Renata dan Langit menghabiskan waktu makan malam romantis berdua. Di sebuah restoran berbintang bergaya eropa dengan langit malam sebagai pemandangan yang dapat dilihat melalui kaca jendela.Keduanya terlihat berbincang, saling menggoda satu sama lain. Terutama Renata, wanita itu bersikap begitu manja ketika hanya berduaan bersama kekasihnya.“Selepas ini aku akan mengantarmu pulang,” kata Langit setelah menenggak cairan berwarna kemerahan dari gelas bening yang ada di atas meja.“Ehh~ … aku belum mau pulang. Habis ini kita bisa keliling-keliling dulu. Atau kalau mau, kita juga bisa ke hotel,” jelas wanita itu sembari memberikan tatapan yang mengundang. Walau begitu, Langit kelihatan tidak menggubrisnya.“Aku masih harus bekerja besok. Lagi pula, bukankah aku sudah menuruti semua kemauanmu?”Mendengar penjelasan pria itu, Renata sontak kesal. Wanita itu merengut sembari menggelembungkan pipi.
Bara api amarah dalam diri Davina belum juga mereda. Danas baru saja pergi karena ada jadwal konsultasi, sedangkan Davina sudah selesai konsultasi sebelum bertemu Danas tadi. Meski kini sudah saatnya pulang karena tak ada lagi urusan di perkuliahan, Davina tak lantas beranjak dari tempat di mana ia berada.Davina merogoh ponsel dari dalam tas. Mencari kontak sang kakak dan mengeklik tombol panggil. Dalam beberapa detik saja teleponnya langsung tersambung.“Halo, Dav?” sapa Jagad dari balik sambungan telepon.“Kak Jagad!” sembur Davina, membuat Jagad terkejut.“Hei, hei, hei ... ada apa ini? Kamu sedang menangis?” tanya Jagad menggoda sang adik. Pria itu tahu jelas dari nada suaranya kalau Davina bukan menangis, tapi marah.“Aku sedang emosi, Kak!” pekik Davina lagi, tak sadar suaranya mengundang perhatian mahasiswa lain yang lewat di dekat tempat dirinya berada saat ini.“Kali ini kamu ke
Kelopak mata Danas bergerak. Keningnya sedikit mengerut kala ia mendengar suara dering alarm dari ponselnya. Tangan Danas terulur ke nakas yang berada di samping ranjangnya. Lalu ia meraba permukaan nakas itu untuk mencari letak benda pipih kesayangannya.Saat ia berhasil meraih benda pipih itu, Danas langsung mematikan alarmnya. Wanita itu pun bangkit dari tidurnya. Matanya masih sulit terbuka. Ia menggaruk kepalanya. Kemudian mengucek matanya. Berusaha sedikit membuka mata untuk mengecek jam yang tertera di layar ponselnya itu, Danas sedikit terkesiap karena ia telat setengah jam dari jam bangun ia biasanya.Wanita itu pun segera beranjak dari kasurnya dan berlari masuk ke dalam kamar mandi. Danas harap Langit tidak akan memarahinya kali ini.Usai mandi, Danas keluar dari kamarnya tepat saat ia keluar Renata kelua
Seringkali Danas berpikir apakah akan lebih baik jika dirinya menghilang dari dunia ini. Berpikir kalau ia tidak sanggup lagi melanjutkan kehidupannya. Namun, setiap kali ia berpikir untuk menyerah selalu ada hal yang membuatnya yakin kalau ia masih sanggup melewati ini semua. Ia selalu menemukan satu alasan untuk kembali bertahan.Danas merapikan bukunya ke dalam tas. Hari ini, ia memiliki kelas siang. Wanita itu sudah bersiap untuk berangkat ke kampus. Danas kembali mematutkan dirinya di cermin. Membubuhi concelear di bawah matanya untuk menutupi bengkak matanya karena habis menangis.Setelah itu Danas pun merapikan alat make up dan beranjak dari duduknya. Wanita itu menyambar tas yang ia letakkan di atas meja. Melangkahkan kakinya lebar-lebar keluar kamar.Kepala pelayan yang berpapasan dengan Danas melemparkan s
Karena kondisi Danas yang masih lemas dan mual-mual, Langit tak mengizinkan istrinya itu untuk berangkat ke kampus. Bahkan Langit tak mengizinkan Danas melakukan apa-apa selain istirahat di kamarnya."Langit apa kamu tidak bekerja?" tanya Danas.Langit yang baru saja masuk ke dalam kamar Danas seraya membawa piring berisi buah-buahan langsung mendapat pertanyaan itu."Aku sudah memberitahu Rangga kalau hari ini tidak akan ke kantor. Aku ingin menjagamu hari ini."Mendengar kalimat penuh perhatian keluar dari mulut Langit tentu saja terasa asing di telinga Danas. Danas yang sudah terbiasa dengan sikap acuh tak acuh dan kasar dari Langit benar-benar merasa canggung di situasi ini.Wanita itu berusaha bangun dari tidurannya saat
Langit segera menghampiri Danas. Memegang bahu Danas dengan sorot wajah paniknya."Kamu tidak apa-apa?" tanya Langit kepada Danas.Danas mendongak, ekspresi meringis wanita itu menghilang. Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa," kata Danas jujur.Langit menggeram kesal. Ia mendongakkan wajahnya. Melihat Renata yang kini tengah melipat kedua tangannya di depan dada sambil melempar pandangan ke arah lain.Langit berdiri. Membisikkan kata tajam kepada kekasihnya itu. "Apa kamu memang sekasar ini?"Renata melirik ke arah kekasihnya. Keningnya mengerut tak suka. "Kamu menyalahkanku?!" kata Renata tak menyangka kalau Langit akan memarahinya. "Harusnya kamu bilangin ke istri kamu untuk tidak berjalan ke mana-mana. Aku h
Di dalam kamar yang temaram, di satu sudut ruangan, Danas tampak sedang serius di depan meja dengan menggunakan lampu belajar sebagai penerangan. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi wanita itu masih tampak terjaga dan sibuk mengerjakan desain baju untuk tugas akhirnya.Danas membuat suatu goresan, menghapusnya, lalu mengulang proses itu berkali-kali di atas buku sketsa yang berisi kumpulan desain baju yang selama ini sudah ia gambar. Wanita itu dengan serius memikirkan desain yang akan menggugah dan menarik perhatian siapa pun yang melihatnya.“Ah, capek juga,” gumam wanita itu sembari meletakkan pensilnya, lalu bersandar di sandaran kursi.Danas kemudian memukul-mukul punggungnya yang terasa agak sakit, dan melakukan peregangan ringan karena bahunya mulai terasa kaku.Sesekali Danas melihat jam dinding. Waktu terus berjalan dan malam semakin larut. Namun, Danas bertekad untuk meyelesaikan desainnya malam ini.
Danas tidak bisa mengumpulkan desain miliknya sebagai tugas akhir. Tidak, di saat semua orang menganggap dirinyalah yang meniru desain milik Renata, padahal yang sebenarnya terjadi justru sebaliknya.Andai dirinya lebih dulu menyetor tugas akhirnya, apakah orang-orang akan percaya bahwa bukan dia yang meniru desain Renata?“Danas, mana tugas akhirmu?” tanya dosennya yang menagih desain miliknya.“Maaf ... saya lupa bawa. Boleh saya bawa besok?” jawab Danas yang telanjur berada di ruang dosen itu.Setiap pasang mata seakan menuduh dirinya. Susah payah Danas menahan air matanya yang hendak keluar. Ia menguatkan hatinya, bahwa bila dirinya menangis karena hal seperti ini, berarti ia kalah dari Renata.Wanita yang merupakan dosen penanggung jawab tugas akhir itu hanya mengembuskan napas lalu berkata, “Ya, sudah. Besok saya tunggu.”Danas tidak bisa tidak merasa lega atas kesempatan yang ia peroleh itu. I
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu