"Loh? Kok ini pada banyak bahan rusak yang masuk ke Line, sih?" Seseorang di Line yang sedang menjahit bahan terkejut saat ia sudah mengeksekusi jahitannya lalu kemudian baruterlihat bahan itu ternyata cacat. Ada sedikit lubang yang tidak akan lolos dikontrol QC nantinya.
"Mbak Intan, lihat inj deh." Si penjahit mengadukannya kepada Mbak Intan. Mbak Intan segera meradang. Apalagi setelah memeriksa lagi beberapa yang sudah terjahit juga ada beberapa yang bahannya cacat.
"Ceroboh sekali sih, Nindy, nih!" Mbak Intan kembali meradang. Dihampirinya lagi meja Nindy dan Jingga. Namun, Nindy sedang tidak di tempat sehingga Mbak Intan mengadukannya pada Jingga.
"Nih, ini bahan cacat ada banyak yang masuk len, loh. Gimana bisa kelewatan gini, sih ngeceknya?"
Jingga memeriksa setumpuk bahan yang sudah dijahit di beberapa bagian dan menemukan beberapa cacat bahan di sana.
"Aneh, nggak biasanya Nindy kelewatan menyisihkan bahan cacat. Apalagi sampai segin
Ulfa akhirnya dapat masalah besar atas perbuatannya. Ia mencoba menyabitase bahan dengan menyayatnya memakai gunting agar Jingga dipersalahkan atas masuknya bahan cacat ke dalam Line.Dan entah bagaimana caranya, Mbak Intan yang awalnya sudah mengamuk di cek bahan malah kini berbalik ke Line dan ganti mengamuk dirinya.Astaga! Ulahnya ketahuan. Meski tak tahu kalau pelakunya dirinya, tetapi Mbak Intan sudah memastikan kalau itu kesalahan dari pihak Line sendiri. Dan parahnya, penanggung jawab tukar rusak bahan di Line tak lain adalah Ulfa yang bagian penambahan.Ini sih senjata makan tuan, pikirnya menyesali perbuatannya itu. Niatnya memfitnah Jingga justru menyengsarakan dirinya sendiri kini. Hal mana membuatnya semakin dengki dan benci kepada Jingga. Bagaimana mungkin anak itu sampai tak ymtersentuh begitu, ya. Semua hal buruk yang dilakukannya untuk menjatuhkan Jingga sampai saat ini gagal total.Ia jad
Malam itu—untuk kedua kalinya—kencan Angkasa dan Jingga tidak berjalan lancar. Angkasa masih sangat marah atas kehadiran pria di masa lalu kekasihnya. Dadanya masih sesak ketika mengingat Miko memberikan nomor ponsel pada Jingga dan Jingga menerimanya tanpa sedikit pun menolak.Sementara itu, ada rasa tidak enak dalam hati Jingga. Dia merasa bersalah karena ingin menyimpan nomor Miko. Jingga tahu, Angkasa tak akan menerima alasannya dalam bentuk apa pun ketika dia memutuskan menyimpan nomor mantan pacarnya.“Kamu akan menyimpan nomor itu?” tanya Angkasa masih dengan wajah yang tak bersahabat.“Enggak. Aku enggak akan nyimpen itu.”“Jangan sampai perkataanmu berbeda dengan isi hatimu. Aku tahu kamu pengen nyimpen nomor Miko, kan?”“Kamu kenapa, sih?” Hati Jingga mulai panas. Angkasa selalu saja bisa membaca pikirannya.“Kamu nggak percaya sama aku hanya gara-gara Miko nga
Jingga duduk termenung di kasur. Tidak biasanya Angkasa tak mengirim pesan seperti pagi itu. Hanya ucapan basa-basi “selamat pagi” yang dia terima.Selanjutnya, pria itu tidak lagi mengirim pesan.[Selamat pagi, Sayang] sapa Jingga lewat sebuah pesan.Tidak ada jawaban. Jingga masih tetap menunggu. Dia melakukan aktivitas seperti biasa. Sesekali, dia melihat layar ponselnya. Namun, tetap saja tidak ada balasan. Selama beberapa bulan berpacaran dengan Angkasa, pria itu seolah tak pernah membiarkannya sendirian. Jika Jingga tak sedang sif pagi, biasanya Angkasa akan datang menjemputnya sekadar untuk jalan-jalan pagi atau membeli bubur ayam.Pagi itu berbeda. Jingga mulai galau karena hingga pukul 08.00, dia tak mendapati pesan balasan dari Angkasa. Jingga menelepon Angkasa beberapa kali, tetapi tak mendapat jawaban. Perlakuan Angkasa membuat Jingga uring-uringan sepanjang hari. Hatinya tak tenang
Sejak kedatangan Miko ke rumah Jingga, semuanya berubah. Jingga dan angkasa memang masih saling berhubungan. Namun, mereka tak lagi pernah bertemu. Angkasa pulang ke rumahnya yang ada di Malang.Pria itu memutuskan untuk menenangkan diri sambil terus meyakinkan dirinya bahwa Jingga adalah sebuah pilihan yang tepat untuk menjadi calon istri.Sesekali dada Jingga sesak menahan rindu yang teramat sangat pada kekasihnya. Tak jauh berbeda dengan Angkasa. Lelaki itu juga sangat tersiksa karena sedikit pun tak melihat wajah Jingga.Jingga mengambil ponselnya. Dia ingin sekali mengirimkan pesan pada Angkasa. Namun, gengsi mengalahkan segalanya. Sejak mereka tak lagi bertemu, Jinggalah yang lebih sering mengirimkan pesan terlebih dahulu.Terkadang, dia harus menunggu sedikit lebih lama untuk mendapatkan balasan dari Angkasa.Kini, Jingga tidak ingin memulai. Dia hanya ingin tahu sampai di mana Angkasa memperju
Angkasa berdiri. Dia dan wanita yang tadi menyapanya kini saling berhadapan. Angkasa sempat kagum dengan kecantikan wanita yang pernah singgah di hatinya itu. Dia sangat gugup. Namun, akhirnya dia bisa menguasai diri karena mengingat Jingga.“Eh, h-hai, Melia.”“Hai, Angkasa. Aku kira kamu di Jombang.”“Enggak. Aku udah jarang ke sana.”“Katanya kamu punya pacar orang sana?”“Iya. Eh, duduk.”“Eh, oke.”Sejurus kemudian, mereka terlibat dalam obrolan. Melia dan Angkasa bernostalgia, mengingat zaman ketika mereka masih bersekolah, mengingat teman-teman mereka, hingga mengingat hubungan mereka di masa lampau.Mereka saling tertawa dan menyesali kenaifan mereka saat itu.“By the way, kamu sendirian aja? Mana suamimu?” tanya Angkasa.
Jingga sudah sampai di Terminal Arjosari. Dia segera menepi dan mengambil ponselnya untuk memanggil taksi online. Siang itu tidak seperti biasanya. Cuaca cukup gelap dan hawanya sejuk cenderung dingin. Hujan mulai turun membasahi bumi.Setelah menunggu beberapa saat, taksi itu datang. Jingga segera menaiki taksi itu dan berbasa-basi dengan si sopir. Wajah Jingga semringah. Hatinya bahagia membayangkan pertemuannya dengan sang kekasih setelah berminggu-minggu mereka tak bertemu.Jingga memandangi ponselnya. Dia kemudian membuka WhatsApp dan membalas pesan teman-temannya, lalu membuka nama Angkasa. Sebenarnya, dia sudah tidak tahan untuk menghubungi Angkasa, tetapi Jingga masih mencoba untuk menahan diri.Jingga sejak awal berencana akan pergi ke Bakso Hits. Setelah itu, dia akan menelepon Angkasa dan mengatakan bahwa dia sudah berada di tempat itu. Gadis itu tak sabar membayangkan wajah Angkasa yang akan terkejut dengan ked
Jingga terpaksa menuruti keinginan ibu Angkasa untuk menginap. Kebetulan, dia memang sangat lelah. Jingga bahkan berencana cuti bekerja keesokan harinya. Meski begitu, dia sedang tidak ingin menyapa Angkasa. Dia masih kesal mengingat perlakuan kekasihnya itu sejak kedatangan Miko. Rasa kesal itu makin menjadi-jadi ketika dia melihat Angkasa duduk berhadapan dengan Melia. Malam itu, Jingga duduk berdua dengan Angkasa di teras rumah. Untuk beberapa saat mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. “Jingga,” panggil Angkasa.“Boleh aku menjelaskan sesuatu?” Jingga tak menjawab. Dia bergeming dan tak sedikit pun menatap Angkasa. Hatinya masih sangat marah karena merasa bahwa kekasihnya itu mengkhianatinya. “Tentang perempuan yang kamu temui di warung itu ... kamu salah paham, Ngga. Aku nggak ada hubungan apa pun dengan dia.” Jingga menatap mata Angkasa dengan nyalang sehingga membuat pria itu salah tingkah. 
Waktu menunjukkan pukul 03.00 ketika Jingga terbangun dari tidurnya. Dia tiba-tiba teringat tentang keinginannya untuk memutuskan hubungan dengan Angkasa. Jingga tidak tahu mengapa jantungnya berdebar-debar ketika memikirkan itu. Hatinya gundah gulana. Di satu sisi, dia masih sangat mencintai Angkasa. Namun, di sisi yang lain, dia tidak dapat memaafkan perbuatan Angkasa yang begitu menyakitkan untuknya. Jingga diliputi kebimbangan. Apakah memang harus berpisah ataukah tetap bertahan dengan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja? Jingga mengambil sajadah dan mukenanya. Dia memutuskan untuk salat tahajud demi meminta petunjuk. Dia tak bisa berkata apa pun, tetapi dia yakin bahwa Allah mendengar doa-doanya. Sampai matahari terbit, jawaban itu tak kunjung tiba. Jingga tetap saja galau memikirkan keputusannya. Dia tak benar-benar yakin bahwa keputusannya memutuskan Angkasa adalah keputusan yang tepat. Namun, lagi-lagi dia
"Jangan lari-larian, Sayang. Nanti jatuh."Jingga berusaha mengejar Senja yang asyik berlarian di tengah halaman, meski sedikit kesulitan karena perutnya yang kini tengah membuncit, tetapi Jingga tetap berusaha mengejar sang Putri. Angkasa yang melihat hal tersebut dari dalam rumah segera berjalan dan menghampiri keduanya dengan tergesa."Sayang, jangan buat Mama repot, dong," kata Angkasa sambil menangkap dan menggendong Senja dalam pelukannya."Papa, kok yang lainnya belum datang, sih? Lama banget," ucap Senja dengan lucunya.Di umur yang baru menginjak lima tahun ini, Senja memang sudah sangat pandai. Sungguh baik Jingga ataupun Angkasa tak menyangka bahwa putri pertama mereka akan cerewet seperti sang Ibu, tetapi lumayan bijak seperti sang Ayah."Nanti, sebentar lagi pasti yang lainnya akan segera datang. Makanya Senja harus jadi anak baik, ya. Jangan nakal, dan jangan lari-lari, kasihan Mama," lanjut Angkasa sambil menunjuk ke arah Jingga.Jingga balas ter
Jingga mulai merasa bosan hanya berdiam diri di rumah saja. Semua karena dia sedang berada dalam masa pemulihan pasca operasi. Sungguh meskipun Jingga bersyukur dia bisa melewati semua ini hingga dapat bertemu dengan bayi cantiknya ini. Namun, terkadang jika sedang sendiri, Jingga kembali merutuki nasibnya.Dia merasa sangat tidak berguna sebagai seorang wanita. Selama ini dia hanya bisa menyusahkan Angkasa saja. Sesekali Jingga terkenang akan masa lalunya. Bagaimana keegoisannya mengalahkan apa pun. Terutama jika sedang ada masalah bersama dengan Angkasa. Jingga tak pernah mau mendengar alasan apa pun. Dia merasa semua perbuatan yang dia lakukan adalah benar.Jingga juga teringat bagaimana dulu dia kabur ke Banyuwangi, ke rumah sang Nenek hanya untuk menghindari Angkasa. Namun, tak dinyana lelaki tersebut justru mengejar dan mencarinya sampai ke sana. Sesampainya di sana pun, Angkasa harus menerima kenyataan pahit. Jingga mengusirnya pulang, dengan kekecewaan yang
Angkasa menggendong dan menciumi bayi perempuan yang cantik serta lucu itu. Setelah mengazaninya, dia kemudian menimang-niman buah cintanya bersama Jingga tersebut. Jingga yang masih belum sadar betul dari proses pembiusan, hanya bisa menggerakkan kepalanya dan tersenyum lega."Anak kita cantik, sama kaya ibunya," kata Angkasa sambil tersenyum hangat."Iya," jawab Jingga singkat."Kalau gitu, karena anaknya perempuan, kita sudah sepakat, kan, memberi nama siapa?" tanya Angkasa kemudian."Senja," sahut Jingga lirih."Ya, Senja, karena dia memang lahir di sore hari. Senja Nurinda, bagaimana, Sayang? Kamu setuju kalau namanya Senja Nurinda?" Angkasa bertanya lagi."Nama yang bagus, Sayang," jawab Jingga sambil berusaha tersenyum."Hey, kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?" Angkasa bertanya dengan nada suara panik."Maaf, Pak, nggak apa-apa, ini adalah hal yang wajar terjadi pasca operasi sesar. Bapak tenang dulu, ya. Kami akan segera pindahkan Ibu dan a
Akhirnya setelah melalui beberapa kali diskusi, bukan hanya antara Jingga dan juga Angkasa. Sepasang suami istri tersebut akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran dari dokter kandungan yang selama ini memeriksa kandungan Jingga. Opsi operasi dipilih demi kebaikan sang ibu dan juga bayinya.Sebelum hari dan tanggal operasi ditentukan, sang dokter juga berbicara beberapa hal pribadi khususnya kepada Angkasa. Bu Dokter itu menjelaskan banyak hal kepada suami Jingga tersebut. Hal yang paling penting ketika seorang istri menjalani operasi sesar adalah dukungan dari orang-orang terdekatnya, terutama dari suami."Melahirkan secara sesar jangan dikira mudah, Pak. Akan ada begitu banyak tekanan dan juga perawatan pasca operasi, hal tersebut yang harus Bapak Angkasa perhatikan," ucap Bu Dokter sambil menatap Angkasa lekat."Maksudnya bagaimana, Bu? Bukankah jika melahirkan secara operasi, banyak yang bilang akan lebih mudah karena tidak memerlukan banyak tenag
Menatap Jingga yang sedang tertidur dengan pulasnya, membuat hati Angkasa terenyuh. Bagaimana tidak? Kali ini penyesalan datang kepada Angkasa berkali-kali lipat dari sebelumnya. Dia merasa apa yang terjadi kepada sang istri sekarang karena larangannya terhadap Jingga untuk keluar rumah dan membantu persiapan acara pernikahan Nindy dan juga Nila.Jingga kemungkinan merasa stress dan tertekan karena tidak bisa membantu melakukan apa pun bagi kedua orang tercinta dan terdekatnya tersebut. Jika saja waktu bisa diputar kembali, Angkasa pasti tidak akan membiarkan sang istri sampai mengalami hal buruk seperti ini.Angkasa benar-benar menyesal, dia sungguh tak menyangka kekerasan hati dan keegoisannya kepada Jingga justru berakhir menyedihkan. Untunglah keselamatan sang istri masih dalam perlindungan Tuhan, sehingga baik Jingga maupun calon bayi yang ada dalam kandungannya masih bisa bertahan sampai kini.Saat sedang merenung, Angkasa tiba-tiba mendengar sedikit
Beberapa hari ini Angkasa terlihat sangat lelah. Dia memang menggantikan sang istri untuk mondar mandir ke acara persiapan pernikahan Nindy dan Nila. Angkasa menggantikan posisi sang istri untuk membantu persiapan acara akad di rumah sang mertua. Setelahnya dia berpindah tempat menuju rumah sang sepupu, Nindy, untuk membantunya menyiapkan segala urusan katering dan lain-lain.Bukan tanpa alasan Angkasa berbuat seperti itu. Dia tentu saja tidak ingin membuat Jingga khawatir karena tidak bisa membantu persiapan kedua orang terdekatnya itu. Angkasa bukan juga tidak tahu bagaimana perasaan Jingga. Namun, semua harus tegas dia lakukan demi menjaga kondisi kehamilan istrinya tersebut. Angkasa tentu tidak mau kejadian buruk yang hampir merenggut nyawa sang istri dan bayinya terulang kembali. Akan tetapi, hasilnya tubuh Angkasa terasa sangat lelah. Tak dimungkiri oleh Angkasa jika dia memang terlalu menguras tenaganya selama beberapa hari ini. Namun, dia tak ingin membuat
Hanya setetes air mata yang terjatuh dari sudut mata Jingga, tetapi dapat meluluh lantakkan semua perasaan yang ada pada diri Angkasa. Sebabnya tentu saja, dia tak sanggup jika melihat Jingga menangis. Angkasa kemudian segera menghampiri Jingga, mengusap air mata yang menetes di pipinya, kemudian mengecup kening sang istri mesra."Kita berangkat sekarang," kata Angkasa tanpa pikir panjang.Biarlah dia yang mengalah lagi demi kebahagiaan sang istri. Memeriksa keadaan mobil, bisa sambil berjalan nanti. Untuk urusan kedai dan izin kepada keluarga, bukankah bisa didapat dalam perjalanan dan diurus melalui sambungan telepon?Angkasa lagi-lagi harus kuat, tabah, dan juga mengalah. Dia tak mampu jika melihat air mata Jingga menetes karena dirinya. Dalam hal yang terjadi barusan, Angkasa mengira dialah yang telah membuat Jingga menangis. Padahal yang sesungguhnya, Jingga menangis karena pemikirannya sendiri. Namun, Jingga juga tak menolak ajakan suaminya. Wanita y
Setelah sampai di rumah, Jingga langsung disuruh beristirahat oleh suaminya. Jingga tentu saja tidak bisa menolak. Terlebih Angkasa juga selalu mengingatkan akan kejadian yang barusan dia alami. Dan Jingga tidak mau hal tersebut sampai terulang kembali. Jingga sedang berusaha memejamkan mata ketika Angkasa berpamitan dengannya. Suaminya tersebut akan segera mencarikan ayam bakar madu yang Jingga inginkan. Jingga merasa sangat beruntung, ternyata dalam diamnya Angkasa, dia terus saja memperhatikan kondisi dan kemauan Jingga."Hati-hati, ya, Sayang. Aku juga pesan teh hangatnya dari sana, ya. Kalau bisa jangan terlalu manis tehnya," kata Jingga sambil tersenyum."Beres, Sayang. Aku pergi sekarang. Kamu jangan terlalu banyak bergerak, ya. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu lagi," sahut Angkasa.Jingga hanya mengangguk tanda dia sudah memahami apa yang disampaikan oleh suaminya. Angkasa segera mengecup kening Jingga dan beranjak pergi.
"Kita pulang sekarang, ya, Sayang," bujuk Angkasa ketika melihat Jingga yang kelelahan.Wajah Jingga terlihat pucat pasi, dan keringat dingin juga mengalir di pelipisnya. Angkasa begitu mengkhawatirkan keadaan sang istri. Maklum saja, dokter sudah memperingatkan kepada Jingga agar tidak terlalu lelah dalam usia kandungannya sekarang. Namun, apa boleh buat, Jingga memang keras kepala.Saat dia mendengar tentang rencana pertunangan sang Adik, dia bersikeras ingin membantu Nila untuk mempersiapkan semuanya. Meskipun baik Nila maupun keluarganya yang lain telah memberikan peringatan kepada Jingga, tetapi bukan Jingga namanya jika tidak keras kepala."Nanti dulu, Sayang. Masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan," tolak Jingga lembut."Sayang, kondisi kamu tidak memungkinkan. Coba lihat wajahmu sudah pucat bagaikan mayat," balas Angkasa sedikit kesal.Terkadang Angkasa benar-benar merasa Jingga terlalu keras kepala. Dia bahkan mengingat m