Home / Rumah Tangga / Sebelum Kita Bercerai / Bab 28. Jangan Mendekat

Share

Bab 28. Jangan Mendekat

Author: Clau Sheera
last update Last Updated: 2024-05-15 18:23:28

Maura meremas sisi pakaiannya. Pikirannya kosong dalam beberapa detik.

Detik kemudian jantungnya berdegup lebih kencang, sehingga membuat darahnya berdesir panas dan dingin.

"De-Dewangga." Maura mendorong tubuh pria itu sehingga ciuman mereka terlepas, namun sedetik kemudian pria itu memperdalam lagi ciumannya hingga membuat Maura kehabisan napasnya.

"Sudah." Pria itu melepaskan Maura, kemudian menatapnya dengan lekat sambil tersenyum tipis. "Cokelat panasnya enak sekali, Maura. Boleh minta lagi?"

Mata Maura mengerjap beberapa kali, masih dalam pelukannya. Tubuhnya sedikit gemetar dan hampir ambruk andai dia tak berpegangan pada tangan Dewangga yang berada di sekitar tubuhnya.

"Kamu gila?!" tanya Maura sambil melepaskan diri dari rengkuhan pria itu.

Dewangga tersenyum menatap Maura sambil menopang dagunya di atas meja bar.

"Kamu mabuk. Sebaiknya segera tidur," gerutu Maura dengan wajah merah padam.

"Yang benar yang mana? Aku gila atau mabuk?" tanya Dewangga dengan tawa kecil.

Maura menghela napasnya panjang, sedikit menetralisir dan menenangkan jantungnya yang berdetak seolah tengah menggila.

"Aku nggak tahu," ujar wanita itu sambil beranjak pergi meninggalkan pria itu di dapur.

Wanita itu segera beranjak menaiki tangga menuju kamarnya—tak habis pikir.

"Aneh. Benar-benar aneh," ujarnya perlahan dan hampir terjatuh, terantuk di anak tangga gara-gara pergi terburu-buru di saat tubuhnya masih gemetaran.

Siang tadi, Dewangga seperti enggan bertemu dengannya di kantor ketika dia mengantarkan bekal makanan seolah-olah dia datang untuk mengganggu.

Saat di rumah, pria itu berwajah datar dan muram sebelum kembali ke kantornya. Dan sekarang, pria itu tersenyum setelah menciumnya?

Maura mengunci diri di kamarnya dan segera bersembunyi dalam selimut.

"Pasti besok pagi wajahnya datar lagi kayak papan."

***

Maura meletakkan dagunya di meja bar restoran sambil menghela napasnya entah yang keberapa kali. Kejadian kemarin malam terus saja terbayang, padahal dia ingin melupakan dan menganggapnya tak pernah terjadi.

Bagaimana kalau nanti mereka bertemu? Apa akan menjadi canggung?

Pagi tadi Maura berangkat ke restoran lebih pagi dari biasanya karena tak ingin bertemu dengan Dewangga.

Ingat kejadian kemarin saja sudah membuat jantungnya ketar ketir tak karuan, apalagi kalau mereka bertemu? Maura rasanya belum siap.

Seharian dia sibuk pun, bayangan Dewangga yang menciumnya tetap saja terlintas, padahal dia ingin menjaga jarak dan menjaga hatinya agar tak memiliki perasaan lebih.

"Jangan jatuh cinta, Maura. Kamu harus ingat bahwa kalian akan berpisah," gumam Maura perlahan sambil mendongak menatap langit-langit restoran.

Suasana restoran mulai sepi kala itu. Maklum, jam tutup restoran sebentar lagi tiba. Beberapa pegawainya bahkan sudah mulai beres-beres karena pengunjungnya hanya ada empat orang di dua meja berbeda.

Tuk!

Andreas meletakkan segelas minuman dingin di depannya sehingga lamunan Maura buyar. Segelas minuman lain diletakkan di depannya.

"Kamu lagi mikirin apa?" tanya pria itu sambil duduk di sebelahnya. "Dari tadi menghela napas terus."

Maura menggeleng. "Cuma bosan," jawabnya bohong.

Andreas mengangguk, entah percaya entah tidak.

