Alvian merasa bersalah atas apa yang kematian Weni, mamanya. Weni meninggal karena ulah mantan istrinya yang bernama Dewi. Dia mengeluh kepadaku setiap hari selama di Kalimantan tentang perasaannya. Lewat komunikasi jarak jauh aku tetap memantau perkembangan Alvian agar tidak merasa sedirian.“Riana, aku merasa bersalah...”“Ada apa lagi, Sayang? Ceritakan padaku.”“Aku merasa bersalah atas kematian mama. Seandainya aku tidak menikah dengan Dewi, mungkin mama tidak akan mengalami kecelakaan itu.”“Kamu tidak bersalah atas apa yang terjadi. Dewi yang telah melakukan kejahatan, dan dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Yang menyuruhmu menikag adalah mama, jangan kau salahkan dirimu, Mas.”“Tapi aku tidak bisa menghilangkan rasa bersalah ini, Sayang. Aku merasa seolah-olah aku telah mengecewakan mama.”Aku menatap susmiku lewat layar kaca. Semenjak kecelakaan yang menimpanya. Pikiran Alvian sering kalut dan terkadang sulit untuk dikendalikan tentang perasaannya. Emosinya sering
Alvian berdiri di depan foto Weni, mama angkatnya yang tewas kerean penyakit yang disebabkan racun yang diberikan oleh sesorang. Rasa duka dan amarah bercampur aduk dalam dirinya. Ia yakin bahwa kejadian itu bukan murni sebuah musibah, melainkan sebuah skenario jahat yang didalangi oleh Dewi, mantan istrinya.“Mas, kamu kenapa lagi. Aku sangat cemas melihatmu seperti ini.”Aku tetap memantau Alvian hampir setiap jam. Roy akhir-akhir ini mengabarkan jika Alvian sering terlihat aneh dan menyendiri.“Aku masih belum bisa move on dari Dewi. Aku ingin membalas dendam padanya, Riana. Tolong kamu restui aku untuk ini. Aku tetap tidak akan tenang sebalum dendam ini terbalas. Paling tidak kesalahannya kepada mama terbayar di penjara.”“Mas Alvian, aku benar-benar khawatir dengan kondismu. Biarkan Roy yang mengusut masalah ini. kamu fokus dengan Perusahaan. Jangan sampai sakit kepalamu kambuh dengan masalah rumit ini.”Semenjak kecelakaan, sakit di kepala Alvian sering kambuh. Ia sering dengan
Alvian terlihat duduk lemas di kursi kerjanya. Wajah mengerutkan kening, menunjukkan rasa frustrasi dan kemarahan. Alvian mengatupkan rahangnya, bibir Alvian bergetar, menunjukkan kesedihan dan emosi yang bergejolak.Alvian meneteskan air mata melotot, menunjukkan keterkejutan dan kemarahan menatap kosong ke depan dengan pupil mata melebar, menunjukkan ketakutan dan kewaspadaan. Tangan Alvian mengepalkan tinjunya, menunjukkan kemarahan dan tekad untuk melawan. Gemetar, menunjukkan rasa gugup dan cemas. Tubuh membungkuk ke depan, menunjukkan rasa lelah dan patah semangat.Alvian mondar-mandir, suara Alvian bergetar dan terputus-putus berbicara dengan nada yang tinggi dan tajam, kepada Roy memberikan perintah untuk keluar ruangan. Ia ingin menenangkan diri dan berdamai dengan rasa syok dan ketidakpercayaan. Suamiku menggigit bibir meremas rambut menarik napas dalam-dalam. Terlihat emosi yang ditahan. “Keluarlah, aku hanya ingin sendirian.”Alvian tahu bahwa dia harus bertindak cepat. D
Beberapa hari melakukan penyelidikan kini semua terungkap jelas. Meski bukti sudah dibawa oleh Roy dan Alvian tetapi polisi tetap mendalami kasus yang dilaporkan. Mereka tidak serta merta menerima barang bukti tanpa penyelidikan ulang. Berkat kegigihan Roy dan Alvian ketika menyakinkan petugas pengadilan terhadap Dewi dan Ferdi dapat dilakukan dengan cepat.Hanya dalam hitungan hari polisi berhasil mengungkap kejahatan dan reka ulang peristiwa yang dilakukan oleh Ferdi dan Dewi terhadap Weni, mertuaku. Selama berhari-hari aku menahan kecemasan terhadap suamiku yang lama berjauhan denganku akhirnya berhasil dengan sukses.Dewi dan Ferdi terbukti melakukan persekongkolan sudah mencelakai Weni dengan memberikan racun agar mati perlahan. Mereka juga berusaha merebut perusahaan milik Yeni setelah memperdaya Weni diambang kesakitan. Berdasarkan bukti yang dibawa oleh Alvian dan Roy keduanya tidak dapat membantah tuduhan tersebut. Awal kehidupan yang buruk untuk mereka mendekam di penjara.D
Alvian kembali memimpin perusahaan yeni. Ia kembali ke Jawa setelah menyelesaikan urusan di Kalimantan dengan Dewi dan Ferdi. Tanpa menemui kesulitan Alvian dan Roy tiba di Jawa dengan selamat. Ruang kantor mewah, Alvian menatap ke sekeliling ruangan yang penuh dengan kenangan bersama Yeni. Perlahan, dia kembali merasakan semangat dan tekad untuk memimpin perusahaan ini. Alvian duduk di kursi kebesarannya di kantor, menatap foto Yeni yang terpajang di meja. Wajahnya dihiasi senyum tipis, namun ada seulas kesedihan yang terpancar dari matanya. Kematian Yeni masih meninggalkan luka yang mendalam di hatinya. Dia bangkit dari kursinya dan berjalan ke jendela, memandangi kota yang ramai dari atas. Angin sepoi-sepoi membelai rambutnya, seolah-olah membawa pesan dari Yeni. "Yeni," bisik Alvian, "aku akan meneruskan apa yang telah kau mulai." Alvian bangkit dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Dia memandangi kota yang ramai dari atas, dan membayangkan Yeni tersenyum padanya. "Aku a
Aku memendam rasa penasaran di hati dengan kondisi Alvian. Sekarang yang peling penting adalah menyelamatkan Aldo membawanya ke rumah sakit. Kuminta Andini di rumah bersama dengan Siti dan pelayan yang lain.“Aku ingin ikut ke rumah sakit, Ma,” pinta Andini merengek“Jangan dulu, Sayang. Kita tidak tahu berapa lama adek kamu diperiksa. Besok kamu sekolah, ada ulangan. Biar mama dan papa yang memeriksakan adek dulu. Doakan Adek baik-baik saja.”Andini akhirnya lirih dan mau mengerti disituasi yang genting seperti ini. Selama berjalan ke mobil aku lihat wajah Alvian tidak seperti biasanya. Ada kecemasan yang tersembunyi, apa itu tentang kondisi Aldo ataukah yang lain.Tiba di rumah sakit Alvian mengatakan kami hingga di IGD. Kami melihat Aldo terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya pucat pasi dan tubuhnya panas membara. Kami panik dan mencaritahu tentang sakitnya Aldo. Selama ini dia selalu baik-baik saja. Bahkan saat kami tinggal bersama dengan pelayan di rumah tidak pernah sakit. Me
Andini dan Aldo mulai kehidupan baru mereka bersama Alvian. Alvian merawat Aldo dengan kasih sayang, dia yang seharusnya mendapatkan job besar untuk perusahaan ditinggalkan demi merawat Aldo. Rasa berasalah masih menyelimuti hati Alvian saat ini. Demi mendapatkan kepercayaan dari anak Alvian rela melepas peluang mendaptkan pundi-pundi rupiah yang lebih besar.Alvian menatap langit malam yang bertabur bintang, hatinya diliputi rasa sesak. Tatapannya menerawang jauh, penuh dengan keraguan dan penyesalan. Kepalanya menunduk, bahunya merosot, dan garis-garis halus di dahinya semakin terlihat jelas. Rasa sesak di dadanya terasa semakin berat.Keputusan yang dia ambil untuk meninggalkan pekerjaannya demi merawat Aldo, putranya masih terasa berat. Bayangan peluang emas yang dia lewatkan menghantui, membangkitkan rasa bersalah yang tak kunjung padam. Di sudut ruangan, Andini ikut tertidur pulas. Wajahnya yang damai dan tenang seakan tidak tersentuh oleh kesedihan yang menyelimuti Alvian. Dia
"Sayang, yuk kita ke makam mama dan Yeni,” ajak Alvian tiba-tiba."Hmm, aku tidak yakin, Mas.""Aku tahu, Sayang. Tapi Yeni pasti ingin kamu memaafkan mama. Dia ingin kamu dan aku hidup dengan damai."Entah mengapa bayangan kesakitan tiba-tiba melitas saat Alvian mengajak mengunjungi makan mamanya. Aku tahu, hal ini tidak lah benar memendam kebencian kepada orang yang sudah tiada. Padahal kemarin aku sudah melupakan kesakitan itu, tapi kenapa sekarang tiba-tiba muncul lagi.Akhirnya kami mengunjungi makam Weni dan Yeni. Alvian, suamiku, selalu berinisiatif untuk mengajakku ke sana. Awalnya, aku merasa enggan dan ragu. Rasa benci dan dendam yang tertanam di hatiku terhadap Weni, ibu mertuaku, masih begitu kuat. Aku masih sulit untuk memaafkannya atas semua yang telah dia lakukan kepada Yeni, maduku tercinta, yang telah meninggal karena sakit.Aku berdiri di depan makam Weni. "Weni... aku... aku ingin memaafkanmu."Alvian memelukku dari belakang. "Itu bagus, Sayang. Yeni pasti senang me