Maura meremas sisi pakaiannya. Pikirannya kosong dalam beberapa detik. Detik kemudian jantungnya berdegup lebih kencang, sehingga membuat darahnya berdesir panas dingin.
"De-Dewangga." Maura mendorong tubuh pria itu sehingga ciuman mereka terlepas, namun sedetik kemudian pria itu memperdalam lagi ciumannya hingga membuat Maura kehabisan napasnya. "Sudah." Pria itu melepaskan Maura, kemudian menatapnya dengan lekat sambil tersenyum tipis. "Cokelat panasnya enak sekali, Maura. Boleh minta lagi?" Mata Maura mengerjap beberapa kali, masih dalam pelukannya. Tubuhnya sedikit gemetar dan hampir ambruk andai dia tak berpegangan pada tangan Dewangga yang berada di sekitar tubuhnya. "Kamu gila?!" tanya Maura sambil melepaskan diri dari rengkuhan pria itu. Dewangga tersenyum menatap Maura sambil menopang dagunya di atas meja bar. "Kamu mabuk. Sebaiknya segera tidur," gerutu Maura dengan wajah merah padam. "Yang benar yang mana? Aku gila atau mabuk?" tanya Dewangga dengan tawa kecil. Maura menghela napasnya panjang, sedikit menetralisir dan menenangkan jantungnya yang berdetak gila. "Aku nggak tahu," ujar wanita itu sambil beranjak pergi meninggalkan pria itu di dapur. Wanita itu segera beranjak menaiki tangga menuju kamarnya—tak habis pikir. "Aneh. Benar-benar aneh," ujarnya perlahan dan hampir terjatuh, terantuk di anak tangga gara-gara pergi terburu-buru di saat tubuhnya masih gemetaran. Siang tadi, Dewangga seperti enggan bertemu dengannya di kantor ketika dia mengantarkan bekal makanan seolah-olah dia datang untuk mengganggu. Saat di rumah, pria itu berwajah datar dan muram sebelum kembali ke kantornya. Dan sekarang, pria itu tersenyum setelah menciumnya? Maura mengunci diri di kamarnya dan segera bersembunyi dalam selimut. "Pasti besok pagi wajahnya datar lagi." *** Maura meletakkan dagunya di meja bar restoran sambil menghela napasnya entah yang keberapa kali. Kejadian kemarin malam terus saja terbayang, padahal dia ingin melupakan dan menganggapnya tak pernah terjadi. Bagaimana kalau nanti mereka bertemu? Apa akan menjadi canggung? Pagi tadi Maura berangkat ke restoran lebih pagi dari biasanya karena tak ingin bertemu dengan Dewangga. Ingat kejadian kemarin saja sudah membuat jantungnya ketar ketir tak karuan, apalagi kalau mereka bertemu? Maura rasanya belum siap. Seharian dia sibuk pun, bayangan Dewangga yang menciumnya tetap saja terlintas, padahal dia ingin menjaga jarak dan menjaga hatinya agar tak memiliki perasaan lebih. "Jangan jatuh cinta, Maura. Kamu harus ingat bahwa kalian akan berpisah," gumam Maura perlahan sambil mendongak menatap langit-langit restoran. Suasana restoran mulai sepi kala itu. Maklum, jam tutup restoran sebentar lagi tiba. Beberapa pegawainya bahkan sudah mulai beres-beres karena pengunjungnya hanya ada empat orang di dua meja berbeda. Tuk! Andreas meletakkan segelas minuman dingin di depannya sehingga lamunan Maura buyar. Segelas minuman lain diletakkan di depannya. "Kamu lagi mikirin apa?" tanya pria itu sambil duduk di sebelahnya. "Dari tadi menghela napas terus." Maura menggeleng. "Cuma bosan," jawabnya bohong. Andreas mengangguk, entah percaya entah tidak. "Kemarin malam, Lusi menceritakan beberapa hal tentangmu," ujar pria itu sambil memainkan gelas miliknya yang terdapat sebongkah es besar sehingga menimbulkan suara gemeretak. Maura segera menegakkan tubuhnya, sedikit terkejut. "Dia cerita apa? Cerita yang aneh-aneh, ya?" Andreas tertawa sambil menggeleng. "Bukan. Dia bilang kamu sedang amnesia saat