"Kemarin malam, Lusi menceritakan beberapa hal tentangmu," ujar pria itu sambil memainkan gelas miliknya yang terdapat sebongkah es besar sehingga menimbulkan suara gemeretak.

Maura segera menegakkan tubuhnya, sedikit terkejut. "Dia cerita apa? Cerita yang aneh-aneh, ya?"

Andreas tertawa sambil menggeleng. "Bukan. Dia bilang kamu sedang amnesia saat ini," jawabnya sambil mengakhiri tawanya. "Dia juga bercerita sedikit tentang ... rumah tanggamu."

"Huh!" Maura mengerucutkan bibirnya sambil menghela napasnya keras. "Ngapain dia cerita yang macam-macam, sih?" ujarnya sambil meraih gelas yang diberikan Andreas dan meminum isinya.

"Dia mengkhawatirkanmu," kata Andreas sambil meletakkan gelasnya, lalu melipat tangannya di atas meja dan menatap Maura lekat. "Dia memintaku menjagamu saat kamu bekerja di sini."

Maura tertawa kecil. "Dia berlebihan. Mungkin karena dia tahu bahwa hanya dia teman yang kumiliki saat ini." Maura menghirup napas panjang. "Dia yang udah merawatku ketika aku kecelakaan di Perancis. Bahkan dia juga yang mengantarkanku pulang."

Andreas mengangguk. "Aku juga temanmu sekarang, Maura. Kamu boleh meminta bantuan padaku kapanpun. Aku sangat bisa diandalkan."

Maura tertawa kecil. "Terima kasih banyak, Mas."

Andreas mengangguk. "Aku memiliki apartemen yang tak kupakai. Kalau suatu saat kamu butuh, kamu bisa menggunakannya dengan gratis."

"Eh?" Maura terkejut. "Kayaknya Lusi cerita semuanya, ya." Wajah Maura kini tersenyum masam.

"Nggak juga. Dia nggak cerita bagaimana kamu dan Dewangga bisa menikah meski aku sangat penasaran. Dan mengapa pada akhirnya kalian malah memilih bercerai," jawab Andreas sambil menikmati minumannya dengan santai. "Mungkin kamu bisa ceritain sendiri?"

Senyuman Maura seketika pudar. Dia merasa malu pada dirinya sendiri ketika dia teringat alasannya bisa menikah dengan Dewangga.

"Ada apa, Maura? Kenapa dengan wajahmu?"

Maura menangkup kedua pipinya yang terasa sedikit panas. "Jangan bahas itu. Aku malu, sebenarnya."

Andreas tertawa lepas. "Malu? Apa kalian pertama kali bertemu dalam keadaan tak berpakaian seperti di novel-novel?"

"Ck, bukan," jawab Maura masih dengan wajah merah. "Sebenarnya aku nggak ingat kejadiannya bagaimana."

"Benar juga. Kamu kan lagi amnesia, ya?" Andreas mengangguk-angguk.

Maura mengangguk. "Aku nggak ingat bagaimana pertama kali kami bertemu. Tapi Dewangga bilang, kami bisa menikah karena ... aku pernah menjebaknya di hotel dan kami tidur bersama," kata Maura dengan suara amat perlahan. "Aku jahat dan menjijikkan, ya?"

Andreas menatap Maura lekat. Dia sedikit terkejut.

"Apa kamu yakin kejadian itu benar-benar terjadi?" tanya pria itu.

Maura mengedikkan bahunya. "Aku nggak tahu."

"Kamu lagi amnesia, Maura. Bisa aja kejadian sebenarnya nggak begitu," kata Andreas ketika dia melihat raut wajah Maura sedih. "Kamu tahu hal mengerikan apa yang terjadi pada seseorang yang lupa ingatan sepertimu?"

Maura menggeleng.

"Orang yang lupa ingatan sepertimu bisa dengan mudah dibohongi. Kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa dulu kamu adalah seorang petualang hebat, mungkin kamu akan mempercayainya. Kalau ada yang mengatakan bahwa dulu kamu adalah seorang guru yang baik, kamu juga mungkin akan mempercayainya."

"Ya, mungkin aja aku akan percaya." Maura mengangguk.

