"Mari kita lihat, apa yang coba kau sembunyikan dariku, Xeena."
Mobil Raiden melaju meninggalkan Paragues apartemen. Hari semakin malam namun Raiden masih duduk di ruangan kerjanya. Beberapa informasi yang baru saja masuk, membuatnya tersenyum tipis.
"Aozora Xeena Gilhive, mempunyai masa lalu yang buruk namun lucu,"
Raiden kembali membaca informasi yang baru saja ia terima.
"Pffffff, hahaha ... ya ampun, aku tak tahan lagi,"
Raiden memegang perutnya sambil menghapus air matanya. Tawa lepas yang baru saja Raiden lakukan tanpa sadar membuatnya terus tersenyum dan tertawa kecil.
"Mempunyai dua mantan kekasih. Dan keduanya ada di London. Menarik, siapa sangka gadis kurus tanpa body itu mempunyai mantan kekasih yang tampan,"
Raiden kembali tersenyum saat melihat alasan Xeena berakhir dengan semua mantan pacarnya.
"Yang pertama berakhir tragis dengan alasan logis. Mencampakkan Xeena demi wanita lain. Yang kedua berakhir hanya karena Xeena tak mau disentuh sedikit pun."
Raiden kembali membungkam mulutnya dan menahan tawanya. "Ya ampun, apa yang ingin dia sentuh dari wanita datar seperti Xeena." Raiden memajukan tangannya dan meletakkan di dadanya.
"Segini, tidak. Xeena sangat datar, segini, ah tidak juga. Dia itu perempuan datar yang pernah kulihat," Raiden menelungkupkan tangannya dan mengingat saat ia dengan sengaja pernah menyentuh bagian depan tubuh Xeena.
"Dan dia menamparku," ucap Raiden lirih namun kemudian kembali tertawa saat mengingat wajah murka Xeena.
"Bersukurlah karena kau tak menyentuhnya, jika kau menyentuhnya aku yang akan menghajarmu karena berani menyentuh calon istriku,"
Raiden berhenti sesaat dan berpikir. "... calon istri? Ya, dia akan menjadi istriku selama kontrak berlangsung. Kurasa semua kabar buruk tentangku perlahan akan membaik," Raiden beranjak dari ruang kerjanya menuju kamar tidurnya. Merebahkan tubuhnya dan mencoba memejamkan kedua matanya.
***
Pagi ini Xeena bangun dengan malas. Suara bel pintunya yang berbunyi berulang-ulang cukup membuatnya pusing. Dengan langkah gontai Xeena membuka pintu apartemennya dan langsung dihadiahi dengan suara keras milik sahabatnya.
"Xeenaaaa, kenapa kau lama sekali?" tanpa menunggu jawaban dari Xeena, Violette menerobos masuk dan langsung duduk di ruang utama.
"Hai, kau terlihat berantakan," Nathan ikut menerobos masuk mengikuti Violette.
Xeena mendesah pelan dan menutup pintu apartemennya. Berjalan mengikuti kedua sahabatnya dan ikut duduk bersama mereka. Violette dan Nathan saling berpandangan lalu menatap Xeena intens.
"Ceritakan," ucap Violette pada akhirnya.
"Xeena, dia bohong kan?" Nathan menunjuk adik kembarnya.
Pletak! Violette memukul pelan kepala Nathan. "Sudah kukatakan aku bertemu dengannya di Horrods kemarin,"
"Tapi aku tak percaya Xeena telah bertunangan dan akan menikah. Kabar macam apa itu," Nathan mengelus kepalanya.
"Untuk itu kita kesini. Untuk mendengarkan penjelasan Xeena," Violette dan Nathan kembali menatap Xeena yang menonton pertengkaran kecil mereka.
"Huh, aku memang sudah bertunangan," kata xeena pelan.
"Nah, kau dengar kan?" Violette mencibirkan mulutnya pada Nathan.
Nathan yang masih belum percaya hanya tertawa kecil. "Xeena, cukup sandiwaranya. Aku tahu kau sering menjual jasa untuk membantu mereka yang kesulitan dalam hubungannya, namun pertunangan bukanlah hal yang bisa kau permainkan. Terlebih pernikahan,"
Violette mengangguk setuju. "Agree,"
Xeena tercenung mendengar penjelasan Nathan. Ya, semua benar. Pernikahan bukanlah suatu hal yang patut dipermainkan. Namun saat itu Xeena tak mempunyai pilihan. Raiden memegang semua kelemahannya hingga Xeena berakhir dengan sandiwara konyol yang panjang.
"Aku tahu, tapi aku tak main-main. Aku memang akan menikah. Akhir bulan ini,"
"Apa?" Violette dan Nathan kembali kaget.
