Aku memutuskan pergi ke Cafe milik Arvin yang baru dibuka minggu-minggu ini, tempat yang dihias kekinian dan dipenuhi spot untuk Poto Selfi itu memang mulai ramai dikunjungi orang-orang, karena tempatnya yang bagus dan menu-menu dengan harga terjangkau."Dih, orang sibuk baru nongol." Pemuda betubuh tinggi dengan hidung mancung itu langsung menyapa begitu aku masuk ke dalam cafenya.Aku langsung duduk di salah satu meja dengan wajah ditekuk, ia pun menghampiri lalu duduk di hadapanku."Pasti lagi ada masalah."Tepat sekali ia selalu bisa menebak isi hati."Nyokap gua, Vin." Aku mendelikkan mata."Kenapa lagi nyokap lu?""Mau kawin lagi, dan yang bikin gue sebel dia malah nikah sama orang lain bukan sama Ayah gue, 'kan ngeselin.""Udah gitu bokap gue juga ga kalah rese, lu tahu ga dia belain anak pelakor itu terus-terusan, bahkan sekarang sampe dikasih kerjaan."Arvin terkekeh-kekeh di atas rasa jengkelku, dia emang teman paling rese sedunia."Ngapa lu ketawa?!" Aku menepuk lengannya k
"Ga punya, Vin, ngapain juga gua nyimpen potonya." Aku mendelik kesal."Lagian kenapa lu yakin begitu sih? nama Zaenal di dunia ini banyak tahu!" Arvin garuk-garuk kepala. "Iya juga sih, mudah-mudahan aja deh itu bukan bokap gua, kalau bener rencana gua bisa gagal."Seketika aku menoleh padanya. "Gagal apaan?""Ah kepo, ini urusan lelaki." Ia terkekeh"Lu mau minum apaan? buat lu gratis deh," tanya Arvin"Serius gratis." "Serius, tapi nanti kalau mau pulang harus bayar." Ia terbahak.Memang kurang asem nih laki, untung temen kalau laler udah kuinjek-injek."Ga jadi gua mau balik!" Aku langsung berdiri dan nenteng tas."Weh gua becanda, Cinta, eh salah ya." Ia menutup mulutnya, sambil mencegat kepergianku"Cinta cinta makan tuh cinta!" tegasku sambil melotot."Mana ada orang makan cinta, mending makan cake spesial cafe gua aja, bentar gua ambilin ya, lu duduk manis aja di sini biar makin manis."Lelaki itu pun pergi ke dalam, heran juga pada lelaki itu kalau becanda suka kelewatan, i
Ternyata anak gadis Mbak Asih dan beberapa orang lelaki pun ikut bersaksi untuk memberatkan Tante Miranda.Sedangkan Tante Miranda duduk di tengah-tengah dengan wajah tertunduk, mungkin saat ini hanya Tiara yang berpihak padanya, karena perempuan itu sendirian tak memiliki kuasa hukum.Nenek, ayah, bunda dan Om Burhan ikut bersamaku di barisan terdepan, sedangkan Tiara duduk di bangku sudut ruangan, keluarga Tante Miranda dan Tante Dina pun hadir, karena ayah telah memberitahu mereka semua."Alhamdulillah."Kami semua serentak mengucap Hamdallah kala hakim membacakan putusan. Tante Miranda dijatuhi hukuman penjara delapan belas tahun, sebenarnya bisa saja ia dihukum seumur hidup jika ada bukti yang lebih kuat.Namun, hukuman itu saja sudah membuat kami semua bersyukur, karena setidaknya kematian Tante Dina bisa terbalaskan, dan nama baiknya kembali bersih karena dikenal mati dibunuh, bukan mati karena bunuh diri."Mama!" Tiara berteriak.Anak itu menangis sesenggukan sambil menghampir
"Farah ternyata udah suka sama kamu duluan, Vin. Dari dulu lagi." Aku tersenyum masam.Sekarang canggung rasanya bicara lu gua dengan sahabatku ini, dan entah kenapa ada rasa sedih yang menyelusup ke ulu hati saat mengetahui isi hati Farah.Apa mungkin aku mencintainya?Entah, aku tak pernah mengenal kata cinta diusia yang menurut orang cukup matang berumah tangga, aku disibukkan belajar oleh ayah dan bunda.Dan lagi wanita yang telah melahirkanku itu tiada henti memberikan nasihat agar aku jangan pacaran sebelum menikah."Hah? Farah suka sama aku?" Arvin keheranan.Ternyata bukan hanya aku yang syok tapi Arvin juga, karena selama ini kami bersahabat begitu dekat dan akrab."Iya, kemarin dia cerita sama aku."Kami saling terdiam cukup lama."Terus gimana perasaanmu ke aku?" tanya Arvin"Ga tahu lah, Vin, sekarang ini aku ga mikir ke arah situ, aku juga bingung.""Ga usah bingung lah, Ra, yang penting sekarang kamu udah tahu isi hatiku, dan aku juga udah siap melamar kamu, soal mau dit
