Dusun Air Tenam dihebohkan oleh kemunculan jasad bocah kecil yang ditemukan di pinggiran sungai, tidak jauh dari pemandian para warga di sana.
Mereka lantas membawa tubuh Rawai Tingkis menuju ke rumah seorang tabib di desa tersebut.“Biarkan aku memeriksanya, kalian semua harap menunggu di luar ruangan!” ucap tabib itu.Selang beberapa saat, Sang Tabib keluar dari kamarnya, dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh, tapi kemudian dia tersenyum lega, “anak itu belum mati, meski sangat lemah, aku bisa merasakan denyut jantungnya.”Dia bernama Tabib Rabiah, seorang wanita yang mengabdikan dirinya di desa Air Tenam sebagai tukang medis.Bisa dibilang, dia merupakan tabib terbaik, karena hampir semua pasiennya sembuh setelah ditangani oleh wanita tersebut.Tidak diketahui asal muasal Tabib Rabiah, dia bukanlah warga pribumi, dia datang ke desa ini 10 tahun yang lalu, dan sampai saat ini tidak ada satupun orang yang mengetahui identitas asli Tabib Rabiah.“Aku sudah memberinya beberapa obat, sekarang yang menentukan hidup dan mati bocah itu, adalah tekadnya sendiri.”Tabib Rabiah kemudian keluar dari rumahnya, duduk di pinggir teras pada bangku kayu, seraya menyulut sebatang rokok.Kepulan asap menyelimuti wajahnya yang penuh dengan kerutan.Namun tatapan Tabib Rabiah seolah sedang menerawang jauh ke depan. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dirinya, bahkan warga sekitar tidak pernah melihat ekspresi itu selama dia mengobati pasiennya.“Nenek Tabib..,” gadis kecil yang pertama kali menemukan Rawai Tingkis menghampiri Tabib Rabiah. “Apa dia baik-baik saja?”“Gadis kecil, sebaiknya kau pulang!” timpal Tabib Rabiah, “jika dia masih hidup, aku akan mengabarimu segera!”Gadis kecil polos hanya mengangguk, lalu bersama orang tuannya pergi meninggalkan rumah Tabib Rabiah. Setelah beberapa waktu kemudian, semua warga akhirnya pergi meninggalkan kediaman wanita tersebut.Beberapa yang lain terdengar membicarakan mengenai Rawai Tingkis, beberapa yang lain langsung pergi tanpa peduli lagi dengan bocah tersebut.Setelah semuanya pergi, Tabib Rabiah kembali masuk ke dalam rumahnya, dia menutup semua pintu dan jendela. Dengan perlahan Tabib Rabiah mengeluarkan sebilah pedang yang dia sembunyikan di bawah lantai rumah.“Aku mencium bahaya dari bocah ini,” ucap Tabib Rabiah, “Aku akan mengakhiri nyawanya, sebelum hal buruk terjadi.”Tabib Rabiah kemudian dengan cepat menebaskan pedang ke arah leher bocah tersebut, tapi tepat satu jari sebelum tebasan pedang mengenai kulit Rawai Tingkis, tiba-tiba bocah itu bergumam kecil.“Aku ...aku tidak akan mati, aku akan bertahan ...”Mendengar hal itu, Tabib Rabiah mulai bimbang. Dia bingung untuk menentukan dua pilihan yang berbeda, yaitu menolong Rawai Tingkis atau membunuhnya.Secara perlahan Rawai Tingkis akhirnya membuka ke dua belah matanya, tapi saat melihat wajah Tabib Rabiah, Rawai Tingkis tersenyum tipis, “apa kau yang telah menyelamatkanku, terima kasih ...terima kasih ...Nenek.”Tabib Rabiah mulai merasa iba dengan bocah tersebut, pedang yang hampir melukai bocah itu secara perlahan mulai ditarik dan disarungkan kembali.Hanya setelah itu, Rawai Tingkis kembali menutup ke dua matanya, tapi bukan berarti dia pingsan, dia hanya tertidur.Tabib Rabiah melempar pedangnya ke samping, menghempaskan tubuh ke lantai, sambil mengurut keningnya yang terasa sakit.Satu batang rokok kembali disulut olehnya, tapi rokok yang senantiasa menemaninya sendirian di rumah ini, tidak terasa nikmat lagi.