Waktu menunjukkan pukul sembilan malam.
Lisa keluar dari kamar mandi, baru saja selesai membersihkan diri semalam ini. Seharian ini ia berada di dalam kamar. Hanya turun untuk makan, itu pun harus diingatkan oleh Ares dan Mama. Dia semakin tidak berguna saja kan? Menyusahkan orang-orang.
Lisa sebenarnya lelah bersedih. Tapi ia tidak tahu bagaimana cara agar hatinya lebih baik. Setiap kali matanya menatap figura keluarga di rak meja belajarnya, kenangan bersama Ayah dan Bunda selalu mengikuti. Membuatnya ingin menangis mengingat apa pun tentang orangtuanya saat masih hidup.
Mengapa harus rumahnya yang dirampok malam itu? Dari sekian rumah mewah di komplek, mengapa harus rumah Ayah dan Bunda yang justru terlihat biasa-biasa saja? Mengapa mereka harus membunuh orang jika mengambil barang saja bisa?
Lisa duduk di kursi belajarnya, menutup mata lelah. Ia tidak tahu pasti kejadian malam itu. Mungkin Ayah tahu, lalu melawa
Pagi harinya.Ares duduk di meja makan, sarapan pagi bersama Mamanya. Hari ini ia berangkat sekolah, sendirian. Lisa mungkin belum ingin masuk hari ini. Biarkan gadis itu sendiri dulu. Lagipula Lisa itu anak rajin. Jika suasana hatinya membaik, pasti ia akan langsung berangkat sekolah.IPhone Mamanya tiba-tiba berdering. Mama yang sudah selesai makan segera minum air sebentar, lalu mengangkat telepon beberapa detik kemudian."Ya, Pa. Assalamu'alaikum."Ares langsung melanjutkan makannya. Ternyata itu Papanya."Ya, nanti jam 9 jadi. Tiketnya udah siap. Mama udah pesen," ujar Mamanya pada seseorang di seberang sana. Ares tahu itu. Mamanya akan kembali ke Amerika hari ini. Ada banyak urusan yang harus ia selesaikan pastinya."Oh ya? Pihak kepolisian bilang apa?" Mamanya tiba-tiba membahas topik lain.Ares mengernyitkan dahi, menatap Mamanya ingin tahu. Mama yang meliha
Bel istirahat berbunyi dengan nyaring. Miss Aya menyudahi jam pelajaran bahasa Inggrisnya, menutup kelas dengan salam.Dilla di sebelah Lisa mengeluarkan buku catatan Ekonomi, memberikannya pada Lisa. Tadi malam ia memang mengontak temannya itu agar membawa buku catatan. Ia ingin pinjam, melengkapi catatan pelajaran yang ketinggalan dua hari yang lalu. Tidak banyak sih. Lisa hanya malas kelabakan saja jika belum melengkapi catatan secepatnya."Kenapa sih ngeliatinnya gitu?" tanya Lisa ketika Dilla menatapnya tidak biasa.Dilla menggeleng, langsung memeluk Lisa dengan tiba-tiba. "Aku sedih liat kamu, Sa. Kamu beneran baik-baik aja kan?"Lisa terkekeh mendengar pertanyaan temannya. "Seperti yang kamu liat. Aku baik-baik aja, Dil. Santai."Kemarin Dila ikut pergi ke pemakaman orang tuanya. Begitu juga dengan Kak Bayu. Beberapa teman sekelas lain hanya takziyah sebentar ke rumah, lalu pamit pulang.
"Ares dimana?!" Arvin bertanya di seberang sana. Panik setelah tahu Lisa dalam bahaya.Seorang tiba-tiba membuka pintu, membuat jantung Lisa nyaris berhenti. Bukan penjahat. Itu Ares! Ares-lah yang membuka pintu. Pemuda itu sudah pulang. Tapi lewat mana?"Res-""Iya, aku tahu, Sa. Aku juga lihat. Sekarang kita harus pergi dari sini. Mereka pasti lagi dobrak pintu di bawah sana," ujar pemuda Reigara itu.Lisa mengangguk, mongontrol napasnya, menormalkan badannya yang masih tremor karena syok. Setidaknya sudah ada Ares. Setidaknya kemungkinan selamat dari semua ini bertambah beberapa persen."Ares disini, Vin." Lisa memberitahu kakaknya, berharap ada jawaban. Tapi yang ia dapatkan justru hanya bunyi krasak-krusuk. Beberapa detik kemudian, sambungan telepon terputus.Astaga. Apa yang terjadi pada kakaknya di sana?Ares mengedarkan pandang ke kamar Lisa, terhenti pada l
Satu setengah jam berlalu dengan cepat.Ares mengulurkan tangan, membantu Lisa menaiki tangga besi keluar dari lorong bawah tanah.Lisa menghirup udara, bernapas lega setelah tadi sesak karena udara pengap di bawah sana. Di sebelahnya Ares kembali menutup pintu besi, menyamarkannya dengan rumput sintetis agar terlihat seperti rumput yang lain. Pantas saja Lisa tidak pernah tahu ada pintu besi disana. Selain karena ditutupi, pintu besi itu berada di pojok halaman belakang yang jarang dilewati orang.Ares tiba-tiba menarik tangannya, menyuruh bersembunyi di belakang pohon bongsai dekat kolam renang. "Mereka belum pergi, Sa," ujarnya.Lisa menelan ludah. Nampak satu orang berjalan beberapa meter dari mereka. Orang-orang itu belum pergi. Mereka tetap gigih mencarinya. Tentu saja mengira dirinya masih bersembunyi di rumah yang luas ini."Kita bakal kemana, Res? Disini nggak ada rumah, banyak hutan. Rumah
Lisa merapatkan jaket ketika Ares mengajaknya mengambil uang di ATM. AC-nya dingin sekali, serius. Apa lagi sejak tadi ia sudah diterpa angin malam.Waktu menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Mereka sudah membeli tiket bus malam. Keberangkatannya seperempat jam lagi. Tujuannya acak. Sebuah kota di sebelah utara yang berjarak sekitar 130 KM dari kotanya sekarang.Lisa tidak tahu mengapa Ares memilih naik bus. Mungkin karena susah terlacak oleh orang-orang. Terlebih itu angkutan biasa, seolah tidak mungkin dipilih oleh manusia superkaya seperti Ares. Tidak seperti pesawat yang penerbangannya bisa dengan mudah dicari tahu dengan menghubungi pihak bandara.Selagi menunggu, Ares langsung mengambil uang di ATM dekat terminal, membawa beberapa kartu. Yang pasti ada satu kartu Oma yang diberi wanita sepuh itu sebelum Ares dan Lisa pergi. Kata Oma untuk kebutuhan saat mereka berdua melarikan diri dan bersembunyi nanti.
Suara alunan lembut musik terdengar dari speaker dalam bus. Diselingi suara klakson yang dibunyikan oleh supir beberapa kali.Lisa bangun dari tidurnya, menyipitkan mata ketika sinar terang dari luar bus menembus jendela kaca. Ia mengangkat kepala, baru sadar jika sedari tadi tidur bersandar di pundak pemuda di sebelahnya. Lisa melirik jam digital bus yang nampak di atas supir. Waktu menunjukkan pukul enam kurang seperempat menit. Masih pagi rupanya.Ares masih terlelap. Tidak terganggu dengan suara apa pun di sekitarnya. Pemuda itu masih menggenggam tangannya, membuat Lisa sangsi menarik tangannya karena takut membangunkan pemida tersebut.Bus yang Lisa tumpangi berhenti sejenak karena lampu merah. Lisa menghela napas, tersenyum sedih menatap dari jendela bus seorang siswi berseragam yang sedang menunggu bus di sebuah halte. Ia harusnya bersiap-siap sekolah sekarang, membantu Bi Inah menyiapkan sarapan. Tapi pagi ini hal itu hanya
Warung soto dekat terminal yang Ares dan Lisa kunjungi sepi. Hanya ada beberapa orang yang makan. Ares dan Lisa duduk di kursi meja paling pojok, menjauh dari keramaian.Ares menghabiskan teh hangatnya setelah selesai makan. Ia melap bibir dengan tisu, merasa dirinya lebih baik sekarang. Perutnya sudah terisi. Mual dan pusing yang ia tahan sejak beberapa jam yag lalu mulai menghilang.Ares pikir mabuk itu sugesti. Jadi ia tetap naik bus. Ia mensugesti dirinya agar tidak mabuk, tapi tetap saja. Bangun dari tidur kepalanya langsung pening dan perutnya bergejolak parah. Mati-matian Ares menahan diri agar tidak muntah sampai akhirnya setelah turun bus, ia benar-benar tidak kuat hingga mengeluarkan semua isi perut ke selokan."Nggak nambah?" Area bertanya pada gadis di depannya.Lisa menggeleng. "Belum habis, Res. Masa suruh nambah," jawabnya.Ares terkekeh. Ia tidak tahu Lisa yang lama saat makan atau d
"Kasih tas yang kamu bawa sekarang.""Wow, santai, Pak.""Res."Lisa menelan saliva.Satu detik.Dua detik.Tiga detik.Ia tersentak ketika Ares memberikan serangan ke pria di depannya dengan tiba-tiba. Pemuda itu menendang alat vital si perampok, membuat pria itu mengaduh dan kehilangan fokus sebentar. Sepersekian detik kemudian, Ares mengambil pisau yang ditodongkan padanya secepat kilat, lalu menendang perut perampok hingga tersungkur ke tanah.Lisa yang melihatnya menahan napas. Sebenarnya itu gerakan ofensif biasa ketika menghadapi penjahat pria. Menyakiti alat vital milik mereka, untuk kemudian kabur atau gantian menyerang ketika mereka lengah. Yang membuat Lisa benar-benar tidak menyangka adalah, pemuda Reigara itu cepat sekali melakukannya. Hanya beberapa detik untuk membuat keadaan berbalik 180 derajat.Ares ganti menodongk
Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan
"Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek
Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.
"Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n
"Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes
Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.
"Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"
Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga
"Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"