Mobil yang mendadak berhenti, membuatnya mendapatkan umpatan dari beberapa pengendara. Namun, Langit tidak memperdulikan itu, dia harus segera sampai ke rumah sakit. Ada yang lebih penting dari apapun yang tengah terjadi.“Kami dari Kepolisian ingin menyampaikan jika Ibu Aleta mengalami kecelakaan, saat ini beliau di bawa ke RS Aditama.”Saat tiba, langkah kaki Langit perlahan-lahan terhenti, saat melihat seorang wanita tengah berdiri di depan ruang operasi, menangis. Dia mengenal wanita yang tengah menangis itu, Danas. Wanita itu lebih dulu tiba karena jarak rumah sakit tidak memakan waktu lama.Walaupun Aleta sering berperilaku kasar, mengingat apa yang dikatakan wanita itu membuatnya telah memaafkan.“Mama sudah tahu kebenarannya. Danas, Mama minta maaf, terlalu bodoh percaya pada wanita itu.”Itu kalimat yang menghilangkan seluruh amarah pada mertuanya.Danas melihat Langit yang baru saja datang. Dia bisa melihat bagaimana hancur pria itu, itu sama seperti lima tahun lalu. Kini di
Danas sejak tadi mondar-mandir di depan kamar Langit, raut wajahnya tampak begitu gelisah. Sejak kemarin, Langit belum juga keluar dari dalam kamar bahkan tidak menyentuh sedikit makanan.“Tolong ambilkan kunci cadangan,” pinta Danas pada salah satu maid, dia sangat khawatir pada Langit.Tidak membutuhkan waktu lama bagi Danas untuk masuk dengan bantuan kunci cadangan.Saat masuk ke dalam kamar, dia melihat Langit yang tengah terbaring di tempat tidur. Pria itu masih memakai pakaian yang sama saat pemakaman kemarin. Danas berinisiatif untuk melepaskan kemeja yang dipakai Langit.Namun, saat menyentuh tubuh suaminya, Danas merasakan tubuh langit panas. Ia bergegas ke dapur untuk mengambil air. Walaupun beberapa kali Langit menghempaskan tangannya tapi Danas tidak menyerah untuk merawat pria itu. Dia tahu, jika apa yang tengah dilakukan tidak akan membuat Langit luluh. Sudah tiga hari Langit beristirahat full, dirawat oleh Danas dengan begitu telaten. Bagaimana dengan Renata? Wanita it
Ponsel Marvin terus saja berdering menampilkan satu nama panggilan di layarnya tapi dimatikan saat itu juga.Sedangkan di rumah Danas sibuk menghubungi Marvin untuk menanyakan kondisi Langit yang pergi di saat kondisinya masih belum pulih.“Nyonya, Anda tenang saja. Tuan baik-baik saja, kami akan pulang setelah urusan di rumah sakit selesai.”“Pastikan dia makan, Marvin. Dia masih sakit, kau sudah meminta obat pada dokter ‘kan?” seru Danas.Marvin bisa mendengar suara kegelisahan di seberang telpon. Wanita yang menikah dengan tuannya benar-benar mengkhawatirkan sang tuan. Dia tidak tahu, apa yang dipikirkan Langit menyia-nyiakan wanita sebaik Danas.“Sudah, Nyonya. Anda tidak perlu khawatir,” ucap Marvin mencoba menenangkan Danas. Setelah itu panggilan pun terputus. “Siapa Marvin?”“Nyonya menanyakan keadaan Anda, dia menyuruhku mengingatkan Anda untuk makan dan minum obat.”Walaupun wajah Langit masih datar, tapi sudut bibirnya naik. “Ayo kita kembali,” seru Langit kemudian melangk
Rencana Renata yang sejak awal datang untuk tidur dengan Langit, mengurungkan niatnya. Apalagi mendengar perkataan Danas jika Langit tengah menyelidiki mengenai kecelakaan sang mama. Tidak mungkin dia tidak ketakutan, mengingat hidup Danas menderita karena perbuatan Langit, membuatnya menggigit jari.“Sebaiknya kau pulang, pergi ke gereja dan memohon agar Tuhan menutupi kebusukanmu, Ren,” ejek Danas.Tangan Renata mengepal menatap tajam ke arah Danas penuh kebencian. Dia tidak tahu keberanian dari mana di dapatkan oleh Danas. “Danas kau–”“Kenapa kau masih di sini? Apa kau tidak akan pergi berdoa pada Tuhan? Sepertinya kau benar-benar tidak takut jika Langit mengetahui semua kebusukanmu, ya? Jika dia tahu wanita yang dia pikir lemah lembut, yang mencintainya kau pikir apa yang akan terjadi?”“Jangan harap kau bisa merebut Langit dariku.”Danas seketika tertawa. “Bukankah kau sudah kalah dariku? Bahkan tanpa aku rebutpun, pria itu sendiri yang memilihku. Sepertinya, sangat bagus saat k
Setelah semalaman Renata tidak menghubungi David, bahkan tidak ada panggilan ulang dari pria itu. Renata memutuskan untuk datang ke apartemen David, bahkan mengabaikan panggilan Langit.Saat membuka pintu, Renata mendengar apa yang tengah terjadi di dalam. Suara khas orang yang tengah bercinta. Bianca berdiri menatap David dengan tatapan marah. "Bagaimana kau bisa begitu santai? Langit sedang menyelidiki kematian mamanya, dan kau malah duduk di sini seperti tidak terjadi apa-apa!"Renata memasuki apartemen dengan cepat dan berjalan menuju ruang tamu. Dia tidak membutuhkan kata-kata untuk menjelaskan alasan kedatangannya. Di sana, di sofa, dia menemukan wanita yang tidak asing baginya. Mata Renata membulat ketika melihat wanita itu."Renata, apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya, suaranya sedikit cadel.“Kau tidak menelponku lagi dan semalam bersama dengan wanita j*alang ini?” tanya Renata dengan tatapan kesal.Wanita itu, yang tampaknya bingung dan terkejut, mencoba untuk mengambi
Marvin melangkah dengan terburu-buru masuk ke ruang Langit. Tiga kali mengetuk kemudian membuka pintu.“Ada apa?”“Saya sudah berhasil mendapatkan rekaman CCTV di mana Nyonya Aleta pergi hari itu, Tuna,” ucap Marvin. Ada sedikit nada berat dari suaranya yang serak saat mengatakan itu. “Apa yang kau tunggu, cepat putar.”Langit duduk dengan mata lelah memandang layar televisi yang menampilkan rekaman CCTV. Bola matanya membulat sempurna saat melihat apa yang ada di layar. "Tidak, tidak bisa benar," bisik Langit dengan mata yang penuh dengan air mata.Langit mematikan pemutar DVD dengan gemetar. Dia merasa seperti dunia ini runtuh di atasnya. Ibunya, orang yang ia cintai dan rindukan selama bertahun-tahun, telah dibunuh oleh seseorang yang dikenal. Luka di hatinya semakin dalam saat ia menyadari bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang siapa yang melakukannya.Langit segera meraih jas miliknya. Dia ingin meminta penjelasan pada Danas. Tidak, bukan penjelasan, dia ingin tahu alasan dari sang
Davina memasuki rumah sakit dengan langkah yang tergesa-gesa. Wajahnya pucat, dan matanya terlihat cemas. Dia telah menerima telepon dari Jagad setengah yang lalu, memberinya kabar yang sangat mengkhawatirkan tentang Danas. Dengan langkah cepat, Davina bergegas menuju ruang operasi setelah mendengar kabar dari Jagad bahwa Danas sedang menjalani operasi. Ia takut jika sesuatu terjadi pada Danas. Ia tidak akan pernah memaafkan Langit jika Danas sampai meninggal. Langkahnya terhenti saat melihat Langit sedang duduk di sana dengan wajah yang datar.Bahkan Jagad, sudah menunggu di sana. Dia segera melangkah mendekati Davina, dan matanya juga tampak lelah dan khawatir. Mereka saling berpelukan tanpa berkata apa-apa, karena tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kegelisahan dan kecemasan mereka."Davina, dia sedang dalam operasi," kata Jagad dengan suara pelan. "Kami sedang berusaha yang terbaik untuknya. Kamu harus kuat." Davina mengangguk, meneteskan air mata.“Kenapa kau di sini? Ap
Davina duduk di tepi ranjang rumah sakit, menatap Danas yang terbaring lemah. “Dan, bangun. Kita udah janji buat Kak Langit menyesal tapi kenapa kau malah baring di tempat terkutuk ini.” Suara Davina parau dia menyelipkan anak rambut Danas ke belakang telinga.Saat itu matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, mengecat langit dengan warna-warni oranye dan merah yang tenang. Angin sepoi-sepoi membelai rerumputan di taman rumah sakit yang tenang.Danas berbaring lemah di ranjangnya, terhubung dengan berbagai alat medis yang membantunya bertahan hidup. Tubuhnya tampak begitu rapuh, kulitnya pucat, dan matanya yang dulu cerah kini redup. Davina merasa kasihan pada Danas, yang telah menderita selama bertahun-tahun sejak kematian Sarah, sahabat mereka.Orang tua Danas akhirnya datang untuk melihat kondisi putrinya. Mereka telah lama tidak ada kabar dari Danas, dan mereka sangat terkejut melihat kondisinya. Mereka menangis saat melihat Danas terbaring lemah di ranjang rumah sakit.Vania da