ini," jawabnya sambil mengakhiri tawanya. "Dia juga bercerita sedikit tentang ... rumah tanggamu." "Huh!" Maura mengerucutkan bibirnya sambil menghela napasnya keras. "Ngapain dia cerita yang macam-macam, sih?" ujarnya sambil meraih gelas yang diberikan Andreas dan meminum isinya. "Dia mengkhawatirkanmu," kata Andreas sambil meletakkan gelasnya, lalu melipat tangannya di atas meja dan menatap Maura lekat. "Dia memintaku menjagamu saat kamu bekerja di sini." Maura tertawa kecil. "Dia berlebihan. Mungkin karena dia tahu bahwa hanya dia teman yang kumiliki saat ini." Maura menghirup napas panjang. "Dia yang udah merawatku ketika aku kecelakaan di Perancis. Bahkan dia juga yang mengantarkanku pulang." Andreas mengangguk. "Aku juga temanmu sekarang, Maura. Kamu boleh meminta bantuan padaku kapanpun. Aku sangat bisa diandalkan." Maura tertawa kecil. "Terima kasih banyak, Mas." Andreas mengangguk. "Aku memiliki apartemen yang tak kupakai. Kalau suatu saat kamu butuh, kamu bisa menggunakannya dengan gratis." "Eh?" Maura terkejut. "Kayaknya Lusi cerita semuanya, ya." Wajah Maura kini tersenyum masam. "Nggak juga. Dia nggak cerita bagaimana kamu dan Dewangga bisa menikah meski aku sangat penasaran. Dan mengapa pada akhirnya kalian malah memilih bercerai," jawab Andreas sambil menikmati minumannya dengan santai. "Mungkin kamu bisa ceritain sendiri?" Senyuman Maura seketika pudar. Dia merasa malu pada dirinya sendiri ketika dia teringat alasannya bisa menikah dengan Dewangga. "Ada apa, Maura? Kenapa dengan wajahmu?" Maura menangkup kedua pipinya yang terasa sedikit panas. "Jangan bahas itu. Aku malu, sebenarnya." Andreas tertawa lepas. "Malu? Apa kalian pertama kali bertemu dalam keadaan tak berpakaian seperti di novel-novel?" "Ck, bukan," jawab Maura masih dengan wajah merah. "Sebenarnya aku nggak ingat kejadiannya bagaimana." "Benar juga. Kamu kan lagi amnesia, ya?" Andreas mengangguk-angguk. Maura mengangguk. "Aku nggak ingat bagaimana pertama kali kami bertemu. Tapi Dewangga bilang, kami bisa menikah karena ... aku pernah menjebaknya di hotel dan kami tidur bersama," kata Maura dengan suara amat perlahan. "Aku jahat dan menjijikkan, ya?" Andreas menatap Maura lekat. Dia sedikit terkejut. "Apa kamu yakin kejadian itu benar-benar terjadi?" tanya pria itu. Maura mengedikkan bahunya. "Aku nggak tahu." "Kamu lagi amnesia, Maura. Bisa saja kejadian sebenarnya tak begitu," kata Andreas ketika dia melihat raut wajah Maura sedih. "Kamu tahu hal mengerikan apa yang terjadi pada seseorang yang lupa ingatan sepertimu?" Maura menggeleng. "Orang yang lupa ingatan sepertimu bisa dengan mudah dibohongi. Kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa dulu kamu adalah seorang petualang hebat, mungkin kamu akan mempercayainya. Kalau ada yang mengatakan bahwa dulu kamu adalah seorang guru yang baik, kamu juga mungkin akan mempercayainya." "Ya, mungkin aja aku akan percaya." Maura mengangguk. "Bahkan kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa kamu pernah membunuh seseorang, aku rasa kamu juga akan percaya," kata Andreas membuat Maura merinding takut. "Bisa jadi." "Sekarang, apa benar kamu adalah Maura? Apa kamu pernah mempertanyakan identitasmu? Jangan-jangan kamu bukanlah Maura yang asli. Jangan-jangan kamu menggunakan identitas Maura atas arahan dari seseorang yang entah siapa, yang menginginkanmu menjadi Maura." Maura tertawa geli. "Mas, pikiranmu udah terlalu jauh. Ini bukan cerita fiksi." "Tapi, Maura, kemungkinan itu bisa saja terjadi, kan? Bagaimana