Dengan sekuat tenaga, Maddox berusaha terus menerbangkan pesawat hingga kembali ke hanggar. Mendarat dengan posisi pesawat terseok juga miring, segenap orang mendekati mereka. “Kau baik-baik saja?” Pria berkulit hitam yang berjaga sore itu menanyakan dengan sedikit panik akan kondisi keduanya. “Telepon 911,” pinta Maddox sebelum akhirnya jatuh pingsan. ** Hanya kegelapan yang Maddox rasakan ketika tersadar. Setelah mengerjap beberapa kali, pandangannya mulai tampak buram dan perlahan membentuk bayangan. “Hei, Tuan Maddox! Bisakah kau menghitung jumlah jari di tanganku?” Seruan laki-laki itu terdengar seperti dari kejauhan. Detektif itu mengerjapkan mata berulang kali, semakin lama kian jelas. “Tiga,” sahut Maddox lemah. Dokter itu memerintahkan untuk melakukan CT scan dan MRI. Maddox merasakan semua di sekelilingnya memutar cepat, ia kembali terhempas dalam kegelapan. ** Pertama kali yang Maddox rasakan adalah rasa nyeri di leher, lengan dan kepalanya berdenyut sakit. Ki
Kisah seorang pahlawan alurnya tidak semudah seperti dalam tayangan film. Maddox harus berada di rumah sakit selama tiga hari penuh dengan batasan yang membuatnya gerah. Sementara tumpukan tugas mulai tidak sabar ingin ia selesaikan, kini dokter mengatakan jika dirinya harus menjalani pemeriksaan terakhir. Tidak sabar rasanya ingin segera keluar dari rumah sakit tersebut. Ucapan Foxy kemarin yang mengatakan jika Joe mengirim mereka pesan ingin ia segera baca, tapi Tim menyita semua teknologi yang mereka punya. Telepon genggam dan laptop Foxy juga mereka ambil, dengan alasan adalah untuk mempercepat kesembuhan. Meski dipenuhi kejengkelan, Maddox harus mengatakan iya dan mencoba untuk tidak membantah. “Jika kau tidak mengikuti perintahku, kasus ini lebih baik kucabut dan ditangguhkan!” Itu adalah ancaman Tim yang membuat Maddox makin berang. Secara fisik dirinya merasa baik-baik saja, tapi rupanya prosedur rumah sakit tidak sepakat dengannya. Akhirnya, selama lima hari, mereka
Matahari menyiratkan sinar keemasan yang indah sore itu. Las Vegas memang kota yang terletak di lembah gersang meskipun wilayah itu dikelilingi gunung Spring yang menghasilkan salju. Selama ratusan tahun kota ini tidak pernah memiliki salju, kecuali pada bulan Desember 2008. Cuaca yang panas dan terik mendominasi hampir sepanjang tahun, selama tiga ratus hari tiap tahunnya, membuat Las Vegas selalu dipenuhi para wanita seksi dengan pakaian musim panas yang minim. Maddox parkir di tepi sungai, satu-satunya yang ada di Las Vegas, melewati geografi wilayah tersebut dengan potongan membelah. Las Vegas Wash adalah aliran sungai yang berakhir di danau Mead, taman nasional. Meski tidak begitu banyak air yang mengalir, tapi sungai itu menjadi salah satu pemandangan yang menyenangkan. “Kau punya waktu sepuluh menit untuk membuatku kembali mempercayaimu, Foxy. Setelah ini, jika kau gagal, aku selesai denganmu! Tidak ada lagi terlibatanmu dalam perjalanan menyelidiki kasus Josh!” Wanit
Sementara Foxy sedang bersama dengan Jean, Maddox melakukan panggilan ke Tim. Komandannya terdengar senang mendengar Maddox sudah memulai kerja lagi dan tampak semangat. “Kami sepertinya tahu siapa yang ada di balik ini semua, Tim.” Tim mengejar Maddox dengan pertanyaan gencar dan pria itu menceritakan semuanya. “Aku belum ada bukti yang otentik dan bisa dijadikan sebagai bahan yang kuat untuk menahannya. Tapi keyakinanku adalah seratus persen.” Maddox menundukkan kepala, menatap ujung sepatunya. ‘Russel Brown.’ Tim mengulangi nama itu dengan bibir gemetar di seberang sana. “Ya. Kenapa aku tidak pernah mendengar nama bajingan itu sebelumnya, Tim?” Sejenak Tim tidak segera menjawab, hingga beberapa detik kemudian. ‘Karena dia pemain lama yang cukup merepotkan dulu. Kau masih terlalu muda untuk mengenal masa-masa gelapnya dulu.’ “Jadi dia menghilang selama ini dan kini muncul lagi?” Maddox mengerutkan kening dengan hati mendongkol. Berurusan dengan mafia tua memang tidak menyena
Maddox duduk di kantor Tim dengan wajah ditekuk. Tim masuk dan memberikan kopi padanya. “Siapa yang pria itu inginkan?” tanya komandannya. Maddox mengangsurkan ponsel padanya, email dari Joe beberapa hari lalu. Tim membaca dengan kilat dan menyerahkan kembali. “Apakah kau memiliki kesimpulan yang lain? Foxy sepertinya tahu sesuatu.” Maddox mengiyakan dengan suara pelan. Keduanya berpikir keras, namun semua tampak buntu. “Kita tidak mungkin menyerahkan Foxy pada Joe Black dan mengikuti kemauan Russel. Itu sama saja mencoreng kesatuan kita, Tim.” Kapten itu masih sibuk mengetik di layar ponselnya dan tidak segera menjawab. “Aku telah mengatakan semua pada Peter,” ucap Tim beberapa detik kemudian. “Apakah Peter tahu mengenai dia?” Dengan sikap rapuh, Tim duduk di kursi. “Kami mengenal dia. Mark Parker, Peter Williams, dan Walikota saat ini, James Colby. Kami terlibat dengan Russel karena dia merekrut anak jalanan untuk dijadikan sebagai bandarnya dan kami berhasil menghentikan s
Adalah pilihan yang sulit untuk Maddox saat ini untuk memutuskan, sementara ia menyelidiki dan menelusuri kasus pembunuhan keluarga Josh Harten, ujung dari penemuan terakhirnya justru menguak ke kasus yang lebih besar lagi. Maddox baru membaca dari file yang Tim berikan dan dia menemukan jika Russel adalah seseorang yang besar di keluarga asuh. Fakta mengerikan itu adalah tentang kiprah Russel yang menghabisi seluruh anggota keluarga tersebut pada saat remaja Russel terbebas dari hukuman, karena tidak ada bukti. Maddox bisa membayangkan, manusia seperti apakah lelaki yang bernama Russel Brown ini. Dia tidak lebih sebagai pribadi yang terlanjur rusak dan berkarat. Mungkin psikopat adalah sebutan yang terlalu sopan untuknya. Russel bisa berkeliaran tanpa sanksi hukuman apa pun, sementara orang tua yang membesarkan dia terbunuh dalam misteri tak terpecahkan hingga detik ini. Tuntutan yang disampaikan Mark secara tersirat, turut memberikan beban tersendiri. Maddox seakan berada dalam p
Sementara menunggu, dirinya mencoba menemukan alasan yang tepat untuk melanjutkan penyelidikan dari beberapa kepingan puzzle yang ada. Maddox menghela napas dengan wajah muram. Dia tidak memiliki jalan keluar untuk mendapatkan Joe Black. Maddox yakin, lelaki yang menyerang April tempo hari adalah suruhan orang kepercayaan Russel tersebut. Sayangnya, hasil dari darah di pisau tidak membantu sedikit pun. Mungkin penyerang itu adalah imigran gelap, sebab tidak ada catatan di kepolisan yang bisa mereka temukan. Joe Black ternyata bukan sekedar tukang pukul yang bisanya hanya membantai. Pria itu memiliki rencana dan otak yang cerdas. Manusia yang mempunyai cara kerja rapi dan terorganisir dengan baik. Alih-alih mengejar Foxy dengan menyandera Daniel, Joe Black justru mengincar orang-orang yang Maddox sayangi. Pikirannya sangat terganggu, karena Joe Black selangkah lebih maju darinya saat ini. Bajingan yang Russel percayai itu mungkin telah mempelajari dirinya dan mengetahui dengan b
Maddox kembali dari lokasi pembunuhan dengan hati yang cukup gembira. Satu bukti yang cukup jelas ada dalam genggaman. Kini tinggal mengulik kembali kasus lama yang bisa menjelaskan di mana Russel berada. ‘Semoga.’ Itulah harapan Maddox selama perjalanan pulang. Ketika melihat lampu bensinnya berkedip, Maddox memutuskan untuk singgah di pom bensin sembari membeli rokok untuk stoknya malam itu. Antrean mobil cukup panjang. Seraya menunggu gilirannya, Maddox memilih beberapa botol yang akan menemani pencariannya nanti di minimart. Setelah memutuskan untuk membeli dua botol spirits, sekaligus mengantikan miliki Tim yang ia habiskan kemarin malam, Maddox bergegas menuju ke kasir. Tinggal dua orang lagi dan akan datang gilirannya. Maddox menebarkan pandangan ke sekeliling dengan wajah bosan karena menunggu. Matanya naik ke atas, melihat ke arah pantulan cermin bulat yang ada di dinding kasir. Detektif itu melihat seorang pria berkacamata hitam masuk dengan kedua tangan di saku. Seke
Suara tangis bayi terdengar menambah kemeriahan pesta di halaman belakang kediaman Maddox. Apple dan April sibuk bergantian menggendong bayi mungil yang terbalut kain lampin ungu. Dia sangat cantik, mewarisi kejelitaan Shelby. “Jadi kau benar-benar pensiun dari semuanya?” tanya Tim Muller, sembari membalik steak di panggangan. Shelby tertawa tanpa suara, mengerling pada Joe yang tak berhenti menatapnya dengan mesra. Dia menjadi ayah yang bahagia, saat Shelby memberikan bayi mungil cantik dalam pernikahan mereka. “Entahlah, tawaran Nick sangat menggiurkan. Tapi, kupikir aku akan sedikit rehat untuk sementara waktu, sampai Bow besar nanti.” Wanita itu mengarahkan pandangan pada putrinya yang berada dalam dekapan Apple. “Aku bisa menjaganya, Shelby! Jangan khawatir, aku adalah pengasuh terhebat di kompleks rumahku!” tawar Apple dengan cepat. “Kuliahmu, Ape! Kau pikir bisa sekolah sambil mengasuh bayi?!” tukas April. “Aku kandidat yang sempurna, karena sebentar lagi akan lulus dan pu
Chapter 109. End of the Game Seiring matahari tenggelam, keesokan harinya, semua yang Jimmy kumpulkan merapat di pulau tersebut. Joe dan Shelby tampak kaget, sebab dia juga melihat Maddox serta Foxy. Satu sama lain saling menyapa, sementara Joe menggelengkan kepala tidak percaya. “Apa-apaan ini, Jim?!” Jimmy tertawa, merapatkan kapal dan melompat turun dengan gesit. Gibs di belakangnya tampak tidak kalah tangkas. Sepertinya Jimmy-Gibs telah menjadi sahabat dekat yang tak terpisahkan. “Kita akan menyudahi dengan pertempuran terepik, Joe!” Jimmy mengatakan bagaimana rencana ini telah dia rancang sedemikian rupa. “Memancing dalang sesungguhnya?” ulang Shelby kaget. “Apa maksudnya?” Maddox dan Foxy mendekat, mereka menambahkan apa yang telah didapatkan sejauh ini. Mendengar bagaimana semua sudah diperhitungkan, benar-benar mengejutkan Joe dan Shelby. “Aku menembak Josh sendiri dan itu bukan hanya sekali. Analisa kalian yang mencurigai dia masih hidup rasanya mustahil,” tangkis Joe.
Shelby mencapai pulau dengan kapal sewa yang dia kemudikan sendiri. Tidak segera menuju kediaman Russel yang masih berjarak setengah jam lagi, wanita itu justru menghabiskan beberapa saat di dermaga hingga helikopter Joe Black mendarat di sana. Terkejut melihat pria yang dia cintai menyusul, Shelby menolak permintaan Joe yang meminta untuk mengurungkan niatnya. “Aku harus menanyakan, kenapa Russel membiarkan aku dan mama seperti manusia sampah selama ini!” Joe menghela napas berat, merebut botol minuman yang ada di tangan wanita itu. “Kita tidak akan datang tanpa persiapan, Shelby!” cetusnya. “Tunggu sampai bantuan datang!” Akhirnya, wanita itu mengalah. Mereka menanti di kapal, yang sebenarnya bisa saja terdeteksi oleh Russel. “Mustahil dia mengetahui kedatangan kita. Pelayan setianya sudah mati, ayahmu bisa jadi ada di rumahnya tanpa siapa pun.” Analisa Joe sepertinya benar, sebab selama mereka menunggu di kapal hingga menjelang tengah malam, tak ada satu pun yang datang mengus
Joe terhenyak, panggilan baru saja berakhir dan adiknya mengatakan jika Shelby adalah putri dari Russel Brown! Bagaimana mereka baru mengetahuinya sekarang? Jika rencana membunuh anak mafia itu masih dia dan Maddox lanjutkan, itu berarti dirinya akan siap kehilangan wanita yang sudah menjadi teman kencan tersebut. Sanggupkah dia berhadapan dengan Shelby, jika benar itu terjadi? Entahlah, Joe benar-benar kebingungan, terlalu syok dengan fakta yang terkuak beberapa menit lalu. Masih meraba-raba dengan situasi saat ini, Joe harus menenggak minuman yang dia beli di minimarket pom bensin lebih dulu untuk kembali menguasai diri. Dia duduk selama beberapa belas menit, mengatakan pada diri sendiri untuk cepat berpikir dan mengambil keputusan. Dirinya butuh menempuh tiga jam lebih untuk mencapai kediaman Russel, dan itu pun jika ada transportasi yang bisa membawanya lewat udara. Melalui jalan darat akan sangat panjang dan mustahil bisa mengejar Shelby. Tempat Russel tinggal adalah sebu
Maddox menegakkan tubuh, melatih pelan-pelan fisiknya yang terhajar selama lima hari terakhir dengan vonis keracunan makanan. Foxy membantunya, memastikan dia tidak terlalu lemah melanjutkan proses tersebut. Bagaimanapun juga, Maddox perlu diingatkan untuk istirahat yang banyak demi pemulihan diri. Bobotnya tampak berkurang, walau baru lima hari dia terkapar. “Jangan terlalu memaksakan, kau masih butuh untuk mengembalikan energi,” ucap Foxy, penuh kelembutan mengingatkan. Maddox mengatur napas, meletakkan tubuhnya di salah satu kursi tanpa bantahan. Wanita yang saat ini mendampinginya mendekat, memberikan botol minuman untuk dia. Sambil meneguk, Maddox membiarkan Foxy mengusap keringat di leher juga pundaknya. Ia melirik pada wanita yang begitu setia berada di sisi, tak peduli akan urusannya sendiri. “Aku bisa keluar besok, bisakah kau mencari hotel untuk kita? Aku tidak mau kembali ke rumah yang Titus sediakan,” pinta Maddox. Foxy mengangguk. “Jangan khawatir,” sahutnya pelan.
Joe melangkah dengan cepat, mendatangi kendaraan yang berhasil mereka catat plat dan lokasinya. Mobil yang dipakai oleh pria yang memalsukan diri menjadi tukang masak restoran itu diselubungi terpal dan Joe terpaksa menyingkap semuanya. SUV keluaran lama itu terparkir di depan apartemen kumuh di pinggir kota. Begitu berada di sisi kaca pengemudi, Joe mulai mengayunkan linggis yang ada di tangannya. Praang! Kaca itu hancur dalam sekejap. Ia membuka pintu dari dalam, memeriksa dashboard dan setiap sudut kendaraan. Selama lima belas menit, dirinya mengacak-ngacak isi mobil tersebut hingga gerakannya terhenti. Di bawah jok belakang, Joe menemukan topeng beserta pakaian chef serta sepatu! Dia segera menarik keluar plastik dari saku celana, lalu memasukkan satu persatu ke dalam. Usai mendapatkan semua, Joe meninggalkan mobil dengan santai. Sebentar lagi, sidik jari itu akan menjelaskan, siapa pelaku yang telah membuat Maddox terkapar tak berdaya! ** Jimmy dan Gibs menunggu dengan tid
‘Bangunlah, Mad.’ Foxy memandang pria yang terbaring dengan wajah pucat. Kondisi detektif itu lumayan membaik, akan tetapi masa kritisnya belum berlalu. Menguras lambung yang menyebabkan muntah berkepanjangan terjadi dalam beberapa jam. Foxy harus menyaksikan pria tersebut merintih, meratap dengan tubuh menggigil gemetar karena sakit juga lelah. Tak pernah sedetik pun ia meninggalkan sang detektif. Foxy mendampingi setiap saat, meski ada waktu di mana dia sendiri menangis sambil berharap Maddox tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Tersudut dalam situasi yang tidak menyenangkan, Foxy sedang berjuang untuk melupakan duka yang bertubi-tubi menimpa. Belum mampu mengenyahkan kepedihan atas kematian Peter, Arthur menyusul dengan kondisi kematian tidak kalah menggenaskan. Setiap mengingat kilasan masa lalu, Foxy menyalahkan semua atas kiprahnya. Jika dua pria tersebut tidak terlalu peduli terhadap dirinya, mungkin mereka masih hidup dan baik-baik saja. Jauh di lubuk hati Foxy mey
Mereka tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Para dokter dan perawat yang bertugas mengikuti protokol yang Nick tetapkan dengan disiplin. Joe baru selesai melakukan panggilan dengan Titus. Baru saja ia menutup ponsel, dari jauh Raymond Gibs datang bersama Jimmy dengan tergopoh-gopoh. Jean dan Foxy masih berbicara di lorong, sementara Jimmy dan Gibs berlari menuju ke arah Joe. “Dia sudah stabil, tapi hingga sekarang belum sadar. Entah kenapa, tapi Maddox masih belum bisa diajak komunikasi.” Wajah Joe tampak kalut dan gusar. “Sial! Keparat!” Jimmy melontarkan kata umpatan yang ia teriakan dengan keras. “Jika aku tahu bedebah yang melakukannya, jangan harap dia masih bernyawa!” pekik Jimmy. Bekas kepala FBI, Raymond Gibs mencoba meminta Jimmy untuk bertenang. Semua orang kini menatap mereka. “Wah, wah! Maddox tidak hanya mengundang penegak hukum negara untuk turun tangan! Tapi kumpulan manusia dalam bayang-bayang juga keluar dari persembunyiannya!” seru Nick dari ujung lorong. Se
Di sebuah bunker tersembunyi seorang pria bangkit dari kursi makannya dan berjalan menuju ke arah ruangan yang terdapat berbagai monitor dalam jumlah banyak. Ruangan yang didesain dengan sangat canggih tersebut dikendalikan oleh dua orang ahli teknologi yang usianya masih sangat muda. Sembari memegang gelas wine, pria itu mengamati satu persatu layar yang menunjukkan grafik saham. Senyumnya tersungging penuh kepuasan. “Mereka pikir akan bisa melenggang bebas dan melebarkan kekayaan setelah kematianku! Cih! Manusia-manusia itu terlalu merasa diri pintar!” Tidak lama, muncul pria satunya lagi dan berdiri di sebelahnya. “Hingga detik ini kau belum membuat perhitungan dengan pengacara wanita tersebut, Master.” Pria yang dipanggil ‘Master’ kembali tersenyum licik. “Tenang. Dia akan menerima pembalasan yang jauh lebih menyakitkan, Troy. Pembalasan yang paling menyakitkan!” desis Master dengan sinis. “Bagaimana jika CIA mengetahui keberadaanmu? FBI mungkin dengan mudah bisa kau tipu.