“Kamu baru memberitahu Mama berita ini sekarang? Tiga hari menjelang acara pernikahanmu, Ela? What do you take me for? Kamu sudah durhaka ya tak anggap Mama sebagai orang tuamu lagi, ya!” Suara teriakan mama yang penuh drama terdengar nyaring di rumah kediaman keluarga Dharmawan membuat Ela memejamkan matanya sejenak.
Dipta berada di sampingnya dan mengelus punggungnya, mencoba menenangkan Ela agar dirinya tetap tenang tidak terprovokasi.
“Mama sendiri bukan, yang menolak seluruh panggilanku sejak aku angkat kaki dari rumah?” ujarnya membela diri.
“Ya itu karena kamu sendiri yang bebal sekali tidak mau menuruti keinginan Mama!” balas sang mama tak kalah kerasnya dari ucapan per
DIPTA Memiliki seseorang yang bersedia mengikatkan diri dengannya dengan janji suci nan sakral di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa di hadapan keluarga dan kolega dekatnya merupakan satu mimpi jauh yang sempat Dipta kubur dalam-dalam dalam hidup. Tak ada kata pernikahan dalam kamus percintaannya mengingat bagaimana gilanya dulu dinamika antara mendiang ibu dan papanya, dan dampak serta trauma yang Dipta bawa dalam menjalani hidupnya. Semua membuatnya enggan untuk mengikatkan diri bersama seorang perempuan hingga sejauh dan sedalam ikatan pernikahan. Tapi di hadapannya kini, sesosok perempuan jelita tercantik di mata Dipta telah sah menjadi istrinya secara hukum dan agama. Tidak ada drama dalam prosesi pernikahan mereka sejak tadi di restoran
Dipta mengangguk, mengucapkan terima kasih atas ucapan politisi muda tersebut. “Saya pikir Anda sudah pernah bertemu dengan papa saya? Kudengar Papa memiliki koneksi juga dengan paman Anda, Tedjo Sutikno. Benar demikian?” Dipta hanya berbasa-basi singkat saja. Karena memang ini pertemuan pertamanya dengan Prabu Sutikno dan tak ada topik yang dapat mereka bicarakan bersama satu sama lain. “Ah, ya… Mungkin Om Tedjo sudah mengenal dekat Pak Jeremy Rustam. Namun saja belum berkenalan secara lanjut. Apalagi ada kakakmu yang kudengar sekarang sedang fokus dengan perusahaan sawitnya, ya?” Prabu menanggapinya. “Wah, kalau yang itu saya kurang paham. Prabu. Anda bisa berbincang dengan Bang Hakim dan saya yakin dia akan senang hati menceritakan bisnis yang saat ini sedang dikerjakan.” Dipta berkelakar sambil mengangkat kedua tangannya, peduli setan apa fokus kakaknya. Dia bahkan baru bekerja di bawah kakaknya dalam hitungan bulan. Dia tak tahu banyak soal bisnis keluarga Rustam. Pun dia
ELAEla terbangun dari tidurnya yang cukup lelap. Saat syaraf di otaknya sudah saling terkoneksi, barulah Ela sadar di mana dia sekarang, dan mengapa dia bisa tidur selelap ini semalaman.Kemarin Ela baru saja menikah dengan pria yang kini tengah memeluk tubuhnya erat. Kontak maksimal dada bidang Mas Dipta dengan punggungnya menciptakan kehangatan yang begitu membuatnya terasa nyaman dan terlindungi sempurna.Dia sontak tersenyum pelan saat mendapati tubuhnya berada dalam pelukan Dipta.Mas Dipta. Suaminya.Oh, betapa nama panggilan baru Dipta begitu indah di benak Ela yang sedang berbunga-bunga sekarang.Tak sadar
Ela tak lelahnya memandang Dipta yang terlihat begitu manly ketika merobek croissant hangat di hadapannya kini. Tangannya yang berurat dan kekar, lalu rahangnya yang tegas, dan… bibirnya yang tebal menggoda. Semuanya terlihat begitu indah di mata Ela, sampai-sampai dia tak sadar jika dia memandang sang suami tanpa kedip. Dipta yang akhirnya sadar hanya menggelengkan kepala dan terkekeh sejenak sebelum menggodanya kembali. “Yang, ngeliatnya biasa aja dong, kayak mupeng gitu,” tegur Dipta setelah berhasil melahap croissant yang disediakan di restoran The Opulent hotel The Royal Ruby ini. Ela diam-diam memeriksa jangan sampai dia air liurnya menetes sebelum mengubah suaranya menjadi malu-malu kucing. Entah apa yang merasukinya sejak pagi ini. Rasanya dia ingin terus berada dekat dengan Dipta, bermesra-mesraan, hingga bercengkrama dengan intim dengan pria yang sungguh baru Ela sadari begitu menawan. Mungkin ini yang orang-orang sebut sebagai pesona pria matang. “Tapi kamu eman
Ela tersenyum tipis ketika mereka berdua memasuki ruang tamu rumah yang kini secara resmi menjadi tempat tinggalnya dengan Dipta. Suasana rumah ini sedikit berantakan karena beberapa hari sebelum pernikahan mereka, Ela dan Dipta tak sempat membereskan sisa-sisa printilan persiapan pernikahan mereka. Satu malam sebelum acara, mereka sudah bertolak ke hotel Royal Ruby untuk mempersiapkan acara dan baru kembali satu malam setelah acara selesai. Tak ada hal spesial yang mereka lakukan setelah mereka kembali ke hotel selepas menggelar resepsi di restoran The Ambience dua malam lalu. Mereka terkapar di kamar hotel melepas lelah setelah berpesta semalaman suntuk bersama rekan kerja Dipta dan juga beberapa teman-teman Ela yang usianya masih sepantaran dan memiliki energi untuk menikmati acara till drop. Kemudian setelah sarapan dan bertukar pikiran sebagai pasangan yang resmi menyandang status suami-istri, mereka melewati hari di dalam kamar Junior President Suite Hotel The Royal Ruby dan
DIPTAKehidupan pernikahannya merupakan sebuah berkah yang menghampiri hidupnya secara tiba-tiba. Tak disangka, ketika Dipta membuka hatinya untuk melaksanakannya penuh tanggung jawab dan cinta kasih dengan Ela, everything turns into such a beautiful bliss. Ketika dia membuka matanya pagi hari, ada Ela yang bergelung hangat di sampingnya. Cantik seperti tuan putri sebuah cerita roman kerajaan. Sarapan bersama sebelum mereka memulai kegiatan masing-masing di pagi hari. Kini Dipta berubah haluan jadi mengantar sang istri sebelum dia pergi ke kantor. Keduanya sepakat jika Dipta tidak efisien pergi dengan motor karena dia harus siap sedia dengan full suit-nya, ditambah Bang Hakim keberatan jika Dipta datang dengan bau asap kendaraan bermotor sebelum mereka pergi meeting. Dipta sebenarnya tak peduli, tapi ketika hujan mendera dia baru merasakan kerepotan karena baju dan celananya basah dan dia hanya memiliki waktu dua jam sebelum mengantar Bang Hakim bertemu dengan anggota partai yang j
Dipta mendengarkan secara saksama perbincangan antara ayah dan kakaknya di ruang kerja ayahnya. Dia tak tertarik ambil bagian, karena dia tahu dia tak akan terlibat di dalam politik praktis, dan dia lebih fokus mempersiapkan diri lepas dari keterikatannya dengan keluarganya ini. Dipta sudah yakin jika dia akan kembali ke firma milik Mas Sultan dan bekerja secara jujur di dalam bagian Noble Safeguards.“Jika kita masuk dalam barisan Tedjo Sutikno, sudah pasti jatah kita akan semakin sedikit, Hakim. Kamu lanjutkan saja tetap menempel pada Rahmat Trihadi, sementara kita lihat saja manuver dari tim Tedjo Sutikno, jika Papa bisa menembus masuk ke dalam inner circle Tedjo Sutikno kita akan main dari sana.” Papa akhirnya memutuskan mereka tetap mendekat kepada kedua calon presiden tersebut.
Dipta berdiri sambil bersedekap di ruang komando milik Mas Sultan. Melihat secara saksama bagaimana rekaman tim Mas Sultan menginterogasi perempuan yang akhirnya berhasil mereka ciduk dan diamankan di ruang interogasi. Grace Hariman. Sedang diinterogasi oleh anak buah Mas Sultan. Mata perempuan itu ditutup untuk mencegah identifikasi dari Grace Hariman. Dan rupanya begitu mudah membuat Grace Hariman bernyanyi mengungkap semuanya. “Ini bukan kerjaan saya! Saya cuma disuruh, sungguh!” ujarnya dengan suara yang serak. Bagaimana suaranya bisa serak seperti itu, Dipta tak ingin memikirkannya. “Siapa yang nyuruh?” tanya sang interogator. Grace Hariman hanya menggelengkan kepalanya. Belum berani mengungkap siapa dalang di balik semuanya meskipun Mas Sultan sudah tahu. “Kenal Dhanu Trihadi dari mana?” Grace masih terus dicecar dengan berbagai pertanyaan. Hening, karena Grace menolak menjawab pertanyaan menjebak tersebut. “Dua bulan lalu bertemu Dhanu Trihadi di salah satu h
Kemarahan yang tak dapat Dipta tahan akhirnya meledak juga tatkala dirinya mendapati keadaan Ela di dalam ruang meeting bersama Hakim dan Dhanu. Hakim dengan santai memperhatikan Dhanu dan Ela yang bertengkar hebat ketika Dipta dan kedua rekannya menjejakkan kaki di dalam ruangan tersebut. Tanpa basa-basi, Dipta langsung menghambur menghampiri Ela. Prioritas utamanya, untuk memastikan istri tercintanya tak kurang satu apapun. Rambut Ela berantakan, lengannya yang halus berubah menjadi kemerahan. Sontak semuanya membuat Dipta gelap mata dan dia paham siapa yang menyebabkan keadaan Ela seperti sekarang. Dhanu, manusia brengsek yang terguling memegang selangkangannya sambil mencicit kesakitan seperti hama tikus. Tanpa pikir panjang, Dipta menarik kerah baju Dhanu dan mulai menghajarnya. Kegeramannya tak bisa ditahan-tahan lagi, dan Dhanu memang layak mendapatkan bogem mentah setelah semua hal gila yang dia lakukan kepada Ela. Even killing him in one go was still not enough for Dipta
Pagi hari dirinya dan Ela berpisah tujuan, sang istri ke galeri memulai kegiatannya dan Dipta berkumpul bersama Mas Sultan untuk pergi ke basecamp yang disewa Reza demi mengecek hasil buzzing mereka semalam. Turned out it went exceptionally well. Apalagi ketika muncul beberapa bukti tentang betapa bejatnya seorang Dhanu. Pria itu menggunakan kekuasaan ayahnya dengan serampangan, dan betapa mudah mengangkangi hukum. Terutama ketika narasi pria itu pernah mabuk sambil membawa mobil dan menabrak seseorang hingga meninggal dunia. Kasusnya sempat ramai beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya hilang terkubur begitu saja tanpa bekas. Tentu karena kekuasaan seorang Rahmat Trihadi yang berhasil membungkam semuanya dan membersihkan informasi tersebut, ditambah lagi Dhanu diungsikan ke luar negeri dengan dalih bersekolah di luar. Ketika berita lama itu kembali muncul ke permukaan, perbincangan dunia maya lambat laun beralih pada kapabilitas Rahmat Trihadi dalam bursa pemilihan presiden. Tagar k
Sejak kemarin malam, Dipta bersama Mas Sultan, Gala dan juga Reza–ketua tim elit Alfa yang dibentuk oleh Nero sibuk mengunjungi satu gedung perkantoran kecil dan tak mencolok yang rupanya dipakai sebagai salah satu basecamp kelompok buzzer yang berafiliasi dengan tim Alfa untuk operasi menjatuhkan reputasi Dhanu Trihadi. Suatu hal baru bagi Dipta berkecimpung di dunia abu-abu seperti ini. Namun, Dipta percaya kepada Mas Sultan dan Nero yang akan membantunya untuk melepaskan ikatan dirinya dengan Rustam serta memastikan keadilan untuk istrinya. Tentu saja buzzer yang dipakai oleh tim Reza adalah tim kualitas terbaik yang dibantu dengan teknologi mutakhir artificial intelligence dengan data set machine learning yang mumpuni. Jadi mereka tak perlu banyak orang dalam menggerakkan buzzer di dunia maya, karena akun-akun ternakan tersebut merupakan bot dengan kemampuan berbahasa yang lebih natural. Sehingga semua cuitan dan serangan online yang dilancarkan oleh tim buzzer ini berkualitas se
Ela ragu bagaimana dia harus bersikap di hadapan Hakim dan Dhanu sekarang untuk membalas ancaman dan juga ucapan mereka yang tak Ela mengerti satu pun. Yang bisa Ela tanggapi hanyalah tentang video privat dirinya dan Dipta yang sialnya… mungkin sudah jatuh ke tangan Hakim dan Dhanu. Badannya seketika menggigil. Ela merasa ditelanjangi dan dipermalukan oleh kedua pria kurang ajar ini. “Kalian cuma bisa mengancam perempuan untuk menyelesaikan masalah seperti ini? You? All of the people?” Ela mengejek dan memprovokasi mereka. Sikapnya yang seperti ini semata dilakukan untuk melindungi diri agar tak diinjak-injak lebih dalam lagi. “Siapa sih konsultan politik kalian? They can’t even navigate and cool down the negative news?” tambalnya dengan nada dingin. Kali ini Hakim yang terlihat jengkel, dan Dhanu geram karena diskak oleh Ela. “How was it, sleeping with Dipta? Better than Dhanu?” Tapi Hakim justru membalas ucapan Ela dengan remark yang merendahkan martabatnya sebagai perempuan.
Baru saja Ela keluar dari galeri, dia sudah dihadang oleh dua orang pria yang tidak Ela kenali. “Ibu Elaina? Pak Hakim sudah menyiapkan mobil,” ujar seorang pria yang kini beralih pindah ke sebelah Ela. Satu orang lagi bergerak di belakang Ela. “Saya bawa mobil sendiri.” Dia mencoba menghindar dan memperlebar jarak dari keduanya. Tapi sayang, mereka sudah mengepungnya dan memaksanya untuk ikut ke dalam mobil. “Pergi atau saya teriak–” ancam Ela dengan sungguh-sungguh. Kedua pria itu saling menatap, berkomunikasi tanpa kata hingga salah seorang pria menganggukkan kepalanya. “Saya ikut dalam mobil Anda. Rekan saya akan mengikuti dari belakang.”Itu bukanlah balasan yang Ela ingin dengar. Tetap saja berbahaya baginya. “Nggak bisa!” tolaknya dengan keras. “Jangan mempersulit, Bu. Kami tidak akan melukai Anda. Kami hanya butuh mengantar Anda sesuai tujuan. Lebih cepat lebih baik. Pak Hakim berkata jangan main-main,” ancamnya yang membuat Ela semakin frustasi dan ketakutan. Mereka
“Ela, semua bahan press udah naik tayang ya di beberapa media? Dari komunitas lelang, charity dan donor sendiri gimana? Apa feedback dari mereka? Dan untuk komunitas dari luar negeri sudah beres di handle? Perwakilan mereka sudah ada LO masing-masing, kan?” Mbak Rengganis memberikan daftar panjang checklist hal-hal yang harus Ela persiapkan menjelang pembukaan art exhibition yang sudah semakin dekat. “Aman, Mbak. Kita udah sebar juga ke komunitas, artists, dan art influencer di beberapa media sosial seperti Tiktok, i*******m, vlogger dan blogger. All good, dan hype di media juga cukup oke kalau saya pantau,” jawab Ela untuk satu pertanyaan Mbak Rengganis. Rengganis mengangguk mendengar penjelasannya. “Lalu untuk badan amal, charity sudah cukup banyak yang RSVP, dan beberapa donor pun sudah RSVP untuk acara pembukaan. Mereka sudah siap dengan bidding lot beberapa karya yang akan dilepas untuk lelang,” lanjutnya sambil mengecek buku agendanya. Mengecek secara detail pertanyaan dari
ELA“Kamu mau sampai kapan tiduran terus, Sayang? Memang nggak pusing?” Suara bariton khas suaminya membuat Ela semakin nyaman bergelung di dalam selimutnya. “Hmm,” protesnya tanpa membuka matanya yang masih terasa berat. “Nanti kamu malam malah nggak bisa tidur, lho. Kacau semua jadwal tidurmu nanti. Terus nanti kamu malah nenggak espresso dan makin jadi itu GERD-nya! Ayo bangun dulu!” Kini Dipta tak hanya memintanya bangun. namun tangan lelaki itu sudah sibuk menjawil pipinya dan menggelitiki perutnya dengan leluasa. “Mas!” Suara protesnya semakin membesar.Susah payah Ela menepis tangan Dipta yang sudah mulai usil mengganggu kesenangan tidurnya pagi ini. Eh, ini masih pagi, bukan? Astaga, Ela masih begitu ngantuk! A little more sleep couldn’t hurt, ‘kan?Acara soiree semalam sukses membuatnya seperti zombie hidup hingga lepas tengah malam. Mereka berdua baru bisa kembali ke rumah hingga jam tiga dini hari. Bahkan Ela tak ingat apa yang dia lakukan setelah melepaskan sepatu yan
“Gue udah dapat lead tentang video itu. Setelah pengembangan investigasi dari informasi Grace Hariman, kita bisa tracing di mana mereka menyimpan file tersebut. Kemungkinan besar ada di kediaman Dhanu.” Nero bergumam. “Gue udah coba trace sisa-sisa file dari device Grace dan komplotannya. Sejauh ini memang tidak ada, tapi memang gue sejujurnya masih khawatir kalau gue melewatkan hal krusial,” ujar Mas Sultan menimpali. “Double confirm. Gue juga udah nyuruh anak buah gue–Reza, untuk mengecek kembali seluruh device Grace dan anak buahnya. Sudah bersih. Gue hampir yakin master file ada di tangan Dhanu.” Nero mengangguk setuju. Dipta menoleh ke arah Nero yang bersedekap. “Kita bagi tugas, gimana?” celetuk Nero tiba-tiba. Mas Sultan menaikkan sebelah alisnya. “Tell us, I am all ears.” “Tugas pertama adalah tarik master file dari Dhanu. By all means necessary. Bahkan sampai harus pakai jalan hacking, bribery, and well, you know–” Dipta mengangguk, mengerti ke mana arah pembicaraan Ner
“Lho? Sudah selesai rapatnya toh?” Dewi Sastrowilogo terperangah ketika melihat gerombolan pria yang berdiri di depan lift dengan beragam ekspresi yang tercipta di wajah mereka masing-masing. Raka yang kepalang kesal, Darius dan Nero yang getol ngecengin Raka, serta dirinya dan Mas Sultan yang kebingungan di tengah internal joke yang saling dilemparkan tiga serangkai ini. Mereka berlima memberikan jalan kepada tiga perempuan itu untuk keluar dari lift, dan menutup kembali pintu lift. Membatalkan rencana untuk turun demi berbincang dengan Bu Dewi dan rombongan kecilnya. “Mau ke mana kalian?” todong Bu Dewi. “Ke bawah, Tante. Mau ngerokok–” Darius menjawab sebelum berhenti ketika melihat istrinya melotot ke arahnya. “Err… cari angin di luar,” ralatnya buru-buru. “Temani kami saja, ini Ibu mau tunjukkan koleksi spesial Ibu kepada Amira dan Prajna, supaya mereka tahu beberapa pusaka dari Sastrowilogo,” tutur Bu Dewi yang membuat para lelaki mati kutu di tempat mereka berdiri. Amira