"Kau semakin sakit jiwa saja ya?" Nathan menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Akhir bulan ini? Apa-apaan itu? Kenapa harus akhir bulan ini? Kenapa cepat sekali? Apa kau hamil?" Violette menunjuk Xeena dengan curiga.
"Kau hamil?" kali ini Nathan menatap Xeena serius.
"Itu tak benar kan? Xeena," Violette mulai mendekati Xeena.
"Stop! Apa yang kalian bicarakan? Aku tak mungkin melakukan hal serendah itu,"
"Lalu?" tanya Nathan serius.
"Ada hal yang tak bisa aku jelaskan. Tapi aku benar-benar akan menikah akhir bulan ini. Jangan berpikiran buruk," Xeena menatap Violette dan Nathan waspada. "... i'm not pregant or something else. Believe me,"
"Sesuatu yang tak bisa dijelaskan? Apa itu?" tanya Violette ingin tahu.
"Violette, please. I can't tell you,"
"How with me?" tanya Nathan lagi.
Xeena mendesah kesal. "I won't tell you, Nathan. Sorry," Xeena memasang wajah menyesal.
Hening. Violette dan Nathan saling berpikir. Membuat Xeena merasa besalah dan tak enak hati.
"Maksudku, aku tak bisa memberi alasan kenapa aku secepat itu akan menikah. Kalian tahu, aku tak-"
"Kami mengerti. Apa pun yang kau pilih dalam hidupmu, kami percaya kau telah memikirkannya dengan baik," potong Nathan cepat.
Xeena diam. Memikirkannya? Aku bahkan tak berpikir jauh saat menandatangani kontrak tersebut. Xeena menatap kedua sahabatnya. Aku tak berniat merahasiakan semuanya. Tapi aku merasa hal tersebut belum waktunya untuk diceritakan pada kalian. Sorry.
"Kami tak akan memaksamu untuk menceritakan atau pun memberikan alasan. Kami hanya ingin kau baik-baik saja, Xeena. Kau tahu, kami telah menganggapmu seperti saudara yang harus kami jaga," Violette menggengam tangan Xeena pelan.
Xeena balas menggengam tangan Violette. "Vio, aku tahu itu. Terimakasih atas semua yang kalian berikan, tapi aku benar-benar tak bisa menceritakan semuanya sekarang. Dan aku juga akan berjanji, aku akan menjaga diriku sebaik mungkin."
"Sudah acara melo-nya? Sekarang kenalkan kami pada calon suamimu," Nathan melepaskan genggaman tangan Xeena dan Violette.
"Akan aku perkenalan. Tapi tak sekarang. Kalian tahu, kurasa dia sangat sibuk dengan semua pekerjaannya."
"Baiklah, kami mengerti. Kami akan tetap menunggu sampai kau yakin membawanya dan memperkenalkannya pada kami," Violette tersenyum pada Xeena.
"Thanks Vio,"
"Anytime,"
Nathan menatap bosan. "Jadi aku masih harus menunggu. Berapa lama lagi?"
Xeena tersenyum geli. "Aku janji tak akan lama,"
Kini Violette yang menatap bosan. "Xeena, kau belum mandi?"
Xeena mengangguk.
Nathan menatap aneh sedangkan Violette menepuk jidatnya pelan. "Ya ampun, aku datang ke apartemenmu karena ingin kau menemaniku,"
"Kemana?"
"Persiapan pesta pertunangan yang akan berlangsung dua hari kedepan." Nathan menjawab dengan datar.
"Pertunangan? Ah, dengan pria yang kemarin?"
Nathan menoleh dan menatap Xeena. "Kau sudah bertemu dengannya?"
Xeena mengangguk. "Pria yang cukup baik kurasa,"
"Aku tak menyukainya." ucap Nathan dingin.
"Nathan, dia pria yang baik," bela Violette.
Nathan mendengus. "Kau baru mengenalnya Vio. Sudah kukatakan, tak masalah jika kau menolak perjodohan itu. Perusahaan kita akan tetap berkembang meski kau tak menikah dengan keluarga Valley."
"Lalu," ucap Violette pelan.
"Aku yang akan menggantikanmu. Aku dengar mereka juga mempunyai seorang gadis. Sudah kukatakan padamu, jangan gadaikan kebahagianmu." Nathan melihat adiknya serius.
"Kurasa tak ada salahnya jika aku mencoba mengenalnya. Jika aku tak mampu melewati semuanya, aku akan datang padamu dan mengatakan semuanya. Jadi Kak, biarkan aku mencobanya dulu," Violette tertunduk dan diam berpikir.
Xeena yang melihat itu semua hanya bisa tersenyum tipis. "Nathan benar, Vio. Aku juga ingin kau mendapatkan yang terbaik. Jangan bohongi hatimu, Vio."
Violette mengangguk mengerti. "Aku tahu itu,"
Waktu berlalu dengan cepat. Xeena menatap semua perlengkapan mewah yang berada di depannya. Sedangkan Violette dan Nathan telah lebih dulu masuk kedalam toko dan memilih. Xeena berjalan pelan dan mulai meneliti semua barang. Memilih yang terbaik untuk semua barang yang Violette percayakan.
Xeena terus memilih dan mengambil barang-barang yang dibutuhkan. Melihat secarik kertas yang telah Violette tulis dan mencocokkan sekali lagi. Xeena tersenyum saat semua barang yang Violette butuhkan telah ia dapatkan. Xeena mendorong keranjang di depannya menuju kasir dan menunggu Violette. Tak lama Nathan dan Violette juga telah selesai dan bergabung dengan Xeena.
"Sudah kau dapatkan?" tanya Violette pada Xeena.
"Semua lengkap," jawab Xeena cepat sambil menunjukkan secarik kertas yang telah Xeena coret.
Violette tersenyum. "Terimakasih, Na. Kau sangat membantu,"
Xeena mengangguk dan merogoh tasnya. Handphonenya terus saja berdering hingga membuat Xeena kesal. Xeena menatap sederet nomor yang tak ia kenal.
"Siapa?" tanya Nathan sambil menoleh pada Xeena.
Xeena menaikkan kedua bahunya. Berjalan sedikit menjauh dan mengangkat telepon itu.
"Hal-"
"Kenapa lama sekali mengangkatnya?" sebuah suara asing langsung menyapa Xeena.
Xeena menjauhkan handphone yang ia pegang dari telinganya. Menatap aneh pada suara asing yang langsung membuat Xeena kesal. "Siapa?" tanya Xeena sambil membawa handphonenya ke telinganya kembali.
"Apa yang kau lakukan hingga tak mengangkat teleponku dengan cepat. Dan suara berisik ini, apa kau tengah berada di luar?"
Xeena mendesah kesal karena tak mendapat jawaban dari pertanyaannya. "Apa pedulimu? Dan siapa kau sampai aku harus memberi tahu keberadaanku,"
"Calon suamimu,"
"Agera," ucap Xeena pelan.
"Ya, ini aku. Dimana kau sekarang?" tanya Raiden cepat.
"Kenapa?" tanya Xeena mengacuhkan pertanyaan Raiden.
"Aku ingin bertemu denganmu. Aku tunggu di sebuah cafe dan orang kepercayaanku akan datang menjemputmu. Ada beberapa hal tentang pernikahan kita yang memerlukan pendapatmu,"
Xeena diam sesaat mendengarkan semua penjelasan Raiden. "Bukankah itu bukan urusanku? Aku tengah membantu temanku dan aku tak bisa bertemu denganmu. Lakukan sesukamu pada pernihakan kita karena aku akan menyetujui semuanya,"
Xeena menutup cepat teleponnya dan memasukkan kedalam tasnya. Merutuk kesal dengan semua sikap dingin Raiden lalu kembali bersama Violette dan Nathan yang telah menunggunya. Tersenyum tipis lalu menggandeng tangan Violette dan Nathan. Berjalan bersama dan memasuki sebuah kafe untuk makan siang bersama.
Sedangkan didalam cafe yang sama, Raiden menatap kesal pada handphone ditangannya. Xeena sukses membuat Raiden kesal dengan semua bantahan yang tak ingin Raiden dapatkan.
"Lakukan sesukaku," ucap Raiden sangat pelan.
Perlahan senyum tipis Raiden terkembang. "Baiklah aku akan melakukan sesukaku seperti yang kau mau, Xeena. Bukankah tak masalah jika aku mengundang semua media dan wartawan pada pernikahan kita? Itu ide bagus,"
Raiden kembali menyalakan handphonenya dan menelepon orang kepercayaannya.
"Undang semua media yang ada di London pada pernikahanku. Aku ingin dunia tahu, bahwa aku telah menikah."
"...."
"Bagus. Aku serahkan semuanya padamu. Beri tahu aku jika ada masalah sekecil apa pun. Aku ingin pernihakanku semewah dan semeriah mungkin."
"...."
Raiden menutup teleponnya dan tersenyum puas. Meminum kopi yang telah ia pesan dan menatap sekelilingnya. Menunggu beberapa teman koleganya untuk acara meeting yang telah direncanakan. Raiden melihat jam di pergelangam tangannya, menatap sekitarnya karena orang yang ia tunggu tak kunjung datang. Perlahan tatapan Raiden terhenti pada sosok wanita yang tengah duduk tersenyum dan menikmati makanan di mulutnya.
"Xeena," ucap Raiden pelan.
Raiden melihat arah tatapan Xeena dan diam saat menyadari ada sosok pria yang disamping Xeena. Pria yang cukup tampan dan tengah memotongkan steak di piring Xeena. Raiden berdiri dari duduknya. Melangkah pasti untuk menuju ke meja Xeena, namun langkahnya terhenti saat panggilan seseorang yang ia tunggu telah berdiri tak jauh darinya.
"Mr. Raiden,"
Raiden menoleh dan mendapati orang-orang yang tengah ia tunggu. Raiden kembali memutar langkahnya dan duduk kembali di kursinya. Menyelesaikan meeting yang telah direncanakan dengan tenang meski sesekali memperhatikan Xeena dari jauh. Memperhatikan pria disamping Xeena yang terlihat begitu memperhatikan Xeena.
Xeena menikmati makan siangnya dengan riang. Menunggu Nathan memotongkan steaknya dan mendengarkan semua ocehan Violette. Sesekali tawa terdengar pelan di tengah obrolan mereka. Perhatian Xeena pecah saat matanya meneliti pengunjung cafe dan terhenti pada sosok yang baru-baru ini membuatnya kesal. Sosok itu tengah mengenakan pakaian kerjanya dan terlihat fokus dengan orang-orang yang juga sama sepertinya.
"Agera," ucap Xeena sangat pelan.
"Apa?" tanya Nathan karena tak mendengar ucapan Xeena dengan jelas.
Xeena menatap Nathan. "Ah, tidak. Aku hanya berpikir melihat seseorang yang mirip dengan kenalanku,"
Violette ikut mengedarkan pandangannya kesekitar cafe. "Siapa, Na?"
Xeena memperhatikan Raiden lagi dan sialnya Raiden juga tengah menatapnya. Xeena memelototkan matanya kaget saat Raiden memainkan satu matanya. Dengan refleks Xeena mengambil air minum di depannya dan langsung meminumnya cepat. Membuat Nathan dan Violette menatap heran.
"Na, kau baik-baik saja?" tanya Violette khawatir.
"Apa ada sesuatu?" tanya Nathan dan matanya langsung memperhatikan sekitar.
Xeena menggeleng dan menundukkan pandangannya. Setelah beberapa menit kemudian, Xeena kembali menatap Raiden yang jauh di pojok sana. Lagi-lagi Raiden juga menatapnya meski hanya sesaat lalu bersalaman dengan orang-orang di depannya. Menyadari keadaan yang berkemungkinan memburuk, Xeena dengan cepat menyelesaikan makan siangnya.
"Na, handphonemu berdering dari tadi," ucap Nathan pelan.
Violette menaikkan satu alisnya, memperhatikan Xeena yang terlihat sedikit gugup dengan langsung mengangkat telepon tanpa menjawab pertanyaan Nathan. Xeena menjawab teleponnya dengan pelan dan bernapas lega. Kembali menatap Raiden yang baru saja berdiri karena orang-orang yang duduk bersamanya juga berdiri dan meninggalkan Raiden sendiri. Xeena langsung meraih tasnya dan beranjak dari duduknya. Menatap Nathan dan Violette yang terlihat bingung pada sikapnya.
"Ah, aku harus pergi sekarang. Tunangan, tunanganku telah menungguku," kata Xeena cepat karena melihat Raiden mulai melangkah dan terus menatapnya.
"Kenapa tak kau katakan untuk berkumpul bersama kami?"
"Vio benar, Na. Kami juga ingin bertemu dengan tunanganmu," tambah Nathan.
Xeena semakin gugup saat Raiden semakin dekat dan tersenyum padanya. "Lain kali akan kuajak makan bersama kalian. Aku harus pergi sekarang," Xeena langsung melangkah pergi tanpa mendengar perkataan Nathan atau pun Violette.
Raiden terhenti sesaat karena melihat Xeena yang tergesa-gesa meninggalkan cafe. Menatap tempat duduk Xeena yang telah kosong dan menatap pria yang duduk di samping bangku Xeena. Langkah Raiden semakin pasti karena rasa ingin tahunya yang tinggi. Hingga Raiden sampai di meja tempat Xeena berada sebelumnya.
"Raiden," sapa Violette pelan tak percaya.
Raiden yang tengah menatap tajam Nathan menoleh. Cukup terkejut karena disana juga ada Violette. "Aradea,"
"Violette. Panggil saja Violette."
