Foxy mencoba menyusun kata sebaik mungkin untuk menuturkan situasinya saat ini. Ia bahkan memberikan ponsel tersebut pada Maddox. Pesan dari Arthur terbaca semuanya dan pria itu tertegun. “Dia menargetkan dirimu?” Foxy mengusap bibirnya dengan gugup. “Ya, aku tidak heran dengan Russel melakukan itu. Tapi yang aku sesalkan, kenapa dia masih menuntutku, sementara semua sudah aku berikan? Dia manusia yang sangat licik, Mad.” Ponsel Foxy ia berikan kembali dan Maddox melepaskan sepatu dan jasnya. “Tidak mengherankan memang. Dulu dia mengincarmu, tapi tidak ada niat membunuh karena kau masih dia butuhkan. Sekarang, semua sudah dia dapatkan. Kau bisa menjadi ancaman baginya jika buka mulut pada pihak yang berwajib, alasan yang tepat untuk menghilangkan nyawamu.” Maddox menggelengkan kepala, tidak bisa dipercaya dirinya terus terlibat dalam kesusahan pengacara tersebut. “Apakah kau menyalahkan aku karena mengambil keputusan untuk menyerahkan diri pada Russel?” tanya Foxy. “YA!” Bulat
Makan malam itu berlangsung baik. Obrolan terlontar begitu saja dan Foxy mulai menyadari jika Maddox tidak lagi seketus dulu. Ada sesuatu yang berubah dalam diri pria tersebut. Pria yang dulu Foxy kenal sebagai sosok menyebalkan, kini jauh lebih bahagia saat menceritakan kebersamaannya dengan Joe. Ada raut yang begitu bersemangat ketika Maddox menyebut Joe sebagai kakak. “Rasanya menyenangkan, saat tahu kau tidak sendiri di dunia ini. Aku menemukan tujuan hidup baru karena setiap hari berharap bisa menceritakan sesuatu pada Joe.” Mata biru itu tampak berbinar ketika menceritakan kisah hidupnya saat ini. Foxy tersenyum hangat. “Semoga kalian bisa menebus waktu yang hilang selama ini.” Maddox mengangguk dan meneguk anggur putihnya dengan puas. “Ya, aku yakin kami akan menempuh tahun-tahun luar biasa nantinya.” Dua jam berlalu dan kini mereka berniat kembali ke hotel. Sembari berjalan kaki, Maddox menunjukkan pada Foxy mengenai beberapa memori yang dia dapatkan saat berada di kota
Sudah sepuluh botol bir habis Maddox tenggak. Namun jam di pergelangan tangan masih menunjukkan pukul dua dini hari. Waktu terasa lambat dan bergerak seperti enggan. Maddox tidak ingin kembali ke kamar, dan masih menunggu berita dari Nick untuk langkah selanjutnya. Meski Nick menginginkan Foxy untuk dalam perlindungan mereka karena berharap mendapat informasi berharga, tapi Maddox memiliki pandangan lain. Dia serta merta membantah keinginan Nick tanpa memberitahu alasannya. Dengan sikap bosan dan mulai mengantuk, Maddox akhirnya harus beranjak dari bar yang tampak sepi tersebut. Hanya sejauh seratus meter dari losmen, detektif itu berjalan pulang. Baru saja menginjakkan kaki di halaman penginapan, ia melihat Foxy duduk di teras kamar yang terletak di lantai dua. Ada tangga yang langsung mengarah ke kamar tersebut. Maddox menatap lekat pada Foxy dengan wajah penuh tanya. Kaki itu menaiki anak tangga satu persatu. Saat tiba di atas, Foxy menegakkan tubuhnya yang sempat bersandar.
Pukul sepuluh lebih satu menit, Maddox meminta Foxy segera bersiap untuk meninggalkan losmen tersebut. Karena sudah mempersiapkan diri, keduanya segera bergegas keluar menuju ke tempat yang Nick arahkan untuk mereka datangi. Stasiun kereta adalah lokasi yang akan membawa Maddox dan Foxy menjauh dari jangkauan para pemburu. Tidak berapa lama, keduanya sudah duduk di dalam kereta yang melaju menuju ke luar kota. Foxy menatap ke arah jendela kaca, di luar menampilkan pemandangan malam yang pekat. Hanya jajaran pohon pinus yang sesekali terlihat, karena pantulan sinar dari kereta yang mereka tumpangi malam itu. “Apakah hidupku akan selalu dalam pelarian?” Setengah bergumam, Foxy melontarkan pertanyaan dengan wajah sendu. Maddox melipat korannya, lalu mengalihkan pandangan pada Foxy disertai helaan napas panjang. “Aku mengalami hidup dalam pelarian, selama bisa mengingat. Mungkin sejak kecil, kalau tidak salah.” Maddox menaikkan gerai penutup kacanya ke atas. Foxy mendengarkan kali
Kereta berhenti di sebuah stasiun yang Foxy tidak tahu berada di belahan dunia mana. Rasanya dirinya tidak pernah ia mengunjungi tempat ini. Tepat pukul sembilan pagi, keduanya keluar dari stasiun tersebut. Udaranya cukup hangat dan ini yang Foxy butuhkan. Musim panas untuk mencarikan otaknya yang mulai membeku. Maddox memintanya bergegas. Mereka menuju ke tempat parkiran dan seorang pria berjas hitam rapi mengangguk pada Maddox serta meminta untuk mengikuti ke mobil yang telah menunggu. Tanpa bertanya, Foxy mengikuti serta diam sepanjang jalan. Maddox juga terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Begitu sampai di sebuah rumah yang begitu besar dan megah, di lereng sebuah bukit, Foxy berdecak dengan terkagum-kagum. Desain rumah bergaya Victorian itu memang luar biasa. Kolam renang infinity mengalir dari ruang tengah ke luar, memamerkan pemandangan lembah yang menakjubkan. Ingin rasanya ia melompat ke dalam kolam yang biru dan bening tersebut. Tubuhnya terasa penat dan lelah. Bere
Perasaan Joe untuk Foxy memang belum sepenuhnya hilang. Tapi, ketika menyaksikan mantan kekasih tidak menginginkan keberadaannya dan Maddox bisa diandalkan untuk menjaga, Joe memilih mundur. Anehnya, dia tidak merasa kehilangan atau kecewa sedikit pun. Memang sulit mengenyahkan rasa pada seseorang yang begitu berkesan dalam hidup. Bagi Joe, Foxy adalah perempuan yang menyadarkan, bahwa cinta itu nyata dan ada. Dengan Foxy juga, Joe bisa menjadi pria paling bahagia. Foxy mengenalkan padanya bentuk luapan emosi lain yang dinamakan kasih sayang. Sentuhan sederhana bisa membuat jiwanya bergetar serta jantungnya terpacu cepat. Sementara keintiman bukan sekedar penetrasi, tapi penyatuan dua tubuh yang saling menginginkan satu sama lain dalam gejolak birahi membara. Menginginkan kebersamaan mereka laksana candu yang terus menuntut. Bercinta bukan lagi sesuatu yang mengejar nikmat. Saling bercumbu adalah sebuah ritual indah, melibatkan penyerahan jiwa dan raga. “Dia seperti tidak berh
Shelby baru saja menerima pesan dari Joe, yang membuat wanita itu terhenyak. Siapa yang bisa menduga, jika Joe mengirim kalimat yang bagi Shelby sangat berharga sekali? Berkali-kali ia membaca dan meyakinkan diri tidak salah melihat, tulisan itu tetap sama. Setelah sekian lama Shelby memendam perasaan dan hanya berpuas diri dengan dekat saja, sepertinya kini mulai ada angin segar yang membuka kesempatan tersebut. Tangan Shelby mengetik pesan dengan cepat dan bersemangat. Bukan untuk membalas pesan Joe karena pria itu tidak pernah membutuhkan tanggapan. Apa yang Shelby lakukan saat ini adalah pembatalan kliennya. ‘Maaf, aku tidak bisa sekarang. Semua pelayananku telah ditiadakan.’ Pesan itu ia kirimkan pada tiga orang dan Shelby menarik napas panjang. Matanya merebak, untuk pertama kalinya dalam hidup, seseorang menginginkan dia begitu mendalam. Joe bahkan menyebutnya sebagai milik dia. Hati siapa yang tidak bahagia, jika lelaki yang telah mengenal baik dan burukmu, masih sanggup
Lima jam yang lalu …. Arthur baru saja selesai merapikan meja makan dan menata piring dengan kombinasi alat makan yang seragam. Russel memasuki ruangan itu, tanpa bicara. Mafia tua tersebut duduk dan menatap Arthur dengan mata terpicing. “Arthur!” Setengah tersentak dan terkejut, Arthur menoleh. “Astaga, Tuan Brown! Kau membuatku terkejut!” Russel tersenyum simpul dan mengalihkan pandangannya pada piring-piring porselen miliknya. “Berapa lama kau bekerja untukku, Arthur?” “Entahlah. Aku sudah tidak pernah menghitungnya, Tuan Brown. Yang pasti, sebagian besar hidupku habis untuk mengabdimu di pulau ini.” Russel manggut-manggut membenarkan. “Kau begitu setia dan loyal. Aku menyukai dedikasimu.” Arthur terus melanjutkan pekerjaannya dan hanya menimpali dengan senyum. “Wine apakah yang kau akan sajikan untukku malam ini?” Arthur meraih salah satu botol dari trolinya dan membaca tulisan yang tertera pada botol tersebut. “Pinot Noir, dari Bordeaux, Tuan Brown.” Russel mengangg
Suara tangis bayi terdengar menambah kemeriahan pesta di halaman belakang kediaman Maddox. Apple dan April sibuk bergantian menggendong bayi mungil yang terbalut kain lampin ungu. Dia sangat cantik, mewarisi kejelitaan Shelby. “Jadi kau benar-benar pensiun dari semuanya?” tanya Tim Muller, sembari membalik steak di panggangan. Shelby tertawa tanpa suara, mengerling pada Joe yang tak berhenti menatapnya dengan mesra. Dia menjadi ayah yang bahagia, saat Shelby memberikan bayi mungil cantik dalam pernikahan mereka. “Entahlah, tawaran Nick sangat menggiurkan. Tapi, kupikir aku akan sedikit rehat untuk sementara waktu, sampai Bow besar nanti.” Wanita itu mengarahkan pandangan pada putrinya yang berada dalam dekapan Apple. “Aku bisa menjaganya, Shelby! Jangan khawatir, aku adalah pengasuh terhebat di kompleks rumahku!” tawar Apple dengan cepat. “Kuliahmu, Ape! Kau pikir bisa sekolah sambil mengasuh bayi?!” tukas April. “Aku kandidat yang sempurna, karena sebentar lagi akan lulus dan pu
Chapter 109. End of the Game Seiring matahari tenggelam, keesokan harinya, semua yang Jimmy kumpulkan merapat di pulau tersebut. Joe dan Shelby tampak kaget, sebab dia juga melihat Maddox serta Foxy. Satu sama lain saling menyapa, sementara Joe menggelengkan kepala tidak percaya. “Apa-apaan ini, Jim?!” Jimmy tertawa, merapatkan kapal dan melompat turun dengan gesit. Gibs di belakangnya tampak tidak kalah tangkas. Sepertinya Jimmy-Gibs telah menjadi sahabat dekat yang tak terpisahkan. “Kita akan menyudahi dengan pertempuran terepik, Joe!” Jimmy mengatakan bagaimana rencana ini telah dia rancang sedemikian rupa. “Memancing dalang sesungguhnya?” ulang Shelby kaget. “Apa maksudnya?” Maddox dan Foxy mendekat, mereka menambahkan apa yang telah didapatkan sejauh ini. Mendengar bagaimana semua sudah diperhitungkan, benar-benar mengejutkan Joe dan Shelby. “Aku menembak Josh sendiri dan itu bukan hanya sekali. Analisa kalian yang mencurigai dia masih hidup rasanya mustahil,” tangkis Joe.
