Setelah semalaman Renata tidak menghubungi David, bahkan tidak ada panggilan ulang dari pria itu. Renata memutuskan untuk datang ke apartemen David, bahkan mengabaikan panggilan Langit.Saat membuka pintu, Renata mendengar apa yang tengah terjadi di dalam. Suara khas orang yang tengah bercinta. Bianca berdiri menatap David dengan tatapan marah. "Bagaimana kau bisa begitu santai? Langit sedang menyelidiki kematian mamanya, dan kau malah duduk di sini seperti tidak terjadi apa-apa!"Renata memasuki apartemen dengan cepat dan berjalan menuju ruang tamu. Dia tidak membutuhkan kata-kata untuk menjelaskan alasan kedatangannya. Di sana, di sofa, dia menemukan wanita yang tidak asing baginya. Mata Renata membulat ketika melihat wanita itu."Renata, apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya, suaranya sedikit cadel.“Kau tidak menelponku lagi dan semalam bersama dengan wanita j*alang ini?” tanya Renata dengan tatapan kesal.Wanita itu, yang tampaknya bingung dan terkejut, mencoba untuk mengambi
Marvin melangkah dengan terburu-buru masuk ke ruang Langit. Tiga kali mengetuk kemudian membuka pintu.“Ada apa?”“Saya sudah berhasil mendapatkan rekaman CCTV di mana Nyonya Aleta pergi hari itu, Tuna,” ucap Marvin. Ada sedikit nada berat dari suaranya yang serak saat mengatakan itu. “Apa yang kau tunggu, cepat putar.”Langit duduk dengan mata lelah memandang layar televisi yang menampilkan rekaman CCTV. Bola matanya membulat sempurna saat melihat apa yang ada di layar. "Tidak, tidak bisa benar," bisik Langit dengan mata yang penuh dengan air mata.Langit mematikan pemutar DVD dengan gemetar. Dia merasa seperti dunia ini runtuh di atasnya. Ibunya, orang yang ia cintai dan rindukan selama bertahun-tahun, telah dibunuh oleh seseorang yang dikenal. Luka di hatinya semakin dalam saat ia menyadari bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang siapa yang melakukannya.Langit segera meraih jas miliknya. Dia ingin meminta penjelasan pada Danas. Tidak, bukan penjelasan, dia ingin tahu alasan dari sang
Davina memasuki rumah sakit dengan langkah yang tergesa-gesa. Wajahnya pucat, dan matanya terlihat cemas. Dia telah menerima telepon dari Jagad setengah yang lalu, memberinya kabar yang sangat mengkhawatirkan tentang Danas. Dengan langkah cepat, Davina bergegas menuju ruang operasi setelah mendengar kabar dari Jagad bahwa Danas sedang menjalani operasi. Ia takut jika sesuatu terjadi pada Danas. Ia tidak akan pernah memaafkan Langit jika Danas sampai meninggal. Langkahnya terhenti saat melihat Langit sedang duduk di sana dengan wajah yang datar.Bahkan Jagad, sudah menunggu di sana. Dia segera melangkah mendekati Davina, dan matanya juga tampak lelah dan khawatir. Mereka saling berpelukan tanpa berkata apa-apa, karena tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kegelisahan dan kecemasan mereka."Davina, dia sedang dalam operasi," kata Jagad dengan suara pelan. "Kami sedang berusaha yang terbaik untuknya. Kamu harus kuat." Davina mengangguk, meneteskan air mata.“Kenapa kau di sini? Ap
Davina duduk di tepi ranjang rumah sakit, menatap Danas yang terbaring lemah. “Dan, bangun. Kita udah janji buat Kak Langit menyesal tapi kenapa kau malah baring di tempat terkutuk ini.” Suara Davina parau dia menyelipkan anak rambut Danas ke belakang telinga.Saat itu matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, mengecat langit dengan warna-warni oranye dan merah yang tenang. Angin sepoi-sepoi membelai rerumputan di taman rumah sakit yang tenang.Danas berbaring lemah di ranjangnya, terhubung dengan berbagai alat medis yang membantunya bertahan hidup. Tubuhnya tampak begitu rapuh, kulitnya pucat, dan matanya yang dulu cerah kini redup. Davina merasa kasihan pada Danas, yang telah menderita selama bertahun-tahun sejak kematian Sarah, sahabat mereka.Orang tua Danas akhirnya datang untuk melihat kondisi putrinya. Mereka telah lama tidak ada kabar dari Danas, dan mereka sangat terkejut melihat kondisinya. Mereka menangis saat melihat Danas terbaring lemah di ranjang rumah sakit.Vania da
Jagad berjalan dengan gontai keluar dari ruang Danas. Dunianya hancur, ketika harus mendapati wanita yang ia sayangi menghembuskan napas terakhir, tepat di hadapannya. Berjalan dengan kedua bahu yang kuyu. Semua yang berada di sana sudah tahu situasinya. Aura kesedihan yang pekat begitu terasa di lorong itu.Langit mendapatkan pemberitahuan jika Danas meninggal segera ke rumah sakit. Tidak ada goresan kesedihan sedikitpun di wajah pria itu. Dia berjalan mendekati Jagad."Bagaimana?" Pertanyaan terlontar dari bibir Langit. Pertanyaan yang terdengar begitu acuh.Jagad kemudian berjalan mendekat, dia memberitahu Langit tentang apa yang terjadi. "Tiba-tiba jantungnya berhenti dan--" Suara sandur bahkan terdengar begitu bergetar, ketika dia memberitahu Langit mengenai apa yang terjadi.Helaan napas kasar terdengar dari bibir Langit. Binar matanya sama sekali tidak memancarkan kesedihan, masih menatap ke depan dengan dingin. "Kenapa? Kenapa dia bisa meninggal?""Hal seperti itu memang tidak
Waktu tak terasa begitu saja berlalu. Sudah tiga puluh hari sejak kepergian Danas. Pria itu masih saja mengutuk atas kepergian sang mama. Dirinya merasa tak adil, karena Danas pergi begitu saja. Langit ingin sang Mama mendapat keadilan atas balasan yang mungkin saja akan Ia berikan kepada Danas. Seandainya, wanita itu masih hidup."Kenapa, wanita itu selalu jadi sumber masalah untuk hidupku." Langit bergumam. Pria itu kini duduk di sofa, di sebuah kamar rumah sakit.Sengaja memesan sebuah kamar yang berada di samping kamar perawatan sang putri. Sebulan ini hatinya pilu meratapi nasib putri kecilnya yang malang. Bayi cantik itu harus menjalani perawatan intensif. Jika saja bisa, mungkin ia sudah memaksa Danas untuk hidup kembali,merawat putri mereka. Hanya saja itu jelas tak mungkin. Langit menghubungi Marvin ada beberapa hal yang ia lupakan. "Kau bisa bawakan dokumen dari perusahaan Blue Sky yang sudah diperbaiki beberapa poinnya?""Apa harus saat ini?" tanya Marvin."Tidak, bawa saj
"Sudah bangun? Tumben?" Itu adalah suara Davina. Gadis itu kini tengah menikmati sarapan yang ia buat tadi. Duduk dengan sedikit terkejut karena melihat sang kakak yang kini telah berada di dapur dan meneguk air putih.“Memangnya aku tidak boleh bangun cepat?’ tanya Jagad sambil berjalan dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Davina.Davina hanya menganggukan kepala.Tak ada salahnya memang . Hanya saja tak seperti hari biasanya. Jagad biasanya masih tidur.“Bolehkah, hanya saja kan tak seperti biasanya. Kau masih tidur.” Davina mengatakan itu kemudian dia menyantap sandwich miliknya.Lalu dalam satu sambaran tangan pria itu berhasil mengambil sandwich dari tangan Davina. Davina berteriak kesal, kemudian ia merebut kembali sarapan paginya.“My sandwich!” teriak Davina kesal.Jagad terkekeh, menggigit sandwich sang adik tanpa rasa bersalah. “Pelit sekali sih?!” seru Jagad menggoda. Dia senang melihat adiknya marah-marah pagi ini.“Kau kakak paling menyebalkan!” Davina marah, kemudian
“Aku masih tak mengerti mengapa Danas bisa jatuh cinta pada pria seperti Langit,” kata Jagad lagi.Davina saat ini berada di sebuah restoran bersama sang kakak. Sejak kejadian di rumah sakit, Davina dan Jagad sama-sama tengah kesal dan marah dengan apa yang dilakukan oleh Langit. Jagad ingin sang adik bisa lebih tenang, tapi keduanya sama-sama saling mengompori satu sama lain.“Danas itu memang bodoh, padahal ada orang lain yang sangat mencintainya. Dengan bodohnya, malah mencintai pria jahat itu.” Davina tau tiap kali membicarakan ini bukan hanya dirinya yang terluka. Tetapi, Jagad juga. Namun, kali ini ia sama sekali tak bisa menahan bibirnya untuk tak mengungkapkan itu pada sang kakak.Jagad meneguk minumannya. “Ya, cinta kan memang membawa seseorang pada kebodohan.”"Dan yang paling menyebalkan Langit bahkan tidak mengizinkan orang tua Danas menemui cucu mereka." Davina benar-benar kesal dan marah dengan perlakuan Langit itu."Aku akan mencoba mencari cara untuk membuatnya mengizi