Aku terkejut, sejauh itu Alvian memperhatikan tentang kondisiku. Tidak ingin berprasangka buruk apalagi saat ini kondisinya tidak memungkinkan untuk kami berdebat. Cukup kesakitan yang dulu pernah kurasakan akibat ketidak adilan yang dia toreh dengan kehidupanku di masa lalu.“Saya hanya minta bantuan Tuan. Saya tidak ingin ada perjanjian apapun yang menyangkut akan kehidupan saya dan Andini,” ucapku tegas.“Anak kita, kamu tidak bisa punya anak tanpa campur tanganku dan Yeni. Ingat, perjanjian dengan Yeni masih berlaku untukmu, saat kita sudah punya anak.”“Tapi, saya sudah tidak menginginkan apa-apa dari keluarga Nyonya Yeni. Tolong lepaskan saya,” pintaku.“Hemm … tidak semudah itu. Kecuali jika kamu mati dan anak kita tidak ada,” ucapnya tegas.Aku terdiam melihat kilat marah yang terpancar dari mata sang Ceo yang merajai beberapa perusahaan milik Yeni. Yah, perusahaan tersebut 50 persen merupakan saham Yeni yang sudah diamanatkan atas namaku dan anakku. Meskipun aku tidak lagi be
Mendapat informasi dari sopir yang mengantar Alvian, aku segera bergegas keluar dari apartement. Awalnya Sari tidak mengijinkan, tapi naluriku berkata Alvian butuh diriku di sampingnya.“Ri, aku tidak bisa menemani kamu. Hati-hati kalau mantan mertua kamu di sana. Apalagi Si Dewi itu, aku sebel dengan dia yang tidak mengakui pertemanan kalian.”“Pasti, aku hanya ingin lihat, Tuan Alvian medapat penanganan medis yang tepat. Dia pingsan gara-gara aku menyuruhnya mencari Andini.”“Wajar, dia bapaknya. Kamu jangan berpikir kalau Tuan Alvian tidak butuh Andini. Anak kamu kunci dari harta Nyonya Yeni. Buruan pergi,” usir Sari dengan isyarat tangan.Tidak kupikirkan apa yang sudah dikatakan Sari soal harta Yeni. Bagiku sekarang keselamatan Alvian lebih penting dari semuanya. Entah mengapa jantungku berdebar kencang mendengar Alvian dalam keadaan tidak baik-baik saja.Malam semakin pekat, meski ada rasa takut perempuan kelayaban di jalan hanya demi melihat ayah anaknya. Aku nekat dengan meng
Alvian terlihat sangat lemah. Bicaranya terdengar lirih hampir tak terdengar. Kudekati dengan membuka hati seluasnya untuk kesembuhan ayah dari anakku. Entah mengapa hatiku lemah melihat kondisinya saat ini. Dengan ditemani Roy aku mendekati bankar yang terdapat alat di atasnya dengan bunyi detak jantung.“Tuan, sudah sadar?” tanyaku menatap wajah pucatnya.Alvian mengangguk lemah, dengan isyarat tangan dia menyuruhku untuk duduk di kursi yang ada di dekat brankar. Aku menuruti permintaan Bos perkebunan ini. Meski banyak pertanyaan yang berkelebat di benakku kutahan sekuat mungkin demi menjaga ketenangan ruangan.Roy memberiku isyarat untuk lebih mendekat, karena suara Alvian sangat lemah.“Ri, maafkan aku. Belum bisa menemukan anak kita,” kata Alvian lemah menatap sayu.“Tidak masalah, Tuan. Kita cari lagi kalau Tuan sudah sehat.” Aku terdiam, tidak kuasa melihatnya terbujur lemah, “Tuan Alvian sakit apa sebenarnya?” tanyaku akhirnya tidak tahan.“Aku sudah sekarat. Di sisa hidupku i
Tangan lemah Alvian sesekali meraih tanganku masuk dalam genggaman. Tak bisa kutolak ajakan lelaki itu untuk memintaku mendekat dan sesekali dia mencium tanganku. Perlahan kutarik tapi aku kasihan, sorot matanya meminta untuk aku membiarkan dalam keadaan seperti ini.“Ini sudah salah, Tuan. Kita tidak boleh seperti ini. Saya bukan istri Tuan Alvian lagi,” pintaku.“Aku hanya ingin kamu dengar cerirtaku sebentar. Hanya tanganmu yang kugenganggam. Seandainya aku bisa menggenggam hatiku juga, aku pasti akan tenang, Riana,” ucapnya dengan sorot mata sayu.“Kalau istri Tuan melihat kita bisa salah paham. Saya tidak ingin punya masalah lagi dengan keluarga Tuan. Jangan sampai mereka juga menyakiti keluarga saya, cukup saya saja, Tuan.”Alvian menggeleng, dia menegaskan jika tidak ada keluarganya yang akan mengetahui pertemuan mereka. Bahkan dia menjamin jika aku bebas ke sini kapan saja. Tentu aku terkejut mendengar penyataan mantan suamiku.“Tolong jelaskan padaku apa yang yang sebenarnya
