Tidak juga, dia gadis yang manis dan disiplin." "Benarkah?" "Dia juga sangat gigih dengan cita-citanya." Max menatap Fred dengan serius. "Dia ingin menyelesaikan misi ini dalam waktu satu bulan." "Kurasa dia akan menyelesaikannya," ujar Fred dengan serius. "Kau tidak bosan hanya mengawalnya setiap hari?" tanya Max setelah beberapa detik. "Ini adalah bagian dari pekerjaan, kenapa harus bosan?" Max mengedikkan bahunya karena Nichole keluar dari rumah dan berjalan menuju ke arah mereka berdua. Max mengamati Nichole sekilas, wanita itu mengenakan gaun di atas lutut berlengan panjang dengan tali spageti di bagian dada berwarna putih dengan corak hitam itu terlihat cocok di tubuh Nichole dipadukan dengan sepatu tinggi membuat kaki Nichole terlihat panjang dan ramping. "Apa penampilanku tidak cocok?" tanya Nic
Chapter 5 Tantangan Paginya setelah membersihkan diri Nichole segera pergi ke ruang makan di mana seperti biasanya setiap hari seluruh anggota keluarganya akan berkumpul di sana untuk menikmati sarapan mereka juga makan malam yang hangat. “Selamat pagi, Mom,” sapa Nichole pada ibunya yang berada di sana dan hanya bersama pelayan. Ayah dan kedua adiknya mungkin masih berada di kamar. Margaretha Elingthon, ibu Nichole yang sedang mengawasi pelayan menata peralatan makan tersenyum kepada putrinya semata wayangnya yang masih mengenakan setelan piyamanya. “Apa rencanamu hari ini, Sayang?” tanya wanita yang berprofesi sebagai wakil komisaris di departemen kepolisian New York. Nichole menarik sebuah kursi kemudian duduk dan bibirnya menyunggingkan senyum. “Kurasa hari ini akan cerah, tapi aku ingin bermalas-malasan di kamarku." Setidaknya sampai hari senin ia masih memiliki waktu untuk memutar otaknya, memikirkan cara mendekati Oleg Rumanov, mengakrabinya meskipun terdengar sangat
Chapter 4 Bertemu Harvey Di depan pintu masuk Basketball City, Nichole langsung menemukan Maddy yang berdiri tidak jauh dari empatnya berdiri. Wanita berambut cokelat itu mengenakan dres pendek berbahan katun dan dipadukan dengan sneakers putih, berdiri sendirian di samping meja resepsionis. Betapa menyenangkannya memiliki kebebasan, pikir Nichole muram. Nichole melambaikan tangannya kepada Maddy seraya melangkah mendekati temannya itu, sementara Maddy tersenyum lebar dan menyongsong kedatangan Nichole. "Aku merindukanmu," kata Nichole seraya memeluk Maddy. "Aku juga merindukanmu," kata Maddy seraya memeluk Nichole. "Seharusnya kau memberitahu kami kalau kau kembali hari ini beberapa hari sebelumnya agar kami bisa menyambut kedatanganmu. Tidak seperti ini," lanjutnya seraya melepaskan pelukannya. Nichole menggeleng. "Aku suka memberimu kejutan." Maddy mengamati sekitarnya. "Apa tidak masalah kau berkeliaran di sini?" bisik Maddy. Nichole menyeringai sembari mele
Chapter 3 Seseorang yang dikagumi Nichole Nichole memiliki dua orang adik laki-laki yang usianya masih remaja. Tetapi, di keluarga Elingthon, Nichole merupakan cucu yang paling disayang oleh kakeknya karena dirinya adalah cucu pertama di keluarga itu. Ayahnya adalah satu-satunya putra di keluarga Elingthon, dan ibunya adalah putri dari mantan senator senior di negara bagian Arizona. Lahir dengan sendok emas di mulutnya membuat Nichole tidak lantas besar kepala apa lagi manja. Orang tuanya mendidiknya dengan baik sehingga Nichole tumbuh menjadi pribadi yang bijaksana dalam menyikapi kehidupannya. Justru Nichole memanfaatkan segala yang ia miliki dengan sangat baik. Ia tidak ingin mengecewakan siapa pun dsn selalu berusaha menjadi yang terbaik dalam setiap hal baik di sekolah maupun di bidang lain seperti olah raga dan seni. Ia selalu mendapatkan nilai tertinggi di setiap mata pelajaran, bahkan ia berhasil mendapatkan gelar Cumlaude saat menyelesaikan program sarjana dan pasca
Chapter 2 Agen Secret Service Menjadi pengawal Nichole Georgia Elingthon bukanlah ide yang menyenangkan bagi seorang anggota Secret Service yang terbiasa menghadapi tingkat stres setara dengan pilot pesawat tempur setiap kali mengawal presiden. Dengan pelatihan tingkat atas yang pernah dijalani dari pada menjadi pengawal seorang nona muda, Maxim Parker Hilton lebih baik diberi misi mematikan sepanjang Minggu atau tidur di hutan yang penuh dengan serigala, harimau, beruang, dan binatang buas dibandingkan harus mengawal seorang gadis. Di lingkungan kerjanya Max terkenal dengan dedikasinya yang tinggi, juga belum pernah Max gagal dalam menjalankan misi dan sukses menjadi agen kesayangan kepala bagian perlindungan, Jhon Praeger dan Jhon merekomendasikan dirinya kepada Tuan Presiden. Tentunya setelah mempelajari sepak terjang dan latar belakang Max, presiden akhirnya memilihnya padahal bagi Max mendapatkan misi mengawal cucu presiden adalah sebuah kesialan pertama seumur hidupnya. M
Chapter 1 Misi Penting “Bagaimana perjalananmu?” tanya Grayson J. Elingthon seraya merentangkan tangannya kepada Nichole Georgia Elingthon. Nichole memeluk kakeknya yang memasuki ruangan yang digunakan sebagai ruang keluarga lalu mencium pipi tua pria itu kemudian berkata, “Sejujurnya aku sangat marah padamu.” Nichole baru mendarat dari penerbangannya menggunakan first class selama delapan jam dua puluh lima menit dari London ke Washington D.C dan langsung menemui kakeknya di gedung putih, alih-alih pulang dulu ke tempat tinggal orang tuanya di New York, ia memilih penerbangan ke Washington karena tidak sabar lagi untuk bertemu dengan kakeknya. Wanita berusia dua puluh satu tahun itu baru aja menyelasaikan pendidikannya di Cambridge University dan mendapatkan gelar sarjana, ia bercita-cita menjadi seorang pengacara dan untuk merai cita-citanya itu ia harus mengambil pendidikan satu tahun lagi agar mendapatkan gelar master dan Nichole ingin mendapatkan gelar Juris Doctor di
Prolog Di sebuah kondominium di jantung kota New York, Oleg Rumanov baru saja kembali dari pusat kebugaran. Ia meletakkan tasnya yang berisi peralatan olah raganya di atas meja kemudian membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sebotol minuman dingin lalu menikmati isinya. “Aku akan berangkat ke pusat pangkalan mata-mata malam ini,” kata Igor Rumanov, ayah Oleg Rumanov sambil. Oleg meletakkan botol minuman di tangannya ke atas meja dan menatap ayahnya yang berusia lima puluh lima tahun. Seorang mantan komandan angkatan darat dari Rusia yang baru saja pensiun tetapi bukannya menikmati masa pensiunnya justru bergabung dengan agen mata-mata dari negaranya, hal ini tidak membuat Oleg heran karena ayahnya sudah mengemukakan keinginannya sejak lama. Bahkan saat ayahnya masih aktif di angkatan militer Rusia. Ayahnya menerima upah yang sangat tinggi untuk menjalankan misi ini, tetapi Oleg tahu jika upah tinggi bukan satu-satunya sebab ayahnya mengambil misi berbahaya ini. Kecintaan