Raiden mengangguk setuju.
"Sangat kebetulan bertemu disini, bergabunglah bersama kami, jika kau tak sibuk Raiden." Violette menunjuk bangku Xeena yang telah kosong.
Raiden tersenyum dan langsung bergabung. "Terimakasih karena telah mengajakku bergabung. Aku sangat benci jika harus sendirian," ucap Raiden bohong.
Violette tersenyum karena Raiden setuju bergabung bersamanya. "Kenalkan, dia kembaranku. Nathaniel Redrigo Chasiel,"
"Kembaran?" tanya Raiden menatap Violette dan Nathan bergantian.
"Apakah kami terlihat sangat berbeda?" tanya Nathan sambil tersenyum tipis. Nathan mengulurkan tangannya pada Raiden. "Nathaniel Redrigo Chasiel,"
Raiden menjabat tangan Nathan. "Setelah diperhatikan, kalian terlihat mirip. Aku Raiden Agera Calisto,"
"Sang jutawan London," tambah Nathan.
Raiden tertawa kecil. "Itu hanya isu belaka,"
Obrolan semakin meluas hingga dengan mudahnya Raiden bertanya tentang Xeena yang telah duduk bersama mereka. Senyum Raiden merekah saat mengetahui bahwa sahabat terdekat Xeena adalah anak dari keluarga Chasiel. Lalu informasi tentang Xeena mengalir begitu saja meski semua yang Raiden ingin tahu tak Raiden dapatkan dengan mudah. Violette dan Nathan dengan sangat baik menjaga beberapa informasi tentang Xeena. Kedatangan Raiden dan menanyakan tentang Xeena, cukup membuat Nathan dan Violette curiga.
Sedangkan dilain tempat, Xeena baru saja memasuki sebuah cafe. Pandangan Xeena menelusuri setiap sudut cafe. Hingga sosok yang ia cari melambaikan tangan pada Xeena.
"Disini,"
Xeena tersenyum dan melangkah pada asal suara. "Apakah aku terlalu lama? Maaf membuatmu menunggu."
"Tak apa, aku juga salah karena mengajakmu bertemu tanpa membuat janji sebelumnya."
"Kau tahu, aku sangat berterimakasih karena telepon darimu, ah-" Xeena berpikir karena lagi-lagi lupa dengan nama pria yang berada di depannya.
"Rex Benedict Acacio, Xeena. Ya ampun, lagi-lagi kau melupakan namaku," ucap Rex protes.
Xeena tertawa kecil dan itu membuat Rex tertegun dengan senyum Xeena. "Haha, maaf Rex, aku benar-benar lupa,"
"Ya, aku tahu karena aku orang yang tak penting untuk hidupmu,"
Xeena tersenyum tipis dan menjawab perkataan Rex. "Itu karena aku tak mengenalmu,"
"Jika itu alasannya aku tak dapat berkata lagi. Tapi Xeena, bisakah kau mengingatku mulai sekarang?"
Xeena mengangguk setuju dengan permintaan Rex. "Rex Benedict Acacio, akan kuingat."
Rex tersenyum puas mendengar jawaban Xeena. Untuk awal dari segalanya, Rex mulai merasa cukup dengan yang ia dapatkan. Namun untuk langkah selanjutnya, Rex akan terus melangkah mendekati Xeena dengan pelan. Dengan mantap Rex berpikir, bahwa suatu hari kehadirannya akan berarti di kehidupan Xeena.
Perbincangan yang hangat dengan senyum yang sesekali terlihat. Xeena terlihat begitu akrab dengan Rex tanpa pernah memperhatikan sekelilingnya. Sedangkan tak jauh dari tempat Xeena berada, seseorang pria dengan topi hitam dan kamera di tangannya tengah mengarahkan kameranya pada Xeena. Beberapa foto telah berhasil ia ambil. Dengan senyum tipis, pria itu menyalakan handphonenya lalu menelepon seseorang.
"Nyonya Calisto, saya membawakan apa yang Nyonya inginkan."
"....."
"Benar, Nyonya. Dia adalah Aozora Xeena Gilhive, calon istri dari Tuan Muda Raiden Agera Calisto."
"...."
"Akan segera saya kirimkan, Nyonya."
Sebuah pembicaraan ringan yang diakhiri dengan seringaian. Pria itu mengirim semua foto yang ia dapatkan pada orangtua Raiden. Xeena yang masih terlihat duduk tenang sama sekali tak pernah berpikir. Bahwa hidupnya akan benar-benar berubah. Kehidupan yang tak pernah Xeena bayangkan akan membuat jalan hidupnya kian kesulitan.
