***"Jam dua belas."Menghentikan kegiatan kerjanya, Arka melirik arloji yang dia pakai. Sudah pukul dua belas, itu tandanya waktu jam makan siang sudah selesai. Menutup laptop lalu membereskan beberapa berkas penting di meja, Arka tak langsung beranjak. Dia memilih untuk mengambil ponsel di laci lalu bersandar pada kursi kerjanya.Mengecek pesan, Arka mengerutkan kening ketika tak ada satu pun pesan yang dikirimkan Aludra padanya."Lulu udah selesai belum ya makan siangnya," gumam Arka.Penasaran, dia akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Aludra untuk bertanya selesai atau belum makan siang dia dan Damar, atau mungkin Aludra bahkan sudah pulang.[Arka : Lu, makan siangnya udah selesai? Udah pulang? Kenapa enggak telepon atau chat?]Tak terlalu panjang, Arka langsung mengirim pesan tersebut pada Aludra dan tentu saja dia menunggu balasan dari sang istri. Namun, hingga lima menit berlalu balasan tersebut tak kunjung datang—membuat Arka akhirnya beranjak lalu memasukkan ponseln
***"Sampai."Menempuh perjalanan hampir dua puluh menit, mercedes benz yang ditumpangi Aludra, Aileen, juga dua orang pria tak dikenal itu akhirnya berhenti di sebuah tempat yang sepi.Bukan rumah kosong atau semacamnya, kedua pria berpakaian hitam itu membawa Aludra juga Aileen ke sebuagmh hutan yang cukup sepi. Namun, tentu saja sampai detik ini Aludra tak bisa tahu di mana dia berada karena sejak tadi pria yang menahannya itu sudah menutup kepalanya dengan kain berwarna hitam.Tak hanya kepala yang ditutup, kedua tangan Aludra pun juga diikat ke belakang layaknya sandera. Seolah kurang—agar Aludra tak berteriak, bibirnya ditutup paksa dengan lakban hitam.Aileen? Selalu tenang ketika tidur, gadis cantik itu sama sekali terganggu dengan apa yang terjadi pada tantenya karena sejak tadi dia tetap tidur."Bawa turun aja langsung apa gimana?" Pria berbaju hitam dengan rambut plontos itu kini bertanya pada temannya yang mengemudi."Kabarin dulu Ibu bos," jawab temannya itu.Ibu bos? Hat
***"Aludra, enggak ada sesuatu terjadi sama dia kan, ya?"Hampir lima menit sampai di depan kantor cabang tempatnya bekerja, Damar tak langsung turun dari mobil ketika dia tiba-tiba saja teringat lagi Aludra—setelah di tengah perjalanan tadi Arka menelepon dan menanyakan keberadaan Aludra padanya.Padahal, tadi dengan sangat jelas Damar melihat Aludra naik ke mobilnya."Duh kenapa jadi enggak enak gini ya," kata Damar. Bersandar pada jok mobil, dia menghubungi nomor Aludra. Namun, hingga bunyi sambungan kesekian, Aludra tak kunjung menjawab panggilan darinya. "Kan, bikin makin over thinking aja nih anak."Terdiam untuk beberapa detik, Damar akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi Arka.Menunggu cukup lama, kali ini telepon darinya dijawab oleh Arka."Halo, Ar. Gimana? Alula ada, kan?" tanya Damar."Halo, Dam. Aku lagi di jalan dan enggak bisa ngomong banyak, sorry," kata Arka dari seberang sana."Itu Alula gimana, Ar? Ada kan, dia?" tanya Damar semakin tak bisa tenang."Aku mati
***"Di sini lokas-"Arka menghentikan ucapannya ketika pandangan yang semula tertuju pada ponsel beralih ke arah mobil mercedes benz yang terparkir tak jauh dari mobilnya berhenti sekarang."Alula."Arka beringsut lalu melepas safetybeltnya dan bergegas turun. Mengedarkan pandangan, dia berjalan menuju mobil tersebut dan tentunya Arka cukup terkejut melihat Aileen berbaring sendirian di jok belakang."Ya ampun, Ai."Membuka pintu mobil yang ternyata tak dikunci, Arka mencondongkan badan lalu meletakkan dua jarinya di depan hidung sang keponakan.Hembusan napas lega terdengar ketika Arka masih bisa merasakan embusan napas Aileen yang masih teratur. Sepertinya Aileen tidur, begitulah pikiran Arka sekarang.Tak mau mengganggu sang keponakan, dengan sangat hati-hati Arka meraih tubuh mungil Aileen lalu mengangkatnya. Namun, persis ketika dia hampir saja berdiri dan keluar, pandangan Arka tertuju pada tas selempang yang tergeletak di bawah jok."Tasnya Lulu," kata Arka sambil meraih tas i
***"Mas Arka kamu bertahan ya, Mas. Kamu pasti kuat."Duduk di jok belakang sambil menopang kepala Arka yang kini terbaring tak sadarkan diri, Aludra tak henti merapalkan doa juga memberi kekuatan untuk Arka agar terus bertahan untuknya.Dibantu Damar yang suka rela menggendong Arka ke mobil, kini mereka dalam perjalanan menuju rumah sakit—sementara Aksa mengantar Aileen pulang ke rumah agar gadis mungil tersebut bisa aman di sana."Arka pasti bertahan buat kamu," kata Damar di sela-sela kegiatan mengemudinya.Meskipun menyetir dengan kecepatan yang tinggi, sesekali Damar mencuri pandang di kaca spion untuk melihat Aludra dan selama perjalanan, hanya raut wajah khawatir yang nampak di wajah gadis itu.Aludra sepertinya memang benar-benar sudah jatuh cinta pada Arka, begitupun sebaliknya. Demi Aludra, Arka rela mengorbankan nyawanya. Dia rela menahan sakit ketika peluru yang ditembakkan Rania menembus bahkan merobek permukaan kulitnya dan sekarang? Peluru tersebut masih bersarah di tu
***"Ra, minum dulu."Aludra yang sejak tadi duduk sambil menundukkan kepalanya seketika mendongak ketika Damar menyodorkan sebotol air mineral.Dua jam sudah berlalu semenjak dokter berkata akan memulai operas, pintu ruangan di depan Aludra itu tak kunjung terbuka—membuat rasa gelisah semakin menjalar di seluruh tubuh Aludra.Menunggu bersama Damar, raut khawatir tak kunjung menghilang dari wajah Aludra. Tentu saja. Mana bisa dia tenang ketika di dalam sana Arka harus berjuang hidup setelah menyelamatkan dirinya."Dam, Mas Arka pasti baik-baik aja, kan?"Aludra mendongak. Alih-alih mengambil minuman yang diberikan Damar, dia justru melayangkan pertanyaan tersebut pada sahabatnya itu."Pasti, Ra. Arka pasti baik-baik aja," kata Damar. "Pelurunya sekarang lagi dikeluarin dan nanti setelah operasi selesai, dia pasti langsung bangun."Aludra mendesah sementara kedua tangannya yang bahkan masih dipenuhi bercak darah mengusap kasar wajahnya yang sembab karena menangis sejak tadi.Namun, s
***Pagi ini, di bawah langit Bandung yang mendung. Seorang perempuan terlihat menangis di dekat gundukkan tanah merah bertabur bunga yang masih baru bahkan basah.Menutupi kepalanya dengan selendang hitam juga kacamata berwarna senada, perempuan tersebut tak kuasa menahan air matanya untuk tak jatuh melihat orang yang paling berarti dalam hidupnya pergi menghadap Tuhan untuk selama-lamanya.Sejak sepuluh menit yang lalu bahkan tangannya tak berhenti mengusap nisan bertuliskan nama orang yang paling dia sayang. Tak percaya. Begitulah yang dirasakannya sekarang.Waktu berlalu begitu cepat. Padahal, baru kemarin rasanya dia menelepon orang yang kini berbaring di bawah gundukkan tanah tersebut.Hancur? Tentu saja. Perempuan itu bahkan merasa jika hidup terlalu kejam untuknya. Setelah kedua orang tua juga kakak laki-lakinya, sekarang dia harus kehilangan kakak perempuannya yang meninggal karena sebuah kecelakaan tragis kemarin siang.Raina. Perempuan itu tentu saja Raina. Terbang langsung
***"Enggak usah lari-lari, jalannya biasa aja. Kata Arka kamu ceroboh."Aludra yang baru saja melepas safetybelt lantas menoleh ketika peringatan tersebut diucapkan Aksa sesaat sebelum dirinya turun dari mobil.Pemakaman tak jauh dari rumah sakit, Aludra dan Aksa hanya perlu menempuh perjalanan lima belas menit saja sebelum akhirnya sampai di rumah sakit.Antusias. Aludra melangkah turun dari mobil lalu membiarkan Aksa memarkirkan mobilnya ke basemant sendiri.Melangkahkan kaki dengan sangat cepat, Aludra bergegas menuju lift. Mendengar Arka sadar tentunya angin segar bagi Aludra yang sempat merasa frustasi ketika semalaman penuh suaminya itu tak kunjung bangun."Mas Arka," gumam Aludra ketika pintu lift terbuka di lantai dua. Menarik napas pelan, dia akhirnya melangkahkan kaki menyusuri koridor menuju ruangan rawat Arka yang sedikit berada di ujung.Masih dengan senyumannya, Aludra menarik handle lalu membuka pintu dengan sangat hati-hati. Namun, senyuman yang sejak tadi terukir itu
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu