“Tidaaakk, Zaa ....” Seorang wanita paruh baya berbadan montok memengangiku kuat-kuat sambil terus berbicara sesuatu, aku tidak begitu memperhatikan perkataannya.
“Althaf, tenang, Nak. Jangan seperti itu, ada kami di sini.” Seorang wanita lainnya datang memeluk dengan wajah sendu.
“Bu, jangan biarkan mereka membawa Za. Aku mau Za kembali, aku sayang Za. Rumah Za di sini, bukan?” Aku masih terus berontak sambil menceracau tak karuan, dua wanita yang memegangiku tak kuasa menahan haru, akhirnya lolos juga air mata yang mereka coba bendung.
Hari itu, siang hari mentari tidak seganas biasanya. Angin sepoi bertiup menenangkan, cicit burung bersahutan dari kebun belakang diiringi dengungan serangga dan kecipak air dari sungai yang mengenai bebatuan. Namun, sendunya hari itu sungguh menambah remuk hati yang telah pecah berkeping-keping. Membuatku selalu membenci kecipak air dan suara kesiur angin dari tempat ini, mungkin selamanya.
“Jangan seperti itu, Al. Kamu sayang Za, kan? Kami pun sayang, biarkan Za. Dia akan aman bersama mereka, mereka akan melindungi da--.” Aku berteriak lantang tak terima, memotong perkataan wanita tua yag sejak tadi begitu sabar dan teguh membesarkan hati serta menenangkan bocah lelaki yang tak juga kunjung diam dari tantrumnya, aku.
“Aku pun bisa melindungi Za di sini. Bukankah kami semua saling melindungi, saling menyayangi dan berbagi banyak hal di tempat ini?”Aku berteriak, kencang sekali. Napasku memburu, dada naik turun dengan cepat seperti atlit sprint yang habis mati-matian mengejar lawan demi memenangkan perlombaan di menit-menit terakhir, tanganku terkepal sempurna dengan mata merah yang basah dan wajah penuh peluh.
Tempat ini seharusnya menjadi tempat paling indah untukku, untuk Za dan seluruh anak-anak yang menemukan dirinya terbuang dari klan, keluarga bahkan ditinggal sejak lahir dari rahim menuju dunia. Kami di sini saling menemukan, memaknai kata keluarga dengan bahasa paling sederhana, tertawa, sedih, bahagia bersama-sama. Saling menghibur saat susah dan tertawa bersama ketika kebahagiaan menyapa, membenci bersama dan mencintai banyak hal yang sama. Kami saling menjaga satu sama lain, bukan hanya fisik, tetapi juga menjaga hati.
“Apakah kami semua akan terpisah-pisah, Mbok? Kemarin Boris, dua hari lalu Niken dan Salman, lalu sekarang Za. Kenapa, bukankah Ibu dan Mbok pernah bilang kita adalah keluarga dan tak akan pernah terpisah?” Dian, berbicara patah-patah karena sesenggukan menahan tangis. Dia salah satu yang tertua, usia gadis itu dua tahun di atasku, walau sebenarnya kami tidak tahu persis usia mengenai itu. Ibu panti menemukan kami dalam keadaan yang berbeda-beda, sehingga usia merupakan konstanta yang tidak dapat dihitung dengan akurat di sini.
~○0○~
“Ranu, hei Ranuu!” Suara yang amat lekat di telinga mengagetkanku, membabgunkan dari lamun panjang kala pandangan terpaku pada dua sosok gadis cilik yang sedang berlarian di taman rumah sakit bersama satu bocah lelaki yang terlihat amat riang gembira.
Jiwaku telah kembali ke raga setelah melintasi lorong waktu menuju memori enam belas tahun silam. Aku menatap sekitar dengan seksama, mengusap wajah dengan tangan kanan lalu sejenak menundukkan pandangan. Kurang dari satu menit, aku mengangkat kepala sambil mendesah keras, seolah ada beban yang masih menyumbat di rongga dada dan tak hendak keluar. Kenangan itu, seperti mimpi buruk yang datang menghapiri tanpa mengenal waktu dan suasana, bahkan dalam lamun seperti tadi dia dengan seenaknya berjingkat lalu melonjak-lonjak di atas kepala membuat syaraf berdenyut-denyut nyeri. Tangan pun dengan reflek menyentuh kedua sisi kepala lalu menarik kasar rambut yang tumbuh di sana, nyeriku bukannya berkurang malah justru berpindah tempat.
Mentari siang ini begitu pemalu, berkali-kali bersembunyi di balik mega seolah tak ingin sinarnya menyentuh permukaan bumi. Seperti waktu itu, angin semilir menggoyangkan dedaunan lembut, menyapa anak rambut gadis-gadis cilik itu serta wanita di hadapanku yang masih setengah membungkuk merentangkan telapak tangan lalu menggoyangkan di depan wajahku. Mataku beradu pandang selama dua menit, menatap retina kecoklatan miliknya yang sendu seolah detik ingin kuhentikan di situ saja. Sejenak aku melupakan tempat dimana tubuh berpijak sekarang, tidak sadar diperhatikan beberapa pengunjung serta sesama petugas.
“Ka-kau ... baik saja, Ranu? Aku memanggilmu sejak tadi, tetapi kau diam saja. Makanya aku-- eh ....” Tanpa banyak bicara aku menarik lengan wanita itu agar ikut duduk di sampingku, menikmati sendunya siang ini. Bisa jadi dalam kesempatan lain aku akan lebih menikmati menatap kedalaman mata yang jernih itu berlama-lama, entah bagaimana mata itu selalu menenangkanku.
“Menurutmu, apa yang lebih mengerikan, kematian atau rasa takut yang dalam?” Aku kembali menatapnya, kini wajah kami benar-benar berhadapan. Entah bagaimana, dia menoleh bersamaan saat wajahku menghadap ke kiri. Jarak kami hanya selebar bahu, bersitatap selama kurang dari satu menit, hingga aku sadar wajah wanita itu memerah bukan karena terpaan sinar matahari. Aku memutar wajah 90° kembali menatap pelataran taman Medica Center yang lengang.
Wanita ini mengerjap-ngerjap memandangiku, bibirnya masih terkunci selama dua menit, mencerna setiap kata yang diterima telinga dan mencoba memahami arah pembicaraan ini. Aku hanya bertanya sesuatu yang spontan saja terlintas dalam benak, sesuatu yang mengganjal dan mungkin akan menjadi sandungan yang meruntuhkan dunia, rasa takut dan kematian. Keduanya sangat berkelindan.
“Kamu ini kenapa, Ranu. Ada masalah?” Wanita, memang seperti labirin rumit yang berliku-liku dengan jalur yang bercabang-cabang dan ribuan persimpangan yang memusingkan. Semakin kau masuk ke dalamnya, semakin sulit menemukan jalan keluar. Sama seperti makhluk di sampingku yang alih-alih menjawab pertanyaan justru membuat pertanyaan lain atas argumen pribadi yang dibuat dari kalimat tanyaku. Merepotkan saja.
“Jika ada seseorang bertanya, sebaiknya dijawab. Bukan malah melontar balik pertanyaan yang lain.” Danik terbengong sesaat dengan jawabanku, lalu tersenyum tipis.
Senyum itu menyiratkan sebuah makna, aku tahu dia wanita yang cerdas dan kuat. Setiap kata yang keluar dari bibir dan cara dia menghadapi masalah selalu membuatku terkesan. Wanita ini bertindak lebih hati-hati, bicara lebih sedikit dan berpikir lebih banyak. Sangat berbeda dari lazimnya wanita yang kutemui, mereka mudah terbawa perasaan dan mengikuti ego hingga bicara sekehendak hati tanpa memikirkan apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Dia tersenyum dengan menarik ujung bibir sebelah kanan sedikit ke atas. Sudut bibir yang lembut itu semakin meruncing lalu menebal di bagian tengah bibir dengan semburat warna merah muda yang natural. Gambaran sempurna untuk sebuah bibir yang sensual, dengan lesung yang mulai terbit di pipi bagian bawah. Tanpa sadar wajahku berjalan mendekat,---.
“Pertanyaanmu aneh, Ranu. Itu sebabnya.” Dia mengusapkan telapak tangannya dengan lembut ke wajahku yang hanya berjarak beberapa centi. Aroma blossom yang lembut menguar dari sana, dengan cepat wajah kami berpaling saling membelakangi.
“Tidak ada yang aneh dari pertanyaan itu, yang aneh justru orang yang membuat ribet hidupnya dengan membalas pertanyaan dengan pertanyaan lain. Oh, dan aku sekarang baik-baik saja.” Aku mengukir senyum termanis di wajah dengan sedikit kesan dramatis yang dibuat-buat.
Lima menit, waktu yang dibutuhkan Danik untuk mencerna seluruh kata-kataku lantas menjawabnya. Selama itu, aku memerhatikan setiap gerakan halus yang terjadi pada wajahnya. Dahi yang berkerut, kelopak mata yang menyipit entah karena sinar yang mulai kembali terik atau karena memikirkan sesuatu dengan keras. Perubahan mimik wajahnya selalu dinamis dan anggun, aku suka pergerakan setiap otot wajah Danik yang lembut dan seolah teratur itu. Pupil itu membesar lalu mengecil lagi ketika berbicara atau mengekspreaikan sesuatu, bibirnya yang merekah lalu membuat sebuah kerucut kecil yang lucu. Serta mata yang berkedip-kedip manja seirama dengan nada suara yang terkadang dibarengi dengan gerakan alis yang naik turun.
“Ya, baiklah Tuan Dokter. Di tempat ini, apa yang lebih menakutkan mereka semua selain bayang-bayang kematian? Bahkan beberapa dari mereka sampai mengalami trauma untuk kembali ke tempat ini.” Caranya menjawab, dengan tatapan tajam dan kalimat lugas tanpa dibuat-buat. Dia mengangkat dagu sedikit ke atas tanpa memberi kesan angkuh, itu membuatnya terlihat cerdas dan elegan.
Aku tersenyum tipis, hipotesa yang keliru. Sesuatu yang jauh di seberang sana membisikiku, bahwa Sang maut sebentar lagi akan menjadi kambing hitam atas rasa takut yang mencekik tidak hanya leher orang-orang, tetapi juga hati dan pikiran mereka. Mata mereka akan dibutakan oleh kabut kegelisahan, seluruh indera mereka tak berfungsi disumbat ketakutan. Hingga diam-diam rasa takut membunuh dengan kesakitan yang luar biasa keras lebih menyakitkan dari pada kematian yang dibawa oleh Sang maut. Lalu jiwa-jiwa mereka bergelimpangan hingga tubuh pun ikut membusuk.
“Kamu tahu, jika ada yang lebih cepat membunuh umat manusia, itu adalah rasa takut. Rasa takut yang besar yang menguasai jiwa dan pikiran mereka, maka kendalikan rasa takutmu jika dia datang nanti.” Aku beranjak dari bangku, melagkah menuju koridor utara meiggalka Danik dan pikirannya yang mungkin masih berusaha mencerna kalimatku.
BAB V“Aku akan datang berkunjung, Al. Jangan sedih, kamu ndak marah ‘kan?” Seorang gadis cilik menghampiri lalu berjongkok di hadapanku sambil menggenggam erat jemari yang terkepal.Aku membiarkan air mata yang luruh melewati pipi lalu jatuh ke pangkuan tanpa berniat mengusapnya. Tubuh ini masih terduduk sambil mendekap lutut, bersandar di dinding sudut panti yang menghadap langsung menuju pereng. Jurang kecil yang di bawahnya mengalir sungai dangkal yang cukup deras dan banyak ekosistem ikan kecil hingga besar hidup di dalamnya. Semilir angin menggoyangkan rumpun bambu yang saling berhimpitan, batang mereka yang bergesekan menciptakan irama khas yang jika pada kesempatan lain, akan membuatku cukup merasa tenang. Namun tidak kali ini.Gadis bermata cokelat besar itu masih duduk di hadapan sambil terus menggenggam tanganku erat. Dia mencoba tersenyum dengan tingkah yang sengaja dimanis-maniskan untuk membuatku terkesan. Senyumnya rekah sempurna
Ikuti saja alurnya, melawan arus yang deras adalah kematian yang disengaja. -Sebening Tirta- ~○0○~Hanya butuh waktu lima belas menit bagi Kiowa untuk mencapai titik ordinat yang ditunjukkan Ganesha. Tempat itu ribuan mil jauhnya dari kamar di mana seseorang dikejutkan dari tidurnya setelah puluhan mimpi buruk yang merongrong setiap malam. Benar-benar berada di tengah lautan luas, jauh dari daratan, hanya buih air yang bergelombang di hamparan luas berwarna biru yang nampak tenang. Pilot kiowa mulai bingung, dia diseranta di pagi buta untuk mengendarai kiowa sekonyong-konyong menuju lautan paling luas di permukaan bumi yang bahkan pelaut paling handal sekalipun dapat tersesat jika terlantar sendirian tanpa radar dan kompas apalagi saat gemintang justru bersembunyi di balik mega-mega.Tak ada sesuatu di tempat ini kecuali riak gelombang datar dari
Mereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha- 25 April. “Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar. Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap. Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan terbentuk
“Ranu, hei Ranuu!” Suara yang amat lekat di telinga mengagetkanku, membabgunkan dari lamun panjang kala pandangan terpaku pada dua sosok gadis cilik yang sedang berlarian di taman depan rumah sakit dengan dua anak lain ditunggui oleh -mungkin pengasuhnya- yang memakai baju seperti seorang baby sitter. Dari koridor di sudut lantai tiga ini pemandangan halaman depan Medica Center sungguh mengesankan.Jiwaku telah kembali ke raga setelah melintasi lorong waktu menuju memori enam belas tahun silam. Aku menatap sekitar dengan seksama, mengusap wajah dengan tangan kanan lalu sejenak menundukkan pandangan. Kurang dari satu menit, aku mengangkat kepala sambil mendesah keras, seolah ada beban yang masih menyumbat di rongga dada dan tak hendak keluar. Kenangan itu, seperti mimpi buruk yang datang menghapiri tanpa mengenal waktu dan suasana, bahkan dalam lamun seperti tadi dia dengan seenaknya berjingkat lalu melonjak-lonjak di atas kepala membuat syaraf berdenyut-denyut nye
Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya
Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya
Koridor di tempat ini tidak terlihat terlalu lengang, beberapa staf berlalu-lalang membawa map-map besar atau sekadar membawa berkas presentasi. Kebanyakan dari mereka terlalu sibuk untuk memperhatikan hal kecil yang terjadi di sekitar mereka. Aku keluar dari ruangan besar itu dengan langkah ringan, berjalan dengan tegap sambil memasukkan jari ke dalam saku celana depan. Seolah di dalam sana tak pernah terjadi apa-apa. Mataku tajam mengawasi kiri dan kanan, memperhatikan detail setiap lorong dan pola kegiatan orang-orang yang berkutat di dalam tempat ini. Koridor ini panjangnya hampir lima ratus meter dengan puluhan pintu yang memiliki plakat nama dan departemen masing-masing. Setiap sepuluh meter terdapat bonsai atau pot bunga di sisi koridor.Ada dua toilet yang terpisah antara toilet laki-laki dan perempuan serta satu ruangan kecil dengan pintu keperakan, sepertinya gudang peralatan kebersihan. Toilet laki-laki ada di sebelah barat dua ratus meter dari ruanga
BAB. IVMereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha-25 April.“Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar.Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap.Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan te
Di mana ini? Aku mengerjap-ngerjapkan mata berusaha menangkap pemandangan sekitar dengan lebih jelas. Ruangan apa ini? Ada begitu banyak kursi yang tertata melingkari sebuah meja oval panjang. Aku berusaha menggerakkan tubuh, tetapi begitu berat terasa. Bahu kananku masih terasa nyeri, bekas darah dan luka yang mengering tampak jelas pada polo shirt abu-abu yang kukenakan. Pergelangan tangan dan kaki juga terasa perih, seperti terkena gesekan permukaan yang kasar berkali-kali. Aku baru menyadari jika kaki dan tangan terikat kuat dengan tambang sintetis yang terhubung pada dua tiang pancang di sisi kiri dan kanan. Aku sekarang persis seperti serangga yang terjebak dalam rumah laba-laba. Sepasang tangan dan kaki terikat, tangan kananku terikat dengan sangat kuat dan ditarik pada puncak tiang pancang, sisa tali ikatannya diikatkan ke tiang sebelah kanan, begitu juga kaki kanan. Sisa tali ikatan ditarik menuju tiang pancang sebelah bawah dan disentak dengan kuat sehingga tali menegang.
Porsche ini masih meluncur deras ke bawah bersama dengan pecahan dinding tebing yang berupa bebatuan dan debu yang berhamburan menyatu dengan percik api sehingga menciptakan asap hitam pekat. Tubuhku terpelanting di dalam mobil, tak ada harapan lagi untuk menyalakan mesin aeroplane yang terpasang di mesin modifikasi ini. Aku menekan tombol pelontar setelah mengirim sinyal SOS melalui radar. Beruntung mesin pelontar itu tidak terhubung dengan mesin utama, sehingga masih mampu bekerja. Kap mobil mulai terbuka kemudian jok kemudi terpental keluar bersama tubuhku yang duduk bertalikan seat belt, sebuah parasut muncul lalu terkembang di atas kepala. Porsche tersebut masih terjun ke bawah, menghantam bebatuan hingga akhirnya meledak membumbungkan asap hitam tebal."Semoga Kha sempat mengunci area dari siyal SOS yang kukirimkan. Sial sekali hari ini." Aku meracau dalam hati merutuki kecerobohan diri sendiri yang terlalu meremehkan kemampuan lawan.Kepulan asap dan bunga api m
Porsche ini masih meluncur deras ke bawah bersama dengan pecahan dinding tebing yang berupa bebatuan dan debu yang berhamburan menyatu dengan percik api sehingga menciptakan asap hitam pekat. Tubuhku terpelanting di dalam mobil, tak ada harapan lagi untuk menyalakan mesin aeroplane yang terpasang di mesin modifikasi ini. Aku menekan tombol pelontar setelah mengirim sinyal SOS melalui radar. Beruntung mesin pelontar itu tidak terhubung dengan mesin utama, sehingga masih mampu bekerja. Kap mobil mulai terbuka kemudian jok kemudi terpental keluar bersama tubuhku yang duduk bertalikan seat belt, sebuah parasut muncul lalu terkembang di atas kepala. Porsche tersebut masih terjun ke bawah, menghantam bebatuan hingga akhirnya meledak membumbungkan asap hitam tebal.Kepulan asap dan bunga api memgepul ke angkasa, tetapi sama sekali tidak mengenaiku. Aku terlontar 60° menuju ke tenggara, aman dari jangkauan ledakan. Parasut mengembang dengan sempurna, angin membawaku lebih jauh me
BAB. IVMereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha-25 April.“Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar.Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap.Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan te
Koridor di tempat ini tidak terlihat terlalu lengang, beberapa staf berlalu-lalang membawa map-map besar atau sekadar membawa berkas presentasi. Kebanyakan dari mereka terlalu sibuk untuk memperhatikan hal kecil yang terjadi di sekitar mereka. Aku keluar dari ruangan besar itu dengan langkah ringan, berjalan dengan tegap sambil memasukkan jari ke dalam saku celana depan. Seolah di dalam sana tak pernah terjadi apa-apa. Mataku tajam mengawasi kiri dan kanan, memperhatikan detail setiap lorong dan pola kegiatan orang-orang yang berkutat di dalam tempat ini. Koridor ini panjangnya hampir lima ratus meter dengan puluhan pintu yang memiliki plakat nama dan departemen masing-masing. Setiap sepuluh meter terdapat bonsai atau pot bunga di sisi koridor.Ada dua toilet yang terpisah antara toilet laki-laki dan perempuan serta satu ruangan kecil dengan pintu keperakan, sepertinya gudang peralatan kebersihan. Toilet laki-laki ada di sebelah barat dua ratus meter dari ruanga
Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya
Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya
“Ranu, hei Ranuu!” Suara yang amat lekat di telinga mengagetkanku, membabgunkan dari lamun panjang kala pandangan terpaku pada dua sosok gadis cilik yang sedang berlarian di taman depan rumah sakit dengan dua anak lain ditunggui oleh -mungkin pengasuhnya- yang memakai baju seperti seorang baby sitter. Dari koridor di sudut lantai tiga ini pemandangan halaman depan Medica Center sungguh mengesankan.Jiwaku telah kembali ke raga setelah melintasi lorong waktu menuju memori enam belas tahun silam. Aku menatap sekitar dengan seksama, mengusap wajah dengan tangan kanan lalu sejenak menundukkan pandangan. Kurang dari satu menit, aku mengangkat kepala sambil mendesah keras, seolah ada beban yang masih menyumbat di rongga dada dan tak hendak keluar. Kenangan itu, seperti mimpi buruk yang datang menghapiri tanpa mengenal waktu dan suasana, bahkan dalam lamun seperti tadi dia dengan seenaknya berjingkat lalu melonjak-lonjak di atas kepala membuat syaraf berdenyut-denyut nye
Mereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha- 25 April. “Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar. Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap. Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan terbentuk