POV Dirga"Silahkan, Pak." Suara itu membuat lamunanku buyar.Raisa sudah tidak terlihat lagi. Ingatanku terbang pada saat Shanum mengatakan Raisa hamil. Aku sampai sekarang bahkan tidak tahu apakah Raisa benar-benar hamil atau tidak.Jika memang hamil, apakah tadi itu anakku? Apa Raisa terpaksa menikah dengan lelaki lain untuk menutupi kehamilannya?Semua pertanyaan itu berkecamuk di dalam benakku. Sungguh, aku tidak akan bisa tenang setelah ini. Aku harus mencari keberadaan Raisa lagi dan memastikan fakta yang ada. Jangan sampai dia mengandung anakku dan aku diam saja.Setelah selesai memilih kalung untuk Mika. Aku bergegas untuk pulang, bersiap setelah itu pergi ke tempat yang sudah dijanjikan. Seharusnya malam ini aku senang karena bisa berkumpul kembali namun pertemuanku dengan Raisa yang tak disengaja itu membuat hati berkecamuk.Kuhela nafas panjang, mencoba untuk sejenak menyingkirkan tentang Raisa. Setidaknya saat aku sedang bersama dengan Shanum dan Mika.Mobil yang kukendar
POV DirgaBaru saja aku mengetik pesan balasan, pesan dari Shanum langsung dihapusnya. Keningku berkerut karena heran.[Maaf, Mas. Aku tidak fokus tadi.]Jadi itu bukan ditujukan padaku? Lalu dengan siapa Shanum akan bertemu? Di hotel pula.Pikiranku semakin tak karuan, hatiku gelisah. Sekuat mungkin aku menahan diri untuk tidak mencari tahu. Sejauh ini aku sudah berhasil dan jangan sampai tembok yang sudah susah payah kubangun jadi roboh nantinya.Kuhela nafas panjang. Menaruh benda pipih itu tanpa membalas pesan Shanum. Lebih baik kembali fokus meski sudah sedikit oleng karena ini.Aku merasa diriku jadi lemah, karena hal kecil saja selalu berhasil membuatku tidak fokus dalam pekerjaan. Meski berkali-kali sudah ditanamkan dalam benak jika Shanum itu bukan lagi milikku dan aku tidak boleh mencampuri urusannya tapi tetap saja hatiku berontak dan selalu ingin tahu. Aku benci diriku seperti ini, sebagai lelaki rasanya aku sangat lemah.Fisikku mungkin terlihat kuat tapi di dalam rapuh k
POV ShanumAku hanya tersenyum tipis saat Devia menceritakan paniknya mas Dirga mendengar aku akan menikah. Tidak ada tanggapan lain yang kuberikan. Dia selalu seperti itu, tidak mencari tahu dulu benar dan tidaknya malah langsung percaya saja. “Kenapa juga kau itu jahil sekali?”Devia tertawa. "Aku hanya penasaran saja, ternyata dia masih mencintaimu sampai tidak rela saat mendengar kau akan menikah.""Cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan pernikahan, Dev.""I see. Sebesar apapun cinta kalau sudah tidak sejalan maka tak bisa dipertahankan.""Itu kau tahu. Kami jalan masing-masing, hanya Mika yang membuat aku dan dia masih berhubungan sebagai orang tua.""Jadi bagaimana? Kapan kau akan menikah lagi?"Bugh!Kulempar bantal sofa hingga mengenai kepalanya. "Heh! Jangan bicarakan itu! Kau pikir kau ini bicara pada anak muda?"Devia tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya. “Siapa tau? Kulihat Reno sudah ada ancang-ancang untuk mendekatimu.”Kuhela nafas panjang. "Cari topik l
Jantungku masih bertalu riuh meski Johan tak lagi terlihat. Bingung dengan diriku sendiri yang malah merasakan hal yang menurutku tidak seharusnya. Ini tidak boleh terjadi.Aku baru saja berpisah dari mas Dirga bahkan sempat berpikir berulang kali untuk menikah lagi namun perasaanku saat ini seolah bertolak belakang dengan logika.Selama acara pikiranku malah dipenuhi Johan. Aku sampai gemas dengan diriku sendiri, padahal Johan hanya bagian dari kisah di masa remajaku. Tidak lebih dari itu namun kehadirannya malah sukses membuatku tidak tenang seperti ini.Ting!Aku sampai terperanjat saat mendengar suara ponselku sendiri.Tiara menertawakanku. "Apa yang kau pikirkan sampai kaget begitu mendengar ponsel sendiri bunyi?" ledeknya."Ekhem … jangan-jangan ada yang terpesona sampai lupa daratan," timpal Melanie."Terserah kalian," ujarku lalu melihat notifikasi yang ternyata pesan masuk dari Mika.Dia menanyakanku jam berapa aku pulang, ini sudah pukul sembilan. Sebentar lagi aku akan pula
"Sini duduk, Nak." Mama menepuk sofa di sebelahnya yang kosong."Maaf. Tapi saya tidak bisa menerima ini!" Aku berucap dengan tegas.Lebih baik memang dikatakan dari awal daripada menyuruh mereka menunggu dan jawaban akhirnya juga sama. Aku tidak bisa menerima Reno, dia hanya teman dan sampai kapanpun akan jadi temanku."Sayang, pikirkan dulu. Jangan menolak begitu saja.""Tidak, Ma. Aku sudah punya calon.""Apa? Calon?"Aku mengerjapkan mata, meringis mengingat apa yang baru saja kukatakan. Kenapa juga aku harus bicara segampang itu. Karena terlanjur emosi membuatku seperti ini."Maaf, saya tidak bisa. Permisi." Aku mengayunkan langkah keluar dari rumah, tidak peduli dengan panggilan mama dan papa.Jika tahu Reno yang akan datang, aku pasti akan lebih dulu mengatakan jika aku tidak bisa. Aku tidak ingin menikah dengan lelaki yang sama sekali aku tidak memiliki perasaan padanya.Daripada nanti Reno yang tersiksa karena cintanya bertepuk sebelah tangan, lebih baik sakit dari sekarang b
POV RaisaHamil tanpa suami. Hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Meski ini sangat memalukan tapi aku tidak sampai hati menggugurkan kandungan ini. Perih yang kurasa tidak mampu digambarkan.Karena sering telat datang bulan karena faktor kelelahan membuatku tidak curiga kalau aku hamil, karena aku dan mas Dirga juga sangat berhati-hati tapi tetap saja jika takdirnya aku harus hamil tidak akan ada yang bisa mencegah.Keputusan untuk pergi jauh dari mas Dirga adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Aku menyadari sudah menjadi penyebab hancurnya pernikahannya dan mbak Shanum. Aku sampai harus berpura-pura untuk meyakinkan mas Dirga. Bahkan soal kehamilan ini tidak ada sedikitpun niat untuk memberitahunya karena aku berharap mas Dirga bisa kembali bersama mbak Shanum meski hubungan mereka tidak akan sama seperti dulu tapi minimal jangan sampai berpisah.Aku bahkan sampai tidak berani untuk pulang. Namun saat kehamilanku mulai memasuki bulan tua, mau tidak mau aku memberanikan diri u
POV Raisa"Sstt. Pelankan suaramu. Jangan bicara begitu, memang salah kalau kita menolong orang yang sedang kesusahan? Jangan lihat keburukannya orang lain, Mika.""Dari dulu sampai sekarang papa masih mementingkan dia!"Suara teriakan Mika terdengar jelas.Brak!Mataku terpejam mendengar pintu yang ditutup dengan keras. Mika pasti sangat membenciku, anak mana yang tidak akan membenci wanita yang sudah menghancurkan hidup orang tuanya.Aku harap setelah istirahat sebentar, tenagaku kembali meski tidak pulih. Aku harus segera pergi dari sini. Untuk sekarang aku memang tidak bisa apa-apa. Ponselku tertinggal di rumah, aku tidak bisa menelpon Nina dan meminta bantuannya.Dompetku juga entah tertinggal di rumah atau dibawa kembali oleh mas Dirga.Setelah meminum obat yang diberikan dokter. Aku merasakan mataku mulai berat.Entah berapa lama aku tertidur hingga tiba-tiba terjaga. Mengedarkan pandangan untuk mencari jam dinding yang ternyata menunjukkan pukul setengah delapan malam. Aku mel
POV Raisa"Bu, ada anak kecil di sini. Jangan bicara tidak baik seperti itu.""Maaf, ibu hanya kaget.""Ibu istirahatlah, pasti lelah.""Kamu bawa anaknya ke sini, ibunya mana?""Ada, dia sedang sakit. Nanti aku ceritakan, jangan dulu emosi, Bu."Ada rasa terharu dan juga malu karena maa Dirga menenangkan ibunya. Mungkin dia kasihan melihat kondisiku yang sungguh mengkhawatirkan ini.Lagi lagi aku tertidur tanpa sadar, sudah pasti efek dari obat. Saat bangun, sudah ada makanan di atas nakas. Berbeda dengan makanan tadi pagi yang bahkan belum kusentuh sama sekali.Aku sepertinya harus meminta bantuan bi Ida untuk mengoleskan salep di punggungku. Sudah pasti disana juga ada luka lebam karena sakitnya jelas kurasakan.Baru saja berpikir untuk meminta bantuannya. Bi Ida datang membawakan baju ganti untukku."Mbak, bibi bantu ke kamar mandi ya.""Bi, nanti saya minta tolong oleskan salep di
“Gue tahu lo kecewa sama Mama. Lo beneran nggak mau nemuin Mama?” tanya Bisma.“Daripada gue marah-marah ke Mama mending nggak dulu.” Bian masih merasakan kekecewaan yang mendalam.“Sekarang Mama nggak pura-pura lagi, gue sendiri yang nemuin dokternya. Mama bener-bener kena stroke.”Bukan Bian yang kaget tapi Aini yang membuka mulutnya dengan lebar saking kagetnya mendengar kabar soal ibu mertuanya. Kemarin mereka menganggap Bu Liana itu pura-pura tapi nyatanya memang terkena serangan jantung hingga membuatnya terkena stroke.Bukan hanya tidak bisa berjalan, Bu Liana juga tidak bisa bicara sama sekali.“Mas, kita lihat Mama ya,” pinta Aini, ia masih memiliki hati.“Sayang ....”“Mas, aku nggak mau kamu terus menjauhi Mama. Mungkin dengan kejadian ini Mama menyadari apa yang pernah diperbuatnya itu sebuah kesalahan. Aku nggak mau kamu jadi anak durhaka, Mas.” Aini menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Aini sudah menganggap Bu Liana sebagai ibunya meski perlakuan Bu Liana jauh da
“Mama kok bisa di sini?” Aini langsung berdiri menghampiri ibu mertuanya yang ada di ambang pintu, duduk di kursi roda.“Mama sudah keluar dari rumah sakit dan mau melihat Lyla,” ujar Bu Liana tapi pandangan matanya menghunus pada Nella yang tidak kalah tajam menatap Bu Liana.“Bukannya dokter bilang kalau Mama-”“Mama nggak tenang kalau ada di rumah sakit takutnya kamu didatangi orang bermuka dua ini,” potong Bu Liana tanpa mengalihkan pandangan dari Nella.Nella menyeringai, ia tahu Bu Liana kini mulai melakukan permainannya. Nella tidak akan langsung masuk tapi mengambil ancang-ancang.“Mbak Ai, kalau begitu aku permisi dulu ya. Lain kali aku main lagi,” pamit Nella.“Loh, kenapa?”“Bawaannya panas di sini. Ada yang terbakar tapi bukan api,” ucap Nella dengan senyum penuh arti, ia beralih pada Lyla yang sibuk dengan mainannya, “Lyla, Tante pulang dulu ya. Nanti main lagi ke sini.”“Tante, Lyla masih mau main
"Mas, ayo kita lihat Mama.""Kamu di sini aja, biar Mas yang kesana." Bian menahan Aini untuk tidak ikut."Tapi, Mas-""Nurut ya. Besok baru kamu boleh nengokin Mama. Aku juga sekalian ke pasar habis dari rumah sakit jadi kami mending nggak usah ikut.""Ya udah, semoga Mama nggak kenapa-kenapa."Aini merasa khawatir pada ibu mertuanya. Meskipun Bu Liana sering berbuat jahat tapi Aini tidak sampai hati jika harus senang atas berita yang didengarnya. Ia tetap menghormati Bu Liana sebagai ibu mertua."Mas berangkat ya." Bian langsung pergi setelah taksi online yang dipesannya datang.Alamat rumah sakit sudah dikirimkan oleh art Bu Liana. Bian mengubah tujuan langsung ke rumah sakit, terpaksa ia harus memesan mobil itu sampai nanti pulang lagi karena tidak ingin ribet apalagi harus menunggu lagi. Bian pun tidak akan lama di rumah sakit, hanya melihat kondisi ibunya setelah itu pulang."Nyonya di dalam, dari tadi men
POV Author“Aish! Kenapa juga aku harus memohon kayak gini, macam nggak ada cowok lain.” Nella melemparkan ponselnya sembarang arah lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia baru saja membaca ulang pesan yang kemarin malam dikirim pada Bian.Menjatuhkan harga diri, pikir Nella.Nella bukan wanita yang haus akan cinta, ia memang marah dan kecewa saat tahu ternyata ibu mertuanya itu menipunya metah-mentah. Mengatakan jika Bian tidak pernah menikah padahal nyatanya sudah menikah bahkan memiliki anak dari Aini.Tidak hanya marah pada Bu Liana tapi pada Bian dan juga Aini karena merasa dibohongi, ia merasa seperti orang bodoh karena hanya ia sendiri yang tidak tahu soal fakta besar ini.Setelah tahu fakta, Nella menurunkan orang kepercayaannya untuk mencari tahu soal apa yang terjadi sebenarnya, apakah memang kesengajaan. Nella tidak mau salah membenci orang.Tidak bisa dipungkiri jika ia merasa nyaman bersama dengan Bian tapi bicara
“Tadi pas aku lewat denger suara orang nangis, aku kira Lyla yang nyariin Mbak Ai ternyata aku salah,” jawab Mas Bian sambil tertawa.Aku pikir dia akan membongkar semuanya.“Salahnya apa?”“Ternyata Mbak Ai yang nangis.”Ya ampun, kenapa Mas Bian malah mengatakan itu.“Terus kamu nyelonong saja begitu? Ih, nggak sopan banget sih. Mbak Ai pasti marah.”“Tadi saja aku langsung diusir, aku hanya khawatir Lyla kenapa-napa.”“Syukurlah kalau Lyla nggak apa-apa. Tapi kamu itu bikin malu, Mas. Main masuk ke kamar orang saja.”Sekarang bisa bernapas lega saat mendengar suara langkah kaki mereka menjauh. Salahku memang karena lupa mengunci pintu kamar, besok malam aku harus mengunci pintu agar Mas Bian tidak main masuk ke dalam kamar dan kepergok seperti tadi, untung saja Bu Nella percaya kalau tidak akan semakin bahaya.Aku bangun lebih pagi berniat membersihkan halaman belakang setelah selesai memasukkan semu
“Sayang.”aku berjengit mendengar suara Mas Bian. Menoleh menatapnya menyembulkan kepala di celah pintu kamar mandi.“Kenapa, Mas?”“Kalau mau pesan makan sekalian kopi ya.”“Ya ampun, kamu cuman mau bilang itu doang keluar kamar mandi?” Aku geleng-geleng kepala dengan tingkah Mas Bian.“Iya.” Dia menjawab sambil tersenyum lebar lalu masuk lagi ke dalam kamar mandi.Dia tidak menyadari raut wajahku jadi tidak khawatir. Biarkan nanti Mas Bian membaca sendiri pesan dari Bu Nella. Aku jadi penasaran bagaimana reaksi Mas Bian nanti. Apa dia akan mengikuti keinginan Bu Nella atau tetap dengan pendiriannya untuk tidak ikut campur lagi dengan urusan ibu mertua.Tapi mendengar sampai membawa-bawa hukum, ngeri juga sebenarnya. Tapi jika memang Bu Nella dan keluarganya merasa tertipu itu hal wajar, aku saja marah saat Mas Bian diberitahu kalau aku sudah meningga
POV AiniTangisku pecah saat Mas Bian menarikku ke dalam pelukannya.Mas Bian percaya ini aku, istrinya. Buku nikah dan kalung ini yang memperkuat. Meski tanpa dua hal itu Mas Bian seharusnya merasakan kehadiranku, aku saja masih bisa mengingat suaranya meski bertahun-tahun tidak berjumpa seharusnya ia pun sama.“Aini ... Aini ....” Dia terus memanggil namaku dengan suara yang bergetar.“Iya, Mas. Ini Aini, istri Mas Bian.” Tanganku melingkar dengan erat di punggungnya. Menyalurkan kerinduan yang bertahun-tahun ditahan.“Maafin Mas, Aini. Dalam kondisi Mas yang seperti ini Mas susah sekali percaya pada orang.”Mas Bian menceritakan soal kenapa dia menganggapku sudah meninggal. Sudah pasti ibu mertuaku dalangnya, tega sekali beliau melakukan itu. Menghancurkan kehidupan anaknya sendiri hanya karena ego.Dengan kondisi Mas Bian seperti ini wajar Mas Bian mudah percaya apalagi bagi dia pasti tidak mungkin ibunya berbohong apalagi soal hal sebesar ini tapi siapa yang menyangka jika ibu me
POV Bian“Aini meninggal, Bi.”Deg!Jantungku seperti berhenti berdetak, hatiku remuk, dunia seolah runtuh di atas kepala. Belum selesai masalahku dengan penyakit ini sekarang malah mendengar kabar yang begitu menyayat hati.“Nggak mungkin, Ma. Aini baik-baik saja, dia nunggu aku pulang pasti.”“Tolong jangan gini, Bi. Kamu harus terima, Mama tahu semua ini berat buat kamu. Ikhlaskan biar Aini tenang di sana.”Dadaku sesak, air mata tak sanggup kutahan. Ditinggalkan orang yang dicintai itu begitu menyakitkan, saat aku berjuang untuk sembuh di sini. Aini malah pergi meninggalkan luka yang begitu dalam. Aku belum sempat membahagiakannya.Mama mengatakan Aini meninggal saat aku masih koma, meninggal bersama dengan anak yang sedang dikandungnya. Sakitnya berkali lipat, anak yang belum sempat kulihat rupanya juga pergi dibawa oleh Aini.Tuhan. Kenapa seberat ini cobaan yang Engkau berikan?Kepergian Aini membuatku tak ada lagi semangat untuk bisa sembuh, tidak ada lagi wajah cantiknya yang
“Bu Nella, seb-”“Argh!” Ibu mertuaku langsung menjerit sambil memegangi dadanya.“Mama kenapa?” Mas Bian dan Bu Nella langsung panik sedangkan aku sendiri masih berdiri mematung.“Sa-kit, mungkin penyakit jantung Mama kambuh,” ujarnya dengan suara lirih.Keningku berkerut. Sejak kapan ibu mertuaku memiliki penyakit jantung, setahuku tidak punya. Beliau bahkan tidak memiliki riwayat penyakit apapun.“Mungkin asam lambung Mama naik.” Mas Bian langsung buka suara.“Sakit sekali, ayo bawa Mama ke dokter.”“Mbak Ai, ambilkan kunci mobil di nakas kamar,” pinta Bu Nella.Aku pun bergegas mengambilkannya. Tidak tahu ibu mertuaku ini pura-pura atau memang sakit, takutnya jika memang sakit nanti aku yang disalahkan jika menahan dan berniat membongkar semuanya sekarang.Mereka pergi ke rumah sakit, tinggal aku dan Lyla berdua di rumah.Sekarang aku makin yakin jika ibu mertuaku memang takut aku membongkar semuanya pada Bu Nella. Lucu juga membuat ibu mertuaku ketakutan seperti ini, kalau memang