Lisa melirik sekilas jam dinding di kamarnya. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari.
Di luar sana masih hujan deras, belum berhenti sejak pukul sebelas tadi. Lisa menaruh kain kompres di dahi Ares, mengecek sebentar suhu badan pemuda yang sedang terlelap di depannya dengan punggung tangan. Suhu tubuh Ares lumayan turun, tidak setinggi tadi, membuat Lisa bernapas lega. Padahal tadinya ia berencana menghubungi bundanya jika panas pemuda Reigara itu tidak turun juga.
Masalahnya Lisa tidak berpengalaman. Ia tidak pernah menangani orang demam sendiri sebelumnya.
Tadi Ares sempat bangun, makan roti sedikit, lalu minum obat. Setelahnya pemuda itu tidur. Bukan di kamarnya sendiri, tetapi di kamar Lisa. Ares terlalu lemas meskipun hanya untuk berpindah kamar.
Dan yang membuat Lisa heran, tidak ada motor Ares di depan rumah saat Lisa mengeceknya. Pemuda itu pulang dengan apa? Berjalan kaki? Astaga... Yang benar saja?
<
Keesokan harinya.Lisa mengerjapkan mata, mengernyit ketika menyadari tubuhnya tertutup selimut sampai leher. Ia masih berada di posisi yang sama. Yang berbeda hanyalah ia terselimuti dan tidak ada Ares di hadapannya. Hanya ada IPhone pemuda itu yang tergeletak asal di atas ranjang.Lisa bangkit, mengumpulkan nyawa. Ia menatap jam dinding di kamarnya lalu melotot. Astaga... Baru kali ini ia bangun telat sekali. Bayangkan saja. Setengah delapan?Lisa tidak tahu mengapa. Tapi imbas begadang tadi malam, suasana luar yang masih mendung, efek malas karena datang bulan sepertinya mempengaruhi.Meskipun hari libur, Lisa itu jarang sekali bangun melebihi pukul enam. Kalaupun belum bangun, bundanya atau Bi Inah pasti langsung membangunkannya. Dan bundanya maupun Bi Inah sedang tidak ada di sini sekarang. Hanya ada Ares yang kadang saja susah dibangunkan.Ngomong-ngomong, pemuda Reigara itu dimana?
Matahari condong ke arah barat. Waktu menunjukkan pukul dua siang. Setelah perjalanan 20 menit, Lisa dan Ares akhirnya sampai di rumah Bunda.Lisa turun dari motor, begitu juga dengan Ares di di depannya. Arvin yang sedang bermain game di teras rumah berdiri, berteriak saat melihat kehadirannya, "Bunda... Anak sama menantunya udah dateng!"Rasanya Lisa ingin menjitak dahi Arvin sekarang juga."Hai, adik ipar," sapa Arvin setelah Lisa dan Ares sampai teras. Tentu saja kakaknya itu menyapa pemuda Reigara di sebelah Lisa."Kayaknya kita harus kenalan yang bener, bukan tonjok-tonjokam kayak kemarin," ujar Arvin, membuat Ares terdiam, mengangkat sebelah alis.Tips perbaikan mudah ala Arvin Adhitama; memberi alasan klise dan to the point. Tidak tahu malu memang."Arvin." Kakak Lisa itu mengulurkan tangan pada Ares.Ares segera menjabat uluran tangan pemuda di depannya. "A
Lisa mengambil cemilan dalam toples, berkali-kali memasukkannya dalam mulut. Di depannya, layar televisi berukuran besar sedang memutarkan film adventure favoritnya; Jurassic Park.Lisa tidak tahu sudah berapa kali menonton film lumayan jadul ini. Yang pasti rasanya ia tidak pernah bosan. Lisa tetap tertarik menonton meskipun sudah tahu akhirnya anak T-Rex dan induknya dikembalikan ke Isla nublar dan hidup bahagia di sana.Ngomong-ngomong, itu baru ending satu film. Jurassic Park punya tiga sekuel ditambah Jurassic World yang sudah rilis sekuel keduanya. Mungkin beberapa tahun lagi akan ada sekuel ketiganya."Minta itu, Sa." Ares yang duduk di sofa di sebelah Lisa berkata, meraih camilan di dalam toples yang ia bawa. "Nah ini kan enak. Micinnya banyak," lanjutnya.Lisa geleng-geleng kepala. Meskipun rumor micin membuat bodoh itu hoax, tetap saja jika mengonsumsinya secara berlebihan juga tidak baik bagi kesehatas. M
"Jangan lupa pulang, Vin. Jangan lupa kabar-kabar. Jaga kesehatan juga. Pokoknya sebulan sekali harus pulang ke Indonesia. Bunda nggak mau tahu."Arvin tersenyum, melepaskan pelukan wanita di depannya. "Iya deh, Bun, iya. Kemarin kan khilaf. Lupa nggak pulang enam bulan."Lisa yang berdiri di sebelah Ares menyeringai. Arvin itu ngaco sekali. Mana ada lupa pulang ke rumah sampai enam bulan lamanya."Jangan kelahi. Tahan diri. Ayah nggak akan bantu kalau kamu ketangkap polisi di luar negeri sana."Kali ini menyengir, "Tenang, Yah. SKCK-ku bakal bersih di negara orang. Aku nggak mau jelek-jelekin Indonesia."Lisa kembali menyeringai, mencibir dalam hati. Dasar, Arvin sok. Bilang saja jago kandang. Berani rusuhnya hanya di negara sendiri.Arvin berpamitan pada Ayah Bunda, ganti memeluk Lisa dan Ares sebentar. "Goodbye. Kalian jangan suka berantem. Belajar yang rajin. Jangan pacara
"Kamu sendiri yang buat gado-gado?" Bunda bertanya saat Lisa membantu menyiapkan makan siang di dapur.Lisa mengangguk. "Enak nggak, Bun?""Kalau bahannya lengkap, tambah enak," ujar Bundanya setelah mencicipi makanan buatan Lisa. "Kenapa buat gado-gado? Nggak masakan lebih simpel?"Lisa terdiam sejenak. "Ares ngigo pengen gado-gado waktu demam. Jadinya kubuatin, Bun. Kasian soalnya kemarin aku marahin. Salah sendiri tiba-tiba nggak jelas mukulin Arvin. Hoax kok dipercaya. Bilang Arvin mantan pacar, padahal pacaran aja nggak pernah."Bunda terkekeh mendengar ceritanya."Lagian Arvin juga nyebelin, Bun. Tahu ada yang salah paham malah dipanas-panasin, bilang ngawur kalau dia selingkuhanku. Gimana Ares nggak langsung nonjok?" Lisa menghela napas. Mendadak ia ingin curhat. Sudah lama hal itu bergumul di hatinya, ingin sekali dikeluarkan, tapi tidak tahu pada siapa. Dan Bunda satu-satunya tempat terbaik
Pagi hari ini Arvin pulang kembali ke Australia. Pemuda itu membawa kandang kucing berisi Juni. Kakak ipar Ares itu yang akan merawat kucingnya sendiri di Australia setelah rumah Ayah Bunda tak berpenghuni.Setelah kemarin malam berpikir panjang, Arvin akhirnya memutuskan untuk kembali. Tidak mengambil cuti apa pun untuk menemani adiknya. Lagi pula Lisa yang menyuruh Arvin segera pulang ke Australia. Gadis itu tidak mau kakaknya mengulang kuliah tahun depan. Lulus cepat lebih baik, karena Arvin harus bertanggungjawab mengurus perusahaan Ayah setelah itu—perusahaan itu sudah berganti milik Arvin, hanya saja papa Ares yang meng-handle perusahaan untuk saat ini."Baik-baik, ya, Sa. Inget pesen Bunda." Arvin memeluk adiknya untuk terakhir kali sebelum berangkat ke bandara.Ares hanya terdiam menatap pemandangan itu. Seseorang yang sebenarnya Lisa butuhkan saat ini adalah kakaknya, tapi mau bagaimana lagi? Terkadang pilihan tidak b
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam.Lisa keluar dari kamar mandi, baru saja selesai membersihkan diri semalam ini. Seharian ini ia berada di dalam kamar. Hanya turun untuk makan, itu pun harus diingatkan oleh Ares dan Mama. Dia semakin tidak berguna saja kan? Menyusahkan orang-orang.Lisa sebenarnya lelah bersedih. Tapi ia tidak tahu bagaimana cara agar hatinya lebih baik. Setiap kali matanya menatap figura keluarga di rak meja belajarnya, kenangan bersama Ayah dan Bunda selalu mengikuti. Membuatnya ingin menangis mengingat apa pun tentang orangtuanya saat masih hidup.Mengapa harus rumahnya yang dirampok malam itu? Dari sekian rumah mewah di komplek, mengapa harus rumah Ayah dan Bunda yang justru terlihat biasa-biasa saja? Mengapa mereka harus membunuh orang jika mengambil barang saja bisa?Lisa duduk di kursi belajarnya, menutup mata lelah. Ia tidak tahu pasti kejadian malam itu. Mungkin Ayah tahu, lalu melawa
Pagi harinya.Ares duduk di meja makan, sarapan pagi bersama Mamanya. Hari ini ia berangkat sekolah, sendirian. Lisa mungkin belum ingin masuk hari ini. Biarkan gadis itu sendiri dulu. Lagipula Lisa itu anak rajin. Jika suasana hatinya membaik, pasti ia akan langsung berangkat sekolah.IPhone Mamanya tiba-tiba berdering. Mama yang sudah selesai makan segera minum air sebentar, lalu mengangkat telepon beberapa detik kemudian."Ya, Pa. Assalamu'alaikum."Ares langsung melanjutkan makannya. Ternyata itu Papanya."Ya, nanti jam 9 jadi. Tiketnya udah siap. Mama udah pesen," ujar Mamanya pada seseorang di seberang sana. Ares tahu itu. Mamanya akan kembali ke Amerika hari ini. Ada banyak urusan yang harus ia selesaikan pastinya."Oh ya? Pihak kepolisian bilang apa?" Mamanya tiba-tiba membahas topik lain.Ares mengernyitkan dahi, menatap Mamanya ingin tahu. Mama yang meliha
Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan
"Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek
Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.
"Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n
"Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes
Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.
"Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"
Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga
"Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"