Keesokan paginya, Shafira tidak keluar kamar. Ia sibuk dengan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya. Shafira terkekeh, mengingat ekspresi Almira, saat tahu dirinya tidak bisa memasak sarapan untuk pagi ini.
Sebenarnya, Shafira bisa saja memasakkan sarapan untuk mereka pagi ini, hanya saja ia masih kesal pada Almira yang mengakui masakannya sebagai hasil masakannya sendiri.Shafira melirik pada sosok lelaki yang tengah tertidur lelap di sampingnya. Semalam Yusuf memutuskan untuk tidur di kamar istri pertamanya. Tentu saja, hal itu membuat Almira murung dan tak henti-hentinya mengomel."Pagi, Umi!" sapa Yusuf dengan suara sedikit serak."Pagi, Abi. Kok sudah bangun?""Umi lupa, kalau pagi ini Abi harus ke kantor?""Astagfirullah, Maaf. Umi lupa kalau pagi ini Abi ada meeting dengan perusahaan sebelah. Sukses selalu, ya. Semoga dimudahkan rezeki, dan selalu dalam lindungan Allah Swt. Amin.""Amin. Terima kasih doanya, Umi. Maaf, beberapa hari ke belakang Abi hampir saja melupakan ...."Shafira langsung mengunci mulut Yusuf dengan jari telunjuknya. "Jangan terus-menerus meminta maaf! Umi sudah memaafkan Abi, jauh sebelum Abi meminta maaf.""Masyaallah, betapa mulianya hatimu, Umi."Yusuf langsung menarik Shafira ke dalam dekapannya. Seketika rasa nyaman menyeruak dalam kalbu. Rasa yang tidak ia dapatkan saat bersama dengan Almira.Yusuf menggeleng singkat. Tidak seharusnya ia berpikiran seperti itu tentang istrinya. Walau bagaimanapun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing."Jangan berkata seperti itu, Bi. Masih banyak hal yang harus Umi pelajari untuk memperbaiki diri. Terutama tentang sebuah keikhlasan. Terkadang ikhlas itu mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilakukan."Shafira memejamkan mata. Sejujurnya, ia menyesal telah menyetujui Yusuf untuk berpoligami. Apalagi wanita kedua yang hadir dalam rumah tangganya itu sosok Almira yang manja dan pintar berbohong.Shafira mengembuskan napas perlahan. Semua sudah menjadi bubur. Memang salahnya tidak menyeleksi calon madunya terlebih dulu. Ia terlalu mempercayakan semuanya pada Yusuf."Sudah hampir siang, bersiap-siaplah! Oh, iya, Umi boleh bareng satu mobil dengan Abi? Ada teman lama yang mengajak bertemu di kafe yang tak jauh dari kantor Abi."Yusuf mengernyit. "Lelaki atau perempuan?"Shafira terkekeh. "Apakah selama kita menikah, Abi pernah melihat Umi bertemu dengan lelaki yang bukan mahram? Bukankah selama ini Umi selalu terbuka pada Abi?""Abi percaya, Sayang!""Kalau Abi percaya, mengapa harus mempertanyakannya. Kita menjalani rumah tangga sudah cukup lama, tentunya Abi sudah mengenal karakter, sikap, dan sifat Umi seperti apa. Jadi, jangan memberi celah pada orang lain untuk menghasut salah satu di antara kita.""Iya, Sayang. Maafkan Abi, ya."Shafira mengangguk, lalu mengecup singkat kening sang suami. "Maafkan Umi juga yang sudah panjang lebar menjelaskan. Semua demi kebaikan kita.""Iya, Abi mengerti.""Ketika kita menanamkan kepercayaan pada diri pasangan. Insyaallah godaan atau hasutan siapa pun tidak akan memengaruhi kita."Shafira menghela napas perlahan, lalu mengingatkan kembali sang suami untuk segera bersiap. Tiba-tiba ia mencium bau gosong. Tanpa berpikir panjang lagi, wanita itu langsung berlari ke arah dapur."Almira! Mengapa kamu gosongkan masakannya?" Shafira langsung memadamkan api yang sudah menyala di penggorengan."Seharusnya kamu yang memasak pagi ini, Mbak. Kamu, kan, sudah mendapat jatah dari Mas Yusuf. Lagi pula seharusnya kamu itu memberi kesempatan yang cukup lama untukku dan Mas Yusuf berbulan madu."Shafira tidak menghiraukan perkataan madunya. Ia sibuk membersihkan beberapa alat dapur yang gosong. Kemudian, memasak untuk sarapan suaminya."Makanya, kalau kamu tidak bisa memasak, seharusnya berterus terang saja. Jangan malah masakanku, kamu akui sebagai hasil masakanmu sendiri. Mas Yusuf itu enak, kok, orangnya. Malahan dia lebih suka kejujuran daripada berbohong hanya demi mendapatkan pujian.""Kamu ....""Untuk masalah berbulan madu, bicarakan saja langsung dengan Mas Yusuf. Insyaallah, sebagai istri pertama, aku manut pada keputusan suami. Jadi, untuk hal yang seperti itu jangan dibicarakan denganku, tetapi bicarakan langsung dengan Mas Yusuf."Shafira melanjutkan kembali memasak. Ia tidak ingin terlalu memikirkan perkataan dan sikap Almira padanya. Walau bagaimanapun semua yang terjadi dalam hidupnya sudah menjadi sebuah ketetapan takdir.Jika rasa cemburu itu datang, Shafira tak henti membaca istigfar dan selawat. Seketika rasa itu pun hilang dari hati dan pikirannya. Ia tak ingin berlama-lama menyimpan rasa cemburu yang pada akhirnya akan menghadirkan dendam dan kebencian. Toh, ia tidak sepenuhnya kehilangan cinta Yusuf. Hanya membaginya saja dengan wanita lain yang kini telah menjadi madunya.Setelah sarapan pagi, Yusuf dan Shafira pamit. Hati Almira memanas, saat mengetahui kalau mereka duduk dalam satu mobil yang sama. Penampilannya jauh dari kata rapi. Barang-barang di kamarnya pun berceceran di mana-mana.Berkali-kali ia menelepon Yusuf, tetapi tak ada satu pun panggilannya yang dijawab. Hati wanita itu semakin tak karuan, saat nomor Yusuf dinonaktifkan.Rasa cemburu menguasai hati dan pikirannya, sehingga tak mampu lagi berpikir yang baik. Wanita itu menduga kalau Yusuf tengah asyik berduaan dengan Shafira."Lihat saja nanti, Syafira! Kamu atau aku yang akan tersingkirkan dari rumah ini."****Shafira tengah asyik bercanda dengan sahabat lamanya. Sejenak, ia melupakan kegundahan yang melanda. Ia tidak ingin terus-menerus memendam kekesalan dalam dada."Eh, enak, ya, jadi kamu, Sha. Memiliki suami yang tampan, baik, sekaligus tajir melintir seperti Yusuf. Kira-kira masih ada tidak, ya, stok lelaki seperti dia di dunia ini?""Di dunia ini tidak ada yang sempurna, Rin. Pasti ada saja kekurangan yang ada dalam diri pasangan. Intinya jangan mencari pasangan yang sempurna, tetapi carilah pasangan yang bisa menyempurnakan iman kita.""Itulah yang jadi alasan utamaku belum juga menikah, Sha. Sekarang ini banyak lelaki yang berkedok pintar agama, tetapi pada kenyataannya ilmu mereka nol. Mereka hanya bisa menasihati orang lain, tetapi tidak bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.""Tidak semua lelaki seperti itu, Rin. Asalkan kita pintar mencarinya. Masih banyak lelaki baik di dunia ini. Terkadang, besarnya cinta kita pada orang yang salah, menutupi mata dan hati kita untuk menemukan orang yang tepat.""Lelaki zaman sekarang itu kebanyakan mendua dengan mudahnya, Sha. Apalagi untuk mereka yang banyak uang. Memutuskan berpoligami, tanpa tahu ilmunya. Mengorbankan satu wanita yang setia, demi menikahi cinta yang belum tentu baik di mata dunia."Shafira mengembuskan napas perlahan. Apa yang dikatakan Rina itu memang benar. Jika tidak tahu ilmu berpoligami, maka akan sulit untuk berbuat adil di dalamnya.Sama halnya dengan suaminya, Yusuf. Lelaki itu menikahi Almira karena cinta, sehingga melupakan untuk menyelidiki terlebih dulu karakter dan keseharian dari wanita itu.Tidak terbayang, jika setiap hari harus ribut dengan madunya, hanya karena rasa cemburu yang ada di antara mereka berdua."Hmm, tentunya suamimu tipe setia, kan, Sha? Dia tidak mungkin mengkhianati wanita yang cantik dan pintar sepertimu. Bodoh saja kalau ia sampai menyia-nyiakanmu."Bersambung ....Syafira tersenyum menanggapi perkataan sahabatnya. Yusuf tidak menyia-nyiakannya, ia hanya membagi cinta saja dengan wanita lain. Dalam hal ini, ia juga tidak ingin egois. Biarkan saja Yusuf memutuskan semua sendiri, wanita itu tidak ingin menghalangi keinginan lelakinya itu."Jika memang suaminya mampu berbuat adil, dan paham ilmu berpoligami, aku tidak masalah!" ucap Shafira."No! Aku, sih, ogah! Lebih tentram tanpa madu.""Tidak ada satu pun wanita pun di dunia ini yang ingin di madu, Rin. Tentunya semua wanita ingin menjadi satu-satunya ratu yang ada di hati suaminya. Tak ada madu yang manis. Jika pun ada, itu karena suami mampu membimbing keduanya dengan baik," balas Shafira seraya mengaduk-ngaduk jus miliknya.Shafira masih ingat, saat Yusuf berjanji akan menjadikan satu-satunya ratu dalam rumah tangganya. Namun, kehadiran wanita masa lalu, membuat Yusuf khilaf dan melupakan semua janji manisnya itu.Shafira mengembuskan napas perlahan. Begitu berat semua itu untuknya. Semenja
Dengan sedikit malas, Yusuf membuka pesan masuk dari Shafira. Lelaki itu merasa benar-benar kecewa dengan apa yang telah dilakukan istrinya di kafe tadi. Padahal, ia sudah memberikan kepercayaan penuh padanya. Entah mengapa dengan mudahnya wanita itu telah menyia-nyiakan kepercayaannya selama ini. Ia tak menyangka, Shafira akan bermain cinta di belakangnya bersama pria lain.Tak lama kemudian, masuk satu pesan lagi berupa voice note yang berisi suara seseorang yang dikenal. Ya, suara Shafira, Rina, dan lelaki di kafe itu terekam jelas di sana. Mendengar percakapan mereka, ekspresi wajah Yusuf seketika berubah, lelaki itu langsung mengusap gusar wajahnya. Ternyata ia telah salah paham pada Shafira. Wanita itu tidak seburuk dengan apa yang dituduhkannya tadi."Astagfirullah, aku sudah salah paham padanya. Cemburu telah membutakan mata dan hatiku. Aku harus segera meminta maaf padanya," batin Yusuf. Lelaki itu beranjak dari duduk. Rasa bersalah mulai menyelimuti hati dan pikirannya. Yus
Shafira baru saja selesai memasak. Ia merasa bersalah, karena tadi pagi tidak menyiapkan sarapan untuk suaminya. Ia lebih mengutamakan ego, sehingga mengabaikan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri. Pikiran dan hatinya jauh dari kata tenang, sedari tadi terus-menerus kepikiran akan perut sang suami. Sudahkah lelakinya itu mengisi perutnya dengan nasi? Bagaimana kalau ternyata dia malah memilih untuk tetap mengosongkan perutnya? Rasa khawatir mulai memenuhi pikirannya, karena selama ini suaminya itu selalu sarapan tepat waktu.Siang harinya, semua makanan kesukaan Yusuf sudah terhidang di meja. Wanita itu tersenyum, dan berjanji akan meminta maaf pada suaminya saat pulang nanti."Istri yang baik! Sayangnya, sebentar lagi Mas Yusuf akan menjadi milikku seutuhnya. Aku tidak ingin membaginya denganmu," ucap Almira dengan nada sinis. Shafira mengabaikan perkataan Almira, lalu melangkah menaiki tangga. Wanita itu berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan sang madu. Baginya ta
Yusuf mondar-mandir di depan meja kerja. Beberapa hari ini, ia sibuk memikirkan perkataan Shafira. Bahkan, demi bisa menemukan teka-teki itu, Yusuf memilih untuk tidak tidur dengan kedua istrinya. Saat ini, tidur sendiri adalah jalan terbaik untuk menenangkan pikirannya dari segala permasalahan yang ada. Dalam benaknya dipenuhi tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam rumah tangganya? Bukankah kehidupan mereka baik-baik saja? Kedua istrinya pun akur, tak pernah sedikit pun terdengar bertengkar.Bimo masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Lelaki itu menggeleng singkat, saat melihat sahabatnya bolak-balik tak tentu arah, seperti orang yang tengah kebingungan. "Apalagi yang sedang mengganggu pikiranmu, Bro? Seharusnya hidupmu bahagia. Harta melimpah, perusahaan milik sendiri, dan memiliki dua istri yang sangat aduhai."Sepertinya Yusuf baru menyadari kehadiran Bimo di sana. Lelaki itu tampak terkejut, dan mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri."Dari kapan kamu ada di
"Astagfirullah al'azim. Kamu mabuk, Al?" Shafira mendekat, lalu berniat untuk memapah madunya ke kamar. Namun, niat baik itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Almira. "Menjauh dariku! Aku tak sudi disentuh wanita sepertimu!" Almira tersenyum kecut, lalu berlalu dari hadapan Shafira."Astagfirullah," lirih Shafira seraya mengusap dada. Shafira tak pernah menyangka, madunya yang selama ini tampak alim dan salihah itu ternyata kelakuannya seperti ini. Apalagi pakaian yang Almira pakai sangat ketat dan seksi, memperlihatkan semua bagian lekuk tubuhnya. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana murkanya Yusuf bila mengetahui kelakuan istri keduanya yang seperti itu.Dengan berjalan sempoyongan, Almira menaiki tangga. Sesekali wanita itu memegang kepalanya yang terasa pening. Mulutnya meracau tak jelas, sesekali ia tertawa seperti orang yang setengah waras. Diam-diam Shafira mengikutinya dari belakang. Meskipun Almira sering kali membuatnya kesal dan sakit hati, tetapi ia tidak tega bila ha
Almira mencoba untuk merayu Yusuf. Akan tetapi, semakin Almira mendekati Yusuf, maka lelaki itu akan semakin menjauh darinya. Hal itu membuat Almira geram, sehingga tidak dapat lagi mengontrol emosinya."Iya, aku semalam minum alkohol, tetapi itu semua karena kamu, Mas. Akhir-akhir ini kamu sibuk dengan urusanmu sendiri. Jangankan untuk menyentuh, tidur seranjang berdua saja tidak kamu lakukan. Mas lupa, ya, memiliki istri? Atau jangan-jangan ...."Yusuf mengernyit. Tingkah wanita di depannya itu membuat dia semakin pening. "Jangan-jangan apa?""Jangan-jangan, Mas itu punya simpanan wanita lain, dan sedang merencanakan pernikahan dengannya, ya? Jika itu benar, aku tidak ikhlas, Mas. Aku tidak mau memiliki madu!""Kenapa tidak ikhlas? Toh kamu bisa berada di sini saja sebagai madu, bukan? Seharusnya kamu bisa menerimanya, seperti Shafira menerimamu di rumah ini. Setidaknya nanti kamu bisa merasakan, bagaimana posisi menjadi Shafira. Bukankah itu bagus?""apanya yang bagus? Maaf, aku ti
Dengan berjalan sedikit angkuh, Yusuf masuk ke ruangannya. Pagi ini ia terlihat lebih rapi. Senyum mengembang dari kedua sudut bibirnya, kala mengingat kemesraannya bersama Shafira semalam. Yusuf duduk di ujung meja, seraya menghadap ke luar jendela. Rasanya masih terasa, bagaimana Shafira memperlakukannya dengan lembut dan penuh cinta. Yusuf akui, semua kriteria wanita idamannya memang ada di diri Shafira. Bodohnya, ia malah menghadirkan wanita lain di dalam rumah tangganya yang justru menjadi racun untuk hubungannya dengan Shafira.Lelaki itu menggeleng, lalu tersenyum tipis. Ia seperti tengah merasakan jatuh cinta kembali pada Shafira. Tatapan dan senyum manis wanita itu mampu menghilangkan segala kegundahannya. Bersama Shafira, seakan-akan semua masalah sirna sudah. Hati yang kalut dan gelisah pun, seketika menjadi tenang.Yusuf tak mengerti, mengapa ia bisa memutuskan untuk menduakan wanita yang sangat dicintainya itu. Padahal selama ini, Shafira mampu memberikan apa yang ia but
