Pagi itu mereka bangun dan menyadari jika udah pukul sepuluh pagi. Daniel menguap dan menuang kopi ke cangkirnya, sementara Foxy segera menyambar laptop dan memeriksa beberapa email yang masuk. Chloe telah memundurkan semua janji dan pekerjaannya harus tertunda sementara waktu. Beruntung seluruh klien mereka mengerti dan tidak menuntut. Semua paham jika Foxy sedang dalam situasi berduka. Maddox belum muncul dari kamar sebelah dan Foxy mulai resah setelah beberapa saat tenggelam dalam pekerjaannya. “Kau lihat Maddox?” tanya Foxy pada Daniel yang baru kembali dari sebelah. Sepupunya menggeleng dan bersiap mandi. “Seharusnya dia ada di sini dan menjaga kita! Bagaimana jika tiba-tiba ada yang menyerang kita lagi, seperti tempo hari?” Foxy mendesah kecewa sekaligus takut. Daniel menunjuk ke bawah dengan kepalanya. “Ada sekitar empat petugas yang Maddox tugaskan di pintu masuk apartemen. Kau tidak perlu khawatir.” Daniel meninggalkan Foxy yang belum puas akan jawaban atas kecemasa
Maddox benar! Tim menolak permintaan Foxy dan mengatakan jika secara eksklusif Maddox telah menangani kasus tersebut. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menerima dan pasrah. Sikap Maddox yang ketus dan kasar, membuat si pengacara wanita itu tidak tahan. Detektif tersebut terlalu menyudutkan dirinya dengan kalimat pernyataan yang terang-terangan dan Foxy seperti menjadi tertuduh. Malam sudah beranjak ke pukul sembilan malam. Perutnya berbunyi dan ia merasa lapar sekali. Dengan tubuh lemas, Foxy berjalan menuju dapur dan membuka pintu kulkas. Hanya ada spaghetti dingin yang mungkin bisa menganjal perutnya sementara. Sementara menunggu hingga makanan itu selesai dipanaskan di microwave, Foxy meraih sweater dan memastikan jika laptop dan tasnya di tempat yang mudah untuk ia bawa. Sejak pengalaman pahit diserang malam lalu, dia selalu waspada dan siaga. Tidak ada jaminan hal itu tidak terulang lagi. Bunyi microwave selesai memanaskan mengeluarkan bip beberapa kali. Foxy meraih
Jean mempersilahkan keduanya dan mengatakan jika dia sedang makan malam. “Aku akan sangat membutuhkan itu,” ucap Maddox dan segera menyambar piring serta duduk. Foxy duduk di meja makan dan diam dengan wajah sendu. Rasa laparnya lenyap oleh pikiran yang rumit. Jean mendekat lalu mengangsurkan sepiring pie daging dengan ukuran satu gigitan. Wanita itu menggelengkan kepala. “Kau harus mengisi perutmu, Foxy. Dalam beberapa hari mendatang, mungkin hidupmu akan jungkir balik tidak menentu. Ingat, sekarang ini kau dan Maddox dalam pelarian!” ucap Jean seraya meletakkan piring tersebut di meja. Lawan bicaranya hanya terdiam dan memainkan ujung tas Luis Vitton-nya dengan resah. “Ini tidak akan membaik, bukan?” tanya Foxy dengan pelan. Jean menggelengkan kepala dengan pelan. Maddox yang ada di belakang mereka, tampak tidak peduli dan terus menyantap makan malam dengan lahap. “Aku tidak menyangka akan seburuk ini,” keluh Foxy dengan hati menyesal. “Apa yang kau ketahui, Foxy? Jika ka
Kecanduan membunuh adalah penyakit yang sangat membahayakan. Ada banyak pembunuh berantai di negara paman Sam ini dan terkadang polisi tidak mampu menindak mereka sebelum kejadian terjadi. Bukan karena kurangnya kepedulian, namun sosok manusia dengan karakter seperti itu sangat sulit dideteksi. Dia bisa jadi adalah tetangga, atau seseorang yang selama ini dekat dengan kita. Bagi Foxy, Josh Bill Harten adalah paman yang memiliki dua kepribadian yang bertolak belakang. Satu kali dia bisa muncul sebagai figur ayah yang ia dambakan, kali berikutnya Josh bisa menjadi pemaksa yang mengintimidasi dirinya dengan kejam. Hanya Foxy yang tahu juga, jika Josh seorang pria dengan penyimpangan seksual. Pria itu cenderung menyukai kedua jenis lawan main. Dia bisa bercinta dengan pria ataupun wanita. Setelah sekian lama menjadi orang yang pamannya percayai dalam berbagai hal, Foxy tumbuh sebagai ia pribadi yang getir. Namun hal yang baru Foxy ketahui setelah dia tumbuh menjadi wanita dewasa adal
Maddox membuktikan dirinya mampu menjadi pilot yang handal. Setelah terbang selama setengah jam, akhirnya mereka mendarat di sebuah lapangan luas, jauh dari pemukiman. Pesawat mendarat di atas tanah yang berbatu dan cukup tandus. Mirip padang dengan tiupan angin yang sangat keras. Ada sebuah pondok tembok batu, tak jauh dari tempat tersebut. “Kenapa kau mendarat di sini? Tempat ini jauh dari siapa pun!” protes Foxy mulai cerewet dan tidak puas akan keputusan Maddox. Maddox mematikan mesin pesawat dan mereka turun. Dengan langkah cepat, Maddox mendekati pondok yang berjarak sekitar lima puluh meter dari mereka. Foxy mengikuti dengan wajah cemberut. Setelah pintu diketuk dua kali, seorang wanita Indian keluar lalu menyapa Maddox dengan hangat. Dia memeluk serta menepuk pipi detektif itu dengan lembut. “Apa yang membuatmu mampir ke Indian Spring, Mad? Jangan bilang kau merindukanku! Masalah apalagi yang melibatkanmu?” Maddox hanya tertawa dan mengecup pipi wanita tua itu dengan gem
Sebelum matahari terbit, Maowi bangun dan menemui Maddox yang belum tidur dari semalaman. Sementara mereka mengobrol dekat jendela dapur, Foxy terlihat duduk di atas batu besar, yang tidak jauh dari rumah itu, memandang ufuk langit seakan berharap bisa menikmati matahari terbit. “Dia akan menjadi dilemamu, Mad. Gadis itu akan mengubah hidup dan cara berpikirmu selama ini.” Maowi meletakkan teko berisi kopi di meja bulat serta tiga cangkir. “Aku tidak butuh nasehat dan ramalanmu, Maowi. Aku datang untuk mengetahui jika kau tahu mengenai Joe Black.” Mendengar nama itu disebut, Maowi mengerutkan kening. Seketika raut mukanya berubah, menambah efek keriput di wajah. Entah berapa usia wanita Indian tersebut, yang pasti Maddox sudah mengenal sejak sepuluh tahun lalu. “Pembunuh bayaran,” ucap Maowi dengan suara pelan. Maddox menyeruput kopi dan tampak puas dengan rasa khas yang terkecap lidahnya. “Aku tahu itu, ada informasi lain lagi?” Perlahan wanita itu duduk, menatap cairan pekat
Dengan sekuat tenaga, Maddox berusaha terus menerbangkan pesawat hingga kembali ke hanggar. Mendarat dengan posisi pesawat terseok juga miring, segenap orang mendekati mereka. “Kau baik-baik saja?” Pria berkulit hitam yang berjaga sore itu menanyakan dengan sedikit panik akan kondisi keduanya. “Telepon 911,” pinta Maddox sebelum akhirnya jatuh pingsan. ** Hanya kegelapan yang Maddox rasakan ketika tersadar. Setelah mengerjap beberapa kali, pandangannya mulai tampak buram dan perlahan membentuk bayangan. “Hei, Tuan Maddox! Bisakah kau menghitung jumlah jari di tanganku?” Seruan laki-laki itu terdengar seperti dari kejauhan. Detektif itu mengerjapkan mata berulang kali, semakin lama kian jelas. “Tiga,” sahut Maddox lemah. Dokter itu memerintahkan untuk melakukan CT scan dan MRI. Maddox merasakan semua di sekelilingnya memutar cepat, ia kembali terhempas dalam kegelapan. ** Pertama kali yang Maddox rasakan adalah rasa nyeri di leher, lengan dan kepalanya berdenyut sakit. Ki
Kisah seorang pahlawan alurnya tidak semudah seperti dalam tayangan film. Maddox harus berada di rumah sakit selama tiga hari penuh dengan batasan yang membuatnya gerah. Sementara tumpukan tugas mulai tidak sabar ingin ia selesaikan, kini dokter mengatakan jika dirinya harus menjalani pemeriksaan terakhir. Tidak sabar rasanya ingin segera keluar dari rumah sakit tersebut. Ucapan Foxy kemarin yang mengatakan jika Joe mengirim mereka pesan ingin ia segera baca, tapi Tim menyita semua teknologi yang mereka punya. Telepon genggam dan laptop Foxy juga mereka ambil, dengan alasan adalah untuk mempercepat kesembuhan. Meski dipenuhi kejengkelan, Maddox harus mengatakan iya dan mencoba untuk tidak membantah. “Jika kau tidak mengikuti perintahku, kasus ini lebih baik kucabut dan ditangguhkan!” Itu adalah ancaman Tim yang membuat Maddox makin berang. Secara fisik dirinya merasa baik-baik saja, tapi rupanya prosedur rumah sakit tidak sepakat dengannya. Akhirnya, selama lima hari, mereka
Suara tangis bayi terdengar menambah kemeriahan pesta di halaman belakang kediaman Maddox. Apple dan April sibuk bergantian menggendong bayi mungil yang terbalut kain lampin ungu. Dia sangat cantik, mewarisi kejelitaan Shelby. “Jadi kau benar-benar pensiun dari semuanya?” tanya Tim Muller, sembari membalik steak di panggangan. Shelby tertawa tanpa suara, mengerling pada Joe yang tak berhenti menatapnya dengan mesra. Dia menjadi ayah yang bahagia, saat Shelby memberikan bayi mungil cantik dalam pernikahan mereka. “Entahlah, tawaran Nick sangat menggiurkan. Tapi, kupikir aku akan sedikit rehat untuk sementara waktu, sampai Bow besar nanti.” Wanita itu mengarahkan pandangan pada putrinya yang berada dalam dekapan Apple. “Aku bisa menjaganya, Shelby! Jangan khawatir, aku adalah pengasuh terhebat di kompleks rumahku!” tawar Apple dengan cepat. “Kuliahmu, Ape! Kau pikir bisa sekolah sambil mengasuh bayi?!” tukas April. “Aku kandidat yang sempurna, karena sebentar lagi akan lulus dan pu
Chapter 109. End of the Game Seiring matahari tenggelam, keesokan harinya, semua yang Jimmy kumpulkan merapat di pulau tersebut. Joe dan Shelby tampak kaget, sebab dia juga melihat Maddox serta Foxy. Satu sama lain saling menyapa, sementara Joe menggelengkan kepala tidak percaya. “Apa-apaan ini, Jim?!” Jimmy tertawa, merapatkan kapal dan melompat turun dengan gesit. Gibs di belakangnya tampak tidak kalah tangkas. Sepertinya Jimmy-Gibs telah menjadi sahabat dekat yang tak terpisahkan. “Kita akan menyudahi dengan pertempuran terepik, Joe!” Jimmy mengatakan bagaimana rencana ini telah dia rancang sedemikian rupa. “Memancing dalang sesungguhnya?” ulang Shelby kaget. “Apa maksudnya?” Maddox dan Foxy mendekat, mereka menambahkan apa yang telah didapatkan sejauh ini. Mendengar bagaimana semua sudah diperhitungkan, benar-benar mengejutkan Joe dan Shelby. “Aku menembak Josh sendiri dan itu bukan hanya sekali. Analisa kalian yang mencurigai dia masih hidup rasanya mustahil,” tangkis Joe.
Shelby mencapai pulau dengan kapal sewa yang dia kemudikan sendiri. Tidak segera menuju kediaman Russel yang masih berjarak setengah jam lagi, wanita itu justru menghabiskan beberapa saat di dermaga hingga helikopter Joe Black mendarat di sana. Terkejut melihat pria yang dia cintai menyusul, Shelby menolak permintaan Joe yang meminta untuk mengurungkan niatnya. “Aku harus menanyakan, kenapa Russel membiarkan aku dan mama seperti manusia sampah selama ini!” Joe menghela napas berat, merebut botol minuman yang ada di tangan wanita itu. “Kita tidak akan datang tanpa persiapan, Shelby!” cetusnya. “Tunggu sampai bantuan datang!” Akhirnya, wanita itu mengalah. Mereka menanti di kapal, yang sebenarnya bisa saja terdeteksi oleh Russel. “Mustahil dia mengetahui kedatangan kita. Pelayan setianya sudah mati, ayahmu bisa jadi ada di rumahnya tanpa siapa pun.” Analisa Joe sepertinya benar, sebab selama mereka menunggu di kapal hingga menjelang tengah malam, tak ada satu pun yang datang mengus
Joe terhenyak, panggilan baru saja berakhir dan adiknya mengatakan jika Shelby adalah putri dari Russel Brown! Bagaimana mereka baru mengetahuinya sekarang? Jika rencana membunuh anak mafia itu masih dia dan Maddox lanjutkan, itu berarti dirinya akan siap kehilangan wanita yang sudah menjadi teman kencan tersebut. Sanggupkah dia berhadapan dengan Shelby, jika benar itu terjadi? Entahlah, Joe benar-benar kebingungan, terlalu syok dengan fakta yang terkuak beberapa menit lalu. Masih meraba-raba dengan situasi saat ini, Joe harus menenggak minuman yang dia beli di minimarket pom bensin lebih dulu untuk kembali menguasai diri. Dia duduk selama beberapa belas menit, mengatakan pada diri sendiri untuk cepat berpikir dan mengambil keputusan. Dirinya butuh menempuh tiga jam lebih untuk mencapai kediaman Russel, dan itu pun jika ada transportasi yang bisa membawanya lewat udara. Melalui jalan darat akan sangat panjang dan mustahil bisa mengejar Shelby. Tempat Russel tinggal adalah sebu
Maddox menegakkan tubuh, melatih pelan-pelan fisiknya yang terhajar selama lima hari terakhir dengan vonis keracunan makanan. Foxy membantunya, memastikan dia tidak terlalu lemah melanjutkan proses tersebut. Bagaimanapun juga, Maddox perlu diingatkan untuk istirahat yang banyak demi pemulihan diri. Bobotnya tampak berkurang, walau baru lima hari dia terkapar. “Jangan terlalu memaksakan, kau masih butuh untuk mengembalikan energi,” ucap Foxy, penuh kelembutan mengingatkan. Maddox mengatur napas, meletakkan tubuhnya di salah satu kursi tanpa bantahan. Wanita yang saat ini mendampinginya mendekat, memberikan botol minuman untuk dia. Sambil meneguk, Maddox membiarkan Foxy mengusap keringat di leher juga pundaknya. Ia melirik pada wanita yang begitu setia berada di sisi, tak peduli akan urusannya sendiri. “Aku bisa keluar besok, bisakah kau mencari hotel untuk kita? Aku tidak mau kembali ke rumah yang Titus sediakan,” pinta Maddox. Foxy mengangguk. “Jangan khawatir,” sahutnya pelan.
Joe melangkah dengan cepat, mendatangi kendaraan yang berhasil mereka catat plat dan lokasinya. Mobil yang dipakai oleh pria yang memalsukan diri menjadi tukang masak restoran itu diselubungi terpal dan Joe terpaksa menyingkap semuanya. SUV keluaran lama itu terparkir di depan apartemen kumuh di pinggir kota. Begitu berada di sisi kaca pengemudi, Joe mulai mengayunkan linggis yang ada di tangannya. Praang! Kaca itu hancur dalam sekejap. Ia membuka pintu dari dalam, memeriksa dashboard dan setiap sudut kendaraan. Selama lima belas menit, dirinya mengacak-ngacak isi mobil tersebut hingga gerakannya terhenti. Di bawah jok belakang, Joe menemukan topeng beserta pakaian chef serta sepatu! Dia segera menarik keluar plastik dari saku celana, lalu memasukkan satu persatu ke dalam. Usai mendapatkan semua, Joe meninggalkan mobil dengan santai. Sebentar lagi, sidik jari itu akan menjelaskan, siapa pelaku yang telah membuat Maddox terkapar tak berdaya! ** Jimmy dan Gibs menunggu dengan tid
‘Bangunlah, Mad.’ Foxy memandang pria yang terbaring dengan wajah pucat. Kondisi detektif itu lumayan membaik, akan tetapi masa kritisnya belum berlalu. Menguras lambung yang menyebabkan muntah berkepanjangan terjadi dalam beberapa jam. Foxy harus menyaksikan pria tersebut merintih, meratap dengan tubuh menggigil gemetar karena sakit juga lelah. Tak pernah sedetik pun ia meninggalkan sang detektif. Foxy mendampingi setiap saat, meski ada waktu di mana dia sendiri menangis sambil berharap Maddox tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Tersudut dalam situasi yang tidak menyenangkan, Foxy sedang berjuang untuk melupakan duka yang bertubi-tubi menimpa. Belum mampu mengenyahkan kepedihan atas kematian Peter, Arthur menyusul dengan kondisi kematian tidak kalah menggenaskan. Setiap mengingat kilasan masa lalu, Foxy menyalahkan semua atas kiprahnya. Jika dua pria tersebut tidak terlalu peduli terhadap dirinya, mungkin mereka masih hidup dan baik-baik saja. Jauh di lubuk hati Foxy mey
Mereka tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Para dokter dan perawat yang bertugas mengikuti protokol yang Nick tetapkan dengan disiplin. Joe baru selesai melakukan panggilan dengan Titus. Baru saja ia menutup ponsel, dari jauh Raymond Gibs datang bersama Jimmy dengan tergopoh-gopoh. Jean dan Foxy masih berbicara di lorong, sementara Jimmy dan Gibs berlari menuju ke arah Joe. “Dia sudah stabil, tapi hingga sekarang belum sadar. Entah kenapa, tapi Maddox masih belum bisa diajak komunikasi.” Wajah Joe tampak kalut dan gusar. “Sial! Keparat!” Jimmy melontarkan kata umpatan yang ia teriakan dengan keras. “Jika aku tahu bedebah yang melakukannya, jangan harap dia masih bernyawa!” pekik Jimmy. Bekas kepala FBI, Raymond Gibs mencoba meminta Jimmy untuk bertenang. Semua orang kini menatap mereka. “Wah, wah! Maddox tidak hanya mengundang penegak hukum negara untuk turun tangan! Tapi kumpulan manusia dalam bayang-bayang juga keluar dari persembunyiannya!” seru Nick dari ujung lorong. Se
Di sebuah bunker tersembunyi seorang pria bangkit dari kursi makannya dan berjalan menuju ke arah ruangan yang terdapat berbagai monitor dalam jumlah banyak. Ruangan yang didesain dengan sangat canggih tersebut dikendalikan oleh dua orang ahli teknologi yang usianya masih sangat muda. Sembari memegang gelas wine, pria itu mengamati satu persatu layar yang menunjukkan grafik saham. Senyumnya tersungging penuh kepuasan. “Mereka pikir akan bisa melenggang bebas dan melebarkan kekayaan setelah kematianku! Cih! Manusia-manusia itu terlalu merasa diri pintar!” Tidak lama, muncul pria satunya lagi dan berdiri di sebelahnya. “Hingga detik ini kau belum membuat perhitungan dengan pengacara wanita tersebut, Master.” Pria yang dipanggil ‘Master’ kembali tersenyum licik. “Tenang. Dia akan menerima pembalasan yang jauh lebih menyakitkan, Troy. Pembalasan yang paling menyakitkan!” desis Master dengan sinis. “Bagaimana jika CIA mengetahui keberadaanmu? FBI mungkin dengan mudah bisa kau tipu.