Raiden tersenyum mengingat kejadian siang ini. Percakapannya dengan keluarga Chasiel cukup membuatnya menemukan sedikit Informasi tentang Xeena. Raiden berjalan menatap ramainya kota London dari jendela ruang kerjanya. Segelas wine ditangannya menemani dinginnya malam namun hati Raiden sedikit menghangat saat kembali mengingat percakapan siang ini.*Flashback *"Apakah kalian hanya berdua?" tanya Raiden hati-hati.Violette menatap Raiden sambil menggeleng. "Sahabat wanitaku baru saja pergi," Raiden tersenyum tipis. "Ah, wanita yang kulihat sedan
"Rex Benedict Acacio. Ah, jadi kau juga pergi menemuinya saat bertemu denganku di cafe beberapa hari lalu? Aozora Xeena Gilhive adalah tunangan dari Raiden Agera Calisto. Bukan Rex Benedict Acacio atau siapa pun itu!""A-agera,""Apakah kau sangat menyukai Rex?"Xeena bangun dan mendekati Raiden. "A-agera ini tak seperti yang kau lihat. Aku bisa jelaskan,"Raiden bangun dan menatap Xeena yang lebih rendah dari tubuhnya. "Benarkah? Apa yang akan kau jelaskan?""A-aku,"Raiden
Xeena memandang aneh pada Raiden yang tengah duduk dan tersenyum. Kehilangan kontrak atau batalnya kerjasama harusnya membuat Raiden kesal. Tapi yang dilihat Xeena justru sebaliknya. Astaga, dia ini kenapa? Apakah dia masih waras? Dia baru saja membatalkan kontrak yang akan terjadi. Itu berarti dia kehilangan milyaran dolar untuk keuntungan perusahaannya. Aku benar-benar tak mengerti pikirannya. "Xeena," Raiden menoleh dan memanggil Xeena pelan."Ya, Pak.""Berhenti memanggilku Pak. Kita pergi sekarang,""Kemana?" tanya Xeena dengan wajah polos.
Xeena masih duduk di Cameroon cafe dengan tangan menghitung kekayaan Raiden. Sedangkan Violette telah lebih dulu pergi karena ada sesuatu yang hendak ia urus. "I-itu berarti, jumlah pemasukannya perbulan sudah tak terhitung? Dia, kaya sekali ya...," gumam Xeena pelan. Tanpa memperhatikan pandangan orang-orang di sekitarnya, Xeena masih menikmati pesanannya yang belum ia habiskan. Saat seorang pria tiba-tiba saja duduk di depannya, Xeena terkejut dan langsung tersedak makanan yang baru saja ia makan. "A-agera," "Hmm," tanpa memperhatikan Xeena, Raiden ikut memesan secan
Acara pesta pernikahan itu telah usai. Xeena membuka gaunnya dikamar Raiden dengan pikiran berkecamuk. Sedangkan Raiden berada dikamar sebelah tengah menikmati sebuah wine di tangannya."Erian Statesfied, orang kepercayaan Gilhive. Bukankah ini sangat aneh? Gilhive, hanyalah sebuah perusahaan kecil yang tak memiliki banyak kelebihan. Tapi semua tentang keluarga Gilhive seakan tertutup rapi meski aku mencari tahu tentang mereka secara mendetail."Raiden kembali mengingat orang-orang Gilhive yang mengikuti kepergian Erian pasca pesta tadi pagi. Bagaimana mungkin keamanan Raiden dapat dilewati begitu saja oleh keluarga Gilhive? Bagaimana mungkin orang-orang Gilhive dapat masuk ke p
Xeena menatap handphonenya karena baru saja selesai mengirim alamat pada Rex. Setelah menukar pakaian dan mengikat rambut panjangnya, Xeena turun dari atas menuju lantai pertama dengan cepat. Langkah Xeena kembali terhenti saat Raiden lagi-lagi menarik satu tangan Xeena."Aku tak mengijinkanmu bertemu dengannya," ucap Raiden dingin."Apa masalahmu? Ini bukan urusanmu!" Xeena menarik tangannya namun Raiden masih menggengam erat, membuat Xeena menahan sakit di pergelangam tangannya."Lepas, Agera! Ini sakit," pinta Xeena dengan nada memohon.Raiden menggeleng. "Akan kulepaskan j
Rex mengantarkan Xeena sampai di depan Mansion Raiden. Melihat wajah Xeena yang masih tertidur pulas, membuat senyum di wajah Rex kian mengembang."Harusnya aku yang melihat wajah cantik dan senyummu setiap hari, Na." Rex mengelus wajah Xeena sesaat.Suatu pergerakan kecil karena elusan tangannya membuat Rex menahan napas meski hanya sesaat. Namun saat mata Xeena tetap terpejam, Rex bernapas lega."Na, kita sudah sampai. Hei, kau bisa mendengarku?"Hening, Xeena tetap terlelap dengan pulasnya. Rex tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Keluar dari mobil dan berputar meng
"Benar, aku hanya perlu mengunjungi paman Alex untuk mengunjungimu, Xeena. Mungkin aku akan kembali ke Itali untuk beberapa saat, tapi aku akan tetap menemuimu di Paris, Xeena. Jadi bisakah kau menungguku?"Rex tersenyum penuh arti lalu mengeluarkan sebuah kalung dari sakunya. Sebuah kalung yang bertuliskan nama Xeena dengan taburan batu manik yang indah. Rex tersenyum saat mengingat pertama kali ia bertemu dengan Xeena. Lalu pada kalung Xeena yang jatuh dan ia simpan hingga kini."Aku sangat bersyukur saat aku bertemu denganmu saat itu. Kau gadis yang tak peduli pada siapapun meski baru kutahu bahwa kau adalah calon istriku dulu." Rex tersenyum manis laku memegang dadanya."Aozora Xeena Gilhive adalah calon istri dari Rex Benedict Acacio. Tapi kenapa sekarang namamu berganti menjadi N
Bukankah cinta itu benar-benar nyata keindahannya? Saat kita mencintai seseorang, kita akan selalu menyebut namanya meski matanya tak pernah tertuju pada kita. Saat kita mencintai seseorang, kita akan selalu bersikap tegar dan berdiri dengan senyum dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Meski itu luka, meski itu air mata dan meski itu derita yang ia tawarkan.Aku, Aozora Xeena Gilhive, aku akhiri kisahku dengan goresan tinta emas yang ia suguhkan. Segala kemewahan dan sangkar emas yang ia tawarkan padaku hingga mematahkan sayapku untuk terbang. Dia, tetap seakan tak tersentuh dan tetap utuh layaknya salju yang tak akan mencair meski di musim panas.Aku tak ingin seperti ini. Sendiri dan sepi. Hingga aku memutuskan untuk meraihnya dalam sangkar emas yang ia ciptakan. Aku akan m
Satu tahun kemudian semua kehidupan seakan berubah. Banyak hal yang terjadi hingga kebahagiaan begitu terpancar di wajah mereka. Rex tersenyum penuh sayang saat mata itu kecil yang bening itu menatapnya tanpa berkedip."Panggil aku Daddy." Rex menatap bayi laki-laki yang tengah menatapnya.Xeena menggeleng dan mengusap rambut anak kecil tersebut. "Kau membuatnya takut, Rex."Rex tersenyum. "Kau dengar kan jagoan? Panggil aku Daddy karena aku adalah Daddymu.""Omong kosong apa yang kau katakan pada Putraku, Rex!" potong Raiden tiba-tiba saat Raiden baru saja pulang dan mendengar semua kata-kata Rex.Rex menoleh. "Kenapa? Bukankah itu benar? Dia sangat mirip denganku." Rex menggendong
Raiden melangkah pelan lalu kemudian mempercepat langkahnya. Xeena yang melihat itu berlari mempersempit jarak di antara mereka. Saat Raiden merentangkan kedua tangannya, Xeena masuk dalam pelukan Raiden. Mereka saling memeluk erat tanpa memperhatikan sekitarnya.Tak ada kata yang terucap. Keduanya saling diam hingga mereka kembali duduk di sebuah cafe dan saling berhadapan. Raiden tersenyum tipis dan menatap mata Xeena lekat."Kenapa kau menyusulku?" tanya Raiden memecah kebisuan."Itu,"Xeena diam dan tak melanjutkan kata-katanya. Apa yang harus ia katakan? Bukankah aneh jika ia langsung mengatakan bahwa dirinya mencintai Riaden.