"Ayah ada hubungan apa sama Mbak Rosa?" tanyaku ketika kami makan malam.Lelaki yang baru mencukur kumis dan brewoknya itu menatapku tak enak, aku mendelik, kesal sekali punya ayah yang tak ada habis-habisnya mengalami masa pubertas."Hubungan kami ya ... sekedar bos sama sekretaris aja kok, kenapa emang?" Ayah malah terlihat asyik mengunyah."Ga usah bohong! Aku tuh lihat tadi sore Ayah jalan sama wanita itu 'kan? Ayah juga anterin perempuan itu ke rumahnya." Ayah mendadak berhenti mengunyah.Ia lalu menatapku."Aku tuh tadi ada di cafe itu, saking asyiknya mesra-mesraan sampai anak sendiri ajanga kelihatan." Aku mendelik.Ayah malah diam, mungkin kebingungan mau bicara apa."Oh ga hanya itu aku juga ikutin Ayah kok tadi ke rumah Mbak Rosa. Ayah tahu, ternyata di rumah itu ada Tiara."Sekali lagi ayah menatap wajahku."Tiara? bukannya dia ngekos?" tanya ayah.Hebat sekali dia sampai-sampai mengetahui kehidupan anak mantan gundiknya."Dia tinggal sama Mbak Rosa, coba deh Ayah tanya. A
Aku kembali ke kantor naik taxi, saat ingin memasuki ruang kerja aku berpapasan dengan ayah, ia tersenyum senang menatapku."Kenapa?" tanyaku agak sinis."Mbak Rosa itu perempuan baik 'kan, Ra?" tanya ayah.Ternyata itu alasan ayah tersenyum merekah, aku jadi curiga jangan-jangan Mbak Rosa mendekatiku karena disuruh ayah, atau jangan-jangan uang yang dipakai nraktir aku tadi juga berasal darinya.Aku cemberut tanpa bersuara lagi lalu masuk ke dalam, Mbak Rosa memang penuh teka-teki, aku harus hati-hati.Pulang kerja seperti biasa Arvin sudah stand by di depan kantor, lelaki itu tersenyum kala aku memasuki mobilnya."Capek ya?" tanya Arvin basa-basi."Ga juga." "Ya udah kalau gitu jalan sekarang ya Ibu peri." Arvin terkekeh.Lebay banget."Kalau udah nikah nanti kamu ga harus capek kerja, Ra, diem aja di rumah jadi nyonya Arvin." Ia tersenyum sambil menatapku.Aku mengerlingkan mata, belum kepikiran ke situ."Aku mau pulang ke rumah bunda aja deh, Vin." "Siap, nyonya."Arvin masih sa
"Aku pergi dulu ya, Bun." Tanganku terus terukur hendak salaman."Tunggu Zara."Aku terpaksa menghentikan langkah."Jangan lama-lama, kalian harus cepet nikah, dan jangan terlalu sering ketemu takutnya terbujuk rayuan setan," ujar bunda memberi nasehat."Iya, tenang aja," balasku singkat.Sebelum ke kantor terlebih dulu aku mampir menjemput Farah, sahabatku itu keheranan melihatku lagi-lagi diantar lelaki pujaannya.Saat di mobil ia memang tak banyak bertanya, tapi setelah di kantor."Lu kok berangkat bareng Arvin terus sih, Ra?" Akhirnya pertanyaan itu dilontarkan jugaAku diam sebentar menyiapkan kata agar tak melukai hatinya."Iya, Rah, dia anter jemput gua tiap hari."Seketika ia berhenti melangkah, begitu pula denganku."Ngapain?" tanya Farah sambil melirikku."Kita ke kantin dulu yuk ada yang mau obrolin, masih ada waktu sepuluh menit." Aku melihat arloji.Farah mengangguk tanpa bicara, kami berjalan beriringan dalam diam."Mau ngomong apa?" tanya Farah lagi usai kami duduk di s
"Om Zaenal," ucapku, mereka masih diambang pintu.Kami duduk di sofa tanpa saling bicara terlebih dulu, hanya ayah yang menyapa mereka, Arvin pun sepertinya sudah mengerti dengan keadaan ini."Mas, jadi Nak Arvin ini anakmu?" tanya bunda.Om Zaenal yang sedang mengobrol dengan ayah pun seketika menoleh."Iya, Naima."Ada luka di mata bunda begitu pula dengan Om Zaenal yang terlihat kecewa."Tunggu dulu, apa sebelumnya kalian sudah saling kenal?" tanya ayah, sepertinya ia belum mengerti dengan apa yang terjadi sementara mamanya Arvin diam saja, seperti risih berdekatan dengan mantan suaminya."Maaf, sebenarnya Om Zaenal ini calon suami Bunda," sahutku dengan terpaksa, aku muak ada teka-teki diantara kami.Arvin terlihat gusar mengusap wajahnya, sedangkan ayah dan mama Arvin jelas terkejut memandang bunda dan Om Zaenal bergantian.Suasana mendadak kaku, aku pun bingung entah harus apa."Apapun keadaannya aku tetap mau menikahi, Zara, Ma, Pa," ucap Arvin dengan tegas.Bunda dan Om Zaenal
Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k
Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan
(POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel
(POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na
(POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya
"Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku
"Mau ngapain lo, Rah?" tanyaku dengan suara bergetar."Menurut Lo," jawabnya dengan mata membeliak yang mengerikan.Farah mengayunkan tongkat besi itu dengan tinggi lalu memukulkan ke arahku. Namun, aku menggeser posisi tubuh dengan cepat, sehingga pukulan itu tak mengenai tubuhku.Dengan napas terengah-engah kami saling menatap, ia bukan lagi sahabat baikku tetapi sudah berubah menjadi monster yang mengerikan.Rasanya aku tak percaya Farah yang selalu ada dikala senang dan susah itu kini berambisi ingin memb*nuhku hanya demi lelaki, ini seperti mimpi.Farah dan Tiara mendekat, dalam sekejap Tiara berusaha meringkus kedua tanganku, tenaga anak itu benar-benar kuat, ia memelintir lenganku ke belakang.Tetapi aku menginjak kakinya dengan kuat hingga ia menjerit, setelah itu aku melepas sebelah tangan dari tangannya lalu menyiku leher Tiara hingga ia terhuyung ke belakang."S*alan!" umpatnya.Kini aku sudah berdiri tegak dan siap melawan serangan mereka yang bringas, apapun yang terjadi
Enam bulan kemudian rencana pernikahanku dan Arvin tinggal menunggu satu hari lagi, semua sudah siap, bahkan susunan acara resepsi nanti pun sudah tersusun rapi.Acara pernikahan akan diadakan di sebuah hotel, mama Arvin yang menyewa lobi hotel ini untuk akad sekaligus resepsi pada malam harinya."Apa kamu sudah siap, Zara?" tanya bunda."Iya, sebentar lagi ya, Bun, tunggu aja di bawah."Setelah semua persiapan kumasukkan ke dalam tas besar, aku menghampiri bunda yang sedang bercengkrama dengan ayah, tumben sekali."Aku sudah siap."Bunda tersenyum begitu pula dengan ayah."Zara, ini Farah katanya mau jalan-jalan dulu sebentar sebelum kamu melepas masa lajang, jadi Bunda sama Ayah berangkat duluan dan kamu nanti nyusul sama Farah ya," ujar Bunda.Aku melirik Farah yang tersenyum penuh permohonan."Please, Ra, gue pengen jalan-jalan sama lu yang terakhir kalinya sebelum melepas masa lajang," rengeknya seperti anak kecil."Hem, baiklah kita jalan sekarang, tapi jangan lama-lama ya, gue
Jam makan siang aku dan Arvin bertemu lalu kuperlihatkan pesan ancaman semalam padanya."Menurut kamu dia siapa, Vin?" Entah kenapa aku berpikir jika ini perbuatan Om Zainal, apalagi semalam hanya dia yang tak menyukai acara lamaran kami.Tapi, aku tak ingin mengatakannya pada Arvin sekarang sebelum mendapatkan bukti karena takut dirinya tersinggung."Aku catet nomornya ya, Ra, kamu tenang aja aku akan selidiki orang ini siapa."Aku mengangguk mengiyakan, setelah selesai makan siang kami berpisah kembali, aku ke kantor sementara Arvin ke cafenya."Hai, Ra, selamat ya atas pertunangannya," sapa Mbak Rosa sambil tersenyum."Iya, Mbak, terima kasih." Lalu aku masuk ke ruanganku.Sejauh ini aku tak ingin mendekatkan diri pada perempuan yang sedang dekat dengan ayah itu, biarlah jika ia bersungguh-sungguh ingin bersama ayah maka ia harus berusaha mengambil hatiku."Ra, malam ini Mbak mau ajak kamu makan malam di rumah, papamu juga akan datang nanti, kamu datang ya," ucap Mbak Rosa saat ak