“Apa aku harus membiarkan bocah ini hidup?” gumam dirinya, “Kenapa aku harus menghadapi situasi seperti ini? Setan mana yang mengganggu pikiranku, sampai aku merasa iba dengan dirinya.”***Tiga hari kemudian, terlihat Rawai Tingkis sedang menyantap hidangan makanan yang dibawa oleh Tabib Rabiah.Seperti orang yang belum makan selama berminggu-minggu, Rawai Tingkis menyantap semua makanan tersebut. Dia bahkan menelan tulang ikan sampai habis.“Terima kasih, Nenek ...masakanmu sungguh lezat,” puji Rawai Tingkis.“Jika kau sudah sehat, segeralah pergi dari rumahku!” ucap Tabib Rabiah.Mendengar hal itu, Rawai Tingkis untuk sejenak terdiam, Tabib Rabiah mengira bocah itu akan tersinggung tapi rupanya tidak, Rawai Tingkis malah tersenyum, “Nenek, aku tidak punya tempat untuk kembali.”“Itu bukan urusanku.”“Aku juga tidak punya sanak keluarga, tidak punya kampung halaman, jadi izinkan aku tinggal di sini.”“Tidak akan!” timpal Tabib Rabiah. “Aku tidak ingin siapapun di rumahku, aku ingin hidup sendiri dan menjalani hari-hariku dengan tenang.”“Baiklah,” timpal Rawai Tingkis, dia segera berdiri dari tempat tidurnya, kemudian berjalan keluar dari rumah Tabib Rabiah.Sang Tabib mengira Rawai Tingkis benar-benar meninggalkan rumahnya, dan ada rasa sesal di hatinya, tapi kemudian amarahnya kembali meledak, “Siapa suruh kau mendirikan gubuk reot itu di samping rumahku, bocah sialan?!”“Aku tidak akan tinggal di rumahmu, tapi aku akan tinggal di sini ...” Rawai Tingkis menunjuk pada gubuk reot yang baru saja dia buat dengan ranting dan atap dedaunan yang dia temukan di sekitar rumah Tabib Rabiah. Gubuk itu bahkan terlihat lebih buruk dari kandang ayam.Wush.Terpaan angin baru saja merobohkan gubuk buatan Rawai Tingkis..“Ah, aku akan membuatnya lagi-““Hentikan Bocah kurang ajar!” teriak Tabib Rabiah. “Kau tidak boleh mendirikan gubuk di pinggir rumahku, di halaman depan, halaman belakang, intinya kau tidak boleh mendirikan apapun di sekitar pekarangan rumahku.”“Terima kasih Nenek, akhirnya kau mengizinkan aku tinggal di rumahmu,” Rawai Tingkis membungkuk memberi hormat, seraya tersenyum polos.“Aku tidak bilang seperti itu-, Aduh ...mau aku apakan dirimu ini?”Pada akhirnya, Tabib Rabiah menyerah pula.“Bocah, siapa yang melakukan percobaan terhadap tubuhmu?” tanya Tabib Rabiah. “Kau punya tanda Roh Suci, aku yakin ada ilmuan gila yang telah melakukan percobaan terhadap dirimu.”“Nenek tahu mengenai hal ini?” tanya Rawai Tingkis.“Melukai tubuh kemudian memasukan darah Roh Suci ke dalamnya, adalah metode kuno sekali, dan dianggap paling gila. Ilmuan bodoh mana yang masih menggunakan metode seperti itu untuk mengambil kekuatan Roh Suci?”Melihat wajah Rawai Tingkis yang menjadi suram, Tabib Rabiah akhirnya mengalihkan pembicaraannya, “lupakan masalah itu, walau bagaimanapun sebuah keajaiban ada manusia yang selamat setelah mengalami metode tersebut. Sekarang, jika kau ingin tinggal di sini, maka kau harus bekerja keras. Kau harus mencari uang untuku.”“Hemmm ...aku tidak pernah mencari uang, tapi aku dapat diandalkan,” timpal Rawai Tingkis.Tabib Rabiah menghela nafas panjang, bocah kecil dihadapannya begitu geras kepala, tapi pada akhirnya dia terpaksa harus merawat bocah tersebut.Meski sebenarnya masih ada rasa takut di hati Tabib Rabiah akan kekuatan Rawai Tingkis yang kini masih tertidur atau mungkin masih beradaptasi dengan tubuh bocah tersebut.“Roh Suci seperti apa yang bocah ini miliki?” gumam Tabib Rabiah. “Ini akan merepotkan jika dia memiliki roh suci level tinggi.”Di hari pertama Rawai Tingkis telah membuat ulah, dia menjatuhkan kendi yang diletakan di dinding rumah.Kendi itu berisi semua ramuan yang berusia belasan tahun.“Apa yang kau lakukan, BOCAH!!!”“Heheh …maaf Tabib Rabiah, tanganku tidak sengaja menyentuh kendi usang ini. Tapi tenang saja aku akan membersihkan kekacauan ini …” Rawai Tingkis menunjukan senyum tak bersalah, tapi sedetik kemudian satu pukulan keras mendarat tepat di kepalanya. “-Ahk-“.“Kau pikir masalah ini sederhana, Bocah …” tangan Tabib Rabiah terangkat lagi ke atas, “Ini adalah harta berharga yang aku miliki, tapi kau menghancurkannya dengan tanpa dosa.”Kemudian terdengar teriakan di dalam rumah tersebut, teriakan dari mulut Rawai Tingkis yang mungkin kini sedang dihajar habis-habisan oleh Tabib Rabiah.Beberapa saat kemudian, Rawai Tingkis keluar dari dalam rumah dengan tangan mengurut kepala bagian belakangnya.“Dia benar-benar monster,” gerutu Rawai Tingkis.“Aku mendengar ucapanmu!”“Maafkan Aku!”Rawai Tingkis
Di tengah Lembah Berkabut, dua bandit berwajah sangar berjalan buru-buru, melintasi beberapa pohon diantara rawa-rawa gambut.Mereka membawa dua buntelan besar, yang berisi banyak harta berharga.Keduanya berkelakar tetang pembagian yang akan diterima setelah menyerahkan harta itu kepada pimpinan mereka.Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak, membayangkan melewati malam ini di rumah bordil yang ada di pusat kota.“Aku akan memsan lima gadis di sana, kau tahu…ada gadis penghibur berwajah cantik?”“Ah, aku tidak terlalu tertarik dengan mereka,” timpal yang satunya, “aku ingin menghabiskan malam ini dengan kendi-kendi tuak.”“Seleramu memang buruk, Kawan.”Setelah beberapa saat kemudian, mereka tiba di sebuah rumah beratap ilalang yang dipenuhi oleh banyak bandit gunung.Rumah sederhana yang berdinding jalinan bambu, telah berdiri beberapa tahun, menjadi markas persembunyian para bandit gunung ini.“Bos, kami berhasil menjarah rumah Ki Demang Desa Ranting,” bandit itu langsung menyerahk
Mendengar perkataan Rawai Tingkis, wajah Kondir langsung memerah bak kulit udang rebus.Tidak perlu basa-basi dia langsung menyerang bocah sombong di hadapannya. Meski lawannya hanyalah anak kecil, Kondir tidak pernah segan untuk menghabisi siapapun yang tidak patuh akan perkataanya.“Jangan menyesal jika kau mati!” ucap Kondir.Namun, gerakan Kondir tidak lebih cepat dari Rawai Tingkis. Bocah ingusan itu dapat dengan mudah menghindari golok yang bergerak cepat menuju batang lehernya.Dia melompat beberapa kali ke belakang, melakukan salto sekali sebelum kemudian berdiri tenang di sebelah pohon berukuran cukup besar.“Cuih, bocah ini rupanya cukup lihai,” gumam Kondir.Sementara itu, Sindur hanya menyaksikan pertandingan yang dianggapnya tidak akan menguntungkan Rawai Tingkis.Sindur bahkan masih sempat duduk di sebuah batu, dengan tangan menopang kepalanya.“Bocah itu memang cepat, tapi dia tidak akan bertahan saat melawan Kondir,” ucap Sindur, seraya tersenyum tipis.Merasa tebasann
Sementara itu Tabib Rabiah berkeliling di desa, mencari keberadaan Rawai Tingkis yang entah pergi ke mana.Dia menanyakan kepada beberapa warga, tapi semuanya menjawab sama, ‘kami tidak melihat bocah itu.’“Kemana dirinya?” tanya Tabib Rabiah, “apa aku terlalu keras kepadanya, Rawai Tingkis! Apa kau pergi dari rumah?”Tabib Rabiah mendongak ke ufuk timur, melihat matahari berangsur-angsur tenggalam meninggalkan siang.Malam akan segera datang, suara kicauan burung mulai terdengar sahut-menyahut, mungkin sedang mencari tempat untuk beristirahat malam ini.Jangkrik berpadu dengan suara kodok, menjadi nyanyian alam yang seolah menasehati semua manusia untuk masuk ke dalam rumahnya.Tabib Rabiah berjalan gontai, kemudian duduk di beranda rumahnya dengan wajah yang suram.Dia mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya dalam-dalam, tapi hal ini tidak bisa menenangkan dirinya sama sekali.Ada banyak pikiran buruk di benaknya, membuatnya semakin gelisah.“Atau jangan-jangan …tidak, itu tidak mu
Rawai Tingkis mulai memaki ular hitam legam yang membuat rusa buruannya melarikan diri karena ketakutan.Karena kekesalan itu, Rawai Tingkis menyerang ular seperti kesetanan.Beberapa kali ular itu mencoba menghindari Rawai Tingkis, lalu melakukan serangan balik.Ujung ekor sang ular akhirnya mendarat tepat di perut bocah tersebut, membuat dirinya terdorong beberapa puluh depa ke belakang.Bocah itu menghantam semak belukar berduri lalu menghantam pangkal batang pohon besar.Burung kecil terbang berhamburan kala pohon itu bergetar kuat.“Adu duh duh duh …” Rawai Tingkis meringis, sebelum kemudian berdiri dan kembali menyerang ular tersebut.Meskipun pisik Rawai Tingkis sangat kuat dibandingkan dengan lima orang pria dewasa, tapi tetap saja ular itu lebih kuat dari dirinya.Setiap kali Rawai Tingkis mendaratkan potongan kayu ke tubuh ular, binatang tersebut terlihat baik-baik saja.“Cisss…” suara ular mendesis, menjulurkan lidah bercabang dari dalam mulutnya.Tatapan mata yang tajam ti
“Kancil, Kelinci?” Rawai Tingkis menemukan tiga binatang di depannya, “Siapa yang membawanya ke sini? Ah, akhirnya aku akan makan siang.”Rawai Tingkis mengeluarkan sebilah pisau kecil, lalu memotong tiga hewan itu, yang dalam keadaan terluka kakinya.Api unggun pada akhirnya menyala, lalu menyisakan bara. Rawai Tingkis dengan senyum gembira mulai memanggang ke tiga hewa tersebut, sesekali dia akan bersiul kecil, sesekali dia meniup bara api agar tetap menyala.“Selamat makan!” ucap dirinya, menyatukan dua telapak tangan, lalu menutup mata rapat-rapat. Setelah itu dia menghabiskan semua makanan itu tanpa tersisa.Rawai Tingkis membuang tulang terakhir, dan baru menyadari jika sebelumnya dia sedang bersama ular raksasa.Namun sekarang, dimana ular itu? Rawai Tingkis memutar kepalanya beberapa kali, tapi tidak melihat keberadaan binatang tersebut.“Apa dia sudah pergi?” gumam dirinya. “Kalau begitu aku juga harus pergi, perjalananku masih jauh.”Rawai Tingkis memeriksa buntelan yang dib
Rawai Tingkis, berjalan mengendap-endap menuju markas para bandit. Di tengah situasi yang dipenuhi oleh kabut tebal, pandangan menjadi sedikit terbatas.Meski di tempat ini tidak banyak pohon tinggi yang hidup, kecuali pohon kecil dan tanaman seperti padi yang hampir membentang di seluruh lembah, tapi Rawai Tingkis yang bertubuh kecil bisa mendekati tempat itu tanpa terdeteksi oleh musuh.Dia bersembunyi dari satu rumpun tanaman, ke rumpun yang lain.“Aku ingin buang air besar terlebih dahulu,” ucap salah satu penjaga rumah para bandit. “Gantikan aku untuk berjaga, hanya sebentar saja.”“Kau ini, bukannya baru saja kau telah buang air?”“Tadi itu air besar, karena ukurannya sedikit …”“Tidak perlu membahas ukurannya bodoh! Siapa yang ingin tahu, sekarang cepat pergi sana!”“Hahahha…” pria itu tertawa lalu berlari kecil menuju ke rumpun rumput, dimana Rawai Tingkis sedang bersembunyi.Cir.Air kencing seperti pancuran, melewati wajah Rawai Tingkis.“Kurang ajar!”Rawai Tingkis langsung
‘Jadi bocah ini yang telah membuat Kondir dan Sindur mengalami kecatan?’ gumam bandit tersebut. ‘tidak mungkin, aku tidak bisa percaya seorang bocah memiliki kekuatan sehebat dirinya. Tapi …ahkk …rasa sakit in adalah butkitnya.’Rawai Tingkis mengusap kepalan tinjunya beberapa kali, tampaknya sudah bersiap untuk maju ke depan, menghadapi semua bandit yang ada di markas mereka.“Tunggu! Kau tidak ingin melepaskan ikatanku terelebih dahulu?”“Ikatanmu sudah lepas sejak tadi,” timpal Rawai Tingkis.“A-apa?”Bandit itu baru menyadari jika ke dua tangannya telah terbebas, tapi karena rasa sakit yang dialaminya, membuat dia tidak menyadari jika sejak awal simpul akar telah terlepas.Rawai Tingkis tersenyum tipis, kemudian dia berkata, “pergilah! Jika aku melihatmu lagi, dan kau masih menjadi bandit, aku akan membuat semua gigimu lepas, hikhikhik …”Setelah berkata seperti itu, Rawai Tingkis meninggalkan bandit tersebut, dan mulai melewati jalan setapak menuju ke arah markas besar para bandi
Di saat bersamaan, Rawai Tingkis menyernag Kelelawar Hitam dengan seluruh energi mistik yang dimilikinya.Kecepatannya masih tetap sama, tapi daya hancurnya menjadi sedikit berkurang, dan ini karena tubuhnya terlalu dibebani oleh teknik baru yang dimilikinya saat ini.Lima orang Manusia Murni mencoba melakukan sesuatu atas perintah Ki Langit Hitam untuk mengakhiri nyawa Kelelawar Hitam, tapi mereka bahkan tidak dapat mendekati pria jahat itu.Sekarang mereka tahu kekuatan Rawai Tingkis jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka semua.Kesombongan mereka selama ini, akhirnya dijatuhkan oleh kenyataan yang memalukan.Bukan hanya lima orang itu, Putri Intan Kumala sendiri juga tidak mampu berhadapan langsung dengan Kelelawar Hitam.“Apa sekarang kalian menyadarinya?” tanya Ki Sundur Langit. “Rawai Tingkis mungkin tidak membutuhkan pengakuan dari orang lain, tapi aku yakin, sekarang kalian mengakui kekuatannya!”Kelimanya langsung terdiam, tidak lagi menjawab ataupun berbuat sesuatu unt
Kedatangan Camar Putih membuat perubahan pada jalannya pertempuran antara Rawai Tingkis dan Kelelawar Hitam.Kedatangannya sama seperti kedatangan Ki Sundur Langit dan Ki Langit Hitam untuk membantu para Manusia Murni dalam mengalahkan Beruang Salju.Dua Satria Roh Suci kini menghadapi serangan demi serangan dari pihak Rawai Tingkis.Berkat kedatangan Camar Putih pula, Kelelawar Hitam untuk pertama kalinya setelah menggunakan Ulat Dari Neraka, terkena tebasan Rawai Tingkis.“Aku akan melindungimu!” ucap Camar Putih.“Baiklah, aku mengerti!” Rawai Tingkis melaju cepat ke arah Kelelawar Hitam, sementara Camar Putih bertugas menahan semua serangan bola mistik yang dilempar musuhnya.“Aku tidak akan membiarkan dirimu menguasai Benua ini,” ucap Camar Putih, sembari melepaskan beberapa serangan berbentuk sayap putih yang berputar seperti gasing.Boom.Setiap bola mistik diledakan sebelum menyentuh tubuh Rawai Tingkis dengan sayap-sayap putih tersebut.“Camar Putih, kau selalu menghalangi re
Ki Langit Hitam dan Ki Sundur Langit, memasang kuda-kuda sebelum kemudian mulai menyerang Beruang Salju.Dua larik cahaya keluar dari telapak tangan dua pria tua tersebut, melesat cepat ke arah Beruang Salju.Mendapati serangan itu, Beruang Salju terpaksa menangkis serangan lawan dengan teknik pertahanan dinding es miliknya.Boom.Ledakan kecil terjadi di atas istana es, menggetarkan bagian puncak dari bangunan es tersebut.Saat Beruang Salju berniat melakukan perlawanan, dua petinggi Padepokan Surya telah berada di depannya, dan melancarkan serangan pisik.Suah.Beruang Salju melesat ke samping, menghindari pukulan Ki Langit Hitam, di saat yang sama, Ki Sundur Langit menyapukan tendangan cepat ke arah wajah Petinggi Penjaga Dunia tersebut.Boom.Tubuh Beruang Salju melesat cepat, meninggalkan Istana Es, dan jatuh terhempas di permukaan tanah yang gersang.Dia bangkit, lalu melepaskan dua bole energi ke arah lawannya. Sayangnya, dua serangan itu dapat dihindari oleh Ki Sundur Langit d
Serangan besar yang dilakukan oleh Rawai Tingkis dan Kelelawar Hitam, telah menyebabkan banyak kerusakan di sekitar mereka berdua.Namun dua orang itu, masih menolak untuk menyerah, meskipun salah satunya mengalami luka yang cukup serius, yaitu Kelelawar Hitam.Kelelawar Hitam memiliki energi mistik yang berlimpah, membuat dia percaya dapat mengalahkan Rawai Tingkis dalam segala kondisi yang dialaminya saat ini.Andaipun hanya memiliki satu tangan dan satu mata saja, Kelelawar Hitam masih percaya dapat menumbangkan Rawai Tingkis.Di sisi lain, Rawai Tingkis memiliki pertahanan pisik yang lebih baik, berkat pengobatan yang dilakukan oleh Naga Kecil.Namun demikian, energi mistik yang dimiliki pemuda itu berada jauh di bawah Kelelawar Hitam.Dua Roh Suci yang ada pada tubuh Rawai Tingkis, terbilang berusia muda, apa lagi Naga Kecil yang baru saja lahir beberapa waktu yang lalu. Energi mistik ke dua Roh Suci ini masih digolongkan kelas menengah, dan tidak dapat disandingkan oleh Energi M
Tidak pernah dirasakan oleh Kelelawar Hitam sensasi dan juga pengalaman seperti ini saat menghadapi musuh-musuhnya, kecuali hari ini.Dia tidak pernah takut, tapi hari ini dia melihat siapa yang kuat, dan siapa yang menjadi penguasa dari kalangan Roh Suci.Namun perasaan itu segera ditepisnya, dia tidak ingin jatuh dalam perangkap Rawai Tingkis.Kelelawar Hitam mengira, ini hanyalah permainan ilusi saja, mungkin ada kekuatan lain yang dimiliki oleh Rawai Tingkis, untuk mengendalikan pikirannya.Namun sayangnya, dia memang melihat sisi lain dari Rawai Tingkis.Sementara itu, Beruang Salju merasakan gejolak kekuatan Rawai Tingkis, dan tidak bisa tinggal diam saat ini.“Ini akan gawat, aku harus membantunya,” ucap Beruang Salju.Pria itu menaikan satu telunjuknya ke langit, lalu energi dingin menggumpal di ujung telunjuknya.Tidak selang beberapa lama, sesuatu yang sangat menakjubkan muncul di langit.Putri Intan Kumala menatap ke langit, dan untuk sesaat wajahnya menjadi tegang, meskipu
Beruang Salju masih berusaha untuk menumbangkan Putri Intan Kumala, meskipun tadinya dia penuh dengan kepercayaan diri dapat mengalahkan Kumala, tapi kenyataanya dia butuh waktu lama untuk menjatuhkan gadis tersebut. Beruang Salju telah menggunakan segagala cara untuk menjatuhkan boneka gurita raksasa yang dikendalikan oleh Putri Intan Kumala, tapi sialnya dia tidak mampu melakukan itu. Setiap kali dia brhasil memotong satu bagian tangan gurita itu, maka ditempat yang sama, tangan lain akan tumbuh. Menghadapi persoalan semacam ini, membuat kepala Beruang Salju serasa akan pecah. Sejauh ini, dia telah menemukan banyak ide, dan menerapkannya, bahkan ide paling licik sekalipun telah dia gunakan. “Jika aku tahu sebelumnya kekuatan gadis ini, aku tidak akan memilih padang tandus sebagai lokasi pertemuan,” ucap Beruang Salju. Baru kini dia menyadari kesalahannya, dan keunggulan Putri Intan Kuamala. Dengan semua batu yang ada di padang tandus, menjadikan Putri Intan Kumala memiliki pa
