BAB V
“Aku akan datang berkunjung, Al. Jangan sedih, kamu ndak marah ‘kan?” Seorang gadis cilik menghampiri lalu berjongkok di hadapanku sambil menggenggam erat jemari yang terkepal.
Aku membiarkan air mata yang luruh melewati pipi lalu jatuh ke pangkuan tanpa berniat mengusapnya. Tubuh ini masih terduduk sambil mendekap lutut, bersandar di dinding sudut panti yang menghadap langsung menuju pereng. Jurang kecil yang di bawahnya mengalir sungai dangkal yang cukup deras dan banyak ekosistem ikan kecil hingga besar hidup di dalamnya. Semilir angin menggoyangkan rumpun bambu yang saling berhimpitan, batang mereka yang bergesekan menciptakan irama khas yang jika pada kesempatan lain, akan membuatku cukup merasa tenang. Namun tidak kali ini.
Gadis bermata cokelat besar itu masih duduk di hadapan sambil terus menggenggam tanganku erat. Dia mencoba tersenyum dengan tingkah yang sengaja dimanis-maniskan untuk membuatku terkesan. Senyumnya rekah sempurna menimbulkan efek chubby di tulang pipi yang naik. Beberapa kali dia menggoyangkan bahuku agar aku mau bicara beberapa patah kata, tetapi bibir ini tetap bungkam. Pertahanan gadis cilik itu mulai goyah ketika melihatku tetap geming tanpa kata, tatapanku menerawang jauh ke angkasa, tempat yang tanpa batas. Satu per satu air itu lolos dari tanggul, melewati pelupuk lalu deras mengalir dari tulang hidung sampai dagu. Wajahnya seketika basah dengan mata yang sembab.
“Kau jangan salahkan aku, Al. Ini juga bukan mauku. Aku akan mengunjungimu sesering mungkin, berjanjilah kau akan mencariku dan mengajakku keliling dunia seperti katamu saat itu.” Gadis itu tergugu sambil mengguncang-guncang bahuku, bahunya pun turut berguncang seirama sengguk yang terdengar menyakitkan.
“Tentu saja aku akan mencarimu. Kau suka atau tidak, aku tetap akan mencarimu sampai ketemu. Jaga diri baik-baik dan tak perlu terlalu sering mengunjungiku. Sebenarnya aku tak suka dikunjungi, toh kau cuma akan pergi lagi. Datanglah hanya kalau kau berniat untuk tinggal.” Aku berdiri tegak, pandanganku terhujam ke bawah, kepada seorang gadis kecil yang masih sesenggukan pilu tanpa mampu mengangkat dagunya lagi.
Mungkin kalimatku terdengar sangat melukai hati. Namun kalimat itulah yang tersimpan dalam hatiku, aku tak suka perpisahan dan rasa sakit yang ditinggalkan berulang-ulang membentur-bentur jiwaku tanpa ampun. Kedatangan Za sebagai kunjungan ke panti hanya akan membuat rasa sakit akan kehilangan itu kembali terulang, lagi dan lagi. Aku bisa gila karena semua rasa sakit itu, kehilangan satu lagi orang yang amat berarti bahkan yang paling berarti dalam hidup yang mungkin selama hidup ini hanya Za satu-satunya anugerah dari Tuhan untukku.
***
Aku mengguyur kepala dengan air dingin melalui shower. Selama tiga menit aku berdiri terdiam di bawah guyuran air dingin yang menusuk-nusuk pori-pori kulit. Proyektor kecil menyebalkan dalam kepala ini selalu kurang ajar, menampilkan gambar-gambar masa lalu tanpa ijin terlebih dahulu. Celakanya lagi, gambar yang dipilih oleh proyektor kecil nakal itu adalah ilustrasi dari memori yang menyakitkan.
Hawa dingin yang menyengat menerobos melalui pori-pori, tubuh sedikit menggigil, tanganku meraih handuk yang tersampir di ujung kamar mandi. Aku berjalan duduk di samping ranjang, jam digital di atas nakas menunjukkan waktu baru pukul 3 pagi. Bukan kali pertama aku terbangun dini hari karena mimpi buruk. Sesuatu yang meskipun aku ingin, tetapi tetap tak mampu mengontrolnya. Mimpi selalu datang semaunya dengan sajian sesuka hati, aku hanya dapat menyaksikan sambil gemetar seluruh badan atau tersenyum senang.