Tak ada yang bisa Shafira lakukan, selain memendam semua gundah gulana dalam hati. Perkataan Ibu mertuanya bagai pisau yang menghujam langsung relung kalbunya. Luka karena irisan pisau tidak seberapa sakit dibandingkan luka yang tertancap di hatinya akibat ucapan sang ibu mertua.Wanita mana yang tidak ingin memiliki anak! Tentunya semua wanita mengharapkan kehadiran sang buah hati untuk pelengkap kebahagiaan dalam bahtera rumah tangganya. Begitu pun dengan Shafira yang sudah lama mendambakan kehadiran buah hati di dalam hidupnya.Berbagai cara sudah Shafira lakukan, dari mulai ikut promil, alternatif, dll. Semua yang dianjurkan dokter dan keluarga sudah ia coba. Namun, semua kembali pada Sang Kuasa. Jika Dia belum menghendaki, tak ada yang bisa Shafira lakukan selain berpasrah diri. Mungkin Allah belum memercayainya untuk cepat memiliki momongan. Shafira percaya, Allah yang tahu mana yang terbaik untuknya.Di dunia ini, tak yang akan kuat hidup satu atap bersama madunya. Apalagi deng
Yusuf diselimuti kekhawatiran. Pasalnya, Shafira langsung tak sadarkan diri. Wanita itu juga sempat kejang-kejang, sehingga untuk satu minggu ke depan dokter tidak mengizinkan Shafira pulang."Apa yang menyebabkan istri saya kejang-kejang seperti tadi, Dok?" tanya Yusuf saat dipanggil ke ruangan dokter."Ada banyak kondisi yang bisa berbahaya bagi ibu pasca melahirkan. Salah satunya preeklamsia atau tekanan darah tinggi pasca melahirkan. Hal ini bisa terjadi ketika ibu memiliki kelebihan protein dalam urine!" jawab dokter seraya membenarkan letak kaca mata yang dipakainya!" jawab dokter seraya membetulkan letak kaca mata yang dipakainya. "Preklamsia juga kondisi serupa yang terjadi pada kehamilan dan biasanya sembuh dengan kelahiran bayi. Sebagian besar kasus preeklamsia terjadu dalam waktu 48 jam setelah melahirkan. Saat tekanan darah begitu tinggi, ibu bisa mengalami kejang yang bisa berdampak buruk pada kondisi kesehatan secara keseluruhan. Kejang yang muncul berulang jika tak dita
Galang menarik-narik tangan Bimo. Lelaki itu tak bisa menolak ajakan Galang. Semenjak mengambilnya dari kampung. Galang memang paling akrab dengannya."Om Bimo mau diajak ke mana, Lang? Ajak yang jauh, ya, soalnya kasihan dia sendiri gak punya pasangan!" goda Aldo.Galang tak memedulikan teriakan Aldo. Ia terus menarik tangan Bimo menuju kamarnya."Katanya mau ajak Om ke taman belakang. Kenapa menarik ke kamar?" tanya Bimo."Temeni Galang main mobil-mobilan saja, Om!" balas Galang seraya menurunkan beberapa mobil-mobilan kecil dari lemari mainan.Tanpa sengaja, Bimo melirik ke luar kamar. Pandangannya jatuh tepat pada sosok gadis yang tengah asyik mengobrol dengan Shafira. Beberapa detik, tatapannya tak beralih. Sepertinya lelaki itu tak berniat sedikit pun untuk mengalihkan pandangannya dari sana.Berulang kali, Galang memanggil dan mengajak ngobrol Bimo. Akan tetapi, tak ada tanggapan sama sekali dari sosok lelaki di depannya.Galang menatap mata Bimo. Lalu, mengikuti pandangan lela
Rini keluar dari kafe dengan perasaan penuh kecewa. Seharusnya kalau memang tidak suka, katakan saja dengan jujur. Jangan malah menganggap perasaannya hanya sebuah lelucon semata.Rini pun mengakui, kalau dirinya memang bodoh dan terkesan mengejar-ngejar. Seharusnya, dia bisa menahan diri untuk tidak terlalu to the point."Dulu, banyak pria yang mengejar-ngejar cintaku! Baru kali ini, aku benar-benar merasa menjadi wanita paling bodoh dan tidak punya harga diri sama sekali. Baru saja kenal, sudah mengatakan cinta terlebih dulu. Aku memang bodoh! Bahkan mungkin, wanita terbodoh di bumi!" gerutu Rini kesal.Sepanjang jalan, Rini tak henti merutuki kebodohannya. Sampai-sampai tak menyadari kalau dirinya hampir saja tertabrak sepeda motor saat akan menyeberang."Aaaaa ... tidak ingin mati! Aku belum nikah!""Makanya kalau jalan jangan melamun. Nanti kalau ditabrak, tetap saja pengendara sepeda motor yang disalahkan."Rini melirik pada sosok lelaki yang hampir saja menabraknya. Wanita itu
"Umi menyindir Abi?"Shafira menggeleng. "Itu namanya bukan nyindir, Bi.""Terus!""Sesuai fakta!" "Abi kan sudah meminta maaf, Um. Jangan menyimpan dendam seperti itu, tidak baik!"Shafira mengembuskan napas kasar. "Bukan menyimpan rasa dendam! Pada dasarnya wanita itu memang makhluk yang ingatannya paling kuat kalau mengingat tentang kesalahan yang dilakukan lelakinya.""Hmm, iya, deh. Wanita maha benar!""Pokoknya Abi harus bisa menyatukan Bimo sama Rini.""Kok jadi ke Abi? Terserah Bimo dong, dia mau pilih dan nikah dengan siapa!""Iya, setidaknya Abi kasih tahu dululah sama Bimo. Bagaimana karakter dan sikap Rini. Sedikit banyaknya, kan, Abi sudah tahu perempuan seperti apa dia. Umi setuju banget kalau seandainya Bimo berjodoh sama Rini.""Um, jodoh itu ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Kalau menurut kita mereka cocok, belum tentu menurut Allah itu baik. Sebaiknya kita tidak perlu ikut campur dengan perasaan mereka. Kalau memang Rini serius, sampaikan padanya untuk t
"Umi tidak salah? Masa Umi yang ngidam, Abi yang harus minum jusnya.""Ya, gimana lagi, Bi! Itu kan bukan keinginan Umi. Dedek Utun yang minta kok, tetapi itu semua terserah Abi. Kalau ingin anaknya ngileran, ya, tidak usah dituruti."Yusuf menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tidak apa-apa, sih! Hanya saja kalau bisa menawar, boleh tidak kalau pare pahitnya diganti sama buah mangga?""Yee, Abi tawar menawar kayak di pasar. Ngidam itu tidak bisa diganggu gugat Abi. Ya sudah kalau tidak mau, tidur lagi saja!" ucap Shafira seraya membaringkan tubuhnya membelakangi Yusuf."Iya, Abi buat sekarang. Apa, sih, yang enggak untuk anak Abi!" ucap Yusuf seraya mengelus perut buncit Shafira.Yusuf melangkah ke luar dari kamar. Sementara Shafira, tersenyum penuh kemenangan. Pelan-pelan, wanita itu mengikuti langkah sang suami menuju dapur."Jangan pakai gula, Bi! Soalnya kan Umi sudah manis. Nanti minum jusnya sambil ngeliatin Umi saja."Yusuf melirik ke arah Shafira, lalu melempar senyum yang
Shafira mengernyit. Siapa yang di maksud oleh wanita itu? Sementara lelaki yang selalu bersamanya setiap hari itu tak lain suaminya sendiri. Apakah memang Yusuf, lelaki yang di maksud oleh wanita di depannya."Siapa lelaki yang Anda maksud? Apakah beliau?" tanya Shafira seraya menunjuk pada Yusuf yang baru saja keluar dari garasi.Wanita di depannya terkekeh. Lalu, membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. "Jika lelaki itu yang saya minta, apakah boleh?""Rini!" ucap Shafira terkejut. "Dari kapan kamu memakai hijab?""Alhamdulillah baru sebulan, Sha. Jawab pertanyaanku, Ibu Shafira. Apakah boleh aku taaruf dengan suamimu?""Tentu saja tidak boleh! Sekalipun istriku memintanya, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya.""Kamu serius, Rin?" tanya Shafira tanpa menghiraukan ucapan Yusuf. "Kamu serius ingin menjadi maduku?""Kalau iya, apakah kamu mau menerimaku menjadi madumu?" tanya Rini kembali."Kalau yang memintanya kamu, mana bisa aku menolaknya!" jaw
Bu Almira, ada yang ingin menjenguk!" kata salah petugas yang berjaga di sana. Almira langsung berjalan menuju tempat penerima tamu. Ada kaca penyekat yang menghalangi antara penjenguk dan tahanan. Shafira masuk ke ruangan. Melempar senyum, lalu duduk berhadapan dengan Almira. Shafira maupun Almira sama-sama mendekatkan telepon ke telinga mereka."Hai, Almira! Bagaimana kabarmu?" tanya Shafira."Jangan basa-basi denganku! Apa maksudmu datang kemari?""Tentu saja karena aku merindukanmu!"Almira tersenyum kecut. "Aku tahu maksud kedatanganmu ke sini. Pasti ingin menertawakanku, kan? Tertawalah sepuasmu! Sebelum nanti, tawamu itu menjadi sebuah tangis yang mungkin saja akan menjadi akhir hidupmu. Ingat, aku tidak akan pernah menyerah, apalagi sampai berhenti untuk menghancurkan hidupmu.""Jangan suuzan seperti itu, Almira! Aku datang ke sini semata-mata hanya untuk menjengukmu. Bertaubatlah, Al. Meminta ampun pada Allah dengan apa yang telah kamu perbuat selama ini. Jadilah wanita sek
Shafira keluar dari ruangan. Entah siapa seseorang yang tengah menunggunya di luar sana. Perasaan dia tidak ada janji dengan siapa pun hari ini. "Rini! Dari mana kamu tahu, kalau aku ada di sini?" tanya Shafira saat melihat sosok Rini yang tengah duduk di kursi tunggu.Rini tak menjawab pertanyaan Shafira. Wanita itu langsung berjalan menghampiri sahabatnya itu, lalu memeluknya dengan erat."Kamu baik-baik saja, kan? Apakah kamu terluka?" tanya Rini seraya memeriksa tubuh Shafira dari ujung kaki sampai ujung kepala."Aku baik-baik saja, Rin. Hanya saja Mas Yusuf ....""Aku tidak peduli dengan dia! Biar saja dia mati. Toh, semua ini dia sendiri yang memulai. Berani memulai, harus berani juga bertanggung jawab. Kesakitan yang dia rasakan sekarang, tidak setimpal dengan rasa sakit yang ditorehkannya padamu!""Rini ...."Rini kembali duduk. Tak dimungkiri, wanita itu sangat kesal pada Yusuf. Andai saja, lelaki itu tidak memutuskan untuk menikahi Almira. Tentu, semua ini tidak akan terjad
"Kenapa dengan Mas Yusuf, Dok?" tanya Shafira panik."Maaf, kami sudah semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Pak Yusuf, tetapi takdir ....""Dokter! Pak Yusuf ...." teriak salah satu perawat dari dalam ruangan. Tanpa menunggu waktu lagi, dokter langsung masuk ke ruangan. Shafira semakin panik, entah apa yang sedang terjadi pada suaminya di dalam sana."Ya Rabb, tolong selamatkan Mas Yusuf. Aku mohon!"Hampir setengah jam, Shafira menunggu dengan penuh kecemasan. Tak ada satu pun dokter atau perawat yang keluar dari ruangan. Hanya bait-bait doa yang tak henti Shafira panjatkan pada Sang Pencipta."Tenanglah, Bu! Jangan stress! Lebih baik Ibu pulang dulu. Biar kami yang akan menjaga Pak Yusuf.""Tidak, Aldo! Aku harus terus stay di sini. Mas Yusuf sedang kritis, aku tidak akan mungkin meninggalkannya."Aldo dan Bimo saling bersitatap. Mereka cukup tahu dan mengerti dengan apa yang tengah dirasakan Shafira. Mereka juga sama merasakan sedih dan khawatir dengan keadaan Yusuf saat ini. Aka