"Bahkan kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa kamu pernah membunuh seseorang, aku rasa kamu juga akan percaya," kata Andreas membuat Maura merinding takut.

"Bisa jadi."

"Sekarang, apa benar kamu adalah Maura? Apa kamu pernah mempertanyakan identitasmu? Jangan-jangan kamu bukanlah Maura yang asli. Jangan-jangan kamu menggunakan identitas Maura atas arahan dari seseorang yang entah siapa, yang menginginkanmu menjadi Maura."

Maura tertawa geli. "Mas, pikiranmu udah terlalu jauh. Ini bukan cerita fiksi."

"Tapi, Maura, kemungkinan itu bisa aja terjadi, kan? Bagaimana kalau ternyata itu benar?" tanya Andreas dengan wajah serius. "Bagaimana kalau ternyata aku tahu siapa dirimu yang asli?"

Maura terdiam. Otaknya kini sibuk berpikir. "Kalau aku bukan Maura, lalu siapa aku?"

"Bidadari yang turun ke bumi."

Maura tertawa diikuti Andreas.

"Gombal. Mas Andreas pintar—"

Cratt!!

Maura tak melanjutkan kalimatnya karena tiba-tiba saja seseorang menyiramnya dengan air dingin. Dia refleks menutup mata dan menyeka air di wajahnya.

Dia terkejut, begitu juga dengan Andreas yang langsung berdiri dan melihat siapa pelakunya.

"Marina! Apa yang kamu lakuin?" tanya Andreas tak percaya.

Seorang wanita cantik dengan rambut ikal sebahu meletakkan gelas kosong di atas meja bar dengan kasar.

"Siapa wanita ini?" tunjuk orang yang dipanggil Marina dengan wajah marah sambil menunjuk Maura. "Kenapa kamu bisa tertawa bareng dia? Apa kamu menyukai wanita ini, hah?! Kamu nggak mau menghargai perasaanku?"

Andreas menghela napasnya berat menahan kesabaran. Pria itu meminta Marina pergi dari sana secara baik-baik, namun wanita itu keras kepala dan semakin marah terhadapnya.

Sementara Maura terhenyak mendengar teriakan wanita itu yang penuh amarah. Rasanya familiar. Ingatannya terdistraksi pada memori yang telah jauh terlupakan dari pikirannya. Semakin dekat memorinya, semakin berdenyut kepalanya.

Sekelebat bayangan masa lalu muncul.

....

"Menjauh dari suamiku, Jalang! Kamu mau merebutnya?!" teriak Maura pada Alena sambil menjambak rambutnya kala itu.

"Maura! Apa kamu sudah gila?!" teriak Dewangga sambil menghentikan ulah Maura yang keterlaluan. Pria itu menatap Maura penuh amarah, penuh kebencian, dan rasa jijik.

"Dewangga, kumohon jauhi Alena. Dia ingin merebutmu dariku," ujar Maura kalap. "Kamu jangan tertipu dengan sikapnya yang pura-pura lemah dan baik, yang pura-pura tersakiti gara-gara aku."

....

"Maura, Maura." Panggilan menenangkan terdengar di telinganya.

Maura yang tengah berjongkok sambil memegang kepalanya yang sakit membuka mata dan melihat ke depan.

Dewangga ada di sana, memegang kedua bahunya sambil menatapnya khawatir. "Kamu baik-baik saja? Apa kepalamu sakit lagi?"

"Dewangga?"

"Ya, ini aku."

Seketika Maura menjauh dengan sorot mata ketakutan dan napas tersengal. "Jangan mendekat, Dewangga!! Jangan mendekat!!"

Mata Maura terasa panas. Air matanya meleleh melintasi pipinya yang bersih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 29. Rumah Oma Ambar

    Maura menatap Dewangga dengan pandangan takut. Ingatannya satu lagi perlahan datang, namun semuanya hanya ingatan buruk. Ingatan kali ini lebih jelas dari ingatan lainnya, seolah baru terjadi kemarin. Maura ingat bagaimana wajah Dewangga yang sangat marah ketika dia menjambak Alena di masa lalu karena diam-diam Alena memprovokasinya, kemudian ketika Maura terpancing amarah, Alena bersikap seolah-olah semua salah Maura. Saat itu Dewangga hampir menamparnya. Alena selalu menjebak Maura seolah Maura selalu menganiayanya, kemudian berpura-pura lemah dan tertindas. Maura yang di masa lalu sangat pemarah karena faktor frustrasi, selalu terpancing dan masuk dalam jebakannya. Maura merasakan sudut hatinya begitu nyeri ketika ingatan itu muncul. Dia menderita dan sedih di waktu yang bersamaan. "Maura? Ada apa?" tanya Dewangga khawatir saat melihat wajah wanita itu pucat pasi. Maura beringsut menjauh dan menatap Dewangga dengan tubuh gemetar. "Jangan mendekat." Dewangga yang melihatnya me

    Last Updated : 2024-05-19
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 30. Pusaran Rasa

    Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren. Kamu bisa ingat, kan?" Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang, menyambut keduanya dengan senyum lebar. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-wa

    Last Updated : 2024-05-26
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 31. Ruang Makan

    Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya. “Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam. "Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura. Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur. “Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak mempedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?” “Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu dan memejamkan matanya. Dewangga menatap bahu Maura yang terlihat kecil. Dia mengerutkan alisnya. Apa Maura sekurus ini dulu? Bobot tubuhnya pun terasa ringan. Kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai wanita itu. “Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, t

    Last Updated : 2024-06-13
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 32. SINDIRAN UNTUK MAURA

    “Oma melihat Dewangga tidur di ruang kerja semalam,” ujar Laura sambil menatap mata Maura. "Oma udah minta Dewangga pindah ke kamar, tapi kayaknya dia tetap di ruang kerja, deh.""Oh?" Maura semakin terkejut. "Kalau itu, aku ....""Selamat pagi, Maura. Selamat pagi semuanya." Oma Ambar datang bersama Vivian dan Clara.“Selamat pagi.”"Dewangga belum datang, ya?""Belum, Oma." Narendra yang menjawab.“Kamu datang pagi sekali,” ejek Clara sambil tersenyum pada Maura dan duduk di samping ibunya, dekat dengan Narendra setelah oma Ambar dan yang lainnya duduk. "Biasanya kami semua yang sering menunggumu datang. Tapi hari ini kamu mau menunggu kami. Benar-benar ajaib."Vivian menatap Clara, memintanya untuk menjaga mulutnya, membuat Clara merasa kesal.“Apa tidurmu nyenyak, Nak?” tanya oma Ambar pada Maura dengan lembut.Maura mengangguk tersenyum, membuat wanita tua itu lega.“Oma cuma perhatian sama dia aja, deh. Rasanya nggak adil,” gerutu Clara."Clara, hati-hati dengan mulutmu," ujar N

    Last Updated : 2025-02-24
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 33. PESAN DARI ALENA

    “Clara, tolong jaga bicaramu,” pinta Dewangga dengan tatapan tajam. Clara mendengus. “Biasanya juga aku kayak gini, kok. Biasanya juga dia selalu membalas kata-kataku. Kenapa sekarang jadi Kakak yang belain dia? Selama ini dia kan yang paling pintar membela dirinya sendiri. Kenapa hari ini tiba-tiba jadi diam? Kayak bukan Maura aja,” gerutu Clara. “Clara ….” Narendra meninggikan suaranya setengah oktaf. “Sebaiknya kamu tutup mulut.” “Lho, yang aku bilang itu bener, kok. Dia itu arogan, sombong, dan nyebelin hanya karena bisa memenangkan hati oma. Hanya karena dia tahu oma sayang banget sama dia, bahkan om Teguh, tante Laura dan mama harus mikir dua kali kalau mau nyinggung dia. Kakak lupa dengan penderitaan kak Angga selama menikah dengannya?” lanjut Clara seolah belum puas mengatakan isi hatinya. “Semua orang tahu kalau kak Angga tertekan menikah dengannya. Semua orang nggak buta, kecuali kak Naren yang otaknya ada masalah.” “Clara!” Dewangga juga menaikkan suaranya, sementara N

    Last Updated : 2025-02-25
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 34. Prasangka Dewangga

    Maura menarik napasnya panjang, menetralisir rasa sesak dan kecewa di dadanya.“Kamu juga pasti tahu sendiri alasan kenapa selama ini kamu nggak pernah ngajak aku buat beli hadiah. Iya, kan?” Maura balik bertanya sambil menatap Dewangga. “Karena aku nggak tahu selera mama Laura, atau selera siapapun di rumah keluargamu terlebih aku yang sekarang. Jadi sebaiknya kamu ajak orang lain aja, supaya nggak salah beli barang.”Maura tersenyum sendiri sambil menunduk menatap jari-jari tangannya yang gemetar, menertawakan dirinya.Mengapa dia harus kecewa? Dia sendiri yang bukan orang baik sehingga semua orang membencinya. Tentu saja dia harus menerima segala konsekuensinya sekarang.Atmosfer di dalam mobil terasa lebih berat. Dewangga melonggarkan dasinya dan tiba-tiba saja menghentikan mobilnya di tepi jalan.“Keluar!” titahnya dengan nada dingin, membuat Maura terkejut.“Dewangga, ini masih jauh dari restoran, lho,” ujarnya protes.

    Last Updated : 2025-02-26
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 35. Tukang Bakso

    Maura tercekat menatap Dewangga. Tatapannya beralih pada mbok Narti yang masih menangis dengan tubuh gemetar.Kapan dia berkata ingin memecat wanita paruh baya itu?“Dewangga, aku … aku nggak bermaksud mecat mbok Narti,” ujarnya perlahan sambil menunduk.Mengingat bahwa dia bersikap sangat buruk di masa lalu, pasti Dewangga akan salah paham dan tak akan percaya padanya.Segala penjelasannya akan menjadi sia-sia.“Lalu, apa yang saya dengar barusan?” tanya pria itu masih dengan wajah yang garang.Maura mendesah frustrasi. “Aku nggak tahu kenapa mbok Narti ngomong kayak gitu.”“Mbok, ikut saya,” perintah Dewangga sambil berjalan meninggalkan Maura.Mbok Narti segera mengikuti, sementara Maura diam-diam mengepalkan tangannya di belakang tubuhnya.Dewangga masuk ke ruang kerjanya, diikuti mbok Narti.Pria itu segera duduk di kursinya.“Mbok, bukannya suami Mbok masih di rumah sakit?” tanya pria

    Last Updated : 2025-02-27
  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 36. Ajakan Narendra

    “Tiga puluh ribu, Mas,” jawab penjual bakso itu yang langsung menatap Maura. “Neng, ini suaminya, ya?” tanya penjual bakso itu, membuat Maura enggan mengakuinya karena takut pria itu akan marah. “Iya, Pak.” Dewangga yang menjawab sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. “Kembaliannya ambil aja.” Penjual bakso itu tersenyum cerah. “Makasih Mas. Duh, yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik pula. Benar-benar pasangan suami istri yang cocok.” Maura terdiam sambil tersenyum kaku, sementara Dewangga menanggapi candaan itu dengan ekspresi santai, seperti ekspresinya saat menjenguk pak Jo di rumah sakit dulu. Penjual bakso itu berpamitan pergi, meninggalkan keduanya. “Ayo, pulang,” kata Dewangga sambil berjalan lebih dulu. Wajahnya yang ramah kembali berubah datar. Maura berjalan dalam diam sambil menatap kerikil, mengikuti Dewangga di belakangnya. “Kenapa kamu malah ada di rumah? Bukannya tadi pagi bilangnya mau ke restoran?” tanya Dewangga sa

    Last Updated : 2025-02-28

Latest chapter

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 38. Bertemu

    Musik indah mengalun lembut saat Maura dan Narendra masuk ke ballroom hotel, tempat diadakannya acara resepsi pernikahan itu.Keduanya telah mengenakan topeng yang dibagikan di pintu masuk saat memperlihatkan undangan yang dibawa pria itu pada staff yang berjaga di depan karena tamu yang menghadiri pesta itu sangat terbatas.Maura menatap dekorasi pesta yang terlihat mewah dan glamor. Lampu-lampu hias menggantung, ada yang seperti air mancur, ada juga yang seperti bintang-bintang.Aneka makanan dan minuman terhidang di meja yang dilapisi kain satin hitam. Mulai dari makanan ringan, sampai makanan berat.Lalu di ujung panggung pengantin, sepasang penyanyi melantunkan lagu cinta dengan suara yang merdu.“Apa Dewangga udah ada di sini?” bisik Maura sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ke wajah orang-orang yang telah mengenakan topeng separuh yang menutupi mata, sama sepertinya.“Entahlah,” jawab Narendra acuh tak acuh. “Kita harus menemui tuan rumah dulu dan kedua mempelai. Aku

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 37. Partner Narendra

    Di kantor sore itu, Zefan yang tengah membantu merapikan beberapa berkas kontrak, menatap bosnya setelah membaca sebuah pesan yang masuk. Keduanya sama-sama duduk di sofa setelah selesai berdiskusi singkat.“Malam ini ada acara, kan? Pernikahan anaknya pak Bobby,” katanya membuka suara sekaligus mengingatkan, membuat Dewangga menoleh sekilas. “Setelan jas pesananmu katanya akan tiba di sini sebentar lagi. Gaun dan sepatunya juga.”Dewangga menjawab dengan anggukan.“Dengan siapa kamu akan datang? Apa aku harus menghubungi nyonya Maura buat minta dia bersiap-siap?”Dewangga terdiam sejenak. Dia teringat dengan penolakan Maura padanya saat pria itu mengajaknya membeli hadiah kalau wanita itu libur bekerja nanti. Mungkin Maura juga akan menolak ajakannya datang ke pesta pernikahan itu malam ini.Bukankah memang sebelumnya dia tak pernah mengajak wanita itu menghadiri berbagai acara? Pasti Maura juga bisa menebaknya meski sekarang dia amnesia.“Nggak usah hubungi dia,” ujar pria itu denga

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 36. Ajakan Narendra

    “Tiga puluh ribu, Mas,” jawab penjual bakso itu yang langsung menatap Maura. “Neng, ini suaminya, ya?” tanya penjual bakso itu, membuat Maura enggan mengakuinya karena takut pria itu akan marah. “Iya, Pak.” Dewangga yang menjawab sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. “Kembaliannya ambil aja.” Penjual bakso itu tersenyum cerah. “Makasih Mas. Duh, yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik pula. Benar-benar pasangan suami istri yang cocok.” Maura terdiam sambil tersenyum kaku, sementara Dewangga menanggapi candaan itu dengan ekspresi santai, seperti ekspresinya saat menjenguk pak Jo di rumah sakit dulu. Penjual bakso itu berpamitan pergi, meninggalkan keduanya. “Ayo, pulang,” kata Dewangga sambil berjalan lebih dulu. Wajahnya yang ramah kembali berubah datar. Maura berjalan dalam diam sambil menatap kerikil, mengikuti Dewangga di belakangnya. “Kenapa kamu malah ada di rumah? Bukannya tadi pagi bilangnya mau ke restoran?” tanya Dewangga sa

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 35. Tukang Bakso

    Maura tercekat menatap Dewangga. Tatapannya beralih pada mbok Narti yang masih menangis dengan tubuh gemetar.Kapan dia berkata ingin memecat wanita paruh baya itu?“Dewangga, aku … aku nggak bermaksud mecat mbok Narti,” ujarnya perlahan sambil menunduk.Mengingat bahwa dia bersikap sangat buruk di masa lalu, pasti Dewangga akan salah paham dan tak akan percaya padanya.Segala penjelasannya akan menjadi sia-sia.“Lalu, apa yang saya dengar barusan?” tanya pria itu masih dengan wajah yang garang.Maura mendesah frustrasi. “Aku nggak tahu kenapa mbok Narti ngomong kayak gitu.”“Mbok, ikut saya,” perintah Dewangga sambil berjalan meninggalkan Maura.Mbok Narti segera mengikuti, sementara Maura diam-diam mengepalkan tangannya di belakang tubuhnya.Dewangga masuk ke ruang kerjanya, diikuti mbok Narti.Pria itu segera duduk di kursinya.“Mbok, bukannya suami Mbok masih di rumah sakit?” tanya pria

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 34. Prasangka Dewangga

    Maura menarik napasnya panjang, menetralisir rasa sesak dan kecewa di dadanya.“Kamu juga pasti tahu sendiri alasan kenapa selama ini kamu nggak pernah ngajak aku buat beli hadiah. Iya, kan?” Maura balik bertanya sambil menatap Dewangga. “Karena aku nggak tahu selera mama Laura, atau selera siapapun di rumah keluargamu terlebih aku yang sekarang. Jadi sebaiknya kamu ajak orang lain aja, supaya nggak salah beli barang.”Maura tersenyum sendiri sambil menunduk menatap jari-jari tangannya yang gemetar, menertawakan dirinya.Mengapa dia harus kecewa? Dia sendiri yang bukan orang baik sehingga semua orang membencinya. Tentu saja dia harus menerima segala konsekuensinya sekarang.Atmosfer di dalam mobil terasa lebih berat. Dewangga melonggarkan dasinya dan tiba-tiba saja menghentikan mobilnya di tepi jalan.“Keluar!” titahnya dengan nada dingin, membuat Maura terkejut.“Dewangga, ini masih jauh dari restoran, lho,” ujarnya protes.

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 33. PESAN DARI ALENA

    “Clara, tolong jaga bicaramu,” pinta Dewangga dengan tatapan tajam. Clara mendengus. “Biasanya juga aku kayak gini, kok. Biasanya juga dia selalu membalas kata-kataku. Kenapa sekarang jadi Kakak yang belain dia? Selama ini dia kan yang paling pintar membela dirinya sendiri. Kenapa hari ini tiba-tiba jadi diam? Kayak bukan Maura aja,” gerutu Clara. “Clara ….” Narendra meninggikan suaranya setengah oktaf. “Sebaiknya kamu tutup mulut.” “Lho, yang aku bilang itu bener, kok. Dia itu arogan, sombong, dan nyebelin hanya karena bisa memenangkan hati oma. Hanya karena dia tahu oma sayang banget sama dia, bahkan om Teguh, tante Laura dan mama harus mikir dua kali kalau mau nyinggung dia. Kakak lupa dengan penderitaan kak Angga selama menikah dengannya?” lanjut Clara seolah belum puas mengatakan isi hatinya. “Semua orang tahu kalau kak Angga tertekan menikah dengannya. Semua orang nggak buta, kecuali kak Naren yang otaknya ada masalah.” “Clara!” Dewangga juga menaikkan suaranya, sementara N

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 32. SINDIRAN UNTUK MAURA

    “Oma melihat Dewangga tidur di ruang kerja semalam,” ujar Laura sambil menatap mata Maura. "Oma udah minta Dewangga pindah ke kamar, tapi kayaknya dia tetap di ruang kerja, deh.""Oh?" Maura semakin terkejut. "Kalau itu, aku ....""Selamat pagi, Maura. Selamat pagi semuanya." Oma Ambar datang bersama Vivian dan Clara.“Selamat pagi.”"Dewangga belum datang, ya?""Belum, Oma." Narendra yang menjawab.“Kamu datang pagi sekali,” ejek Clara sambil tersenyum pada Maura dan duduk di samping ibunya, dekat dengan Narendra setelah oma Ambar dan yang lainnya duduk. "Biasanya kami semua yang sering menunggumu datang. Tapi hari ini kamu mau menunggu kami. Benar-benar ajaib."Vivian menatap Clara, memintanya untuk menjaga mulutnya, membuat Clara merasa kesal.“Apa tidurmu nyenyak, Nak?” tanya oma Ambar pada Maura dengan lembut.Maura mengangguk tersenyum, membuat wanita tua itu lega.“Oma cuma perhatian sama dia aja, deh. Rasanya nggak adil,” gerutu Clara."Clara, hati-hati dengan mulutmu," ujar N

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 31. Ruang Makan

    Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya. “Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam. "Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura. Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur. “Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak mempedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?” “Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu dan memejamkan matanya. Dewangga menatap bahu Maura yang terlihat kecil. Dia mengerutkan alisnya. Apa Maura sekurus ini dulu? Bobot tubuhnya pun terasa ringan. Kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai wanita itu. “Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, t

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 30. Pusaran Rasa

    Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren. Kamu bisa ingat, kan?" Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang, menyambut keduanya dengan senyum lebar. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-wa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status