Part 6 Perintah Abah
Pokoknya aku harus berhasil, karena, sementara, ini adalah satu-satunya cara agar mereka tersiksa secara perlahan dengan angsuran bank yang harus mereka penuhi.Aku mengantur nafasku, bersiap untuk keluar dari kamar mandi. Tapi sebelum itu, ku kirimkan pesan pada abah.[Bagaimana, Bah?]Ya, setelah aku mendapatkan kiriman foto dan video panggilan kala itu, tak lama setelah itu, aku menceritakan semuanya pada keluargaku."Astagfirullahaladzim, " ucap abah lirih mana kala setelah melihat foto-foto pernikahan mas Arga."Kurang aj*r Arga! Dasar laki-laki tak bermoral! " umpat mas Sholeh, kakakku satu-satunya."Ini nggak bisa dibiarkan, Mas nggak rela adik perempuan satu-satunya, Mas, di permainan seperti ini. Apa mereka lupa kalau empa bulan yang lalu, merekalah yang mendatangi kami untuk melamarmu, hah! ""Tenangkan dirimu, Sholeh, " ujar umi yang mencoba menenangkan anak sulungnya.Meskipun tampak diam sejak tadi, tapi aku bisa merasakan bahwa umi juga merasa kecewa atas perbuatan menantu dan keluarga besannya itu. Sementara abah, masih diam sembari beristighfar pelan.Dan aku tahu, dibalik diamnya abah, pasti beliau sedang memikirkan cara untuk masalahku.Dan aku, kalaupun harus bercerai, aku siap. Lagipula untuk apa mempertahankan laki-laki macam mas Arga. Bukankah lebih baik menjadi janda daripada berbagi suami dengan mantannya sendiri."Kita grebek saja mereka nanti, lagian mana mungkin mereka menikah resmi tanpa surat-surat? Abah, kan, mudin, pakde Rudi lurah, nggak mungkin kalau sampai nggak tahu, apalagi ini termasuk orang terdekat di keluarga kita, " tutur mas Sholeh.Sejenak aku mencerna penuturan kakakku ini. Ada benarnya apa yang ia ucapkan. Pernikahan itu pasti hanya pernikahan siri, karena kalau resmi seharusnya mas Arga mengurusnya terlebih dahulu.Itu artinya, ketika mengurus untuk syarat-syarat pernikahan ia seharusnya berhadapan dengan orang kelurahan. Sementara abah selaku mudin yang kerap mengurusi siapa saja yang akan menikah pun tak tahu menahu soal ini.Wah, kakakku ini memang luar biasa, ia selalu melindungiku dari dulu. Bahkan saat aku dikatain perawan tua, hanya dia, setelah orang tuaku yang tidak ikut-ikutan mengumpatku.Bahkan setelah menikah pun ia masih setia melindungiku dan menjagaku. Katanya, aku salah satu alasan kenapa dia menikah dengan orang yang sekampung juga.Padahal, aku tahu itu hanya bualannya saja. Wanita cantik nan sholehah, mbak Lita. Anak ustadz Zaky di kampung ini. Laki-laki mana yang tak tertarik jika dijodohkan dengannya. Hihii."Kamu cari bukti kuat dulu, pastikan kalau foto itu asli, apalagi yang ngirim nggak jelas orangnya, " kata abah."Tapi, Bah .... ""Abah dan pakdemu akan cari tahu dulu informasi yang masuk di kelurahan, daftar siapa saja yang akan menikah bulan ini. ""Iya, Bah, " kuiyakan saja perintah abah, kalaupun harus berdebat yang ada tak kelar-kelar nantinya.Semenjak saat itu, sembari menunggu kabar dari abah, aku memikirkan cara untuk mengamankan sertifikat tanah milikku yang sudah terlanjur di gadaikan di bank.Aku tak ingin, jika aku bercerai, keluarga mas Arga malah mengelak tak mau membayar angsuran bulannya.Mengingat mas Arga hanya cleaning service di sebuah rumah sakit swasta yang gajinya sekitar dua juta. Itu belum berkurang kebutuhan sehari-hari, belum jatah ke ibunya, sementara selama ini aku yang selalu menutupi kekurangan keuangan dengan berjualan online yang untungnya tak seberapa.Walau kata Lela, keuntungan jualan onlineku terbilang banyak karena tak jarang bisa menembus satu juta sebulannya, bagiku sama saja, karena harus menambal keungan rumah tangga. Eee, ini malah pakai acara menikah lagi.Cukup lama aku berdiam diri di kamar mandi. Ku lihat lagi ponselku, ternyata abah sudah membalas pesanku. Dengan cepat aku membukanya.