Tangan lemah Alvian sesekali meraih tanganku masuk dalam genggaman. Tak bisa kutolak ajakan lelaki itu untuk memintaku mendekat dan sesekali dia mencium tanganku. Perlahan kutarik tapi aku kasihan, sorot matanya meminta untuk aku membiarkan dalam keadaan seperti ini.“Ini sudah salah, Tuan. Kita tidak boleh seperti ini. Saya bukan istri Tuan Alvian lagi,” pintaku.“Aku hanya ingin kamu dengar cerirtaku sebentar. Hanya tanganmu yang kugenganggam. Seandainya aku bisa menggenggam hatiku juga, aku pasti akan tenang, Riana,” ucapnya dengan sorot mata sayu.“Kalau istri Tuan melihat kita bisa salah paham. Saya tidak ingin punya masalah lagi dengan keluarga Tuan. Jangan sampai mereka juga menyakiti keluarga saya, cukup saya saja, Tuan.”Alvian menggeleng, dia menegaskan jika tidak ada keluarganya yang akan mengetahui pertemuan mereka. Bahkan dia menjamin jika aku bebas ke sini kapan saja. Tentu aku terkejut mendengar penyataan mantan suamiku.“Tolong jelaskan padaku apa yang yang sebenarnya
Selepas kepergian Roy aku masuk ke ruang rawat. Hawa dingin mulai menyerang setelah sendirian duduk sembari melihat orang yang pernah hadir di dalam hidupku terbaring di atas brankar dengan selang menancap di tubuhnya.Terkadang ego yang membuat kita berpisah dengan cara yang tidak disangka. Dan keadaan yang menjadikan kita kembali kepada yang kita sayang.DegRasa itu kembali hadir saat aku kehilangan buah hati. Satu-satunya harapan untuk terus berjuang melanjutkan hidup. Semakin kucoba untuk menepis kehadiran Alvian di hidupku semakin sakit rasa yang harus kutanggung. Kondisi kita tidak sama lagi, dia sudah punya pasangan yang seharusnya dibahagiakan.Mataku terasa berat, kupilih sofa untuk mengistirahatkan tubuhku. Semenjak dari Banyuwangi aku belum tidur sama sekali. Setelah memastikan keadaan aman, akhirnya aku terlelap.**Suara berisik membuat mataku terbuka. Beberapa perawat memeriksa kondisi Alvian. Laki-lali itu membuka mata menatapku. Sejurus kemudian aku mendekati mereka d
Matahari mulai merangkak ke atas. Memberikan sinarnya yang mulai panas ke bumi. Orang-orang sudah memulai aktivitasnya masing-masing dengan hiruk pikuknya memenuhi tanah yang mulai mengering. Mereka tidak peduli dengan kelelahan yang sudah dilakukan sejak pagi. Keinginan untuk memperoleh uang demi memenuhi perut terus dikejar tanpa henti. Tidak peduli badan yang sudah lelah dan rasa lapar yang melanda. Tidak sabar rasanya menunggu Roy memberikan kabar tentang anakku. Tiba-tiba bunyi ponsel Alvian berdering kembali. Kali ini kulihat dia malas untuk mengangkatnya. Terlihat tangan yang terpasang selang infus meletakkan ponsel di dekat tubuhnya.“Kenapa tidak diangkat telponnya, Tuan. Jangan-jangan Roy yang menelpon mengabarkan kondisi Andini.”“Bukan Roy, tapi Mama.”Aku mengernyit, mamanya sendiri menelpon tapi tidak bersedia menerima. Apa yang sebenarnya terjadi antara Antara Alvian dengan Mamanya?“Saya tidak ingin ikut campur dengan masalah, Tuan. Saya akan keluar kalau Tuan tidak
