VIOLASudah kuduga sebelumnya. Berdua dengan Kenzio akan membuatku terjebak dalam momen ini. Kami harus membicarakan sesuatu yang selama ini sangat aku hindari. Dan dugaanku tadi bahwa Kenzio merencanakan semuanya dengan matang semakin mendekati nyata.“Aku mohon kamu jangan menghindar lagi, Vio. Sudah saatnya kita bicarakan masalah ini secara dewasa. Aku tau akulah yang salah dalam hal ini. Aku nggak akan menyangkal. Sepenuhnya ini memang salahku. Tapi tidakkah aku berhak atas kesempatan kedua?” Kenzio membicarakannya tanpa kata pembuka atau basa-basi. Dia sedikit pun nggak membahas mengenai sandiwara yang kulakukan. Seakan kejadian tadi pagi tentang aku yang mengakui Ben sebagai suami nggak pernah terjadi.“Sorry, Zio, seharusnya kamu nggak perlu meminta kesempatan apa pun padaku karena kesempataan itu mutlak punya kamu. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu membuangnya, kamu melempar kesempatan untuk bersamaku jauh-jauh. Kamu lebih memilih untuk bersama Clara. Jadi kesempatan apa lagi?
VIOLA Hujan yang turun rintik-rintik di luar sana meniupkan hawa dingin yang menelusup sampai ke tulang. Sesekali terdengar suara guruh yang seakan ingin membelah langit.Aku merapatkan selimut membentengi diri dari udara dingin yang membuat tubuhku menggigil. Di sebelahku Lakeizia sudah tertidur sejak berjam-jam yang lalu. Keasyikannya bermain di pantai tadi membuat anak itu lelah tapi bahagia. Sehingga setibanya di rumah kasur adalah hal pertama yang dicarinya.Sedangkan aku sampai jam segini sepicing pun belum bisa memejamkan mata. Bukan karena insomnia yang datang tiba-tiba, melainkan karena perasaan membuncah akibat terlalu bahagia. Semua beban berat yang selama ini menggayuti pundakku terangkat sudah. Yang tersisa hanya perasaan lega.Notifikasi dari ponsel yang kuletakkan di nakas menjadi bebunyian lain yang menyela suara hujan di luar sana. Bibirku otomatis melengkungkan senyum saat melihat nama ‘Yanda’ tertera di layar. Secepat itu aku mengganti namanya di daftar kontakku. S
KENZIO Semalam aku meninggalkan rumah Viola setelah dia tidur. Sebelum tertidur Viola memberitahu letak kunci cadangan rumahnya padaku sehingga aku bisa mengakses kapan pun aku mau. Lalu pagi ini aku sudah nggak tahan menyimpannya sendiri. Aku nggak mau membuang lebih banyak waktu. Aku nggak akan bisa tenang sebelum menyampaikan pada Papa dan Ayang mengenai Viola dan Lakeizia."Zio, kenapa sih dari tadi duduknya gelisah? Nggak enak masakan aku?" tegur Rhiannon yang duduk di sebelahku, berhadapan dengan Papa dan Ayang. Saat ini kami sedang sarapan pagi."Enak banget," jawabku. "Masih ada lagi nggak?" Pagi ini Rhiannon menyediakan egg muffin untuk kami."Ada tuh di belakang. Mau nambah? Itu kan belum habis." Dia melirik piringku, heran."Bukan untuk aku sih, tapi buat Kei.""Lakeizia?"Aku memberi jawaban anggukan kepala lalu bangkit dari tempat duduk. Seluruh mata tertuju padaku saat aku menyuruh ART kami mengantar dua porsi egg muffin ke rumah sebelah."Yang, Zio kenapa sih perhatian
KENZIO Sudah sejak tadi aku duduk sendiri di tempat menunggu para siswa di sekolah Lakeizia. Anak itu nggak tahu kalau aku akan datang. Dia pikir hari ini akan pulang dengan mobil antar jemput seperti dulu.Lalu saat jam sekolah berakhir dan melihatku berada beberapa meter di depannya Lakeizia berlari ke arahku sambil berteriak girang."Yandaaaa!"Bangkit dari tempat duduk, aku menyusulnya lalu membawa tubuh mungil itu ke dalam gendongan."Yanda kenapa ke sini?" tanyanya setelah kukecup pipinya."Memang nggak boleh Yanda ke sini?""Ih, bukan begitu, tapi Yanda kok nggak bilang dulu mau ke sini?""Tadi Yanda mau bilang tapi Kei udah keburu pergi."Tadi pagi memang bukan aku yang mengantar Lakeizia ke sekolah seperti hari-hari sebelumnya. Tadi pagi aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk berterus terang pada orang tuaku dan mengatakan rencanaku untuk menikahi Viola pada mereka."Kita ke mana dulu, Nak?" tanyaku pada Lakeizia setelah kami berada di mobil."Hmm ... ke mana ya?" Lakeizia
VIOLAAku sedang bersiap-siap. Malam ini Kenzio mengajakku makan malam bersama keluarganya. Sekaligus untuk membicarakan kelanjutan hubungan kami. Hampir setiap hari aku bertemu dengan Om Kevin dan Tante Zeline, namun malam ini debar jantungku begitu menggila."Kei, gimana baju Bunda? Bunda cocok nggak pake baju ini?" Aku meminta pendapat pada Lakeizia mengenai dress biru yang panjangnya di bawah lutut yang membalut tubuhku."Bunda cantik banget pake baju itu.""Beneran?""Beneran, Nda. Yanda pasti makin cinta sama Bunda.""Hei, Kei, siapa yang ngajarin ngomong begitu?" Aku terkejut mendengarnya. Ini untuk pertama kali Lakeizia mengucapkan kata itu. Malah aku nggak yakin dia mengerti apa artinya.Bukan menjawab Lakeizia malah terkikik geli."Kei, jawab Bunda, Nak, siapa yang ngajarin Kei ngomong begitu?" Aku menagih jawaban.Lakeizia berlari keluar kamar. Aku mengikutinya. Lalu saat tiba di depan kami disambut oleh suara bel."Yanda datang!" Lakeizia berseru ketika membuka pintu dan m
KENZIOTidak butuh waktu lama bagiku untuk membawa Viola ke pelaminan. Seminggu setelah aku melamarnya, kami direncanakan menikah. Seminggu dari saat itu berarti besok pagi.Setelah berdiskusi dengan Viola dan rembukan dengan keluarga, kami sepakat untuk menyelenggarakannya secara sederhana, dalam artian pernikahan tersebut digelar tidak berlebihan. Acara tersebut berkonsep intimate wedding. Kami hanya mengundang keluarga serta beberapa orang teman dekat.Seluruh keluarga dan sepupuku yang menetap di Indonesia seperti Bjorka dan Arimbi sudah berkumpul di rumah. Sedangkan Fai dan Cleo terpaksa tidak dapat menghadirinya karena saat ini istri Fai sedang hamil tua.Berhubung aku adalah orang Jawa maka aku menjalani tradisi pingitan. Tadinya aku nggak mau, tapi Oma ngotot. Dia bilang kapan lagi melaksanakan tradisi tersebut? Dulu saat Ayang menikah dengan Papa juga tidak ada. Masalahnya Ayang dan Papa kawin lari karena hubungan keduanya tidak direstui oleh orang tua masing-masing. “Nggak
VIOLA Hari yang dinanti itu akhirnya tiba. Acara pernikahanku dan Kenzio diadakan di Bukit Pandawa Golf & Country Club. Berbeda dengan kebanyakan pengantin lainnya, akad nikahku dan Kenzio diselenggarakan malam hari. Nggak ada yang tahu bahwa kemarin malam aku dan Kenzio bertemu melalui jendela kamarku. Lalu hari ini aku dan Kenzio didandani di ruang terpisah. Kami masih belum diizinkan untuk bertemu sampai akad nikah nanti.Untuk akad nikah aku dan Kenzio menggunakan pakaian adat Jawa. Aku dan Kenzio terpaksa menurut demi menghargai omanya Kenzio. Setelah didandani barulah kami dipertemukan. Kenzio sudah berada di meja akad saat aku muncul.Dalam balutan pakaian jawi jangkep berwarna hitam dengan motif bunga keemasan di bagian dada dan beskap yang juga berwana hitam di kepalanya, Kenzio terlihat berbeda. Dan gagah. Tentu saja. Memangnya kapan seorang Kenzio Mahanta nggak pernah gagah? Bahkan hanya dengan kaos oblong dan celana pendek serta rambut kusut bangun tidur dia sanggup mem
VIOLAAku memandangi Lakeizia dan Kenzio yang sedang berbaring di tempat tidur. Sepasang ayah dan anak itu terlihat asyik memainkan game berdua di gawai masing-masing. Seumur-umur aku belum pernah mengajarkan Lakeizia main game online. Tapi lihatlah apa yang dilakukan yandanya. Sudah sejak tadi keduanya tenggelam dalam dunia maya dan bertarung untuk saling mengalahkan.Aku mendekati keduanya lalu ikut bergabung di tempat tidur. Namun rupanya kehadiranku tidak berarti apa-apa. Ayah dan anak itu masih saja asyik dengan dunia mereka. Aku tidak dianggap.Aku sengaja membuat batuk agar keduanya tersadar bahwa aku ada di sini."Ya, Nda, kenapa? Bunda batuk?" Kenzio merespon tanpa memandang padaku. Seluruh atensinya terenggut habis pada gawai di tangannya. Aku pikir aku adalah prioritas utama hidupnya setelah kami menikah. Tapi ternyata aku salah lagi. Ini baru malam pertama. Baru beberapa jam yang lalu resepsi pernikahan kami berlangsung tapi aku sudah dikalahkan benda persegi panjang itu.
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se
REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa