Daripada menolak tawaran Penjaga Dunia, lalu menjadi musuh mereka, lebih baik menerimanya dan menjadi sekutu mereka.Karena diluar sana, tidak ada yang tahu siapa saja yang telah menjadi sekutu Penjaga Dunia.Jadi pada dasarnya, pertemuan sudah mendapatkan hasil, bahwa Bukit Batu akan menjadi negara yang dipenuhi oleh satria.“Dalam sayembara ini, kita akan melihat kekuatan para Satria dari Bukit Batu, pada dasarnya Sayembara ini adalah pertunjukan bagi satria Bukit Batu.”“Pak Tua,” ucap Rawai Tingkis, kini nada suara remaja itu berubah bmenjadi lebih serius, “apa kau juga seorang Satria?”“Apa kau punya masalah dengan satria?” tanya pria tua itu.“Tidak mungkin kalian tidak mendengarnya, Indra Pura baru-baru ini diserang oleh satria suci …” Danur Jaya yang langsung menjawabnya.“Oh, Maaf kalau begitu …aku tidak tahu, kami tidak dapat beritanya …” sekarang, pak tua Partai Tuak sedikit canggung dengan situasi seperti ini, tapi kemudian dia mengatakan jika Partai Tuak saat ini masih be
“Siapa kau?” prajurit wanita memasang wajah menyeramkan, lebih menyeramkan dari mata pedang.“Berani sekali kau masuk ke dalam kamar pribadi Permaisuri!”“Tangkap orang ini!”“Tu tu tunggu!” Rawai Tingis mengakat tangannya, “ini hanya salah paham, aku tidak sengaja masuk ke sini …maafkan aku. Ah, aku akan keluar!”Prajurit wanita tentu saja tidak akan membiarkan Rawai Tingkis keluar dari kamar ini, kecuali dengan membawa borgol di tangannya.Jadi sekarang mereka mulai menyerang Rawai Tingkis, tapi remaja itu tidak balas menyerang, hanya menghindari serangan demi serangan prajurit wanita.Padahal, prajurit ini berada di level tinggi, dan secara khusus dilatih untuk melindungi Permaisuri, tapi demikian Rawai Tingkis malah bermain bersama mereka.Ini jelas mengejutkan prajurit, juga mengejutkan Permaisuri yang sedang menimang bayinya.Rupanya, sejak tadi sang bayi menangis, tak bisa ditenangkan, meski Permaisuri telah melakukan segala cara.Tangisannya malah semakin keras, setiap kali pr
Pemuda itu adalah Pangeran Gadang Saba, Putra Bungsu Raja Bukit Batu. Melihat ponakannya di gendong oleh remaja asing tak dikenali, Gadang Saba selaku paman bagi Sang Bayi jelas tidak bisa terima.Jadi dia langsung menarik pedang, dan dengan cepat bergerak ke arah Rawa Tingkis.Cukup cepat gerakan Gadang Saba, sampai-sampai Rawai Tingkis tidak sempat melakukan reaksi untuk menghindar. Alhasil, pedang Gadang Saba kini berada di batang leher Rawai Tingkis.“Aku tidak bermaksud mengusik bayi ini …” ucap Rawai Tingkis, masih setengah tersenyum kala ini, “sungguh, kalau tidak percaya tanyakan kepada mereka!”Gadang Saba melirik kakak perempuan dan Ibunya yang berada bersama barisan para prajurit.Dengan suara lantang dia menanyakan alasan mengapa ponakannya berada di tangan Rawai Tingkis.Permaisuri dengan tenang mulai menjelaskan semuanya kepada Gadang Saba, dan barulah pangeran itu berubah menjadi lebih lunak.Dia menarik pedangnya, dan kembali menyimpan senjata itu ke dalam sarung.“Tid
Dia adalah Rawas Kalat, cucu dari Pimpinan Partai Tuak. Sebagai orang pinggiran, Rawas Kalat sangat tidak suka jika prajurit di negara manapun memperlakukan orang lain dengan sewenang-wenang.Sebagai orang kasta rendahan, Rawas Kalat memiliki banyak pengalaman buruk dengan para prajurit.Dulunya, dia memiliki kedua orang tua sebelum Pimpinan Partai Tuak mengadopsinya sebagi cucu.Namun, orang tua Rawas Kalat terbunuh oleh salah satu prajurit, dan sialnya, prajurit itu tidak dijatuhi hukuman saat itu.“Cucu dari Partai Tuak, kau tahu apa yang sedang kau katakana?”“Kenapa? Kalian tidak suka? Masuklah ke dalam sayembara, aku akan melawan kalian semua!” ucap Rawas Kalat.Ucapan itu membuat para prajurit mengangkat alisnya, tapi kemudian Rawas Kalat kembali melemparkan kalimat yang membuat mereka terdiam, “atau, kalian ingin bertarung denganku saat ini juga?”Senyum datar muncul di bibir Rawas Kalat, dan dia kini berharap ada salah satu dari prajurit yang menerima tantangannya, tapi tidak
Beberapa orang bertanya kenapa mereka dikumpulkan saat ini, padahal matahari belum nampak di ufuk timur.Namun seorang pria yang ditunjuk sebagai salah satu petugas pelaksana sayembara itu menjelaskan, jika mereka harus pergi menuju sebuah wilayah yang telah ditentukan.Butuh waktu satu jam untuk pergi ke tempat tersebut, dan sayangnya, dia tidak memberi tahu dimana tempat itu berada.“Siapa yang tiba di tempat itu, maka dia berhak mengikuti sayembara ini,” ucap petugas tersebut.“Eh, bukankah itu artinya sayembara sudah dimulai?” timpal salah satu peserta yang lain.“Semua orang bebas mengikuti sayembara ini, tapi tidak semua orang layak mengikutinya. Tiket untuk mengikuti sayembara, telah ditentukan. Temukan tempat itu, dan kalian bisa mengikutinya!”Dalam hal seperti ini, orang yang paling pusing; Rawai Tingkis. Dia tidak bisa membaca peta, tidak tahu arah, apa lagi tanpa pedoman matahari.Jika sebuah tempat yang sudah ditentukan saja tidak bisa dia temukan, lalu bagaimana dengan t
Danur Jaya akhirnya tiba di lokasi yang telah ditentukan, tapi dia merasa jengkel karena mengetahui Rawai Tingkis adalah orang pertama yang tiba di tempat tersebut.Rasanya ingin sekali dia memukul kepala Rawai Tingkis.“Aku mencarimu kemana-mana, dasar sialan!” gerutu Danur Jaya.“Ah, aku juga memikirkan hal yang sama, apa kau tersesat?”“Kau-“ Danur Jaya menghela nafas panjang, tidak ingin melanjutkan perdebatan yang tentu saja hanya akan membuat dirinya merasa kesal.Tempat ini dinamakan Tandus Kematian, karena tidak ada manusia yang tinggal di tempat ini. Sejarah mengatakan, tempat ini dulunya adalah panggung eksekusi bagi manusia yang berniat mengambil alih Bukit Batu dari tangan bangsawan kerajaan.Setelah kejadian itu, Tandus Kematian tidak lagi dihuni oleh manusia.Hingga hari ini, tempat ini akhirnya dijadikan sebagai panggsung sayembara bagi seluruh peserta.“Sangat jarang ada mahluk hidup di sini,” ucap salah satu petugas sayembara, “tapi kami telah melepaskan beberapa bina
Setelah beberapa saat kemudian, ular sanca yang dikatakan oleh Rawai Tingkis akhirnya menunjukan wujudnya.Besar ular sanca tidak kurang dengan pohon kelapa, menggeliat saat dua manusia itu datang mendekati kediamannya.Danur Jaya berpikir, Bukit Batu bukan menyelenggarakan sayembara tapi menyelenggarakan kematian bagi para peserta.Masih mending berhadapan dengan serigala atau harimau, tapi ular sanca ini jelas binatang yang sulit untuk diatasi. Anak panah tidak terlalu berguna bagi ular sebesar ini.“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Danur Jaya, suaranya bergetar saat ini, sementara Rawai Tingkis masih bisa tersenyum melihat kemunculan mahluk tersebut.“Ini akan sedikit merepotkan karena kita tidak boleh membunuhnya,” ucap Rawai Tingkis, remaja itu menyarankan agar Danur Jaya bersembunyi di celah batu yang ada di belakangnya, sementara Rawai Tingkis sendiri yang akan menghadapi mahluk tersebut.Suah.Ular menyerang Rawai Tingkis, remaja itu harus melompat ke kiri untuk menghindari
“Ular ini milik Senopati Danur Jaya …” Rawai Tingkis langsung memotong ucapan dua senopati yang kini sedang berdebat masalah ular ini. “Aku hanya membantu Senopati Danur Jaya untuk menangkapnya.”“Rawai Tingkis?”“Tenanglah!” Rawai Tingkis menepuk pundak Danur Jaya, kemudian dia menatap wajah senopati dari Bukit Batu, lalu berkata, “Buruan ini milik Senopati Danur Jaya, catat namany!”“Catat Namanya!” teriak senopati itu.Setelah berhasil mendapatkan buruan, lebih lagi buruan yang begitu besar, Danur Jaya akhirnya telah lulus babak pertama sayembara yang diadakan oleh Istana Bukit Batu.Sekarang pemuda itu dibawa oleh beberapa petugas menuju sebuah tenda yang telah disiapkan.Senopati Bukit Batu kemudian masuk ke dalam tenda tersebut, lalu dia tersenyum penuh arti dan berkata, “aku tidak tahu bagaimana kau menangkapnya, karena ular ini sangat kuat. Namun, karena kau Senopati, aku tidak terlalu terkejut …Setiap Senopati memiliki otak yang cerdas …”Setelah berkata seperti itu, Senopati