Gawai di atas nakas berdering pelan, itu panggilan dari nomor khusus, hanya orang-orang tertentu dan pasti dalam keadaan mendesak saja yang menghubungi lewat jaringan khusus itu. Aku menyambar cepat, memperhatikan nomor yang tertera di layar ponsel. Ada yang aneh dengan panggilan ini, nomor ini terproteksi dan terenkripsi secara rahasia? Lagipula, ini juga bukan nomor ponsel, mungkin sejenis alat komunikasi khusus yang sudah terekripsi. Bukan sekali ini memang aku memdapat panggilan terprivasi, tetapi siapa yang menelepon sepagi ini dan untuk urusan apa? Pria itu tak mungkin menelepon di pagi buta seperti ini. Jika sangat penting, dia justru sudah berada di dalam kamarku beberapa menit lalu.
“Lang, akhirnya kau amgkat juga. Dengarkan aku, ini tentang Rowan---.” Seseorang di seberang sana jelas sangat tergesa-gesa dan terkesan bersembunyi dari sesuatu dari cara bicara dan napas menggebu yang jelas terdengar di ponsel.
“Sha, itu elu? Gue tau di Rowan masih sore, but it is 3.00 am here, you know?” Entah apa yang membuatnya begitu terburu-buru dan mendesak, tetapi ini pukul 3 pagi.
Ganesha, dia salah satu asset Direktur yang sangat berharga. Terlebih kiprahnya di Rowan memberi banyak keuntungan bagi Middle East. Lelaki berkulit sawo matang dengan IQ 230 itu tumbuh bersamaku di bawah naungan cakar-cakar mafia kelas kakap semenjak berusia 12 tahun. Dulu, dia adalah rival yang paling kucemburui karena kemampuan otaknya yang cemerlang, tetapi semenjak kejadian di Kawah Amerta yang menunjukkan kekurang cakapannya memimpin pasukan, aku tetap menjadi anak emas bagi Direktur.
“Dengarkan aku dulu! Mereka sedang menciptakan iblis molekular di sini, Lang. Aku gak mau ikut kegilaan mereka. Bantu aku pergi dari sini secepatnya, aku butuh tumpangan ke Adler--.” Belum selesai kalimat Ganesha, aku segera memotongnya. Apa-apaan dia minta kendaraan cepat dan mau tinggal di Adler tanpa ijinku terlebih dahulu.
“Heh! Lu seenaknya aja minta ke Adler. Lu pikir Adler hotel bintang lima, hah? Setelah apa yang lu katakan soal Adler, jangan harap lu bisa injakin kaki di sana!”
“Lang, ini serius. Aku butuh tumpangan segera!” Napas Ganesha masih memburu, nada suaranya terdengar cemas. Ada apa di Rowan?
“Lu di mana? Gue kirim kendaraan buat jemput lu, ke apartemen gue,” kataku dengan nada serius yang datar.
Setelah Ganesha memberi tahu koordinat yang tepat tempat keberadaannya, aku justru memgerutkan dahi. Tempat yang tidak biasa bagi Rowan untuk melakukan pertunjukan atau mungkinkah ini semua hanyalah pertunjukan dari Ganesha saja?
“Sha, lu di tengah samudera paling besar di bumi ini?” Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
“Lang, kamu mau bantu aku atau nggak? Memangnya kamu gak pernah tahu invisible bunker, hah?” Ganesha menggerutu tak tentu arah. Tentu saja aku tahu, maksudku proyek apa yang mereka lakukan kali ini sampai harus berada jauh dari daratan dan tak terjamah peradaban.
“Aku kirim jetcar segera,” kataku datar.
Jetcar adalah kendaraan mutakhir dari teknisi khusus Adler. Jika kau bertanya apa itu Adler, kau akan segera mengetahui di beberapa bab berikutnya. Singkatnya, jetcar adalah mobil yang dimodifikasi dengan peralatan khusus, mesin turbo yang membuatnya mampu menempuh jarak ratusan kilometer hanya dalam waktu kurang dari satu jam. Ya, hampir seperti jet. Mesin turbo jet yang dilengkapi kemampuan terbang di ketinggian tertentu dengan suara mesin yang berdesing halus dan tentu saja interior dalam yang super nyaman. Kau tak akan sadar jika sedang terbang atau berjalan di atas 300km/jam di dalam sana.
“Jangan. Aku butuh helikopter invisible atau pesawat tempur pengintai semacamnya dengan persenjataan lengkap. Sesuatu yang bisa terbang rendah tanpa terlihat dangan alat apa pun. Kau punya kiowa, kan? Sekarang jawaban Ganesha membuatku makin heran. Dia minta pesawat pengintai?
Kendaraan yang dia sebut sebagai kiowa itu adalah helikopter invisible, maksudnya bukan secara harfiah tak terlihat. Namun, helikopter tersebut mempunyai teknologi yang membuat dia tak bisa terdeteksi oleh radar manapun. Kiowa memiliki suara mesin baling-baling yang halus, nyaris tak terdengar. Tubuh kiowa juga dilengkapi senjata laser canggih serta sistem pegacau jaringan elektronik termasuk segala alat komunikasi. Jika alat tersebut diaktifkan dari tempat kiowa berdiri hingga sejauh 100 mill di sekitarnya seluruh alat elektronik dan komunikasi apa pun yang memanfaatkan jaringan internet akan mati, tak dapat digunakan lagi.
“Lu mau perang ato apa, sih?” Aku mencoba protes, tetapi justru dijawab dengan ceracau marah dari Ganesha yang terdengar mendesak. Akhirnya aku mengalah, “Okey, you get it. Tapi kiowa hanya turun di Middle Castle, lu bisa pakai jetcar ke apartemen dari sana.”
Mengirimi kiowa dan mendaratkannya di markas pusat Middle East adalah sesuatu yang mungkin kusesali di beberapa waktu ke depan. Terlepas apa pun masalah Ganesha saat itu, tetapi sesuatu itu membuat dia justru berubah haluan dan bertambah membahayakan ketika sampai di Middle East. Yah, aku sedang tak mampu berpikir dengan baik setelah serangan mimpi buruk beberapa malam yang selalu merusak tidurku. Telepon mendadak Ganesha sungguh tidak biasa.
Ikuti saja alurnya, melawan arus yang deras adalah kematian yang disengaja. -Sebening Tirta- ~○0○~Hanya butuh waktu lima belas menit bagi Kiowa untuk mencapai titik ordinat yang ditunjukkan Ganesha. Tempat itu ribuan mil jauhnya dari kamar di mana seseorang dikejutkan dari tidurnya setelah puluhan mimpi buruk yang merongrong setiap malam. Benar-benar berada di tengah lautan luas, jauh dari daratan, hanya buih air yang bergelombang di hamparan luas berwarna biru yang nampak tenang. Pilot kiowa mulai bingung, dia diseranta di pagi buta untuk mengendarai kiowa sekonyong-konyong menuju lautan paling luas di permukaan bumi yang bahkan pelaut paling handal sekalipun dapat tersesat jika terlantar sendirian tanpa radar dan kompas apalagi saat gemintang justru bersembunyi di balik mega-mega.Tak ada sesuatu di tempat ini kecuali riak gelombang datar dari
Mereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha- 25 April. “Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar. Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap. Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan terbentuk
“Ranu, hei Ranuu!” Suara yang amat lekat di telinga mengagetkanku, membabgunkan dari lamun panjang kala pandangan terpaku pada dua sosok gadis cilik yang sedang berlarian di taman depan rumah sakit dengan dua anak lain ditunggui oleh -mungkin pengasuhnya- yang memakai baju seperti seorang baby sitter. Dari koridor di sudut lantai tiga ini pemandangan halaman depan Medica Center sungguh mengesankan.Jiwaku telah kembali ke raga setelah melintasi lorong waktu menuju memori enam belas tahun silam. Aku menatap sekitar dengan seksama, mengusap wajah dengan tangan kanan lalu sejenak menundukkan pandangan. Kurang dari satu menit, aku mengangkat kepala sambil mendesah keras, seolah ada beban yang masih menyumbat di rongga dada dan tak hendak keluar. Kenangan itu, seperti mimpi buruk yang datang menghapiri tanpa mengenal waktu dan suasana, bahkan dalam lamun seperti tadi dia dengan seenaknya berjingkat lalu melonjak-lonjak di atas kepala membuat syaraf berdenyut-denyut nye
Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya
Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya
Koridor di tempat ini tidak terlihat terlalu lengang, beberapa staf berlalu-lalang membawa map-map besar atau sekadar membawa berkas presentasi. Kebanyakan dari mereka terlalu sibuk untuk memperhatikan hal kecil yang terjadi di sekitar mereka. Aku keluar dari ruangan besar itu dengan langkah ringan, berjalan dengan tegap sambil memasukkan jari ke dalam saku celana depan. Seolah di dalam sana tak pernah terjadi apa-apa. Mataku tajam mengawasi kiri dan kanan, memperhatikan detail setiap lorong dan pola kegiatan orang-orang yang berkutat di dalam tempat ini. Koridor ini panjangnya hampir lima ratus meter dengan puluhan pintu yang memiliki plakat nama dan departemen masing-masing. Setiap sepuluh meter terdapat bonsai atau pot bunga di sisi koridor.Ada dua toilet yang terpisah antara toilet laki-laki dan perempuan serta satu ruangan kecil dengan pintu keperakan, sepertinya gudang peralatan kebersihan. Toilet laki-laki ada di sebelah barat dua ratus meter dari ruanga
BAB. IVMereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha-25 April.“Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar.Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap.Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan te
Porsche ini masih meluncur deras ke bawah bersama dengan pecahan dinding tebing yang berupa bebatuan dan debu yang berhamburan menyatu dengan percik api sehingga menciptakan asap hitam pekat. Tubuhku terpelanting di dalam mobil, tak ada harapan lagi untuk menyalakan mesin aeroplane yang terpasang di mesin modifikasi ini. Aku menekan tombol pelontar setelah mengirim sinyal SOS melalui radar. Beruntung mesin pelontar itu tidak terhubung dengan mesin utama, sehingga masih mampu bekerja. Kap mobil mulai terbuka kemudian jok kemudi terpental keluar bersama tubuhku yang duduk bertalikan seat belt, sebuah parasut muncul lalu terkembang di atas kepala. Porsche tersebut masih terjun ke bawah, menghantam bebatuan hingga akhirnya meledak membumbungkan asap hitam tebal.Kepulan asap dan bunga api memgepul ke angkasa, tetapi sama sekali tidak mengenaiku. Aku terlontar 60° menuju ke tenggara, aman dari jangkauan ledakan. Parasut mengembang dengan sempurna, angin membawaku lebih jauh me
Di mana ini? Aku mengerjap-ngerjapkan mata berusaha menangkap pemandangan sekitar dengan lebih jelas. Ruangan apa ini? Ada begitu banyak kursi yang tertata melingkari sebuah meja oval panjang. Aku berusaha menggerakkan tubuh, tetapi begitu berat terasa. Bahu kananku masih terasa nyeri, bekas darah dan luka yang mengering tampak jelas pada polo shirt abu-abu yang kukenakan. Pergelangan tangan dan kaki juga terasa perih, seperti terkena gesekan permukaan yang kasar berkali-kali. Aku baru menyadari jika kaki dan tangan terikat kuat dengan tambang sintetis yang terhubung pada dua tiang pancang di sisi kiri dan kanan. Aku sekarang persis seperti serangga yang terjebak dalam rumah laba-laba. Sepasang tangan dan kaki terikat, tangan kananku terikat dengan sangat kuat dan ditarik pada puncak tiang pancang, sisa tali ikatannya diikatkan ke tiang sebelah kanan, begitu juga kaki kanan. Sisa tali ikatan ditarik menuju tiang pancang sebelah bawah dan disentak dengan kuat sehingga tali menegang.
Porsche ini masih meluncur deras ke bawah bersama dengan pecahan dinding tebing yang berupa bebatuan dan debu yang berhamburan menyatu dengan percik api sehingga menciptakan asap hitam pekat. Tubuhku terpelanting di dalam mobil, tak ada harapan lagi untuk menyalakan mesin aeroplane yang terpasang di mesin modifikasi ini. Aku menekan tombol pelontar setelah mengirim sinyal SOS melalui radar. Beruntung mesin pelontar itu tidak terhubung dengan mesin utama, sehingga masih mampu bekerja. Kap mobil mulai terbuka kemudian jok kemudi terpental keluar bersama tubuhku yang duduk bertalikan seat belt, sebuah parasut muncul lalu terkembang di atas kepala. Porsche tersebut masih terjun ke bawah, menghantam bebatuan hingga akhirnya meledak membumbungkan asap hitam tebal."Semoga Kha sempat mengunci area dari siyal SOS yang kukirimkan. Sial sekali hari ini." Aku meracau dalam hati merutuki kecerobohan diri sendiri yang terlalu meremehkan kemampuan lawan.Kepulan asap dan bunga api m
Porsche ini masih meluncur deras ke bawah bersama dengan pecahan dinding tebing yang berupa bebatuan dan debu yang berhamburan menyatu dengan percik api sehingga menciptakan asap hitam pekat. Tubuhku terpelanting di dalam mobil, tak ada harapan lagi untuk menyalakan mesin aeroplane yang terpasang di mesin modifikasi ini. Aku menekan tombol pelontar setelah mengirim sinyal SOS melalui radar. Beruntung mesin pelontar itu tidak terhubung dengan mesin utama, sehingga masih mampu bekerja. Kap mobil mulai terbuka kemudian jok kemudi terpental keluar bersama tubuhku yang duduk bertalikan seat belt, sebuah parasut muncul lalu terkembang di atas kepala. Porsche tersebut masih terjun ke bawah, menghantam bebatuan hingga akhirnya meledak membumbungkan asap hitam tebal.Kepulan asap dan bunga api memgepul ke angkasa, tetapi sama sekali tidak mengenaiku. Aku terlontar 60° menuju ke tenggara, aman dari jangkauan ledakan. Parasut mengembang dengan sempurna, angin membawaku lebih jauh me
BAB. IVMereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha-25 April.“Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar.Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap.Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan te
Koridor di tempat ini tidak terlihat terlalu lengang, beberapa staf berlalu-lalang membawa map-map besar atau sekadar membawa berkas presentasi. Kebanyakan dari mereka terlalu sibuk untuk memperhatikan hal kecil yang terjadi di sekitar mereka. Aku keluar dari ruangan besar itu dengan langkah ringan, berjalan dengan tegap sambil memasukkan jari ke dalam saku celana depan. Seolah di dalam sana tak pernah terjadi apa-apa. Mataku tajam mengawasi kiri dan kanan, memperhatikan detail setiap lorong dan pola kegiatan orang-orang yang berkutat di dalam tempat ini. Koridor ini panjangnya hampir lima ratus meter dengan puluhan pintu yang memiliki plakat nama dan departemen masing-masing. Setiap sepuluh meter terdapat bonsai atau pot bunga di sisi koridor.Ada dua toilet yang terpisah antara toilet laki-laki dan perempuan serta satu ruangan kecil dengan pintu keperakan, sepertinya gudang peralatan kebersihan. Toilet laki-laki ada di sebelah barat dua ratus meter dari ruanga
Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya
Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya
“Ranu, hei Ranuu!” Suara yang amat lekat di telinga mengagetkanku, membabgunkan dari lamun panjang kala pandangan terpaku pada dua sosok gadis cilik yang sedang berlarian di taman depan rumah sakit dengan dua anak lain ditunggui oleh -mungkin pengasuhnya- yang memakai baju seperti seorang baby sitter. Dari koridor di sudut lantai tiga ini pemandangan halaman depan Medica Center sungguh mengesankan.Jiwaku telah kembali ke raga setelah melintasi lorong waktu menuju memori enam belas tahun silam. Aku menatap sekitar dengan seksama, mengusap wajah dengan tangan kanan lalu sejenak menundukkan pandangan. Kurang dari satu menit, aku mengangkat kepala sambil mendesah keras, seolah ada beban yang masih menyumbat di rongga dada dan tak hendak keluar. Kenangan itu, seperti mimpi buruk yang datang menghapiri tanpa mengenal waktu dan suasana, bahkan dalam lamun seperti tadi dia dengan seenaknya berjingkat lalu melonjak-lonjak di atas kepala membuat syaraf berdenyut-denyut nye
Mereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha- 25 April. “Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar. Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap. Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan terbentuk