Bola-bola energi yang dilempar dengan mudah oleh Kelelawar Hitam, tapi menghasilkan dampak yang sangat mengrikan.Dari sini, terlihat betapa hebatnya Kelelawar Hitam sebenarnya, dan dari sini pula terlihat betapa kuatnya Roh Suci pada saat itu.Kekuatan sebesar Kelelawar Hitam bahkan tidak mampu menaklukan Roh Suci tanpa bantuan Satria Roh Suci dan Manusia Murni di jamannya.“Akan kuundang binatang kegelapan,” ucap Kelelawar Hitam.Dia melakukan sebuah gerakan, yang tidak jelas, tapi di ujung gerakan itu, dia mengarahkan telapak tangannya ke atas.Sedetik kemudian, kepulan asap muncul dari telapak tangan itu, lalu tepat di atas kepalanya, sekitar dua atau tiga depa tingginya, asap itu membentuk lingkaran besar.Belum tahu apa yang terjadi atau apa yang akan dilakukan oleh Kelelawar Hitam itu, tapi auranya sudah menyebar ke segala arah, dan berhasil menekan mental Rawas Kalat dan Danur Jaya.“Kalian akan menjadi santapan siang ini!”Dan, tiba-tiba.Goar… mahluk hitam besar muncul dari
Sementara itu, Rawas Kalat dan Danur Jaya masih berjibaku sengit melawan Kelelawar Hitam yang mencoba menemukan keberadaan Rawi Tingkis.Dua pemuda mati-matian menahan Kelelawar Hitam, mencoba melakukan yang terbaik meski kerap mendapatkan luka pada bagian tubuh mereka.Sesekali akan terlihat debu jamur raksasa menghiasi udara siang ini, ketika salah satu dari mereka dihempas kasar ke permukaan tanah.Jangan bertanya berapa banyak darah yang dikeluarkan dari dalam tubuhnya, sebab luka yang diterima ke dua pemuda itu tiada terhitung jumlahnya.Menghadai manusia yang memiliki energi mistik dalam jumlah besar, memang sangat menyulitkan.Bahkan, nyawa mereka kini seolah berada di ujung tanduk, hanya menunggu kematian saja.Sayangnya, tekad dan semangat juang ke dua pemuda itu tidak dapat dianggap remeh.Jatuh bangun hal biasa, kini keduanya mulai bersahabat dengan luka-luka.Setelah kehabisan anak panah, Danur Jaya terpaksa menggunakan busur panah untuk bertarung. Busur itu dijadikan sema
Kelelawar Hitam menepis seluruh api yang menyelimuti dirinya dengan asap hitam, lalu berdiri setelah jatuh di atas tumpukan kerikil. Dia memandang Rawas Kalat dengan penuh emosi.“Kalian juga bagian dari pencurian Seruling Emas-““Memangnya kenapa?” timpal Rawas Kalat.Mendengar jawaban itu, wajah Kelelawar Hitam menjadi padam, dia menahan nafasnya dengn rahang yang mengeras, lalu dia berkata, “kalau begitu, kau juga harus mati!”Kelelawar Hitam langsung berubah menjadi asap dan menggempur Rawas Kalat dari segala sisi.Asap hitam secara alami mungkin tidak dapat menghantam tubuh manusia, tapi tidak dengan asap hitam milik Kelelawar Hitam.Asap itu terasa sangat keras sehingga membuat Rawas Kalat begitu kesulitan untuk menahan semua serangan Kelelawar Hitam.Dalam sebuah momen, Rawas Kalat mencoba memukul asap tersebut, tapi tangannya malah terjebak oleh asap itu.Dia tidak bisa menarik tangannya, seolah melekat kuat dalam kepulan asap.Di saat yang sama pula, muncul asap menyerupai ma