[Iya, nanti kamu ke rumah abah, jangan ajak Arga. Abah dan pakde ada rencana untukmu.][Njih, Bah]Hari ini harus ku tuntaskan semua. Mendapatkan tanda tangan perjanjian agar mereka tak kabur dari tanggung jawabnya kelak, mengingat angsuran bank akan lunas kurang lebih tiga tahun lagi. Setelah itu, melakukan rencana dari abah.Aku kembali ke luar. Saat melewati kamar Tara, ingin sekali aku membukanya tapi kemungkinan besar pasti wanita jal*ng itu sudah disembunyikan di tempat lain. Lagipula, ada Rosi yang berada di ruang tengah yang sedang berjoget-joget tak jelas di depan layar ponselnya.Ku urungkan niatku, dan berjalan kearah teras dimana ada ibu, mas Arga dan Rumi di sana."Silakan tanda tangan. Mas, kamu juga, kalau enggak berarti benar kalau kamu selungkuh, " kataku seraya mendudukkan badanku di kursiku semula."Apa hubungannya sama aku selingkuh atau engga? ""Mas, kamu inget gosip yang aku ceritakan tadi malam, kan? Jangan-jangan itu kamu lagi! "Mas Arga seketika terkejut. "A-apa? Jangan dengerin gosip, deh. Lagian itu bukan aku, " balasnya."Buruan tanda tangan, setelah itu aku mau pulang ke rumah abah. ""Mau ngapain, Nduk? " tanya ibu mertuaku. Masih terlihat lembut."Disuruh pulang katanya, mas Sholeh juga gitu katanya, Bu. Mungkin mau pembagian tanah yang di kampung sebelah, " ujarku berbohong."Yaudah, tanda tangan Rum, " titah mas Arga. Ia tampak bersemangat mendengar kata pembagian tanah."Ibu juga, Mas juga, " peringatku.Mereka pun bergantian menandatangi surat tersebut. Sebenarnya, harus ada tanda tangan Tama juga selaku orang yang katanya sebagai peminjam."Tama gimana, nih? " tanya mas Arga."Ntar nyusul," kataku."Yaudah, Mas antar ke rumah abah, Yuk, " ajak mas Arga hendak bangkit dari kursinya."Antar aja ya Mas, soalnya ini baru rembukkan, jadi hanya keluarga inti. Mas Sholeh juga nggak ngajak anak istrinya, kok. ""Iya, yang penting kamu selamat sampai sana. "Dih, sok banget suamiku ini. Memangnya hidup matiku tergantung dia apa, bisa menjamin keselamatanku. Astagfirullah, kenapa dulu aku bisa menikah dengan lelaki macam dia, sih.Astaghfirullah, aku dan keluargaku merasa tertipu dengan sikap manis nan baiknya selama ini. Sampai-sampai aku dengan suka rela dan percaya begitu saja memberikan sertifikat tanahku. Aku pun tak henti-hentinya beristighfar.Sama halnya ke rumah ibu meretua, ke rumah orang tuaku pun tak memakan banyak waktu, karena memang kami hanya tinggal di satu kelurahan saja.Setelah sampai di rumah orang tuaku, terlihat abah dan pakde Rudi yang masih berpakain dinasnya sedang duduk-duduk santai di teras.Aku mencium punggung tangan mereka, lalu masuk ke dalam rumah. Membiarkan mas Arga ikut duduk sejenak bersama mereka.Sebenarnya pun aku tak benar-benar masuk, hanya berhenti di ruang tamu. Mengintip pembicaraan mereka dari balik jendela yang tepat di dekat mereka."Heran saya, ibu-ibu di kampung kok hobinya ngegosip, mana yang di gosipin itu-itu terus lagi, " ucap pakde setelah berbasa-basi dengan Arga."Emang gosipin apa, Pakde? ""Itu lho, suami yang katanya keluar kota tapi malah nikah lagi. Emang salahnya dimana kalau laki-laki nikah lagi? Ya ga, Paklik? " Pakde mengalihkan pandangannya sejenak kearah abah."Ya, nggak ada salahnya, Mas. Ya, kan, Ga? " kali ini abah menoleh kearah mas Arga."I-iya, Bah. "Mas Arga tampak ciut. Ia seperti dipaksakan untuk mengeluarkan senyuman dari bibirnya.Lagian, pintar juga kedua orang yang ku hormati itu berakting. Padahal, sebelumnya aku tak pernah memintanya berucap demikian.Setelah kurang lebih lima belas menitan mereka bertiga mengobrol, pakde pamit katanya mau ada yang diurus. Mas Arga pun ikutan pamit, karena sesuai perkataanku tadi, bahwa ini hanya rembukkan dari keluarga inti.Part 7 Dimana istri barumu? [Malam ini aku nginep di rumah abah dulu, mas nggak usah jemput] Ku kirim pesan WA untuk mas Arga, sesuai perintah abah. [Iya, Dek] ***Waktu menunjukkan 19.30, sembari makan malam, aku, abah, umi dan keluarga kecil mas Sholeh menunggu kedatangan pakde Rudi. Ya, malam ini kami akan melakukan rencana yang sudah disusun abah. Derrt ... Pesan WA ku terima dari Lela. Ia ku minta untuk mengawasi mas Arga sejak pesan WA ku kirimkan padanya sore tadi. Lela memberitahukan bahwa mas Arga pergi sejak usai mahgrib tadi. Entah kemana, yang jelas tidak memakai helm, jaket atau perlengkapan jika akan pergi jauh. Hanya berpakaian biasa. Sudah dapat ku simpulkan, bahwa mas Arga pasti pergi ke rumah ibunya. Tentu ini bagus. Penggrebekan malam ini akan disaksikan juga oleh keluarga mas Arga. "Assalamualaikum. "Terdengar salam dari luar, itu pasti pakde. Mas sholeh pun tanpa diminta ia bergegas meninggalkan makanannya dan membukakan pintu. Kami pun menyusul langkah
Part 8 Kemunculan Sang Pelakor"Kami sudah mengetahuinya, nggak perlu lagi kamu sembunyikan," kata abah.Mas Arga sekilas melempar pandangannya pada ibunya. Dan, setelah itu muncullah wanita muda, berambut panjang lurus hampir sepinggang, dengan stelan kimono dress berwarna marun. Preti."Saya istri barunya, kenapa?" tanya Preti seraya memasang wajah angkuh.Huh, tetiba dadaku sesak kembali. Amarah ingin rasanya ku ledakkan saat ini juga, apalagi melihat tingkah Preti yang tak ada sopan santunnya.Dengan cepat aku menghampiri Preti yang berdiri di samping mas Arga. "Kenapa kamu bilang? Rasakan ini karena sudah merusak rumah tanggaku!" Aku menarik dengan kerasa rambut panjangnya."Aaaaw! Lepaskan! Dasar perawan tua!" Preti berusaha melepaskan tanganku.Suasana mendadak jadi gaduh. Ibu mertuaku dan mas Arga pun berusaha menghentikan ulahku. Sementara yang lainnya hanya diam menonton."Ya ampun Fira, lepaskan, Nduk, kasihan Preti.""Fir, sudah, Fir, maafkan Mas."Mendengar kata maaf dari
Part 9 Pisah Ranjang!"Ingat Fir, pernikahan mereka memang sah dimata agama, tapi tidak secara hukum, karena kamu sebagai istri pertama tidak mengetahuinya. Dan lagi, meskipun ada surat pengantar dari kelurahan, tapi itu tanpa sepengetahuan saya selaku kepala desa. Kapanpun kamu mau, kita bisa langsung proses secara hukum, karena pernikahan mereka itu bisa dibilang ilegal, bisa di pidanakan. Ingat itu," tutur pakde menasihatiku ketika kami sampai di rumah abah.Awalnya aku memang tak mengetahui jika pernikahan mas Arga bisa dipidanakan. Karena pernikahan mereka begitu meriah, ditambah pak Agus yang membantu mereka membuat surat pengantar dari kelurahan, jadi menurutku pernikahannya sah secara hukum.Namun, berkat postingan FB dari seseorang yang lewat di berandaku beberapa hari yang lalu, aku jadi mengetahuinya. Meskipun awalnya aku sedikit ragu dengan informasi tersebut, hingga akhirnya aku go*gling dan ternyata benar.Selain itu, aku juga bertanya pada pakde Rudi tentang hukum terse
Part 10 Pembalasan"Mas berangkat kerja dulu, ingat, jangan cari gara-gara, " ucap mas Arga pada Preti yang berdiri di teras depan. "Iya, iya, " balas Preti dengan nada malas. Sebelum meninggalkan Preti, mas Arga mencium keningnya. Aku yang melihatnya dari dalam entah kenapa jadi kesal sendiri. Ah, nggak mungkin kalau aku masih cemburu pada Preti. Waktu memang terbilang masih sangat pagi. Jam 06.00 mas Arga sudah harus berangkat bekerja karena shif pagi. Dan biasanya akan sampai di rumah sekitar jam 15.00.Aku menghampiri Preti yang masih berdiri di teras melihat kepergian mas Arga. "Kemasi barang-barang dan segera angkat kaki dari sini! " ujarku berdiri tepat di sampingnya. "Apa hak mu mengusirku? Aku juga istri mas Arga di sini, " balasnya seraya melipatkan kedua tangannya di dadanya. "Ini rumahku. Pergi atau ku teriaki maling?! ""Teriak aja, orang juga nggak akan berpikir ada maling secantik dan sexy aku, " balas Preti menyombongkan fisiknya. Padahal, kalaupun aku memakai pa
Part 11 Pembalasan, lagi"A-ampun, Fir, ampun, " mohonnya. "Rasakan ini! " ujarku dengan menaikkan nada seraya perlahan demi perlahan ku arahkan mata gunting tersebut kearah wajahnya. Membuat mata Preti semakin membulat besar. "Aaaaaakkk!!" Preti berteriak sekencang-kencangnya seraya menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya."Lepaskan dia!"Bruugh!"Aargh!" Aku terpelanting ke sisi dinding kamar karena mas Arga yang tiba-tiba muncul.Prank!Aku membuang gunting tersebut ke sisi lain. Lalu berdiri dan menatap tajam kearah mas Arga yang memeluk Preti."Nggak akan ku biarkan ini, nggak akan!" Ku tunjuk mereka dengan wajah penuh emosi. Lalu melangkah meninggalkan mereka."Memangnya kamu bisa? Kamu hanya mengandalkan jabatan di keluargamu, ya, kan?"Langkahku terhenti ketika sudah berada di dekat pintu karena mendengar perkataan mas Arga.Ku balikkan bandanku menghadap mereka. Ku sunggingkan sudut bibir kananku. "Kalau mereka bisa membantuku menjebloskan kalian ke penjara, kenapa
Part 12 Mengajakku Pulang"Tunggu, Mas, " ku lepaskan tangan mas Sholeh ketika kami sampai di teras. "Apa lagi? " tanyanya kebingungan. "Sebentar, " tanpa menjawab pertanyaannya, aku bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Hatiku masih terasa panas karena mereka mencoba mencelakaiku, merusak barang daganganku. Meninggalkan mereka begitu saja, oh, tidak bisa. Aku berjalan langsung masuk ke kamarku tanpa memperdulikan mas Arga yang masih berdiri di ruang tengah bersama Preti tak jauh darinya."Mau apalagi kamu, Fir?" tanya mas Arga ketika aku keluar dari kamar.Ku hentikan langkahku tak jauh dari mereka. "Bereskan semua!" titahku menunjuk lantai yang basah. "Kamu, bersihkan kamar mandi tanpa ada sisa minyak sedikit pun!" tambahku seraya menunjuk wajah Preti."Nggak!" bantah Preti.Ku majukan satu langkah kakiku. Menatap tajam mata Preti. "Aku rasa kamu nggak ingin hidup di penjara, kan?" kataku lirih penuh penekanan.Ia pasti tahu arah maksud perkataanku. Tampak Preti menahan kesal d
Part 13 Menebak-nebak memang susah"Pergi dari sini! " usir abah dengan tegas menunjuk arah luar. "Abah, Arga mohon, Bah, izinkan Fira pulang bersama Arga, " mas Arga memohon, menyatukan kedua telapak tangannya di depan dadanya. Aku yang melihat pemandangan itu pun geli dibuatnya. Sungguh, beruntungnya aku sudah menggugatmu, mas. Kau tak punya malu meskipun sudah mengkhianatiku. "Saya bilang pergi, pergi! " abah mengulanginya lagi tanpa memperdulikan permohonan mas Arga. Mas Arga pun diam, terlihat raut pasrah di wajahnya, ia lalu mengalihkan pandangannya kearahku. "Fir, ingat calon anak kita, " katanya memelas. "Apa alasanmu mengajakku pulang? Sudah bosan dengan Preti? Atau ingin lebih menyakitiku, hah!? " "Akan ku jelaskan nanti .... ""Sekarang! " potongku dengan lantang. "Fira ...," mohonnya lagi. Sungguh, semakin melas sekali wajah mas Arga. Semakin risih pula aku melihatnya. "Aku akan pulang asal sudah ada sertifikat tanah milikku, " ucapku memberi syarat yang membuat ma
Aneh. Pesan yang ku kirimkan lewat nomor WA umi langsung centang dua, meskipun belum dibaca. Ku bandingkan dengan pesan yang ku kirim lewat nomor WA ku sendiri. Ternyata .... Ternyata memang dia sudah kembali on, terlihat dari pesanku yang sudah centang dua juga namun masih berwarna abu-abu. Alias belum dibaca. Sementara pesan yang ku kirim lewat ponsel umi, hanya ia abaikan begitu saja. Karena jelas-jelas ia telah membaca pesanku. Huh. Jadi makin penasaran, kan.***Dua hari berlalu ...[Kamu siap-siap, aku jemput kamu sore ini, Dek] Mataku sekejap membulat besar tak kala membaca pesan dari mas Arga pagi ini. Sampai-sampai aku membacanya berulang kali, berharap aku salah baca, namun nyatanya tidak.Ku letakkan kembali ponselku di atas nakas, ku abaikan pesan dari lelaki yang menggoreskan luka dihatiku ini. Bergegas keluar kamar menyusul sarapan abah dan umi."Sore nanti, kan? Yasudah, buruan hubungi mas mu," titah umi setelah ku sampaikan pesan dari mas Arga. Seperti rencana kem
#MPSPart 80 Last ChapterKu alihkan pandanganku pada kedua orang tuaku. "Abah dan umi yang menyarankan Rosi untuk masuk pondok ya?"Mendengar pertanyaanku abah dan umi malah saling melempar senyum dengan ekspresi wajah yang aku tak bisa memahaminya. Kalau pun memang mereka yang menyarankan Rosi untuk pergi ke pondok, mengapa hal itu harus disembunyikan dariku? Sebegitu besarkah mereka menginginkanku untuk benar-benar menjauhi Rosi? Atau adakah hal lain yang disembunyikan oleh kedua orang tuaku itu?"Abah dan umi gak cuman menyarankan, Mbak. Beliau juga yang memasukanku ke sana dan membiayai kebutuhanku selama di pondok," ujar Rosi lagi. "Tepatnya abah patungan sama Tama. Jadi Tama dan istrinya juga ada andil soal biaya pondok juga kebutuhan Rosi," sela abah yang membuatku menoleh kearahnya. "Terus kenapa selama ini abah gak bilang sama aku?" tanyaku penasaran. Di titik ini aku merasa sedikit kecewa dengan keputusan abah yang tidak memberitahukanku tentang Rosi. Malah yang ada beli
#MPSPart 79 Pertemuan Setelah Satu TahunKetakutanku semakin menjadi-jadi ketika mas Abdullah sudah turun dari mobilnya dan melihat keberadaan Tama dan Rumi yang sudah berdiri di dekatku. Jatungku mendadak berdegup kencang berharap semuanya baik-baik saja dan tidak ada keributan sama sekali. Dan saat mas Abdullah sudah berhadapan dengan Tama dan Rumi, hal yang tak ku sangka-sangka pun terjadi. Ya, aku melihat mas Abdullah yang tampak ramah dan biasa saja terhadap Rumi juga suaminya. Bukan di situ saja, aku juga dikejutkan dengan kedatangan abah yang tiba-tiba pulang padahal masih di jam kerja. "Sudah datang semua?" tanya abah yang juga tampak biasa saja. Aku semakin bingung melihat sikap mas Abdullah dan abah yang seperti ini. Meskipun dilain sisi aku juga merasa senang lantaran kedua orang yang ku sayangi itu seperti sudah tak ada lagi rasa benci terhadap anak dan menantu dari bu Darmi tersebut. "Abah? Mas?" ku lihat wajah abah dan suamiku secara bergantian. Mas Abdullah dan a
#MPSPart 79 Bertemu KembaliKu lihat wajah umi yang sudah kembali normal. "Fira gak salah dengar 'kan?" tanyaku pada umi. "Selesai sarapan terus siap-siap. Ikut umi pergi," kata umi lalu melanjutkan lagi aktivitasnya. Seperti akan mendapatkan sebuah jawaban dari rasa penasaranku, aku pun dengan hati yang senang lantas mengikuti langkah umi dengan bersemangat. ***"Kenapa kita ke sini, Mi?" tanyaku keheranan. Sebab ternyata umi mengajakku ke rumah bu Darmi yang masih sepi. Entah apa alasan yang mendasari ibuku itu membawaku kembali ke tempat yang bagiku pernah memiliki kenangan pahit terhadapnya. "Sebentar, ya," kata umi. Umi pun mengetuk pintu utama rumah ini. Dan beberapa detik kemudian pintu pun terbuka. Aku cukup terkejut ketika mengetahui Rumi yang keluar dari rumah tersebut. Ia tampak masih seperti dulu dan keadaannya juga terlihat lebih baik. "Ya Allah, mbak Fira?" Rumi tampak terkejut ketika melihat diriku yang berdiri di hadapannya. "Kamu sehat, Mbak?" Rumi memelukk
#MPSPart 78 Satu Tahun BerlaluPanggilan telepon pun berakhir. Dan sayangnya sampai di detik terakhir panggilan tersebut aku belum sempat mendengar suara Rosi lantaran kata Rumi ia sudah tertidur setelah lelah menangis karena kepergianku tadi. Mendengar hal itu entah mengapa tiba-tiba kedua mataku berkaca-kaca. Sungguh, rasa bersalah mendadak menguncang batinku. "Rosi, semoga kamu selalu baik-baik saja ya," batinku dengan rasa sakit yang teramat dalam. ***Beberapa hari berlalu dan aku tak lagi mendengar kabar tentang keluarga bu Darmi termasuk bagaimana keadaan Rosi. Baik diriku ataupun Rumi pun sama sekali tak saling memberi kabar yang berkaitan dengan Rosi. Selain saran dari abah beberapa waktu yang lalu, mas Abdullah juga dengan tegas memintaku untuk benar-benar berhenti menghubungi Rosi. Bahkan sekedar bertanya pada tetangga atau mencari tahu melalui media sosial pun tak diperbolehkannya. Meski berat namun aku juga tak punya kuasa apa-apa. Aku hanya bisa menurut apa yang su
#MPSPart 76 Saran dari Abah"Kita gak perlu pengakuan, Mas!" sergah tama yang membuatku dan lainnya menoleh kearahnya. "Langsung laporkan saja!" tandasnya lagi. Mendengar hal itu spontan mataku menoleh kearah bu Darmi yang tercengang melihat sikap anaknya itu. Dalam hati aku berkata, "kalah sudah kamu, Bu!""Gak!" bu Darmi beranjak dari tempat duduknya. "Tama, jangan jadi anak durhaka kamu!" tunjuk bu Darmi pada anak keduanya itu dengan mata melotot yang amat menyeramkan. Lalu jari telunjuk bu Darmi berubah kearahku dan mas Abdullah. "Dan kalian, pergi dari rumahku sekarang! Pergi!" usir bu Darmi tanpa ampun untuk kami. Aku menoleh kearah wajah suamiku yang sepertinya memang sudah kehilangan rasa bersabarnya. "Kita pergi!" kata mas Abdullah seraya menarik tanganku lalu berjalan keluar rumah. "Mbak Saudah, tolong jangan pergi, Mbak!" teriak Rosi saat aku mulai berjalan meninggalkan ruangan. Ia hendak berlari guna mencegahku, namun dengan cepat ibunya menahan tubuhnya yang menyebab
#MPSPart 75 Kemunculan RosiDan di titik inilah aku bisa kembali tersenyum penuh bangga pada suamiku. Sebab, ku yakini sebentar lagi kebenaran antara bu Darmi atau Rosi akan terungkap. Beberapa detik setelah mas Abdullah berkata demikian, aku mendengar langkah kaki yang berjalan kearah kami. Rosi secara tiba-tiba muncul di hadapan kami semua dengan tatapan tajam yang mengarah ke ibunya sendiri. Melihat Rosi yang seperti itu sontak membuat suasana menjadi tegang kembali. Entah apa yang akan diperbuat Rosi sampai-sampai ia bisa memberanikan diri untuk keluar. Merasa suasana tidak kondusif aku pun berusaha memberikan senyuman manis kearah Rosi ketika ia melirikku. Meskipun sebenarnya dalam hati takut juga kalau anak itu tiba-tiba berbuat diluar dugaan. Namun di sisi lain aku juga berharap senyuman yang ku berikan bisa sedikit meredamkan amarahnya yang tampak sudah diujung kepala. Cukup lama Rosi membuat kami tertegung melihat kondisinya yang seperti itu. Dan benar saja, tiba-tiba ta
#MPSPart 74 Pembelaan Bu DarmiAku tahu, suamiku memang terlihat tak peduli dengan Rosi namun dibalik sikapnya itu aku yakin kalau suamiku juga memiliki rasa empati yang tinggi terhadap gadis remaja tersebut. Terbukti dengan ajakannya besok ke rumah bu Darmi pasti mas Abdullah akan membantu Rosi menemukan jalan keluarnya. ***Lagi-lagi aku dan mas Abdullah kembali ke rumah bu Darmi. Dan entah mengapa kali ini rasanya agak sesak aku menginjakan kaki di rumah ini. Mungkin karena tiba-tiba aku teringat akan masa-masa aku yang seakan dibod*hi oleh keluarga mantan suamiku waktu itu. Kedatangan kami kembali disambut dengan penuh hangat oleh bu Darmi. Mungkin memang ada benarnya perkataan Rosi kala itu tentang ibunya tersebut, yakni dari sikapnya yang sangat baik dimana aku belum pernah mendapatkannya selama aku menjadi menantunya dulu. Setelah dipersilakan, mas Abdullah pun tanpa banyak berbasa-basi lantas mengatakan tujuan kedatangan kami pada bu Darmi juga anak-anaknya yang kebetulan
#MPSPart 73 Keputusan Mas Abdullah Karena dilain sisi Rosi sendiri tak ingin melibatkan surat perjanjian antara dirinya dan ibunya jika kejahatan ibunya diketahui semua orang. Selain itu, ia juga memintaku untuk tidak mengatakannya lebih dulu tentang perubahan sikapnya ini terhadap ibunya. Ia takut jika ibunya akan berbuat yang tidak-tidak terhadapnya. "Rosi Rosi," kataku pelan sambil menggelengkan kepala saat melangkah keluar dari kamar Rosi. ***Sesampainya di rumah, ku jelaskan semuanya pada mas Abdullah tentang pembicaraanku pada Rosi tadi. Selain itu aku juga meminta nasihat pada suamiku itu untuk bagaimana aku harus bertindak selanjutnya. Mengingat permintaan Rosi yang amat membuatku bimbang. "Susah ini, sayang. Anak orang soalnya dan kita bener-bener gak ada hak buat bawa Rosi pergi," kata mas Abdullah. Mendengar respon suamiku itu mendadak membuatku lemas dan rasa pesimis kembali menyelimuti. Memang benar apa yang dikatakan mas Abdullah, tak mungkin kami membawa pergi an
#MPSPart 72 Pengakuan Rosi 2"Kenapa kamu gak bilang dari awal?" tanyaku. Karena menurutku jika bu Darmi memiliki tujuan demikian dan Rosi tahu itu bukankah seharusnya ia mengatakannya lebih awal? Kenapa harus berbelit-belit seperti ini. Ditambah lagi, jika bu Darmi menginginkanku mengapa setiap kali ia menemuiku untuk membicarakan masalah Rosi, Preti selalu ikut. Apa mungkin Preti tak tahu skenario yang dibuat ibu mertuanya? "Kenapa Ros?" desakku saat Rosi malah memilih membungkam mulutnya kembali. Rosi menatapku dengan raut wajah yang agak ragu. Meski begitu secara pelan-pelan ia pun mulai bercerita lagi. Rosi menjelaskan kalau sebenarnya ia ingin mengatakannya sejak awal. Tepatnya saat dimana kami bertemu di taman waktu itu. Tetapi ia ragu mengatakannya lantaran ia takut jika diriku tak mempercayai perkataannya.Apalagi hal tersebut berkaitan dengan keluarganya sendiri dimana selama ini keluarga bu Darmi dikenal sudah banyak melakukan perubahan lebih baik setelah bermasalah de