Shelby mencapai pulau dengan kapal sewa yang dia kemudikan sendiri. Tidak segera menuju kediaman Russel yang masih berjarak setengah jam lagi, wanita itu justru menghabiskan beberapa saat di dermaga hingga helikopter Joe Black mendarat di sana. Terkejut melihat pria yang dia cintai menyusul, Shelby menolak permintaan Joe yang meminta untuk mengurungkan niatnya. “Aku harus menanyakan, kenapa Russel membiarkan aku dan mama seperti manusia sampah selama ini!” Joe menghela napas berat, merebut botol minuman yang ada di tangan wanita itu. “Kita tidak akan datang tanpa persiapan, Shelby!” cetusnya. “Tunggu sampai bantuan datang!” Akhirnya, wanita itu mengalah. Mereka menanti di kapal, yang sebenarnya bisa saja terdeteksi oleh Russel. “Mustahil dia mengetahui kedatangan kita. Pelayan setianya sudah mati, ayahmu bisa jadi ada di rumahnya tanpa siapa pun.” Analisa Joe sepertinya benar, sebab selama mereka menunggu di kapal hingga menjelang tengah malam, tak ada satu pun yang datang mengus
Joe terhenyak, panggilan baru saja berakhir dan adiknya mengatakan jika Shelby adalah putri dari Russel Brown! Bagaimana mereka baru mengetahuinya sekarang? Jika rencana membunuh anak mafia itu masih dia dan Maddox lanjutkan, itu berarti dirinya akan siap kehilangan wanita yang sudah menjadi teman kencan tersebut. Sanggupkah dia berhadapan dengan Shelby, jika benar itu terjadi? Entahlah, Joe benar-benar kebingungan, terlalu syok dengan fakta yang terkuak beberapa menit lalu. Masih meraba-raba dengan situasi saat ini, Joe harus menenggak minuman yang dia beli di minimarket pom bensin lebih dulu untuk kembali menguasai diri. Dia duduk selama beberapa belas menit, mengatakan pada diri sendiri untuk cepat berpikir dan mengambil keputusan. Dirinya butuh menempuh tiga jam lebih untuk mencapai kediaman Russel, dan itu pun jika ada transportasi yang bisa membawanya lewat udara. Melalui jalan darat akan sangat panjang dan mustahil bisa mengejar Shelby. Tempat Russel tinggal adalah sebu
Maddox menegakkan tubuh, melatih pelan-pelan fisiknya yang terhajar selama lima hari terakhir dengan vonis keracunan makanan. Foxy membantunya, memastikan dia tidak terlalu lemah melanjutkan proses tersebut. Bagaimanapun juga, Maddox perlu diingatkan untuk istirahat yang banyak demi pemulihan diri. Bobotnya tampak berkurang, walau baru lima hari dia terkapar. “Jangan terlalu memaksakan, kau masih butuh untuk mengembalikan energi,” ucap Foxy, penuh kelembutan mengingatkan. Maddox mengatur napas, meletakkan tubuhnya di salah satu kursi tanpa bantahan. Wanita yang saat ini mendampinginya mendekat, memberikan botol minuman untuk dia. Sambil meneguk, Maddox membiarkan Foxy mengusap keringat di leher juga pundaknya. Ia melirik pada wanita yang begitu setia berada di sisi, tak peduli akan urusannya sendiri. “Aku bisa keluar besok, bisakah kau mencari hotel untuk kita? Aku tidak mau kembali ke rumah yang Titus sediakan,” pinta Maddox. Foxy mengangguk. “Jangan khawatir,” sahutnya pelan.
Joe melangkah dengan cepat, mendatangi kendaraan yang berhasil mereka catat plat dan lokasinya. Mobil yang dipakai oleh pria yang memalsukan diri menjadi tukang masak restoran itu diselubungi terpal dan Joe terpaksa menyingkap semuanya. SUV keluaran lama itu terparkir di depan apartemen kumuh di pinggir kota. Begitu berada di sisi kaca pengemudi, Joe mulai mengayunkan linggis yang ada di tangannya. Praang! Kaca itu hancur dalam sekejap. Ia membuka pintu dari dalam, memeriksa dashboard dan setiap sudut kendaraan. Selama lima belas menit, dirinya mengacak-ngacak isi mobil tersebut hingga gerakannya terhenti. Di bawah jok belakang, Joe menemukan topeng beserta pakaian chef serta sepatu! Dia segera menarik keluar plastik dari saku celana, lalu memasukkan satu persatu ke dalam. Usai mendapatkan semua, Joe meninggalkan mobil dengan santai. Sebentar lagi, sidik jari itu akan menjelaskan, siapa pelaku yang telah membuat Maddox terkapar tak berdaya! ** Jimmy dan Gibs menunggu dengan tid
‘Bangunlah, Mad.’ Foxy memandang pria yang terbaring dengan wajah pucat. Kondisi detektif itu lumayan membaik, akan tetapi masa kritisnya belum berlalu. Menguras lambung yang menyebabkan muntah berkepanjangan terjadi dalam beberapa jam. Foxy harus menyaksikan pria tersebut merintih, meratap dengan tubuh menggigil gemetar karena sakit juga lelah. Tak pernah sedetik pun ia meninggalkan sang detektif. Foxy mendampingi setiap saat, meski ada waktu di mana dia sendiri menangis sambil berharap Maddox tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Tersudut dalam situasi yang tidak menyenangkan, Foxy sedang berjuang untuk melupakan duka yang bertubi-tubi menimpa. Belum mampu mengenyahkan kepedihan atas kematian Peter, Arthur menyusul dengan kondisi kematian tidak kalah menggenaskan. Setiap mengingat kilasan masa lalu, Foxy menyalahkan semua atas kiprahnya. Jika dua pria tersebut tidak terlalu peduli terhadap dirinya, mungkin mereka masih hidup dan baik-baik saja. Jauh di lubuk hati Foxy mey
Mereka tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Para dokter dan perawat yang bertugas mengikuti protokol yang Nick tetapkan dengan disiplin. Joe baru selesai melakukan panggilan dengan Titus. Baru saja ia menutup ponsel, dari jauh Raymond Gibs datang bersama Jimmy dengan tergopoh-gopoh. Jean dan Foxy masih berbicara di lorong, sementara Jimmy dan Gibs berlari menuju ke arah Joe. “Dia sudah stabil, tapi hingga sekarang belum sadar. Entah kenapa, tapi Maddox masih belum bisa diajak komunikasi.” Wajah Joe tampak kalut dan gusar. “Sial! Keparat!” Jimmy melontarkan kata umpatan yang ia teriakan dengan keras. “Jika aku tahu bedebah yang melakukannya, jangan harap dia masih bernyawa!” pekik Jimmy. Bekas kepala FBI, Raymond Gibs mencoba meminta Jimmy untuk bertenang. Semua orang kini menatap mereka. “Wah, wah! Maddox tidak hanya mengundang penegak hukum negara untuk turun tangan! Tapi kumpulan manusia dalam bayang-bayang juga keluar dari persembunyiannya!” seru Nick dari ujung lorong. Se
Di sebuah bunker tersembunyi seorang pria bangkit dari kursi makannya dan berjalan menuju ke arah ruangan yang terdapat berbagai monitor dalam jumlah banyak. Ruangan yang didesain dengan sangat canggih tersebut dikendalikan oleh dua orang ahli teknologi yang usianya masih sangat muda. Sembari memegang gelas wine, pria itu mengamati satu persatu layar yang menunjukkan grafik saham. Senyumnya tersungging penuh kepuasan. “Mereka pikir akan bisa melenggang bebas dan melebarkan kekayaan setelah kematianku! Cih! Manusia-manusia itu terlalu merasa diri pintar!” Tidak lama, muncul pria satunya lagi dan berdiri di sebelahnya. “Hingga detik ini kau belum membuat perhitungan dengan pengacara wanita tersebut, Master.” Pria yang dipanggil ‘Master’ kembali tersenyum licik. “Tenang. Dia akan menerima pembalasan yang jauh lebih menyakitkan, Troy. Pembalasan yang paling menyakitkan!” desis Master dengan sinis. “Bagaimana jika CIA mengetahui keberadaanmu? FBI mungkin dengan mudah bisa kau tipu.