"Kasih tas yang kamu bawa sekarang."
"Wow, santai, Pak."
"Res."
Lisa menelan saliva.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Ia tersentak ketika Ares memberikan serangan ke pria di depannya dengan tiba-tiba. Pemuda itu menendang alat vital si perampok, membuat pria itu mengaduh dan kehilangan fokus sebentar. Sepersekian detik kemudian, Ares mengambil pisau yang ditodongkan padanya secepat kilat, lalu menendang perut perampok hingga tersungkur ke tanah.
Lisa yang melihatnya menahan napas. Sebenarnya itu gerakan ofensif biasa ketika menghadapi penjahat pria. Menyakiti alat vital milik mereka, untuk kemudian kabur atau gantian menyerang ketika mereka lengah. Yang membuat Lisa benar-benar tidak menyangka adalah, pemuda Reigara itu cepat sekali melakukannya. Hanya beberapa detik untuk membuat keadaan berbalik 180 derajat.
Ares ganti menodongk
"Berhenti di sini aja, Pak." Ares berkata pada sopir taksi di depannya.Mobil yang mereka tumpangi berhenti. Lisa yang duduk di sebelah Ares segera turun dari mobil, menunggu pemuda Reigara itu membayar ongkos. Selagi itu ia mengecek bawaan. Hanya paperbag, sih. Isinya dompet, uang lima juta, kartu ATM-beberapa barang yang tidak diambil oleh perampok gila yang menggasak uang 25 juta mereka. Baju Ares sendiri pemuda itu bawa di tangan.Mereka baru saja pergi 3 kilometer dari terminal dengan tujuan acak menggunakan taksi. Lisa mendadak parno jika harus mencari tempat tinggal dekat dengan terminal. Tanpa insiden perampokan saja terminal terasa mengerikan, lebih-lebih setelah itu. Alhasil, ia memilih menjauh dari sana. Pergi naik taksi terserah ke mana saja.Mobil taksi berlalu beberapa detik kemudian. Ares berjalan mendekat. "Mau cari kontrakan di daerah sini beneran?"Lisa mengangguk. "Iya. Lagian udah lumayan jauh ju
"Kalian boleh lihat-lihat dulu kontrakannya. Disini ada dua kamar sama satu kamar mandi. Untuk jemuran, bisa pakai lantai atas yang kebuka." Bu Tika membuka pintu kontrakan yang dikunci. Suhu luar yang awalnya panas berubah menjadi dingin ketika Lisa memasuki kontrakan tersebut. Rupanya salah satu pintu selain pintu rumah wanita paruh baya itu adalah pintu kontrakan.Setelah bercerita marathon sejak kejadian orang tua Lisa meninggal sampai dirampok penjahat barusan, Bu Tika pemilik kos akhirnya iba hingga membolehkan mereka berdua tinggal. Awalnya wanita itu masih tidak percaya jika Lisa dan Ares telah menikah karena dijodohkan. Lebih-lebih buktinya hanya dengan cincin yang orang pacaran saja bisa punya. Tapi dengan bantuan buku nikah yang sempat pemuda Reigara itu bawa dari rumah Oma, semua jadi terasa mudah. Ares itu keren sekali. Mana Lisa kepikiran membawa buku kecil itu."Setiap sepekan sekali, Ibu pasti bersih-bersih tempat ini, Mba Lisa. Jadi
Sebelumnya Lisa pernah membayangkan bagaimana jika ia hidup susah, tetapi tidak menyangka akan benar-benar mengalaminya. Bayangkan saja. Ia terbiasa mencuci pakaian menggunakan mesin cuci, sekarang? Ia terbiasa dimasakkan Bi Inah dan mengerjakan pekerjaan rumah dibantu, sekarang?Yah, hidup itu berputar seperti roda yang sedang berjalan. Lisa sungguh tahu dirinya tidak akan selalu di posisi itu sepanjang hidup. Seperti saat ini, waktunya ia merasakan hidup yang lain. Hidup seperti orang susah.Tapi meskipun begitu, hidup semacam orang susah itu tidak sesusah itu. Hidup seperti orang kaya juga tidak semudah yang orang-orang pikirkan. Bisa lihat Lisa? Keluarganya nyaris hancur. Ayah Bunda dibunuh entah oleh siapa. Ia dan kakaknya dikejar seperti buronan yang telah melakukan kejahatan.Harta memang tidak bisa menjadi patokan kebahagiaan seseorang. Di luar sana, banyak yang hidup sederhana bahkan kekurangan tetapi merasa tenteram dan am
Suasana hutan ricuh.Batu melayang terlihat dimana-mana. Teriakan beberapa orang terdengar, kebanyakan mengumpat. Keadaan menjadi tegang, memacu adrenalin siapa pun yang terlibat di dalamnya.Arvin bersembunyi di balik batu besar, menunggu waktu yang tepat untuk keluar. Di titik temu sana pasukan-Lisa menaruh handphone yang baru saja dibeli beberapa hari yang lalu di atas ranjang, menghela napas panjang. Cerita di aplikasi literasi yang barusan ia baca membosankan sekali. Ceritanya mirip seperti hidup Arvin yang suka tawuran. Lebih kerennya, nama tokohnya juga Arvin. Lisa jadi curiga dengan author yang menulis cerita daring itu. Teman Arvin? Atau pacarnya? Atau dirinya sendiri? Tetapi sejak kapan Arvin punya pacar?Mengambil handphone, Lisa kembali mengaktifkan lockscreen. Waktu menunjukkan pukul tujuh lebih lima menit di layar. Ini hari Senin. Jika keadaannya baik-baik saja, Lisa pasti sedang sekolah dan berbaris
Tidak ada rutinitas yang lebih menyebalkan dari minum obat pereda nyeri saat datang bulan. Rasanya hidup Lisa seolah tergantung pada obat-obatan itu. Karena jika tidak diminum, nyeri yang ia rasakan jadi sangat mengganggu. Bahkan bisa membuatnya rebahan di kasur sepanjang hari. Beruntung hal itu tidak berlanjut lama. Hanya hari pertama dan hari kedua, lalu hilang dengan sendirinya.Ares tadi sudah membelikannya obat antinyeri, juga jamu kunir asem. Tetapi perutnya masih tidak enak, membuatnya malas melakukan apa-apa. Masalahnya ia sudah berencana makan malam dengan nasi goreng, jadi harus tetap memasak. Lagi pula anggapan jika nyeri haid harus istirahat total di atas tempat tidur itu salah. Justru yang paling bagus adalah bergerak. Bahkan dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan."Kamu mau ngapain, Sa?" Ares yang melihat Lisa keluar kamar segera bertanya dari kamarnya. Pemuda itu sedang rebahan kasur. Apa lagi jika bukan bermain game.
Sinar matahari yang masuk lewat ventilasi menerangi kamar Lisa yang gelap. Lisa yang beberapa menit yang lalu bangun segera bangkit duduk, termenung sebentar. Ia menghela napas, teringat jika semalam ia habis marah-marah lalu menangis. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan hampir pukul tujuh. Tidak seperti biasanya ia bangun kesiangan. Mungkin karena efek tidur terlalu larut tadi malam.Lisa turun dari ranjang, mencari kaca kecil miliknya yang ia taruh di bawah tempat tidur. Ia menatap pantulan wajahnya di sana. Matanya jadi agak bengkak karena menangis semalam.Mendadak kejadian saat Lisa marah dan berkata tidak-tidak pada Ares tadi malam terngiang di otaknya. Ia duduk di lantai, menghembuskan napas, menyenderkan punggung ke tempat tidur di belakangnya. Emosinya kemarin tidak terkontrol. Ia syok, efek tidak pernah melihat Ares marah sungguhan padanya. Rasanya seperti tidak terima dimarahi pemuda itu. Padahal Lisa tahu dirinya yang salah. Alih-a
Lisa sedang tidur nyenyak di tengah derasnya hujan di malam hari sebelum akhirnya terbangun karena merasakan air menetes deras membasahi wajahnya. Ia terbangun, baru menyadari jika kasur yang ia pakai telah basah, juga baju, celana, dan rambutnya. Ia buru-buru menyingkir ketika tahu air itu berasal dari atap kamarnya yang bocor. Tidak hanya di satu tempat, tetapi dua tempat. Pantas saja baju dan kasurnya langsung tergenang.Parahnya, kenapa Lisa baru bangun setelah tubuhnya basah kuyup?Tambah deras, ia segera mengambil 2 ember tempat biasa ia mencuci baju. Baru saja menaruh ke dua tempat yang bocor itu, Lisa baru menyadari di pojok kamarnya air hujan juga menetes dengan deras. Imbasnya, kali ini lantai kamar Lisa ikut tergenang air. Astaga, kenapa banyak sekali atap bocor di kamarnya?"Ares! Bangun, Res!" Hampir kedinginan dan mulai sedikit pening, akhirnya Lisa memutuskan mengetuk pintu kamar Ares.Beberapa kali m
Seperti dugaannya, pagi harinya, Lisa punya banyak pekerjaan. Selain membersihkan kamarnya yang seperti kolam renang, ia harus mencuci kembali pakaiannya yang terkena air hujan tadi malam. Belum tadi mengangkat dan mengeringkan kasur di luar.Kamarnya baru saja selesai diperbaiki beberapa menit yang lalu. Berbeda dengan kamar Ares yang atasnya masih ada rooftop, kamar Lisa langsung genting sehingga rawan bocor. Dan ya, kata Bu Tika, ada dua titik bocor di kamar Lisa yang disebabkan karena genting merosot. Katanya sih itu ulah kucing-kucing liar yang suka sekali melompat dan berlarian di atap. Lisa memang sering mendengar suara kucing mengeong di atas kamarnya.Menghela napas, Lisa akhirnya menyelesaikan kegiatan menjemurnya di rooftop. Waktu menunjukkan hampir pukul 10 pagi. Matahari di atas sana mulai terik dan itu membuat Lisa bersyukur: pakaian dan kasur yang ia jemur cepat kering.Dari atap kontrakan yang Lisa tinggali, ia
Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan
"Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek
Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.
"Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n
"Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes
Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.
"Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"
Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga
"Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"