Selepas kepergian Roy aku masuk ke ruang rawat. Hawa dingin mulai menyerang setelah sendirian duduk sembari melihat orang yang pernah hadir di dalam hidupku terbaring di atas brankar dengan selang menancap di tubuhnya.Terkadang ego yang membuat kita berpisah dengan cara yang tidak disangka. Dan keadaan yang menjadikan kita kembali kepada yang kita sayang.DegRasa itu kembali hadir saat aku kehilangan buah hati. Satu-satunya harapan untuk terus berjuang melanjutkan hidup. Semakin kucoba untuk menepis kehadiran Alvian di hidupku semakin sakit rasa yang harus kutanggung. Kondisi kita tidak sama lagi, dia sudah punya pasangan yang seharusnya dibahagiakan.Mataku terasa berat, kupilih sofa untuk mengistirahatkan tubuhku. Semenjak dari Banyuwangi aku belum tidur sama sekali. Setelah memastikan keadaan aman, akhirnya aku terlelap.**Suara berisik membuat mataku terbuka. Beberapa perawat memeriksa kondisi Alvian. Laki-lali itu membuka mata menatapku. Sejurus kemudian aku mendekati mereka d
Matahari mulai merangkak ke atas. Memberikan sinarnya yang mulai panas ke bumi. Orang-orang sudah memulai aktivitasnya masing-masing dengan hiruk pikuknya memenuhi tanah yang mulai mengering. Mereka tidak peduli dengan kelelahan yang sudah dilakukan sejak pagi. Keinginan untuk memperoleh uang demi memenuhi perut terus dikejar tanpa henti. Tidak peduli badan yang sudah lelah dan rasa lapar yang melanda. Tidak sabar rasanya menunggu Roy memberikan kabar tentang anakku. Tiba-tiba bunyi ponsel Alvian berdering kembali. Kali ini kulihat dia malas untuk mengangkatnya. Terlihat tangan yang terpasang selang infus meletakkan ponsel di dekat tubuhnya.“Kenapa tidak diangkat telponnya, Tuan. Jangan-jangan Roy yang menelpon mengabarkan kondisi Andini.”“Bukan Roy, tapi Mama.”Aku mengernyit, mamanya sendiri menelpon tapi tidak bersedia menerima. Apa yang sebenarnya terjadi antara Antara Alvian dengan Mamanya?“Saya tidak ingin ikut campur dengan masalah, Tuan. Saya akan keluar kalau Tuan tidak
“Apa yang Nyonya katakan? Jangan sampai Nyonya melakukan hal buruk terhadap anak saya. Saya akan melaporkan Nyonya Weni, jika hal itu sampai terjadi,” ucapku dengan dada bergemuruh menahan amarah. Weni tertawa dan mengejek, tangannya bersendekap dan menatapku tajam. Sementara Dewi ikut keluar dari ruangan dan berdiri di belakang Weni dengan senyum sinisnya. Kutatap keduanya, ingin mencakar mulut Weni rasanya. Mulutnya sangat pedas dan tidak punya rasa belas kasih. Apa salah anakku, kami sudah tidak mengganggu mereka lagi.Tarikan tangan dari Roy menyadarkan aku untuk tidak membalas perbuatan Weni. Meski ingin berteriak dan menjambak wanita tersebut tetapi aku tahan. Bagaimana bisa dia mempunyai niat untuk menyakiti anak kecil, tidak manusiawi.“Roy, antar aku ke alamat Andini ditemukan. Aku khawatir dengan anakku, jangan sampai niat busuk mereka sampai terwujud.”“Nona,” kata Roy kemudian berbisik, “Jangan terpancing emosi. Nyonya Weni bisa melakukan apa saja dari sini. Sebaiknya No
Tubuhku meremang mendengar perintah Alvian. Terdengar nada bicara yang kesal penuh amarah darinya. apa yang membuatnya berubah sikap. Jangan-jangan Weni dan Dewi berhasil mempengaruhinya tentang Andini. Tidak mungkin dengan tiba-tiba dia memerintahkan hal itu. Kemarin Alvian dengan jelas menerima Andini sebagai anaknya tanpa persyaratan meski aku tidak memberitahu yang sebenarnya.Dengan pikiran campur aduk aku masuk ke ruang yang ditunjukkan oleh perawat. Mataku seketika berair melihat dua sosok yang selama ini menemaniku tergolek tidak berdaya di atas brankar Rumah Sakit.Siti terlihat menatap ke arah pintu sedangkan tubuh tungil anakku diam tidak bergerak.“Mbak Riana?” sapa Siti dengan lemah.“S-Siti … Siti, bagaimana keadaan kamu?” jawabku dengan tubuh bergetar mendekat.“Maafkan saya, tidak bisa menjaga Andini. Saya salah ….”“Sttt … diamlah. Jangan merasa bersalah. Ini cobaan,” aku mengela napas panjang, “apa yang sekarang kamu rasakan? Bagaimana bisa sampai di sini?”Meski dal