“Apa yang Nyonya katakan? Jangan sampai Nyonya melakukan hal buruk terhadap anak saya. Saya akan melaporkan Nyonya Weni, jika hal itu sampai terjadi,” ucapku dengan dada bergemuruh menahan amarah. Weni tertawa dan mengejek, tangannya bersendekap dan menatapku tajam. Sementara Dewi ikut keluar dari ruangan dan berdiri di belakang Weni dengan senyum sinisnya. Kutatap keduanya, ingin mencakar mulut Weni rasanya. Mulutnya sangat pedas dan tidak punya rasa belas kasih. Apa salah anakku, kami sudah tidak mengganggu mereka lagi.Tarikan tangan dari Roy menyadarkan aku untuk tidak membalas perbuatan Weni. Meski ingin berteriak dan menjambak wanita tersebut tetapi aku tahan. Bagaimana bisa dia mempunyai niat untuk menyakiti anak kecil, tidak manusiawi.“Roy, antar aku ke alamat Andini ditemukan. Aku khawatir dengan anakku, jangan sampai niat busuk mereka sampai terwujud.”“Nona,” kata Roy kemudian berbisik, “Jangan terpancing emosi. Nyonya Weni bisa melakukan apa saja dari sini. Sebaiknya No
Tubuhku meremang mendengar perintah Alvian. Terdengar nada bicara yang kesal penuh amarah darinya. apa yang membuatnya berubah sikap. Jangan-jangan Weni dan Dewi berhasil mempengaruhinya tentang Andini. Tidak mungkin dengan tiba-tiba dia memerintahkan hal itu. Kemarin Alvian dengan jelas menerima Andini sebagai anaknya tanpa persyaratan meski aku tidak memberitahu yang sebenarnya.Dengan pikiran campur aduk aku masuk ke ruang yang ditunjukkan oleh perawat. Mataku seketika berair melihat dua sosok yang selama ini menemaniku tergolek tidak berdaya di atas brankar Rumah Sakit.Siti terlihat menatap ke arah pintu sedangkan tubuh tungil anakku diam tidak bergerak.“Mbak Riana?” sapa Siti dengan lemah.“S-Siti … Siti, bagaimana keadaan kamu?” jawabku dengan tubuh bergetar mendekat.“Maafkan saya, tidak bisa menjaga Andini. Saya salah ….”“Sttt … diamlah. Jangan merasa bersalah. Ini cobaan,” aku mengela napas panjang, “apa yang sekarang kamu rasakan? Bagaimana bisa sampai di sini?”Meski dal
Melihat dokter yang masih muda tetapi perhatian dengan pasien membuat simpatiku naik. Jarang ada dokter yang perhatian lebih apalagi belum mengenal keluarga pasiennya. Kebanyak dokter muda lebih mementingkan kepentingan pribadi apalagi menyangkut uang. Waktu adalah uang untuk mereka dengan mengejar job-job di Rumah Sakit.Bukan semua dokter, tapi kebanyakan hampir sama yang kutemui baik dulu maupun sekarang. Sering mendapat kata yang tidak mengenakkan hati, terlebih untukku yang tidak punya uang.Dengan hati-hati kuceritakan masalahku kepada dokter Ferdi. Mulai dari riwayat Andini yang masuk Puskesmas hingga kondisinya sekarang. Terlihat dia memperhatikan setiap ucapan yang keluar dari bibirku tanpa menyela.“Seperti itu Dokter, ceritanya. Saya berniat untuk membawanya ke kota agar mendapatkan penanganan yang cepat. Bukan bermaksud untuk mengecilkan Puskesmas di sini, tapi alat-alat di sini kurang mendukung untuk percepatan kesembuhan anak saya.”“Baiklah, saya akan memeriksa anak And
Ferdi melihat kecemasanku segera mengambil posisi. Dia memberi isyarat supaya aku tenang. Mengajakku duduk di sofa sementara perawat yang ada di sampingnya membenahi alat yang menempel di lengan anakku. Miris, disaat seperti ini aku tidak punya tambahan hati untuk kuajak berbagi pikiran. Tubuhku serasa lemas saat mereka mengatakan jika Andini mempunyai golongan darah langka.“Maaf, jangan cemaskan masalah itu. Kami akan membantumu semaksimal mungkin. Saya visit ke pasien lain dulu, nanti kita ngobrol di tempat yang sama seperti kemarin setelah jam istirahatku berakhir,” kata Ferdi menenangkanku.“Benar, Mbak. Sebaiknya Mbak tenang dulu. Kalau Mbak Riana panik kasihan Andini. Sebaiknya dipikirkan matang-matang sebalum membawanya ke kota. Karena kondisi anak Mbak belum bisa diajak bepergian jauh. Kecuali ada mobil yang berfasilitas terbaik sehingga kesehatan Andini tetap terjaga,” sahut Siti dari tempatnya berbaring.Masih dengan hati kalut aku mengangukkan kepala. Memikirkan bagaimana
Dokter Ferdi kembali masuk ruangan. Dia yang sudah menjanjikan menolong mencarikan pendonor darah untuk Andini kini muncul dengan senyumnya. Aku tenang dengan kedatangannya yang membawa berita tentang Andini.“Riana, darah untuk Andini akan tiba lusa. Aku sudah berusaha untuk mencarinya di tempat temanku. Tapi untuk menunggu lusa kondisi Andini tentu akan semakin menurun. Alat yang ada di Puskesmas ini tidak memadai untuk menunggu sampai darah itu sampai.”“Lantas bagaimana caranya Dokter. Saya harus bisa menyelamatkan anak saya,” tangisku kembali meledak. Masalah datang silih berganti tanpa ada ujungnya.“Saya hanya bisa punya satu solusi dengan mendekatkan dia dengan Rumah Sakit yang sama tempat Ayahnya sekarang dirawat. Kalau darah itu pun tiba kita harus segera melakukan operasi pada otaknya untuk memastikan kondisi Andini stabil.”“Ya Tuhan, saya harus bagaimana, Dokter. Tidak ada mobil yang berani membawa Andini ke kota dengan kondisi seperti ini,” ucapku semakin bingung.Kemudi
Kami saat ini sedang berkumpul untuk merayakan unversari pernikahanku dengan Alvian. Gedung mewah menjadi momen kebahagiaan kami yang sudah mengaruhi bahtera rumag tangga selama 15 tahun. Undangan para kolega dan sahabat kami berikan memperingati kebahgiaan kami saat ini. Aku dan Alvian berdiri menatap para tamu yang datang. Sari dengan keluarganya, Siti dengan calon tunagannya. Hari yang membuat kami bahagia setelah melewati semuanya dengan penuh ketegangan selama ini. Cahaya lampu kristal yang berkilauan menerangi ruangan ballroom yang megah. Alunan musik romantis mengalun merdu diiringi tarian para tamu undangan. Di tengah keramaian, aku dan Alvian berdiri bergandengan tangan, saling menatap dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Malam ini adalah malam spesial, malam di mana kami merayakan 15 tahun pernikahan kami. Lima belas tahun telah berlalu sejak kami mengucapkan janji suci pernikahan hanya di depan para saksi dan keluarga. Perjalanan pernikahan kami tidak selalu mulus. Ada rin
Sebagai manusia, kita hanya punya rencana. Selebihnya adalah Tuhan yang punya kuasa. Aku dan Alvian tidak hentinya bersyukur dengan kondisi kami saat ini. denga cobaan yang sering datang silih berganti dengan keterbatasan kemampuan akhirnya kami berhasil melewati semua ini dengan baik. Perjodohan dari sebuah perjanjian yang menjadikan kami pelajaran hidup yang tidak bisa digantikan. Benih-benih cinta tumbuh seiring perjalanan cinta yang luar biasa. Kami tidak sangka jika akan dipertemukan dalam situasi sepertisaat ini di mana Alvian yang uasianya jauh di atasku menjadi suamiku dengan semua ketulusan dan kasih sayangnya. Di malam hari, saat bulan bersinar kami mengungkapkan rasa cinta dengan dari dalam diri dengan penuh kekaguman. Aku memandangi Alvian dengan penuh kasih sayang. Kubalut tubuh polos kami dalam selimut tebal dengan mengungkapkan kata-kata mesra. “Mas, tak pernah kubayangkan perjodohan yang awalnya terasa asing dan penuh keraguan ini, justru mengantarkan kita pada cinta
Lima tahun berlalu, persahabatanku dengan Sari dan Hendra tidak pernah putus meski mereka tidak lagi menjadi bagian milik kami. Sari membuka usaha baru dengan toko makanan sebagai pendamping butiknya yang masih kecil dengan Hendra. Ditambah kedua orang tuanya ikut membantu usahanya seperti ayah dan ibuku. Sari dan Hendra bagaikan dua pasang sepatu yang serasi. Sejak awal pernikahan mereka, mereka selalu saling mendukung dan bahu membahu dalam segala hal. Semangat kewirausahaan yang mereka miliki mendorong mereka untuk membangun usaha bersama. Awalnya, mereka memulai usaha kecil-kecilan di rumah. Sari, dengan bakat memasaknya yang luar biasa, mulai membuat kue dan camilan rumahan. Hendra, yang pandai dalam hal pemasaran dan penjualan, mempromosikan produk Sari melalui media sosial dan menjajaki pasar online. Usaha mereka yang kecil perlahan-lahan mulai berkembang. Kue dan camilan Sari mendapat banyak pujian dari pelanggan karena kelezatan dan kualitasnya. Hendra pun berhasil memperlu
Alvian, dengan tekad dan kegigihannya, berhasil mengembangkan perusahaan milik Yeni hingga mencapai puncak kejayaan. Perusahaan yang dulunya hanya sebuah usaha kecil di Medan, kini telah menjelma menjadi raksasa di bidangnya, dengan jangkauan yang mendunia. Alvian melangkah dengan penuh keyakinan dan tekad di lorong-lorong kantor pusat perusahaan Yeni. Dasi yang rapi dan kemeja putihnya tak lekang oleh keringat yang membasahi dahinya. Tatapan matanya tajam dan berbinar, memancarkan aura optimisme yang tak tergoyahkan. Langkahnya tegas dan penuh tujuan, seolah-olah dia tahu persis ke mana dia ingin pergi dan apa yang ingin dia capai. Di balik kesuksesan Alvian, tersembunyi sebuah perjuangan panjang dan penuh rintangan. Dia memulai karirnya di perusahaan Yeni sebagai karyawan biasa, dengan gaji yang pas-pasan dan jam kerja yang panjang. Namun, dia tidak pernah puas dengan keadaan yang ada. Dia selalu memiliki mimpi besar untuk membawa perusahaan Yeni ke puncak kejayaan. “Mas, melihat
Andini dan Aldo, dua buah hatiku, tumbuh dengan pesat, mekar menjadi tunas-tunas cerdas dan berprestasi. Kecerdasan mereka bagaikan mentari pagi, menerangi setiap langkah mereka. Di bangku sekolah, mereka selalu bersinar, menorehkan prestasi demi prestasi. Andini, si sulung, dengan kecerdasannya yang analitis, selalu unggul dalam bidang matematika dan sains. Ia bagaikan kompas yang selalu menunjukkan arah yang tepat, memecahkan setiap soal dengan kejelian dan logika yang luar biasa. Malam hari di ruang keluarga, setelah makan malam. Aku dan Alvian duduk di sofa, menikmati teh hangat sambil berbincang tentang anak-anak. "Mas, kamu lihat Andini dan Aldo hari ini? Mereka benar-benar luar biasa!" "Iya, aku juga perhatikan. Prestasi mereka di sekolah selalu membanggakan." "Andini, si sulung, makin jago aja nih di bidang matematika. Dia selalu mendapatkan nilai sempurna di setiap ujian." "Iya, dia memang cerdas dan tekun belajar. Aku yakin dia akan menjadi seorang yang sukses di masa de
Akhirnya Sari dan Hendra mendapatkan kebahagiaan dengan pernikahannya. Kami sekeluarga sangat senang dengan kondisi Sari yang telah diterima oleh kedua orang tuanya pasca penolakan. Mereka tetap bekerja di butik milikku. Hendra sedikir demi sedikit diajari oleh Alvian tentang cara membuka usaha baru agar tidak dipandang rendah oleh kedua mertuanya. Dia mengajarkan bagaimana bertanggung jawab kepada keluarga besar Sari yang tinggal bersamanya. Setahun berlalu, kami, aku dan Sari memiliki keluarga yang bahagia dengan pencapaian masing-masing. Aku tidak lagi memperkerjakan Sari di butik karena dia sudah memilih usaha barunya bersama suami meski hanya kecil-kecilan. Kedua orng tuanya sudah mulai menerima Hendra yang menyayangi Sari dan keluarganya tanpa pilih kasih. Sari juga sudah dikaruniai seorang anak dari pernikahannya. Hawa hangat pagi hari menyelimuti rumah kecil Sari dan Hendra. Suara tawa riang anak mereka, Dinda, terdengar dari ruang tamu. Sari sedang menyiapkan sarapan di dapu
