Angga hendak berjalan keluar rumah sakit. Saat dia melangkahkan kakinya, tiba-tiba terkejut melihat Farah juga ada di sana. Sesaat dia menghentikan langkahnya dan terdiam sambil menatap Farah sambil mengerutkan keningnya. Sedangkan Farah hanya diam. Dia berjalan menghampiri Angga sambil tersenyum."Hai," sapanya. Angga hanya diam, tidak menjawab sapaan Farah. Dia menatap Farah kesal."Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau selalu ada di mana pun aku berada?" tanya Angga emosi.Farah tertawa pelan."Itu berarti jodoh. Kan kata orang jodoh itu salah satu tandanya sering dipertemukan ya walaupun kau sendiri berusaha menjauh dariku," jawab Farah sambil tersenyum kecil. Angga memutar bola matanya malas. Dia mengembuskan napasnya berat.Farah menggeleng sambil tersenyum kecil. "Tidak, aku hanya bercanda. Aku ke sini untuk berobat, kalau kau?" Angga menatap Farah dengan kesal sekilas. "Aarav sakit, jadi dia---""Apa!? Aarav sakit? Kenapa tidak
Angga menghampiri Aarav. Dia berusaha menegur dengan bertanya, "Aarav sayang, apa yang kau ucapkan tadi? Kenapa kau bilang dia itu Mama?" Aarav melepaskan pelukannya dari Farah dan tersenyum menatap Angga."Ayolah Papa, kan Tante Farah selama ini sudah berbuat baik sama aku, jadi aku pengin dekat sama dia, lagian Tante Farah itu sudah seperti Mamaku sendiri, bahkan dia jauh lebih baik dari Mama," jelasnya panjang lebar tanpa berpikir bagaimana perasaan orang lain terutama ayahnya. Meskipun bibirnya bilang Farah lebih baik dari Vira alias ibunya sendiri, hati Aarav justru berkata lain. Bagaimanapun juga, seorang ibu sejatinya tidak akan pernah tergantikan.Saat sedang bersedih merenungkan ibunya, tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi Aarav. Spontan dia memegangi pipinya tersebut dan menahan rasa sakit. Dia menatap Angga kesal."Apa yang Papa lakukan? Papa mukul aku? Apa Papa sudah mulai berubah? Papa gak sayang sama Aarav?" tanyanya dengan air mata yang mu
Melihat sikap Ana yang terus memperhatikannya membuat Aarav menjadi tidak nyaman. Dia meletakkan sendoknya di piring kemudian berjalan menghampiri Ana dan bertanya, "Ada apa, Bi?"Ana spontan menggelengkan kepalanya pelan. Dia tersenyum menatap Aarav dan berusaha menenangkannya."Tidak ada apa-apa," elak Ana.Aarav mengangguk pelan. Dia berbalik dan kembali makan bersama dengan ayah dan tantenya. Sementara, Ana hanya diam dan berlalu pergi meninggalkan ruangan.***Keesokan paginya, sinar matahari menembus sebuah jendela yang ada di kamar Aarav. Sehingga membuat Aarav yang tadinya asyik tertidur dan terlelap dalam mimpinya kini terpaksa terbangun, meski diiringi dengan rasa kesal yang ada di hatinya. Sambil berusaha membangunkan kesadarannya, Aarav menyandarkan tubuhnya di pojok kasur. Tanpa disengaja dia melihat Angga ada di kamarnya sedang membuka gorden yang ada di jendela.Selesai membuka gorden dan merapikannya, Angga be
Reina mengernyitkan dahinya sambil berusaha memandangi pemuda yang terjatuh itu. DegDia terkejut melihat Aarav masuk ke kelas. Akhirnya setelah beberapa hari, mereka bisa bertemu. Saat akan berjalan menghampiri Aarav, tiba-tiba saja langkahnya menjadi terhenti dan terdiam melihat Dennis sedang mengejek Aarav sekaligus menertawakan keadaannya.Aarav yang mendapatkan bully an dari Dennis dan geng nya hanya bisa diam. Dia tidak bisa melawan dan hanya menatapnya kesal. Tiba-tiba, saat asyik mengejek, Reina datang menghampiri mereka. Gadis itu menolong Aarav untuk berdiri dan memegang tangannya, berusaha menenangkan dirinya. Sedangkan Aarav menatap Reina cemas."Heh, maksud kalian apa ngehina orang kaya gitu? Dasar keterlaluan," umpatnya.Dennis memutar bola matanya malas. Dia menatap Reina kesal."Terserah aku, mau menghina dia, mau memuji dia. Kamu siapa? Bisa ngatur aku?" balas Dennis tak mau kalah.Reina mengembuskan napasnya berat."Aku itu te