Raiden menatap tiket pesawat di tangannya lalu membalikkan badannya. Duduk di bangku antrian dan menatap kosong di depan."Semua telah berakhir, Raiden. Semua telah berakhir. Kau dapatkan apa yang kau tuai," batin Raiden.***Sedangkan di dalam pesta. Xeena menoleh kebelakang saat sosok Raiden berjalan gontai meninggalkan pestanya. Xeena terpaku pada kotak cincin yang berada di lantai tak jauh darinya. Xeena melangkah dan memungut kotak itu. Membukanya dan menatap lama."Agera," ucap Xeena lirih."Kau menyesali keputusanmu?" tanya Rex jelas.Xeena menoleh dan mencoba menyembunyikan kotak cincin d
Xeena menutup pintu kamarnya dan memegang dadanya. Detak jantungnya bahkan belum berdetak normal semenjak ia bertemu Raiden. Sangat tak disangka, Raiden menautkan tangannya erat. Hal itu membuat hati Xeena terenyuh. Xeena menatap tangannya, pada sebuah cincin pernikahan yang masih terpasang di jarinya."Kau datang lebih cepat dari yang aku pikirkan. Dan kita bertemu lebih cepat dari yang aku duga."Xeena Bejalan menuju meja riasnya dan melepaskan cincin di jarinya. "Tidak. Semua telah berakhir. Aku telah berusaha selama ini. Dan aku harus kuat di depan matamu. Bahwa kau memang sudah tak berarti di hidupku!"Xeena diam sesaat, menetralkan rasa sakit yang menjalar di hatinya. Ini sudah sangat lama, usaha yang Xeena lakukan untuk melupakan Raiden terlihat sia-sia hari ini. Nyatanya
Satu tahun berlalu sejak kejadian itu. Raiden terpuruk dalam rasa kehilangan. Hatinya merasa kosong sejak ia tak dapat menemukan Xeena. Raiden bahkan membayar beberapa orang mencari keberadaan Xeena di London namun tak ada yang dapat menemukan Xeena. Xeena menghilang dan tak ada satupun yang bisa menghubunginya.Berkali-kali Raiden mendatangi Violette dan Nathan namun nyatanya mereka berdua bungkam. Ketakutan Raiden semakin menjadi saat Rex ikut menghilang bersamaan dengan hilangnya Xeena. Ancaman yang Rex berikan selalu terngiang di telinga Raiden. Hal itu membuat Raiden tak dapat hidup dengan tenang.Seperti malam ini, Raiden terjaga dari tidurnya dan duduk termangu dengan segelas wine di tangannya. Ingatannya kembali pada masa saat tangannya menggenggam tangan Xeena."Na, aku
Raiden tertunduk lesu dan berpikir. Menimbang semua pilihan dan dampak untuk hidupnya. Sekilas wajah Xeena terbanyang, senyum itu, tawa itu, akankah dia akan merindukannya?""Tidak, kontrak itu masih berjalan. Keluarga Xeena tak akan mampu membayar denda yang aku minta." ucap Raiden dalam hati."Kenapa kau melakukan ini padaku?" tanya Raiden lirih.Michael tertawa. "Kenapa kau lakukan itu pada Anakku?"Raiden mendongak mendapati pertanyaan yang sama. "Aku tak tahu apa maksudmu,""Jangan berpura-pura lagi. Kau tak pernah menikah dengan anakku! Semua hanya kontrak!"Deg! Mata Raiden terbelalak sesaat. Pandangannya luruh dengan tawa ke
Satu minggu setelah pertengkaran itu, Raiden terlihat sangat sibuk. Xeena pun terlihat sama. Pagi ini, Raiden menatap menu sarapan paginya yang dibuatkan oleh Xeena. Raiden duduk di meja makan dan menatap Xeena yang terlihat menikmati makanannya tanpa sepatah kata pun."Aku minta maaf," ucap Raiden dingin memecah kebisuan.Xeena mendongak, menatap Raiden sesaat lalu kembali pada makanannya..Merasa tak ada tanggapan, Raiden menatap Xeena lama. "Kau tak dengar?""..." Xeena tetap diam."Jangan mendiamkan aku Xeena! Kau seperti orang bisu yang tak bisa bicara! Kau bahkan sudah mengabaikanku selama satu minggu!"Xeena meletakkan sendok
Raiden melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kata-kata rex terngiang jelas di telinganya."Tidak!Dia hanya milikku." batin Raiden keras. Raiden mendesah kasar dan berpikir lagi secara logis. "Bukankah ini yang aku mau? Aku tak inginkan Xeena berada di sisiku. Tapi aku juga tak ingin Xeena menjadi milik siapa pun. Aku tak ingin ada satu orangpun memiliki dirinya."Raiden terus saja berpikir tanpa memperhatikan semua hal yang Rebecca bicarakan. Hatinya terasa nyeri saat membayangkan xeena tersenyum dalam pelukan Rex. "Haruskah aku melepaskanmu? Bukankah ini yang aku inginkan. Aku sangat yakin bahwa ini yang aku inginkan. Aku tak ingin ada cinta di hatimu, aku tak ingin kau memiliki perasaan itu. Karena kita hanya sebatas kontrak. Ya, kita hanya sebatas kontrak. Dan hal yang kulakukan