Kalian gila! Itu operasi bawah tanah yang berbahaya. -Peserta Konferensi, Pejabat Pemerintahan-
Kamu memiliki daya analisis tinggi dan ingatan yang tajam. Maksimalkan semua inderamu. Lihat, dengar, raba dan rasakan aura sekitarmu. Perhatikan dengan seksama. Itu penting untuk hidup kita selanjutnya, mungkin juga berguna bagi orang banyak. -The Director (Grissham Aaron)-
~○0○~
Sebuah ruangan semacam ball room luas menyambut kami. Ruangan ini sama sekali kontras dengan suasana mencekam dalam lorong yang terhubung ke sini. Tempat yang elegan dan futuristik, pendingin ruangan menyala dengan baik serta pencahayaan yang maksimal. Aroma vanilla bercampur wangi manis yang ringan sangat menenangkan syaraf, apalagi mengingat selapa bertahun-tahun yang kucium hanyalah bau alkohol gosok serta beberapa jenis obat-obatan lainnya.
Lantai keramik tanpa motif berwarna caramel yang mengkilap memantulkan bayangan langit-langit atap dengan plafon berundak yang ditengahnya dihias dengan lampu kristal modern yang glamour. Satu set sofa siku panjang berwarna green tea yang biasa ditaruh di ruang tamu menghiasi sudut barat. Di atas meja kaca bagian tengah dengan taplak berornamen itu terdapat bunga hidup yang tumbuh di sebuah vas mini. Dinding sebelah barat berlapis background vintage yang simpel dan manis. Lukisan dan pernak-pernik yang menghiasi dinding juga cukup eye catchy, hal aneh yang cukup menarik bagiku adalah ada mesin otomatis di tempat seperti ini. Ini aneh.
Kami berjalan lurus melalui beberapa ruangan, di ujung lorong kami berbelok dan masuk ke dalam satu-satunya ruangan yang ada di sana. Sebuah pintu dengan menggunakan sensor panas tubuh terbuka ketika Direktur berada sudah berada setengah meter dari pintu. Mereka semua ada di sini, mata dan telinga Direktur di seluruh lini pemerintahan Metanesia. Lalu untuk apa kita membuang-buang waktu di tempat ini. Pria tua ini, dasar! Aku tak mengerti jalan pikirannya yang kadang berbelit-belit.
“Kita tak akan pernah siap. Ini akan menjadi pembunuhan massal.” Salah satu menteri negeri Metanesia angkat bicara dengan raut memucat.
Sejak awal, mereka tak pernah menganggap virus ini sebuah ancaman lebih serius dari pada ancaman pergeseran kursi politik dari oposisi. Sudah puluhan kali tenaga ahli di bidangnya mengingatkan jajaran elit negeri Metanesia. Orang-orang ini, apakah merasa lebih hebat dari pada ahli virologi? Virus bukanlah sejenis makhluk yang mampu membaca kondisi ekonomi-politik sebuah negeri. Omong-omong, aku lebih suka menyebutnya prototype berprotein alih-alih sebuah makhluk.
Jadi sebenarnya, apa pun keputusan mereka bagiku tak ubah hanya sebuah lawakan yang hanya mengenyangkan ego segelintir orang. Kini, makan saja semua lawakan sosial-politik-ekonomi itu, mari ikuti permainan seleksi alam. Siapa yang tak mampu bertahan, akan menjadi tumbal. Lagipula, sejak awal virus ini menyebar dan berkembang Direktur sudah mengincar benda itu dan vaksinnya sebagai pohon uang selanjutnya yang akan terus berbuah.
“Tutup semua akses, isolasi yang sudah terpapar, karantina semua penduduk. Ini akan sedikit menekan ledakan yang mungkin terjadi.” Salah seorang petinggi Metanesia berkata tegas.
Aku tahu sosok itu, wajah itu jelas tidak asing, orang nomor satu di Kota Metropol, Ibukota negeri ini. Pusat pemerintahan Negeri Metanesia yang diprediksi pula menjadi pusat penyebaran pertama virus Scarlett, salah satu dari sekian banyak pejabat pemerintahan yang masih mampu berpikir jernih.
Tentu saja dia akan mengambil tindakan itu, jika aku menjadi gubernur di kota itu pun, akan kulakukan hal senada. Insting peneliti memberi alarm keras di kepala, bahwa setelah konferensi sinting ini, badai besar segera menghempas Ibukota, sedangkan insting pengintaiku mengatakan akan ada permainan menarik di balik wabah yang tengah tersebar. Bisa dipastikan pula bahwa kami -jajaran medis-, sudah tentu menjadi komoditi relawan siap mati. Ya, nyawa mereka akan digadaikan sebagai tumbal kapitalisme yang ironinya berkedok pengorbanan dan profeaionalisme. Orang-orang yang menjadi boneka kayu bagi sekumpulan manusia lain, bukankah hal yang lumrah dalam sistem kapitalisme.
“Kamu gila! Menutup semua akses? Kita akan habis. Tinggal menunggu hari untuk inflasi. Itu tak akan terjadi. Tidak bisa!” Tuan Gatta, salah satu pemilik perusahaan multinasional yang juga termasuk dalam jajaran pejabat elit pemerintahan di Negeri Metanesia.
Ini forum penting yang dihadiri oleh puluhan petinggi negeri Metanesia dan entah apa alasan pria tua berpenampilan parlente ini justru memintaku menjadi pendampingnya dalam konferensi kali ini. Mendengar mereka bicara berbuih-buih sungguh menjenuhkan, apa pun yang mereka katakan, semua tak lebih dari retorika tanpa dasar. Aku sudah akan menguap di menit-menit pertama mereka mulai berbicara, jika tidak mengingat reputasi diri dan Medica Center berada di atas pundakku, maka aku sudah tidur di setengah jam pertama konferensi lalu berlalu keluar di setengah jam berikutnya.
“Ini semua gak ada gunanya. Sebenarnya, ngapain kita diundang ke sini, sih? Jadi penonton parodi? Kita pulang, Direktur.” Setengah berbisik kuutarakan pendapat pada pria bertubuh atletis itu.
Panas rasanya telinga ini mendengar perdebatan mereka, bahkan tak seorang pun di ruangan ini yang terlihat hendak mempersilakanku untuk memberi penjelasan ilmiah atau sekedar didengar argumennya. Bukankah seharusnya urusanku hanya sebatas berada di balik mikroskop dan zat-zat kimia laboratorium saja. Ini sungguh di luar perjanjian, aku harus meminta imbal balik yang lebih banyak untuk waktu yang terbuang-buang di tempat ini.
Menjadikan -pria malang berwajah tampan- ini peneliti khusus berkedok dokter spesialis apakah belum cukup baginya? Sekarang, dia ingin aku belajar ilmu politik juga. Ya Tuhan, tolong ingatkan aku untuk meminta gelar nobel Einstein dicopot.
Direktur hanya tersenyum kecil mendengar keluhanku. Tatapannya masih tetap awas, sorot mata itu tajam dan tenang mengamati satu demi satu pembicara. Sesekali menyapukan pandang pada para peserta konferensi.
“Tutup mulutmu, Lang, dan perhatikan mereka. Kita di sini tidak untuk mengikuti konferensi atau mendengar bualan mereka. Kita datang untuk mengamati. Itulah alasan aku mengajakmu, bukan dia.” Pria berusia lebih dari setengah abad berwajah oriental itu membalas dengan berbisik pula.
Penglihatan dari mata tua itu masih selalu tajam dan siaga dengan tetap menjaga senyum di wajah, dia duduk dengan menyandarkan punggung, terlihat santai bahkan sesekali sengaja menutup kelopak matanya. Namun, Direktur selalu dikenal sebagai seseorang dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi, bahkan lalat yang terbang dua meter dari tubuhnya pun, tak luput dari penglihatannya.
Aku mendengus, “Apanya yang tutup mulut,” batinku, jika begini lebih baik tadi tidak usah ikut sekalian.
Libur satu hari dalam sebulan dan justru kuhabiskan di tempat ini, sudah dua jam lebih telinga ini mendengar bualan mereka. Padahal sudah sengaja bulan lalu tak ambil cuti demi bisa bersantai sejenak selama 2 hari di villa. Semua seharusnya berjalan sempurna, jatah libur di hari Kamis dan mengambil cuti tahunan hingga Senin tiba. Bahkan sejak awal bulan lalu, surat permohonan cuti itu tergeletak dengan manis di meja Direktur.
Perjalanan menuju villa di hari itu tak akan semacet pada akhir pekan, aku bisa mengemudi dengan santai, menghabiskan 3 malam di villa, lalu pulang tanpa perlu tergesa-gesa. Kha sudah mengatur segala hal, dia selalu detail mempersiapkan sesuatu dan aku lupa mengabari jadwal pembatalan yang mendadak ini. Padahal sudah sejak dua pekan lalu kuminta ia mempersiapkan segala keperluan di villa, termasuk untuk proyek yang sedang kukembangkan.
“Kamu memiliki daya analisis tinggi dan ingatan yang tajam. Maksimalkan semua inderamu. Lihat, dengar, raba dan rasakan aura sekitarmu. Perhatikan dengan seksama. Itu penting untuk hidup kita selanjutnya, mungkin juga berguna bagi orang banyak.” Sang direktur masih tetap menyandarkan punggung ke kursi, kini dengan memejamkan mata seolah ia tertidur.
Kepala ini sama sekali belum mencerna dengan baik maksud dari kalimat pria berusia lebih dari setengah abad penggandrung anagram itu. Namun, tubuh dan otak mencoba menuruti perintahnya, mencatat, merekam, dan megamati mereka satu demi satu. Mendengarkan setiap kalimat dengan seksama.
Hingga sampai pada satu sesi, instingku mulai menyadari ada hal menarik yang tersembunyi di dalam hingar-bingar ini. Permainan yang seru, kepada kalian kuucapkan ‘selamat datang di negeri Neo Metanesia’. Suatu negeri di atas bumi yang mulai resah sebab wabah yang tak tertangani.
“Elang, tajamkan instingmu. Temukan pola tersembunyi yang tercipta dari perdebatan ini. Cari dan manipulasi hal-hal vital yang mampu membangun kembali proyek itu. Kita di sini, bukan untuk siapa pun. Kita di sini demi sains dan masa depan yang layak.”
Tiba-tiba saja aku ingin bersantai di kebun belakang pondok teh samping villa. Pemandangan pucuk teh yang menghijau dengan latar pegunungan sungguh sangat memanjakan mata serta angin gunung yang dingin menyejukkan, jauh dari polusi dan residu. Membayangkan kabut yang turun di pagi hari, membuat paru-paru yang lama sesak karena menghidu udara busuk Ibukota meronta-ronta.
“Kamu janji akan kemari lagi ‘kan, Za? Kunjungi aku, kami di sini akan ... rindu.” Sinaps-sinaps dalam otakku melompati genangan memori itu memunculkan kembali wajah gadis kecil menyebalkan dan tempat usang yang selalu mengganggu tidurku.
Dia yang selalu memiliki tempat sembunyi paling sulit untuk ditemukan. Selalu saja, seperti hilang ditelan bumi. Gadis kecil manis yang cerdas. Za, kamu di mana sekarang?
Senyuman gadis cilik itu selalu mengingatkanku pada senja dan candik ayu yang semarak. Menari di atas pucuk-pucuk teh yang mulai bertunas. Wajah oval dengan pipi tembam dan hidung khas gadis asianya sungguh menggemaskan.
Mata itu seperti purnama di malam cerah. Berbinar-binar bak gemerlapnya gemintang di tengah malam, paripurna. Dia memiliki daya tarik fisik yang luar biasa -walau usianya masih terbilang muda-, selaras dengan ketulusan hatinya. Di mana pun kamu berada, Za, semoga selalu baik-baik saja. Tunggulah, tunggu aku menemukanmu.
Arggh ... Aku mengusap wajah dengan kasar berulang-ulang.
Fokus, Tirta, fokus! Kamu adalah sang Elang yang sedang mengintai mangsa, jangan lengah sedikit pun, tak boleh lemah, dan jangan biarkan hal sepele memanipulasi fokusmu. Masalah ini adalah bom waktu yang dapat membunuh kita semua.
Hanya perihal hitungan masa hingga batas limit terpenuhi lantas kita semua mati karenanya. Maka untuk menemukanmu Za, aku harus jinakkan bom waktu ini dulu. Tunggulah, sebentar saja.
“Kalian gila! Itu operasi bawah tanah yang berbahaya.” Salah seorang peserta konferensi dengan wajah pasi berdiri sembari berteriak gemetaran.
Operasi bawah tanah, kalimat itu mengingatkan akan sesuatu yang seolah terlupa dari daftar. Ah, tanpa sadar telapak tangan refleks menepuk dahi, ruang laboratorium bawah tanah! Bagaimana bisa aku melupakan itu. Semoga Kha mengerti akan tugasnya.
“Tidaaakk, Zaa ....” Seorang wanita paruh baya berbadan montok memengangiku kuat-kuat sambil terus berbicara sesuatu, aku tidak begitu memperhatikan perkataannya.“Althaf, tenang, Nak. Jangan seperti itu, ada kami di sini.” Seorang wanita lainnya datang memeluk dengan wajah sendu.“Bu, jangan biarkan mereka membawa Za. Aku mau Za kembali, aku sayang Za. Rumah Za di sini, bukan?” Aku masih terus berontak sambil menceracau tak karuan, dua wanita yang memegangiku tak kuasa menahan haru, akhirnya lolos juga air mata yang mereka coba bendung.Hari itu, siang hari mentari tidak seganas biasanya. Angin sepoi bertiup menenangkan, cicit burung bersahutan dari kebun belakang diiringi dengungan serangga dan kecipak air dari sungai yang mengenai bebatuan. Namun, sendunya hari itu sungguh menambah remuk hati yang telah pecah berkeping-keping. Membuatku selalu membenci kecipak air dan suara kesiur angin dari tempat ini, mungkin selamanya.
BAB V“Aku akan datang berkunjung, Al. Jangan sedih, kamu ndak marah ‘kan?” Seorang gadis cilik menghampiri lalu berjongkok di hadapanku sambil menggenggam erat jemari yang terkepal.Aku membiarkan air mata yang luruh melewati pipi lalu jatuh ke pangkuan tanpa berniat mengusapnya. Tubuh ini masih terduduk sambil mendekap lutut, bersandar di dinding sudut panti yang menghadap langsung menuju pereng. Jurang kecil yang di bawahnya mengalir sungai dangkal yang cukup deras dan banyak ekosistem ikan kecil hingga besar hidup di dalamnya. Semilir angin menggoyangkan rumpun bambu yang saling berhimpitan, batang mereka yang bergesekan menciptakan irama khas yang jika pada kesempatan lain, akan membuatku cukup merasa tenang. Namun tidak kali ini.Gadis bermata cokelat besar itu masih duduk di hadapan sambil terus menggenggam tanganku erat. Dia mencoba tersenyum dengan tingkah yang sengaja dimanis-maniskan untuk membuatku terkesan. Senyumnya rekah sempurna
Ikuti saja alurnya, melawan arus yang deras adalah kematian yang disengaja. -Sebening Tirta- ~○0○~Hanya butuh waktu lima belas menit bagi Kiowa untuk mencapai titik ordinat yang ditunjukkan Ganesha. Tempat itu ribuan mil jauhnya dari kamar di mana seseorang dikejutkan dari tidurnya setelah puluhan mimpi buruk yang merongrong setiap malam. Benar-benar berada di tengah lautan luas, jauh dari daratan, hanya buih air yang bergelombang di hamparan luas berwarna biru yang nampak tenang. Pilot kiowa mulai bingung, dia diseranta di pagi buta untuk mengendarai kiowa sekonyong-konyong menuju lautan paling luas di permukaan bumi yang bahkan pelaut paling handal sekalipun dapat tersesat jika terlantar sendirian tanpa radar dan kompas apalagi saat gemintang justru bersembunyi di balik mega-mega.Tak ada sesuatu di tempat ini kecuali riak gelombang datar dari
Mereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha- 25 April. “Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar. Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap. Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan terbentuk
“Ranu, hei Ranuu!” Suara yang amat lekat di telinga mengagetkanku, membabgunkan dari lamun panjang kala pandangan terpaku pada dua sosok gadis cilik yang sedang berlarian di taman depan rumah sakit dengan dua anak lain ditunggui oleh -mungkin pengasuhnya- yang memakai baju seperti seorang baby sitter. Dari koridor di sudut lantai tiga ini pemandangan halaman depan Medica Center sungguh mengesankan.Jiwaku telah kembali ke raga setelah melintasi lorong waktu menuju memori enam belas tahun silam. Aku menatap sekitar dengan seksama, mengusap wajah dengan tangan kanan lalu sejenak menundukkan pandangan. Kurang dari satu menit, aku mengangkat kepala sambil mendesah keras, seolah ada beban yang masih menyumbat di rongga dada dan tak hendak keluar. Kenangan itu, seperti mimpi buruk yang datang menghapiri tanpa mengenal waktu dan suasana, bahkan dalam lamun seperti tadi dia dengan seenaknya berjingkat lalu melonjak-lonjak di atas kepala membuat syaraf berdenyut-denyut nye
Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya
Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya
Koridor di tempat ini tidak terlihat terlalu lengang, beberapa staf berlalu-lalang membawa map-map besar atau sekadar membawa berkas presentasi. Kebanyakan dari mereka terlalu sibuk untuk memperhatikan hal kecil yang terjadi di sekitar mereka. Aku keluar dari ruangan besar itu dengan langkah ringan, berjalan dengan tegap sambil memasukkan jari ke dalam saku celana depan. Seolah di dalam sana tak pernah terjadi apa-apa. Mataku tajam mengawasi kiri dan kanan, memperhatikan detail setiap lorong dan pola kegiatan orang-orang yang berkutat di dalam tempat ini. Koridor ini panjangnya hampir lima ratus meter dengan puluhan pintu yang memiliki plakat nama dan departemen masing-masing. Setiap sepuluh meter terdapat bonsai atau pot bunga di sisi koridor.Ada dua toilet yang terpisah antara toilet laki-laki dan perempuan serta satu ruangan kecil dengan pintu keperakan, sepertinya gudang peralatan kebersihan. Toilet laki-laki ada di sebelah barat dua ratus meter dari ruanga
Di mana ini? Aku mengerjap-ngerjapkan mata berusaha menangkap pemandangan sekitar dengan lebih jelas. Ruangan apa ini? Ada begitu banyak kursi yang tertata melingkari sebuah meja oval panjang. Aku berusaha menggerakkan tubuh, tetapi begitu berat terasa. Bahu kananku masih terasa nyeri, bekas darah dan luka yang mengering tampak jelas pada polo shirt abu-abu yang kukenakan. Pergelangan tangan dan kaki juga terasa perih, seperti terkena gesekan permukaan yang kasar berkali-kali. Aku baru menyadari jika kaki dan tangan terikat kuat dengan tambang sintetis yang terhubung pada dua tiang pancang di sisi kiri dan kanan. Aku sekarang persis seperti serangga yang terjebak dalam rumah laba-laba. Sepasang tangan dan kaki terikat, tangan kananku terikat dengan sangat kuat dan ditarik pada puncak tiang pancang, sisa tali ikatannya diikatkan ke tiang sebelah kanan, begitu juga kaki kanan. Sisa tali ikatan ditarik menuju tiang pancang sebelah bawah dan disentak dengan kuat sehingga tali menegang.
Porsche ini masih meluncur deras ke bawah bersama dengan pecahan dinding tebing yang berupa bebatuan dan debu yang berhamburan menyatu dengan percik api sehingga menciptakan asap hitam pekat. Tubuhku terpelanting di dalam mobil, tak ada harapan lagi untuk menyalakan mesin aeroplane yang terpasang di mesin modifikasi ini. Aku menekan tombol pelontar setelah mengirim sinyal SOS melalui radar. Beruntung mesin pelontar itu tidak terhubung dengan mesin utama, sehingga masih mampu bekerja. Kap mobil mulai terbuka kemudian jok kemudi terpental keluar bersama tubuhku yang duduk bertalikan seat belt, sebuah parasut muncul lalu terkembang di atas kepala. Porsche tersebut masih terjun ke bawah, menghantam bebatuan hingga akhirnya meledak membumbungkan asap hitam tebal."Semoga Kha sempat mengunci area dari siyal SOS yang kukirimkan. Sial sekali hari ini." Aku meracau dalam hati merutuki kecerobohan diri sendiri yang terlalu meremehkan kemampuan lawan.Kepulan asap dan bunga api m
Porsche ini masih meluncur deras ke bawah bersama dengan pecahan dinding tebing yang berupa bebatuan dan debu yang berhamburan menyatu dengan percik api sehingga menciptakan asap hitam pekat. Tubuhku terpelanting di dalam mobil, tak ada harapan lagi untuk menyalakan mesin aeroplane yang terpasang di mesin modifikasi ini. Aku menekan tombol pelontar setelah mengirim sinyal SOS melalui radar. Beruntung mesin pelontar itu tidak terhubung dengan mesin utama, sehingga masih mampu bekerja. Kap mobil mulai terbuka kemudian jok kemudi terpental keluar bersama tubuhku yang duduk bertalikan seat belt, sebuah parasut muncul lalu terkembang di atas kepala. Porsche tersebut masih terjun ke bawah, menghantam bebatuan hingga akhirnya meledak membumbungkan asap hitam tebal.Kepulan asap dan bunga api memgepul ke angkasa, tetapi sama sekali tidak mengenaiku. Aku terlontar 60° menuju ke tenggara, aman dari jangkauan ledakan. Parasut mengembang dengan sempurna, angin membawaku lebih jauh me
BAB. IVMereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha-25 April.“Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar.Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap.Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan te
Koridor di tempat ini tidak terlihat terlalu lengang, beberapa staf berlalu-lalang membawa map-map besar atau sekadar membawa berkas presentasi. Kebanyakan dari mereka terlalu sibuk untuk memperhatikan hal kecil yang terjadi di sekitar mereka. Aku keluar dari ruangan besar itu dengan langkah ringan, berjalan dengan tegap sambil memasukkan jari ke dalam saku celana depan. Seolah di dalam sana tak pernah terjadi apa-apa. Mataku tajam mengawasi kiri dan kanan, memperhatikan detail setiap lorong dan pola kegiatan orang-orang yang berkutat di dalam tempat ini. Koridor ini panjangnya hampir lima ratus meter dengan puluhan pintu yang memiliki plakat nama dan departemen masing-masing. Setiap sepuluh meter terdapat bonsai atau pot bunga di sisi koridor.Ada dua toilet yang terpisah antara toilet laki-laki dan perempuan serta satu ruangan kecil dengan pintu keperakan, sepertinya gudang peralatan kebersihan. Toilet laki-laki ada di sebelah barat dua ratus meter dari ruanga
Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya
Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya
“Ranu, hei Ranuu!” Suara yang amat lekat di telinga mengagetkanku, membabgunkan dari lamun panjang kala pandangan terpaku pada dua sosok gadis cilik yang sedang berlarian di taman depan rumah sakit dengan dua anak lain ditunggui oleh -mungkin pengasuhnya- yang memakai baju seperti seorang baby sitter. Dari koridor di sudut lantai tiga ini pemandangan halaman depan Medica Center sungguh mengesankan.Jiwaku telah kembali ke raga setelah melintasi lorong waktu menuju memori enam belas tahun silam. Aku menatap sekitar dengan seksama, mengusap wajah dengan tangan kanan lalu sejenak menundukkan pandangan. Kurang dari satu menit, aku mengangkat kepala sambil mendesah keras, seolah ada beban yang masih menyumbat di rongga dada dan tak hendak keluar. Kenangan itu, seperti mimpi buruk yang datang menghapiri tanpa mengenal waktu dan suasana, bahkan dalam lamun seperti tadi dia dengan seenaknya berjingkat lalu melonjak-lonjak di atas kepala membuat syaraf berdenyut-denyut nye
Mereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha- 25 April. “Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar. Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap. Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan terbentuk