Pernikahan Sari dan Hendra dilangsungkan dengan khidmat dan penuh kebahagiaan. Suasana dipenuhi dengan tawa, haru, dan doa dari keluarga dan teman-teman yang hadir. Sari yang terlihat cantik dan anggun dalam balutan gaun pengantin putih, tak henti-hentinya memancarkan aura kebahagiaan. Hendra pun tampak gagah dan berseri-seri di sisinya.Suara musik pernikahan mengalun merdu mengiringi langkah kaki Sari yang anggun menuju altar. Gaun putihnya yang berkilauan bagaikan gaun putri, memantulkan cahaya lampu yang menerangi ruangan. Hendra, sang mempelai pria, sudah menunggunya dengan penuh kerinduan di altar.Upacara pernikahan dipimpin oleh seorang penghulu yang terkenal bijaksana. Doa-doa dipanjatkan untuk kelancaran pernikahan mereka dan agar mereka selalu dilimpahi kebahagiaan."Sari, maukah kau menjadi istriku?" tanya Hendra dengan suara mantap."Ya, Hendra," jawab Sari dengan suara bergetar karena haru. "Aku bersedia menjadi istrimu."Suara tepuk tangan dan sorak-sorai menggema di ru
Melihat betapa rumitnya hubungan mereka, aku tak kuasa untuk melepaskan masalah ini. Sari sudah banyak membantuku selama aku dalam kesulitan. Demi sahabat aku dan Alvian akan berbicara dengan kedua orangtuanya Sari. Usia Sari sudah waktunya untuk berumah tangga. Selama ini ia selalu menghindar dari perkotaan karena tidak cocok dan tidak cinta dengan calon suaminya. Cinta tidak dapat dipaksakan, demikian juga dengan hati. Pengalaman mengajarkan aku untuk tidak memaksaku diri atas cinta. Kalau cinta seimbang dan sama-ada rasa tidak masalah. Tetapi jika cinta bertepuk sebelah tangan, jangan berharap akan bahagia untuk selamanya. "Sayang, kita harus bantu Sari. Aku ingin dia bersama dengan Hendra. Dia lelaki baik yang selama ini aku kenal. Alvian yang sering bersama anak-anak menoleh ke arahku. Aku belum cerita tentang Sari dan masalahnya. Andini dan Aldo yang bermain akhirnya masuk ke dalam kamar. Mereka tahu kedua orang tuanya sedang membicarakan masalah serius. Inilah kelebihan anak
Cahaya rembulan menembus jendela kamar Sari, menemaninya yang terduduk di atas ranjang. Air mata membasahi pipinya, membasahi surat yang baru saja dia baca. Surat itu berisi penolakan keras dari orang tuanya terhadap hubungannya dengan Hendra."Aku bingung harus bagaimana, Riana. Orang tuaku tidak merestui hubungan aku dengan Hendra. Hatiku terasa bagaikan teriris pisau. Aku tak habis pikir mengapa orang tuaku begitu menentang hubunganku dengan Hendra. Bagiku, Hendra adalah cinta sejati, pria yang selalu membuatku bahagia dan selalu ada untukku.”Aku mengusap punggung Sari yang baru bercerita setelah aku mendesaknya. Awalnya dia menolak tak ingin hubungannya yang belum mendapat restu diketahui oleh publik. Bagaimanapun Sari adalah orang terdekat yang membantuku selama ini. Dalam keadaan susah sekalipun dia tidak pernah pergi dari sisiku.Di tengah kesedihan yang tak berujung, Sari teringat padaku yang tadi memergoki mereka sedang berdua di dalam ruangan. Meski aku tidak ingin ikut cam