Saat di kantin, Aarav dan Reina terpisah. Mereka sibuk memilih jajanan yang hendak dibeli. Aarav tersenyum senang melihat Snack yang dia cari ada di depannya. Dia pun segera pergi untuk membayar Snack yang dia beli itu. Tapi saat dia berbalik, tiba-tiba tanpa sadar menabrak seorang gadis hingga mereka terjatuh bersama.Tiara memegangi punggungnya yang kesakitan sambil meringis. Sedangkan Aarav mencoba untuk berdiri dan membersihkan pakaiannya, setelah itu, dia mencoba untuk menolong Tiara."Maaf, sini aku bantu," ucap Aarav sambil mengulurkan tangannya.Tiara mendongakkan kepalanya. Dia terkejut melihat sikap Aarav. Sebelum pertanyaan menghantui pikirannya, dia segera membalas uluran Aarav dan berdiri.Aarav memandangi Tiara dengan rasa bersalah. Dia menunduk."Aku minta maaf, kamu gak apa-apa kan?" Tiara tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya."Gak apa-apa."Aarav pun pamit pergi meninggalkan Tiara dan membayar jajanannya pada ibu kantin. Sementara Tiara hanya diam dan terse
Saat di dalam mobil, Aarav terus terdiam sambil melipat kedua tangannya dan sesekali memandangi jalanan. Dia terlihat kesal.Angga yang melihat sikap Aarav seperti itu tertawa pelan. Dia bertanya pada anaknya, "Ada apa? Kenapa kau kesal?"Aarav menatap Angga kesal sekilas. Dia mengembuskan napasnya sambil mengalihkan perhatiannya ke sebuah warung-warung yang ada di pinggir jalan. "Papa tanya, kamu kenapa?"Aarav yang mendengar pertanyaan Angga menjadi makin jengkel. Dia menatap ayahnya kemudian menjawab, "Gak apa-apa. Papa dari mana aja? Aarav nungguin papa lo dari tadi."Angga menunduk sambil tersenyum kecil. "Hanya itu?"Aarav hanya diam. "Baiklah, Papa yang salah. Maafkan Papa," ucap Angga. Aarav yang tadinya kesal kini tersenyum. Dia mengangguk dan merasa senang mendengar ucapan ayahnya."Baiklah, Aarav mau maafin Papa, asal---""Asal apa?""Papa beliin Aarav es krim," pinta Aarav yang membuat Angga terkejut mendengarnya. Dia sedikit tertawa pelan. Meski begitu, Angga tetap menu
Di sekolah, Aarav memandangi sekolahnya. Dia masih terdiam di samping mobil. Angga yang melihatnya berusaha menegur, "Ada apa Aarav? Ayo masuk," titahnya.Aarav menoleh. Dia menatap Angga cemas. "Tapi Pa? Ini kan sudah jam sepuluh. Bagaimana kalau mereka memarahiku?"Angga menghela napas. "Dengar, itu sudah jadi hukuman buat kamu. Lagipula kau juga sudah dewasa, harus berani bertanggung jawab.""Ah, pokoknya Aarav nggak mau tahu. Papa anterin Aarav masuk ya," pintanya.Angga menggeleng. Dia mencoba menolak namun Aarav terus memaksanya sehingga mau tak mau dia harus mengantarkan putranya masuk ke kelas. Di sana, terlihat suasana sangat sunyi dan terdengar suara guru yang sedang mengajar. Dengan perlahan, Angga menggandeng tangan Aarav kemudian mengetuk pintu kelas."Permisi," ucap Angga membuat semua orang yang ada di kelas menoleh begitupula dengan Bu guru."Iya, ada apa, Pak?" tanya Bu guru ramah. Tak ada jawaban dari pria tersebut. Dia hanya diam dan menata
Selesai konsultasi, Vanya, dokter psikolog yang menangani Aarav, dia mengajak Angga untuk masuk ke dalam ruangannya. Di sana, mereka duduk berdua. "Jadi .... Bagaimana Dok?" tanya Angga penasaran. Vanya mengembuskan napasnya berat. "Maaf Pak, sebenarnya anak baik-baik saja. Tidak ada masalah sama sekali, dia tidak gila sama seperti yang Anda pikirkan. Tapi di sini, saat dia berubah menjadi manja dan suka senyum-senyum sendiri serta tiba-tiba menjadi dekat dengan wanita yang Anda maksud, kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh rasa traumanya di masalalu yang masih membekas sehingga membuatnya menjadi sedikit stres. Nah stres inilah yang kadang bisa menyerang dan membuat kita mengalami sedikit gangguan mental...," jelas Vanya.Angga mengerutkan keningnya. Dia mengembuskan napasnya berat mendengar ucapan psikolog tersebut. Sambil menggelengkan kepalanya, dia mengusap wajahnya kasar kemudian menatap wanita yang ada di depannya saat ini."Trauma Dok? Tapi selama