kalau ternyata itu benar?" tanya Andreas dengan wajah serius. "Bagaimana kalau ternyata aku tahu siapa dirimu yang asli?" Maura terdiam. Otaknya kini sibuk berpikir. "Kalau aku bukan Maura, lalu siapa aku?" "Bidadari yang turun ke bumi." Maura tertawa diikuti Andreas. "Gombal. Mas Andreas pintar—" Cratt!! Maura tak melanjutkan kalimatnya karena tiba-tiba saja seseorang menyiramnya dengan air dingin. Dia refleks menutup mata dan menyeka air di wajahnya. Dia terkejut, begitu juga dengan Andreas yang langsung berdiri dan melihat siapa pelakunya. "Marina! Apa yang kamu lakukan?" tanya Andreas tak percaya. Seorang wanita cantik dengan rambut ikal sebahu meletakkan gelas kosong di atas meja bar dengan kasar. "Siapa wanita ini?" tunjuk orang yang dipanggil Marina dengan wajah marah sambil menunjuk Maura. "Kenapa kamu bisa tertawa bareng dia? Apa kamu menyukai wanita ini, hah?! Kamu nggak mau menghargai perasaanku?" Andreas menghela napasnya berat menahan kesabaran. Pria itu meminta Marina pergi dari sana secara baik-baik, namun wanita itu keras kepala dan semakin marah terhadapnya. Sementara Maura terhenyak mendengar teriakan wanita itu yang penuh amarah. Rasanya familiar. Ingatannya terdistraksi pada memori yang telah jauh terlupakan dari pikirannya. Semakin dekat memorinya, semakin berdenyut kepalanya. Sekelebat bayangan masa lalu muncul. .... "Menjauh dari suamiku, Jalang! Kamu mau merebutnya?!" teriak Maura pada Alena sambil menjambak rambutnya kala itu. "Maura! Apa kamu gila?!" teriak Dewangga sambil menghentikan ulah Maura yang keterlaluan. Pria itu menatap Maura penuh amarah, penuh kebencian, dan rasa jijik. "Dewangga, kumohon jauhi Alena. Dia ingin merebutmu dariku," ujar Maura kalap. "Kamu jangan tertipu dengan sikapnya yang pura-pura lemah." .... "Maura, Maura." Panggilan menenangkan terdengar di telinganya. Maura yang tengah berjongkok sambil memegang kepalanya yang sakit membuka mata dan melihat ke depan. Dewangga ada di sana, memegang kedua bahunya sambil menatapnya khawatir. "Kamu baik-baik saja? Apa kepalamu sakit lagi?" Seketika Maura menjauh dengan sorot mata ketakutan. "Jangan mendekat, Dewangga!! Jangan mendekat!!"Maura menatap Dewangga dengan pandangan takut. Ingatannya satu lagi perlahan datang, namun semuanya hanya ingatan buruk. Ingatan kali ini lebih jelas dari ingatan lainnya, seolah baru terjadi kemarin.Maura ingat bagaimana wajah Dewangga yang sangat marah ketika dia menjambak Alena di masa lalu karena diam-diam Alena memprovokasinya, kemudian ketika Maura terpancing amarah, Alena bersikap seolah-olah semua salah Maura. Saat itu Dewangga hampir menamparnya.Alena selalu menjebak Maura seolah Maura selalu menganiayanya, kemudian berpura-pura lemah dan tertindas. Maura yang di masa lalu sangat pemarah karena faktor frustrasi, selalu terpancing dan masuk dalam jebakannya.Maura merasakan sudut hatinya begitu nyeri ketika ingatan itu muncul. Dia menderita dan sedih di waktu yang bersamaan."Maura? Ada apa?" tanya Dewangga khawatir saat melihat wajah wanita itu pucat pasi.Maura beringsut menjauh dan menatap Dewangga dengan tubuh gemetar. "Jang
Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren." Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-was. Dewangga memberikan anggukan kecil sekilas, meyakinkannya
Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya.“Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam."Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura.Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur.“Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak memedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?”“Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu.Dewangga menatap bahu Maura yang tengah memejamkan matanya, kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai Maura.“Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, tapi suaranya cukup terdengar jelas.Maura masih memejamkan matanya sambil meremas selimut yang dipakainya. Dia t
Hari masih cukup pagi ketika seorang wanita bermake-up tebal dengan pakaian mini duduk di sofa di tengah sebuah ruangan.Pandangannya berkeliling melihat jejeran rak penuh buku, melihat foto berbingkai pigura minimalis bercat hitam, dan sebuah meja kerja yang atasnya tertata rapi dengan jarak lebih dari enam meter di depannya.Di meja itu, dia menatap seorang pria yang tengah merapikan setumpuk kertas dengan wajah sedikit tertunduk penuh fokus.Pria itu berwajah tampan, namun tatapan matanya dingin dan muram. Tak ada sambutan hangat apalagi pelukan yang diterimanya kala mereka bertemu sehingga membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.'Bukannya aku istrinya? Kenapa dia nggak acuh banget dan gak peduli sama aku?' bisik hati kecilnya."Kebetulan, kamu pulang di saat yang tepat," ujar pria itu memecah keheningan sambil mengangkat wajahnya dan berjalan ke arah sofa, kemudian dia duduk di seberang wanita itu."Saya ingin menanyakan tentang berkas perceraian kita. Apa kamu sudah tanda tanga
Suhu udara di ruang kerja terasa turun beberapa derajat selsius. Maura merasakan perasaan dingin yang menusuk pori-pori."Jadi, kamu masih mau berlagak amnesia?" tanya Dewangga yang kesabarannya semakin menipis."Aku memang amnesia, Dewangga."Air mata Maura kembali menggenang mengaburkan pandangannya. Dia tak tahu bagaimana caranya meyakinkan pria itu bahwa dirinya tak berbohong.Maura menunduk dalam-dalam sambil menggenggam erat pena hitam. Detik berikutnya air matanya tumpah membasahi pipinya lagi.Dia menyeka wajahnya. Suara sesenggukkan dari tangisnya mulai terdengar amat pelan dan tertahan."Ini berkas pemeriksaan kesehatanku. Harusnya kamu baca walaupun hanya sebentar," kata Maura putus asa sambil menyodorkan berkas kesehatannya yang tadi ditolak pria itu.Dewangga menghela napasnya kasar. Ini pertama kalinya dalam tiga tahun pernikahan mereka, dia melihat Maura menangis seberapapun kerasnya dia membuat wanita itu menderita di rumahnya.Dewangga pun mengambil berkas kesehatan it
Maura mengatur napasnya sambil berjalan. Dia bersikap seolah-olah tak mendengar apapun.Seberapa keras Maura mencoba mengingat, nyatanya tak ada ingatan apapun di kepalanya. Yang ada kepalanya malah berdenyut sakit.Kedua asisten rumah tangga itu terdiam ketika mereka mendengar langkah kaki Maura yang berjalan ke arah meja makan. Keduanya segera pergi dari sana dengan wajah gugup.Setelah makan, Maura kembali ke kamar dan membersihkan dirinya dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki.Dengan mengenakan jubah mandi, dia duduk di depan meja rias dan memandang wajahnya yang polos tanpa make-up. Dia teringat ucapan Lusi yang mengatakan bahwa Dewangga menyukai wanita cantik."Apa aku harus berdandan lagi hari ini demi menarik perhatian Dewangga seperti yang Lusi bilang?" gumamnya perlahan sambil menatap lekat wajahnya.Dewangga membencinya, dia ingat itu. Jadi, rasanya percuma jika dia berdandan. Toh, pasti Dewangga tetap akan membencinya karena dia pernah menjebak pria itu di kamar hotel.
Bibir Maura terkatup rapat sambil menatap Dewangga. Pria itu begitu akrab dan hangat ketika berbicara dengan Alena, tapi akan tampak dingin dan kasar ketika berbicara dengannya."Aku nggak menuduh kamu selingkuh. Aku hanya merasa ...." Maura menghentikan kalimatnya. Dia tak tahu bagaimana cara mengatakan seluruh perasaannya bahwa dia sangat menyesal atas situasi mereka yang sekarang terjebak sebuah pernikahan yang tak diinginkan. "Intinya, aku ingin meminta maaf atas segala kesalahanku yang dulu. Maaf, aku telah hadir di antara kalian."Maura beranjak dari sana untuk mencuci peralatan makan yang digunakannya. Tapi, Dewangga dan Alena sama-sama terkejut.Apa yang barusan mereka dengar? Seorang Maura bersedia meminta maaf?Dewangga mengepalkan tangannya erat. Kata maaf yang Maura lontarkan tak akan mengubah pendiriannya untuk membuat wanita itu menderita di rumahnya.Dia tak akan berbelas kasih atas penderitaannya selama tiga tahun terakhir yang telah memaksa mereka hidup bersama.Dewang
"Ha, ha, ha .... Aku bercanda, Oma," ujar Maura sambil tertawa canggung. "Jangan dianggap serius."Maura mematikan kompor karena masakannya telah matang. Dia segera mencuci tangannya dan menghampiri wanita tua itu sambil melepaskan celemek dan meninggalkan oseng daging sayuran di wajan."Sini, Oma. Duduk sini," ajaknya sambil meraih lengan wanita tua itu dan membawanya duduk di salah satu kursi dapur.Maura diam-diam melirik ekspresi wajah Dewangga yang mulai kembali datar. Bahkan ekspresi wajah Mia juga terlihat lega."Dasar, anak nakal. Oma sampai kaget. Kirain oma kamu betulan gak kenal lagi sama oma, udah pikun di usia muda," gerutu Oma Ambar sambil duduk."He, he, he ...." Maura kembali tertawa. Dia lega karena sepertinya dia tak melakukan kesalahan fatal."Kamu kelihatan cantik banget hari ini, Maura," puji oma Ambar tulus. "Padahal cuma pakai lipstik doang, ya?""Ah, Oma bisa aja." Maura merasa malu."Tapi beneran, kok. Kamu lebih cantik begini. Jadi nanti nggak usah pakai makeu
Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya.“Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam."Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura.Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur.“Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak memedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?”“Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu.Dewangga menatap bahu Maura yang tengah memejamkan matanya, kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai Maura.“Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, tapi suaranya cukup terdengar jelas.Maura masih memejamkan matanya sambil meremas selimut yang dipakainya. Dia t
Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren." Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-was. Dewangga memberikan anggukan kecil sekilas, meyakinkannya
Maura menatap Dewangga dengan pandangan takut. Ingatannya satu lagi perlahan datang, namun semuanya hanya ingatan buruk. Ingatan kali ini lebih jelas dari ingatan lainnya, seolah baru terjadi kemarin.Maura ingat bagaimana wajah Dewangga yang sangat marah ketika dia menjambak Alena di masa lalu karena diam-diam Alena memprovokasinya, kemudian ketika Maura terpancing amarah, Alena bersikap seolah-olah semua salah Maura. Saat itu Dewangga hampir menamparnya.Alena selalu menjebak Maura seolah Maura selalu menganiayanya, kemudian berpura-pura lemah dan tertindas. Maura yang di masa lalu sangat pemarah karena faktor frustrasi, selalu terpancing dan masuk dalam jebakannya.Maura merasakan sudut hatinya begitu nyeri ketika ingatan itu muncul. Dia menderita dan sedih di waktu yang bersamaan."Maura? Ada apa?" tanya Dewangga khawatir saat melihat wajah wanita itu pucat pasi.Maura beringsut menjauh dan menatap Dewangga dengan tubuh gemetar. "Jang
Maura meremas sisi pakaiannya. Pikirannya kosong dalam beberapa detik. Detik kemudian jantungnya berdegup lebih kencang, sehingga membuat darahnya berdesir panas dingin. "De-Dewangga." Maura mendorong tubuh pria itu sehingga ciuman mereka terlepas, namun sedetik kemudian pria itu memperdalam lagi ciumannya hingga membuat Maura kehabisan napasnya. "Sudah." Pria itu melepaskan Maura, kemudian menatapnya dengan lekat sambil tersenyum tipis. "Cokelat panasnya enak sekali, Maura. Boleh minta lagi?" Mata Maura mengerjap beberapa kali, masih dalam pelukannya. Tubuhnya sedikit gemetar dan hampir ambruk andai dia tak berpegangan pada tangan Dewangga yang berada di sekitar tubuhnya. "Kamu gila?!" tanya Maura sambil melepaskan diri dari rengkuhan pria itu. Dewangga tersenyum menatap Maura sambil menopang dagunya di atas meja bar. "Kamu mabuk. Sebaiknya segera tidur," gerutu Maura dengan wajah merah padam. "Yang benar yang mana? Aku gila atau mabuk?" tanya Dewangga dengan tawa kecil.
Dewangga mulai mengetuk-ngetukkan jarinya di permukaan kaca jam tangan tanda sudah tak sabar lagi. Sebenarnya dia sudah tak memiliki banyak waktu di rumah itu. Tapi, karena ada kejadian tak terduga seperti ini, terpaksa dia harus duduk lebih lama di sana."Dewangga, kamu nggak mungkin kalau nggak percaya sama aku, kan?" tanya Maura penuh harap.Dewangga terdiam dengan wajah datar. Pria itu melirik bu Asih yang masih sibuk membuka laci."Bu Asih, bagaimana? Sudah ketemu?" tanya pria itu sambil menatap punggung bu Asih yang sedang membelakanginya.Bu Asih segera berbalik dan menggeleng. "Ti-tidak ada lagi, Tuan."Dewangga mengangguk sambil berdiri merapikan pakaiannya. Dia tahu bu Asih belum selesai memeriksa semua laci yang ada."Bu Asih, ayo kita keluar," ujarnya tanpa ekspresi, kemudian dia menatap Maura. "Aku tahu sedikit mengenai dirimu, Maura. Aku tak akan mempermasalahkannya. Kamu jangan khawatir. Jadi, istirahatlah."Maura menghela napasnya dengan kecewa sambil menatap punggung
Maura terdiam. Waktu tiga bulan akan terus bergulir tanpa terasa. Tak mungkin baginya kalau terus menerus berada di sekitar Dewangga. Mereka harus menjalani kehidupan masing-masing, bahkan mungkin mereka tak akan bertemu lagi setelahnya. "Oma, ini tehnya," kata Zefan sopan sambil meletakkan beberapa cangkir teh di meja. Dia sedikit tertekan dengan situasi di sana. Jika Maura resmi menjadi asisten Dewangga, maka bagaimana dengannya? "Oma—" "Oma, aku nggak mau jadi asistennya mas Dewangga," tolak Maura serius, memotong ucapan Dewangga yang hendak melayangkan protes. "Kenapa?" tanya oma Ambar sambil menatap Maura. "Jadi pramusaji itu capek, lho, Nak." Narendra yang menyaksikan penolakan Maura menelengkan kepalanya. Dia tahu Maura yang dulu sangat mencintai Dewangga seperti orang gila. Cintanya tak pernah main-main dan tak bisa dirobohkan oleh apapun. Tapi Maura yang sekarang menolak berada dekat dengan Dewangga karena sedang amnesia. Sedikit lucu, dan dia belum terbiasa. "Aku tahu
"Jangan berwajah datar seperti itu, Dewangga," ujar pria itu tertawa rendah sambil melepaskan cengkeraman tangan Dewangga darinya. "Apa kamu sudah berubah pikiran?" "Jangan main-main," kata Dewangga memberi peringatan. "Dan jangan mengganggu Maura." "Wah, kamu benaran sudah berubah pikiran, Dewangga." Pria itu menatap Dewangga tak percaya, kemudian pandangannya beralih pada Maura yang menatapnya asing. "Apa Dewangga masih bersikeras ingin menceraikanmu?" Maura mengerutkan alisnya dengan bibir terbuka seolah ingin menjawab, tetapi tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. "Apa? Ada apa?" Pria itu menatap Maura dengan aneh. "Ada yang aneh denganmu." Dewangga menarik napasnya panjang. "Sebaiknya kamu pulang." "Aku akan pulang," jawab pria itu. "Tapi setelah memastikan sesuatu." "Tak ada yang perlu kamu pastikan, Naren," ujar Dewangga menahan kesal sambil merentangkan tangannya menahan pria itu agar tak semakin mendekati Maura. "Tentu saja ada. Tak hanya kamu yang berubah. Ba
Suasana kantor cukup sibuk dengan kegiatan masing-masing. Maura mengikuti langkah Zefan sambil menenteng tas thermal-nya. Zefan bersikeras menolak titipan Maura meskipun Maura sudah membujuknya. Mau tak mau akhirnya dia ikut dengan pria itu untuk mengantarkan sendiri makanannya. "Bos di ruangannya. Masuk aja, Nyonya," ujar Zefan sambil mendorong pintu dan menunjuk Dewangga yang tengah sibuk berdiskusi di ruang kerjanya bersama dengan beberapa orang termasuk Alena dan Devina. "Silakan, Nyonya duduk dulu di sini." Zefan menunjuk single sofa yang terletak di samping dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan kota. Maura mengangguk sembari duduk dan meletakkan tas bekal di pangkuannya. Dia menatap Dewangga yang memakai kemeja navy tanpa jas dan tengah memegang beberapa lembar kertas. Pria itu terlihat begitu serius dengan pekerjaannya. Tak jauh dari pria itu ada Devina juga Alena, dan beberapa orang lain yang Maura tak kenal. Mereka duduk berkumpul di sofa mengitari meja kaca yang penu
Dewangga terdiam memikirkan banyak hal. "Aku tak berpikir sejauh itu. Aku tak memiliki rencana untuk menikah lagi," ucap Dewangga sambil menatap Maura. "Ada banyak pekerjaan yang harus diurus ...." "Pekerjaan akan selalu banyak, Dewangga. Tapi kita hanya hidup sekali," potong Maura. "Memangnya kamu ingin membuat Alena menunggumu lebih lama?" "Alena?" Dewangga mengerutkan alisnya tak suka. "Mengapa Alena? Aku tak ada hubungan dengannya." "Benarkah?" Maura menatap Dewangga dengan terkejut. "Kalian tidak pacaran?" "Pacaran? Untuk apa? Aku tak pernah memiliki perasaan apapun padanya jika itu yang ingin kamu tahu," jawab Dewangga tegas. Maura tertegun sejenak. Dewangga tak mungkin membohonginya, kan? "Tapi tetap saja. Setelah kita berpisah, kita pasti menjalani hidup kita masing-masing. Mungkin kamu akan bertemu seseorang yang mengubah pikiranmu dan ingin segera menikahinya. Aku juga mungkin akan bertemu dengan pria yang baik," lanjut Maura sambil menopang dagunya. "Sampai hari itu t