Share

Sebening Tirta
Sebening Tirta
Author: Vie Muthiyya

Horrendoma

Author: Vie Muthiyya
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Jika saja nyawa mampu dibeli dari Tuhan, maka akan kubeli untuk kalian. Namun tidak, nyawa adalah sebuah pinjaman yang bisa diambil kapan pun sang pemberi pinjaman ingin mengambilnya. -RanuTirta-

                               ~○0○~

“Di mana ventilator? Kita butuh ventilator lagi, segera!” Seseorang dengan jubah serba putih berteriak kepada siapa saja yang mendengar di ruangan itu sembari terus berjalan. Sebenarnya, sedikit berlari.

Di tempat ini, semua orang berjalan dengan kesibukan dan pikiran mereka masing-masing. Beberapa terlihat serius dan gelisah yang lain seolah membawa beban sebesar gunung dalam pundaknya.

Beberapa orang nampak lalu lalang di sekitar koridor mengenakan setelan katun berwarna hijau mint atau biru muda. Tangan mereka nampak sibuk membawa berkas-berkas atau cairan-cairan berbau aneh yang diletakkan di dalam tabung yang juga aneh. Beberapa orang keluar dari ruangan dengan kepala mereka terbungkus sesuatu berbahan seperti plastik penutup rambut saat mandi, tangan mereka terbungkus sarung dari karet, sebuah benda berujung bulat berbahan logam yang mengkilap tergantung di leher sedangkan wajah mereka tertutup masker dari tengah hidung hingga bawah dagu.

"Pasien horrendoma di UGD III, tolong bawakan ini ke sana, sekarang. Aku harus mengambil sesuatu." Seseorang dengan jas putih terbuka hingga batas lutut itu berbicara kepada salah satu rekannya.

Rumah, beberapa bahkan lebih banyak orang akan mengubah air mukanya mendengar kata tersebut. Tempat kembali paling nyaman di mana rindu-rindu memeram temu. Huma, di mana setiap luka selalu menemukan penawar. Jika dunia adalah sebuah zigot, maka rumah ialah rahim, di mana sebuah kehidupan mulai bertumbuh.

“Korban KLL di IGD mengalami fraktur parah di beberapa bagian, tetapi belum ada satu pun keluarganya yang muncul. Bagaimana ini, IGD kita semakin sesak?” Seseorang dengan seragam putih bersih, lengkap dengan segala atribut yang melekat berbicara dengan napas sedikit memburu, tetapi intonasinya tetap terkontrol.

“Dokter, pasien ruang kepler status dramaticus lagi.” Seorang perawat jaga yang baru saja keluar dari ruang perawatan VIP mengeluh ketika berpapasan di lorong denganku.

“Panggilkan Danik, dia akan dengan mudah mengatasinya. Lagipula, untuk apa kau ke sana? Itu bukan tugasmu, status dramaticus adalah spesialisasinya. Di mana nyonya muda itu sekarang?” Aku menjawab keluhannya tanpa menoleh sama sekali, bahkan masih terus melangkah.

“Sepertinya aku baru saja mendengar namaku disebut.” Wanita itu tiba-tiba saja muncul dari lorong samping dengan menjinjing banyak berkas di tangan kanan. Aku hanya memutar bola mata, melirik sebentar sambil melempar senyum nakal, lalu melanjutkan langkah. Nampak sekali kelelahan yang menggelayuti wajah yang tak pernah alpa dari ulasan senyum di bibir manisnya yang sensual. Melihatku yang tak banyak memberi reaksi, perawat berpostur mungil itu memasang muka masam sambil berlalu membawa berkas-berkas di tangannya.

Tempat itu sesungguhnya jauh dari kata menyeramkan, bangunan empat lantai yang megah dengan lahan parkir luas, di bagian depan, taman bunga warna-warni menyambut siapa pun yang singgah dengan senyum cerah. Suara gemericik air mancur dan kolam ikan mini di tengah taman sungguh menenangkan hati. Pohon-pohon buah yang rimbun, beberapa tempat duduk berkanopi dan jalan setapak berkerikil kecil, sungguh manis sekali.

“Di mana Damar?” Tanpa sedikit pun mengurangi laju langkah, kulontarkan balik sebuah pertanyaan pada Martha yang masih menunggu pendapatku mengenai korban KKL yang kuyakin masih terbengkalai.

Ketenangan itu seharusnya bertambah sejuk dengan keberadaan musholla kecil di sebelah barat daya taman. Tempat ibadah mungil berdinding hijau yang menyejukkan hati, bagian dalam musholla pun sama tenangnya dengan bangunan luar. Ruangan sebesar 6x5 meter itu memiliki ornamen kaligrafi unik di bagian dalam.

Pendingin ruangan yang tak pernah padam ditambah aroma terapi yang memanjakan. Rak buku mini di sudut timur laut penuh dengan kitab-kitab dan buku motivasi keagamaan. Tertata rapi berderet-deret sesuai dengan ukuran, terlihat seperti tangga dari buku berwarna-warni. Jika kau bertanya bagian dalam bangunan tersebut, tak jauh berbeda dengan bagian luar yang mewah. Bangunan empat lantai berdinding putih-hijau di bagian luar itu ternyata nampak lebih mengagumkan lagi bagian dalamnya.

Aroma khas yang menusuk penciuman langsung menyambut di lobi depan, ruang tunggu yang nyaman dengan puluhan tempat duduk yang empuk dan AC full dua puluh empat jam. Resepsionisnya ramah dan murah senyum, jangan lupakan tentang cantik, ya, walau standar untuk itu relatif bagi setiap orang.

“Di UGD II, Dok. Arthrodesis.” Langkah kakiku perlahan melambat, wanita berpakaian setelan kemeja biru muda dan celana panjang dengan warna senada yang sejak tadi kesulitan menyejajari langkah nampak gugup saat tubuhku berbalik, menatapnya.

“Flooby? Suruh dia tangani pasien itu, arthrodesis bisa dilakukan tanpanya.”

“Tapi keluarga pasien belum--." Kulayangkan tatapan tajam menusuk sebelum ia menuntaskan kalimatnya. Wanita ini, sulit sekali dikasih tahu.

“Bilang sama Damar kalau dokter Ranu Tirta yang suruh. Managemen tempat ini saya yang atur, jadi masalah administrasi pasien itu, biar saya bereskan.” Wanita berwajah langsat dengan riasan yang mulai acak-acakan dan wajah berminyak ini cepat mengangguk dan berlalu.

Wanita itu memutar tubuhnya dan berjalan dengan langkah panjang yang cepat. Aku masih melanjutkan langkah, kali ini dengan sedikit santai menuju tikungan depan. Koridor di tempat ini lebih dominan nuansa putih yang menenangkan, walaupun faktanya mendengar kata Medica Center saja bisa membuat seseorang dengan tingkat traumatis berat akan pengobatan dan terapi bergidik ngeri hingga mual-mual.

“Jadi, Dokter. Bisa kau terangkan apa maksud perkataanmu tadi? Aku, spesialis status dramaticus? Hei, kau mau aku cepat keriput, ha?” Wanita itu telah kembali dari lorong yang berlawanan entah sejak kapan. Lalu tiba-tiba saja dia sudah menyejajari langkahku, kini di tangannya tak ada lagi tumpukan berkas yang tertinggal hanyalah wajah kesalnya dengan bibir manyun yang menggemaskan. Aku hanya memandang dengan senyum geli untuk sekedar menggangunya.

“Kembalilah ke tugasmu, kita sibuk hari hari ini,” ujarku padanya sambil menahan tawa. Aku sedang tak bisa banyak bercanda dengan wanita itu, tempat ini selalu membutuhkan lebih banyak perhatian dariku.

Wanita 155 cm dengan tubuh yang tak bisa dibilang kurus walau tidak juga dapat dikatakan berisi itu memutar bola mata sambil melirikku sejenak. Tak berapa lama dia memacu langkah menjauh dariku, berbelok di koridor depan untuk melanjutkan tugasnya.

Setelah melewati lobi depan, aura ketenangan pun berpindah menjadi kegelisahan. Setiap orang berjalan hilir mudik dengan jubah putih atau setelan biru muda lengkap dengan tudung dan masker. Orang-orang resah menunggu di sepanjang koridor, duduk atau berdiri gugup, beberapa menunggu di depan ruangan berlampu merah menyala seraya menutup wajah, menyeka peluh berkali-kali, menangkupkan tangan, menengadah merapal doa bahkan menangis sesenggukan yang lain terlihat tersenyum bahagia, menguatkan satu sama lain atau hanya berpura-pura tersenyum saja. Entahlah, tak seorang pun dapat membaca hati, pun tak ada alat enkripsi yang mampu menafsirkannya untukku.

“Dokter Tirta!” Teriakan lantang dari koridor utara tempatku beranjak dari pembicaraan dengan perawat tadi, memaksa tubuh berbalik arah menuju sumber suara.

“Pak Bagas, jadwal menunggu lagi?” Aku mengenal lelaki itu, sudah beberapa hari ini menunggu keluarganya yang sedang dalam perawatan.

“Ibu sudah diijinkan pulang hari ini, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan dokter selama ini. Saya tidak tahu bagaimana jadinya jika tidak bertemu dokter.” Seulas senyum terbit dengan cerah di wajah tanpa dapat kukekang.

“Jangan pada saya, berterima kasihlah pada Tuhan yang memberi ibu Pak Bagas kesempatan sembuh. Saya hanyalah perantara, jaga beliau dengan baik. Maaf saya permisi, ada beberapa hal yang harus saya tangani.” Sekali lagi masih dengan senyum penuh kesopanan kutinggalkan lelaki paruh baya tadi sambil mengangguk sopan.

‘Tuhan, apakah tadi lidah ini kesleo menyebut nama Tuhan?’ Batinku tergelak. Bagaimana kau memberi nasehat sebijak itu bahkan saat kau sendiri masih mempertanyakan keberadaan Tuhan dalam laju takdir yang akan semakin kupertanyakan kehadiran-Nya pada satu pekan kemudian hingga hari-hari panjang selanjutnya.

Mengapa? Mungkin bisa dimulai dari menceritakan pemandangan di sini yang sudah mirip scene film alien. Makhluk-makhluk berpakaian serba keperakan, tertutup dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bahkan beberapa memakai masker aneh di wajah yang membuat mereka seolah terlihat memiliki belalai. Setiap hari seperti itu tanpa pernah dilepas.

Mungkin dunia yang mulai menua, membuat tubuh bumi kian renta. Imunitas yang makin terkikis oleh residu mesin-mesin berteknologi tinggi, keserakahan manusia yang tak terbendung dan evolusi rekayasa genetika membabi buta.

Apakah kita yang tak pernah mempersiapkan diri atau alam yang murka sedang menyiapkan sistem seleksi? Sepertinya bahkan para pramuka pun telah lupa pada bunyi dasadharma yang kedua. Tak ada cinta tersisa yang terlibat dalam interaksi bersama bumi ini, kurasa.

"Ranu, bukankah kau seharusnya di ruang operasi?" Hanya satu orang yang memanggilku dengan nama itu. Aku menoleh, menatap perawat yang tadi terlihat manyun karena kelakar tentang status dramaticus di koridor selatan.

"Kau tahu, mengapa rasa sakit lebih ditakuti dari pada ketakutan itu sendiri?" Aku memandang lekat ke dalam wajahnya, ada gurat kebingungan yang terlihat jelas di sana.

                                ~○0○~

“Tolong, dia milikku satu-satunya,--.” Seseorang berbicara kepadaku dengan berkaca-kaca. Di sudut utara tak jauh darinya, seorang gadis belia digeladak dalam kereta dorong. Kondisinya buruk, napasnya terlihat sesak dan tersengal-sengal, bibirnya memucat dan wajah itu nampak sayu sedang matanya memerah sama dengan sekujur tubuh yang kulitnya penuh dengan bintik kecil merah dan ruam di sekitar lipatan kulit. Keadaannya benar-benar horrible.

Mereka mendorongnya dengan tergesa, berkata memerintah satu sama lain dengan kalimat pendek dan tegas. Air muka mereka tegang penuh keseriusan, lenyap sudah bersit senyuman, lindap semua tawa dan canda. Wanita paruh baya itu mulai menangis saat digiring menuju satu ruangan khusus, tentu dia harus diperiksa juga, kemungkinan untuk terpapar sangat besar. Sungguh pemandangan yang ironi, jika saja nyawa mampu dibeli dari Tuhan, maka akan kubeli untuk kalian. Namun tidak, nyawa adalah sebuah pinjaman yang bisa diambil kapan pun sang pemberi pinjaman ingin mengambilnya.

“Dokter, kita kekurangan tabung oksigen.” Seorang perawat dengan kostum keperakan layaknya seorang astronot hendak menuju kripton berkata dengan nada putus asa.

Hatiku tertawa kecut, bercandakah itu? Sayangnya tidak, kita masih hidup di bumi dan belum pindah ke Orion. Namun, untuk bernapas beberapa dari kita membutuhkan tabung berisi oksigen yang berharga fantastis. Padahal Tuhan telah memberi kita dengan harga gratis.

Di taman depan pokok-pokok mangifera dan hibiscus masih tegak berdiri, daunnya merimbun dan berbuah lebat. Mereka adalah pabrik oksigen paling besar di muka bumi. Kokoh nan gagah menopang daun pada setiap dahan dan ranting, di setiap sudut taman serta area lain. Setiap tujuh meter, satu pohon yang lebat ditanam.

“Stok gudang?” tanyaku padanya.

Pemuda dua puluh lima tahun itu diam sejenak, terlihat ragu-ragu hendak berucap. Aku tak bisa melihat wajah atau sorot mata yang kuyakini sudah sangat kelelahan itu. Helm astronot itu menyembunyikan wajah mereka, lelaki atau perempuan kini tak bisa dibedakan lagi, kecuali ia angkat suara.

“Bahkan di gudang darurat. Stok khusus juga habis.” Kini napasnya terdengar berat. Seberat beban yang tertanggung di pundak.

Kutukan Tuhan atau semacam lelucon apa lagi sekuel takdir kali ini? Apa pun itu, selalu butuh sesuatu atau seseorang untuk membalik takdir buruk yang sebentar lagi menimpa lebih banyak umat manusia. Keningku mengernyit spontan, habis?

Aku telah menyimpan berton-ton tabung oksigen di ruang penyimpanan khusus untuk hal-hal tak terduga. Wabah macam ini bukanlah sesuatu yang tersebar secara tidak disengaja.

Ayolah, saat ini teknologi semakin mutakhir. Bahkan jumlah daun yang jatuh setiap tahun di musim gugur pun dapat diperkirakan perhitungannya dengan berbagai cara. Pandemi, bukanlah rumor yang tiba-tiba datang, melainkan wacana yang sudah dibicarakan bahkan sejak beberapa dekade sebelumnya. Bukankah Einstein pernah berkata bahwa semua hal dapat dihitung, walaupun tidak semua yang dapat dihitung telah diperhitungkan.

Related chapters

  • Sebening Tirta    Lorong Rahasia di Roof Top

    Kita ini tumbal hidup. -Dokter Tirta- Tak ada rahasia yang tak mampu kuselidiki, tak ada celah yang alpa dari pandangan mata, tak ada kode yang tak dapat terenkripsi. -Sang Elang- ~○0○~ Ini semua seharusnya tidak perlu terjadi. Jika saja di konferensi terkutuk tiga hari lalu itu Direktur membeberkan semua yang ia tahu tentang keadaan yang pasti terjadi. Lelaki misterius itu tahu banyak mengenai berbagai hal. Rahasia paling dalam, paling kelam yang dimiliki oleh dunia. Tiba-tiba seisi ruangan ini seolah berada dalam tabung raksasa yang dilemparkan memutar ke udara, tubuhku sedetik merasakan seperti berada di ruang hampa udara. Kaki mencoba untuk tetap kokoh berpijak ke lantai, tangan refleks mencari sesuatu sebagai pegangan, perawat lelaki tadi, dengan sigap memegangiku.

  • Sebening Tirta    Konferensi Bawah Tanah

    Kalian gila! Itu operasi bawah tanah yang berbahaya. -Peserta Konferensi, Pejabat Pemerintahan- Kamu memiliki daya analisis tinggi dan ingatan yang tajam. Maksimalkan semua inderamu. Lihat, dengar, raba dan rasakan aura sekitarmu. Perhatikan dengan seksama. Itu penting untuk hidup kita selanjutnya, mungkin juga berguna bagi orang banyak. -The Director (Grissham Aaron)- ~○0○~ Sebuah ruangan semacam ball room luas menyambut kami. Ruangan ini sama sekali kontras dengan suasana mencekam dalam lorong yang terhubung ke sini. Tempat yang elegan dan futuristik, pendingin ruangan menyala dengan baik serta pencahayaan yang maksimal. Aroma vanilla bercampur wangi manis yang ringan sangat menenangkan syaraf, apalagi mengingat selapa bertahun-tahun yang kucium hanyalah bau alkohol gosok serta beberapa jenis obat-obatan lainnya. Lantai keramik tanpa

  • Sebening Tirta    Kenangan Masa Lalu

    “Tidaaakk, Zaa ....” Seorang wanita paruh baya berbadan montok memengangiku kuat-kuat sambil terus berbicara sesuatu, aku tidak begitu memperhatikan perkataannya.“Althaf, tenang, Nak. Jangan seperti itu, ada kami di sini.” Seorang wanita lainnya datang memeluk dengan wajah sendu.“Bu, jangan biarkan mereka membawa Za. Aku mau Za kembali, aku sayang Za. Rumah Za di sini, bukan?” Aku masih terus berontak sambil menceracau tak karuan, dua wanita yang memegangiku tak kuasa menahan haru, akhirnya lolos juga air mata yang mereka coba bendung.Hari itu, siang hari mentari tidak seganas biasanya. Angin sepoi bertiup menenangkan, cicit burung bersahutan dari kebun belakang diiringi dengungan serangga dan kecipak air dari sungai yang mengenai bebatuan. Namun, sendunya hari itu sungguh menambah remuk hati yang telah pecah berkeping-keping. Membuatku selalu membenci kecipak air dan suara kesiur angin dari tempat ini, mungkin selamanya.

  • Sebening Tirta    Iblis Molekular

    BAB V“Aku akan datang berkunjung, Al. Jangan sedih, kamu ndak marah ‘kan?” Seorang gadis cilik menghampiri lalu berjongkok di hadapanku sambil menggenggam erat jemari yang terkepal.Aku membiarkan air mata yang luruh melewati pipi lalu jatuh ke pangkuan tanpa berniat mengusapnya. Tubuh ini masih terduduk sambil mendekap lutut, bersandar di dinding sudut panti yang menghadap langsung menuju pereng. Jurang kecil yang di bawahnya mengalir sungai dangkal yang cukup deras dan banyak ekosistem ikan kecil hingga besar hidup di dalamnya. Semilir angin menggoyangkan rumpun bambu yang saling berhimpitan, batang mereka yang bergesekan menciptakan irama khas yang jika pada kesempatan lain, akan membuatku cukup merasa tenang. Namun tidak kali ini.Gadis bermata cokelat besar itu masih duduk di hadapan sambil terus menggenggam tanganku erat. Dia mencoba tersenyum dengan tingkah yang sengaja dimanis-maniskan untuk membuatku terkesan. Senyumnya rekah sempurna

  • Sebening Tirta    Mimpi Buruk

    Ikuti saja alurnya, melawan arus yang deras adalah kematian yang disengaja. -Sebening Tirta- ~○0○~Hanya butuh waktu lima belas menit bagi Kiowa untuk mencapai titik ordinat yang ditunjukkan Ganesha. Tempat itu ribuan mil jauhnya dari kamar di mana seseorang dikejutkan dari tidurnya setelah puluhan mimpi buruk yang merongrong setiap malam. Benar-benar berada di tengah lautan luas, jauh dari daratan, hanya buih air yang bergelombang di hamparan luas berwarna biru yang nampak tenang. Pilot kiowa mulai bingung, dia diseranta di pagi buta untuk mengendarai kiowa sekonyong-konyong menuju lautan paling luas di permukaan bumi yang bahkan pelaut paling handal sekalipun dapat tersesat jika terlantar sendirian tanpa radar dan kompas apalagi saat gemintang justru bersembunyi di balik mega-mega.Tak ada sesuatu di tempat ini kecuali riak gelombang datar dari

  • Sebening Tirta    Iblis Molekular 2

    Mereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha- 25 April. “Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar. Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap. Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan terbentuk

  • Sebening Tirta    Kissing

    “Ranu, hei Ranuu!” Suara yang amat lekat di telinga mengagetkanku, membabgunkan dari lamun panjang kala pandangan terpaku pada dua sosok gadis cilik yang sedang berlarian di taman depan rumah sakit dengan dua anak lain ditunggui oleh -mungkin pengasuhnya- yang memakai baju seperti seorang baby sitter. Dari koridor di sudut lantai tiga ini pemandangan halaman depan Medica Center sungguh mengesankan.Jiwaku telah kembali ke raga setelah melintasi lorong waktu menuju memori enam belas tahun silam. Aku menatap sekitar dengan seksama, mengusap wajah dengan tangan kanan lalu sejenak menundukkan pandangan. Kurang dari satu menit, aku mengangkat kepala sambil mendesah keras, seolah ada beban yang masih menyumbat di rongga dada dan tak hendak keluar. Kenangan itu, seperti mimpi buruk yang datang menghapiri tanpa mengenal waktu dan suasana, bahkan dalam lamun seperti tadi dia dengan seenaknya berjingkat lalu melonjak-lonjak di atas kepala membuat syaraf berdenyut-denyut nye

  • Sebening Tirta    Ancaman Middle East

    Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya

Latest chapter

  • Sebening Tirta    Penyekapan

    Di mana ini? Aku mengerjap-ngerjapkan mata berusaha menangkap pemandangan sekitar dengan lebih jelas. Ruangan apa ini? Ada begitu banyak kursi yang tertata melingkari sebuah meja oval panjang. Aku berusaha menggerakkan tubuh, tetapi begitu berat terasa. Bahu kananku masih terasa nyeri, bekas darah dan luka yang mengering tampak jelas pada polo shirt abu-abu yang kukenakan. Pergelangan tangan dan kaki juga terasa perih, seperti terkena gesekan permukaan yang kasar berkali-kali. Aku baru menyadari jika kaki dan tangan terikat kuat dengan tambang sintetis yang terhubung pada dua tiang pancang di sisi kiri dan kanan. Aku sekarang persis seperti serangga yang terjebak dalam rumah laba-laba. Sepasang tangan dan kaki terikat, tangan kananku terikat dengan sangat kuat dan ditarik pada puncak tiang pancang, sisa tali ikatannya diikatkan ke tiang sebelah kanan, begitu juga kaki kanan. Sisa tali ikatan ditarik menuju tiang pancang sebelah bawah dan disentak dengan kuat sehingga tali menegang.

  • Sebening Tirta    Hevea Brasiliensis

    Porsche ini masih meluncur deras ke bawah bersama dengan pecahan dinding tebing yang berupa bebatuan dan debu yang berhamburan menyatu dengan percik api sehingga menciptakan asap hitam pekat. Tubuhku terpelanting di dalam mobil, tak ada harapan lagi untuk menyalakan mesin aeroplane yang terpasang di mesin modifikasi ini. Aku menekan tombol pelontar setelah mengirim sinyal SOS melalui radar. Beruntung mesin pelontar itu tidak terhubung dengan mesin utama, sehingga masih mampu bekerja. Kap mobil mulai terbuka kemudian jok kemudi terpental keluar bersama tubuhku yang duduk bertalikan seat belt, sebuah parasut muncul lalu terkembang di atas kepala. Porsche tersebut masih terjun ke bawah, menghantam bebatuan hingga akhirnya meledak membumbungkan asap hitam tebal."Semoga Kha sempat mengunci area dari siyal SOS yang kukirimkan. Sial sekali hari ini." Aku meracau dalam hati merutuki kecerobohan diri sendiri yang terlalu meremehkan kemampuan lawan.Kepulan asap dan bunga api m

  • Sebening Tirta    Pengejaran

    Porsche ini masih meluncur deras ke bawah bersama dengan pecahan dinding tebing yang berupa bebatuan dan debu yang berhamburan menyatu dengan percik api sehingga menciptakan asap hitam pekat. Tubuhku terpelanting di dalam mobil, tak ada harapan lagi untuk menyalakan mesin aeroplane yang terpasang di mesin modifikasi ini. Aku menekan tombol pelontar setelah mengirim sinyal SOS melalui radar. Beruntung mesin pelontar itu tidak terhubung dengan mesin utama, sehingga masih mampu bekerja. Kap mobil mulai terbuka kemudian jok kemudi terpental keluar bersama tubuhku yang duduk bertalikan seat belt, sebuah parasut muncul lalu terkembang di atas kepala. Porsche tersebut masih terjun ke bawah, menghantam bebatuan hingga akhirnya meledak membumbungkan asap hitam tebal.Kepulan asap dan bunga api memgepul ke angkasa, tetapi sama sekali tidak mengenaiku. Aku terlontar 60° menuju ke tenggara, aman dari jangkauan ledakan. Parasut mengembang dengan sempurna, angin membawaku lebih jauh me

  • Sebening Tirta    Ganesha

    BAB. IVMereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha-25 April.“Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar.Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap.Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan te

  • Sebening Tirta    Sang Pengintai Beraksi

    Koridor di tempat ini tidak terlihat terlalu lengang, beberapa staf berlalu-lalang membawa map-map besar atau sekadar membawa berkas presentasi. Kebanyakan dari mereka terlalu sibuk untuk memperhatikan hal kecil yang terjadi di sekitar mereka. Aku keluar dari ruangan besar itu dengan langkah ringan, berjalan dengan tegap sambil memasukkan jari ke dalam saku celana depan. Seolah di dalam sana tak pernah terjadi apa-apa. Mataku tajam mengawasi kiri dan kanan, memperhatikan detail setiap lorong dan pola kegiatan orang-orang yang berkutat di dalam tempat ini. Koridor ini panjangnya hampir lima ratus meter dengan puluhan pintu yang memiliki plakat nama dan departemen masing-masing. Setiap sepuluh meter terdapat bonsai atau pot bunga di sisi koridor.Ada dua toilet yang terpisah antara toilet laki-laki dan perempuan serta satu ruangan kecil dengan pintu keperakan, sepertinya gudang peralatan kebersihan. Toilet laki-laki ada di sebelah barat dua ratus meter dari ruanga

  • Sebening Tirta    Ancaman Middle East

    Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya

  • Sebening Tirta    Ancaman Middle East

    Ruangan ini sebenarnya nampak sangat nyaman, sebuah meja kerja besar berada tepat di tengah ruangan dengan kursi portabel dengan dudukan halus yang terbuat dari beludru import. Latar di belakang sebuah dinding dari kaca tranparan searah bertirai gorden dari sutera import berwarna salem tinggi yang telah tersibak menampilkan pemandangan kota dengan gedung pencakar langit dan jalan layang yang melitas saling silang di sana-sini, gagang penyangganya berlapis perak dengan batu kecil yang tersebar berkilauan. Menara kenamaan iconic kota itu terlihat jelas menjulang dengan angkuhnya. Sebuah pendingin ruangan diatur dengan suhu 18°C menyala di atas dinding kaca besar tersebut. Sudut dinding sebelah selatan terdapat sofa kecil dengan meja berukir yang dihiasi dengan pot bunga hidroponik. Di atasnya sebuah jam dinding yang antik terus berdetak tanpa henti dengan suara lembut yang khas.Pada meja utama tergeletak sebuah komputer portabel lipat berukuran standar, di sampingnya

  • Sebening Tirta    Kissing

    “Ranu, hei Ranuu!” Suara yang amat lekat di telinga mengagetkanku, membabgunkan dari lamun panjang kala pandangan terpaku pada dua sosok gadis cilik yang sedang berlarian di taman depan rumah sakit dengan dua anak lain ditunggui oleh -mungkin pengasuhnya- yang memakai baju seperti seorang baby sitter. Dari koridor di sudut lantai tiga ini pemandangan halaman depan Medica Center sungguh mengesankan.Jiwaku telah kembali ke raga setelah melintasi lorong waktu menuju memori enam belas tahun silam. Aku menatap sekitar dengan seksama, mengusap wajah dengan tangan kanan lalu sejenak menundukkan pandangan. Kurang dari satu menit, aku mengangkat kepala sambil mendesah keras, seolah ada beban yang masih menyumbat di rongga dada dan tak hendak keluar. Kenangan itu, seperti mimpi buruk yang datang menghapiri tanpa mengenal waktu dan suasana, bahkan dalam lamun seperti tadi dia dengan seenaknya berjingkat lalu melonjak-lonjak di atas kepala membuat syaraf berdenyut-denyut nye

  • Sebening Tirta    Iblis Molekular 2

    Mereka gila, Lang. Kita sedang menciptakan iblis molekular di tempat ini. Hanya demi para kapitalis itu. -Ganesha- 25 April. “Kita tak perlu panik dengan rumor wabah virus Scarlett yang belum pasti kebenarannya itu. Memangnya kalian sendiri sudah menyaksikan seberapa ganas virus tersebut?”Pria itu nampak begitu percaya diri berbicara. Dengan berusaha menampilkan segenap kewibawaan, ia benar-benar membuat pendengar awam percaya begitu saja hanya dalam sekali dengar. Lelaki itu, dia memang memiliki kharisma tinggi dan public speaking yang baik. Bahasa yang sederhana, intonasi yang terkontrol, gestur tubuh yang tegap dan meyakinkan, sorot mata yang tajam dan bicaranya yang mantap. Tambahkan saja dengan segudang prestasi akademik yang ia raih, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri serta akses penting yang ia miliki di setiap lini pemerintahan, lengkap sudah kesempurnaan strata sosial dan image pengetahuan terbentuk

DMCA.com Protection Status