“Aku paham kenapa kamu menjauh darinya, tetapi-.” Jagad menghentikan ucapannya. Dia tidak yakin apakah adiknya mau menerima keterangannya. Anak itu lebih baik dikasih bukti daripada hanya sekedar omongan saja. “Aku tak mau berurusan lagi dengan dia. Aku tak mau terlibat dalam masalahnya.” Tampaknya Davina memang sudah begitu yakin dengan langkah yang diambilnya. Namun, tidak bagi Jagad. Dia tahu Davina bisa kembali menjadi baik jika sudah melihat sendiri apa yang terjadi. “Aku tidak memaksamu tapi aku tak ingin kamu menyesal dengan sikap keras kepalamu itu.” Jagad berkata sambil menyiapkan rencananya. Davina diam saja saat kakaknya mengatakan hal itu. Mereka berdua memang selalu seringkali berbeda pendapat. Davina tahu kakaknya selalu berusaha melakukan yang terbaik untuknya. Jagad mulai menjalankan rencananya. Dia tetap menyetir dengan mulai mengambil jalan yang berlawanan arah dari kampus Davina. Davina mengerutkan keningnya saat tahu Jagad mengambil jalan yang berbeda. “Kak
Entah kapan terakhir kali Davina menginjakkan kaki ke rumah besar ini. Mungkin, di hari Amaira meninggal dunia. Setelah itu, ia jadi kehilangan alasan untuk mengunjungi mansion ini.Pandangannya diedarkan ke sekitar. Tidak banyak hal yang berubah di rumah besar ini. Tampilan rumah yang tidak jauh berbeda dengan yang ada di ingatan Davina membangkitkan kenangan-kenangan yang telah lalu.Dulu, saat itu persahabatan empat orang, dirinya, Amaira, Danas, dan Renata. Masa remaja yang indah ia lalui dengan bahagia. Sampai suatu ketika, tragedi itu terjadi, dan Amaira pun pergi untuk selamanya. Dan Davina beserta Danas sudah tidak bisa merajut hubungan seperti dahulu. Kini, terulang lagi dengan dirinya dan Danas.Tanpa sadar sepasang mata Davina jadi berkaca-kaca. Segera ia menguasai diri sebelum bulir-bulirnya jatuh membasahi pipi.“Kamu kenapa?” Suara Jagad memecah lamunan Davina.“Kak, mau apa kita ke sini?” tanya Davina penasaran. Mengabaikan pertanyaan sang kakak barusan.“Lihat saja nan
Jagad melirik ke arah Langit, memberi isyarat agar pria itu meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Jika tidak, Jagad tidak tahu apa yang bisa adiknya perbuat. Langit pun mengerti maksud Jagad dan memilih untuk turun ke bawah. Ia merasa lebih baik meninggalkan ruangan itu ketimbang harus menerima semburan Davina yang marahnya sedang meledak-ledak.“Bohong! Tidak. Ini tidak mungkin. Kakak pasti bercanda. Kenapa Danas menikah dengan Kak Langit,” gumam Davina masih berusaha mencerna dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya.“Kenapa aku harus bercanda, kamu sendiri bisa melihatnya, kan?” ujar Jagad. Pria itu mengerti alasan adiknya yang tampak diam melongo seperti itu. Jika seandainya dia yang berada di posisi adiknya, dia pasti akan bereaksi sama.Davina diam mematung. Seolah, dia baru saja tersambar petir ketika mengetahui kenyataan kalau Danas telah menikah dengan Langit, orang yang telah menghancurkan keluarga sahabatnya itu sendiri. “Kenapa? Kenapa Kak Langit menikahi Danas? Dan k
Davina syok masih belum bisa menerima kenyataan. Tubuhnya terasa lemas luar biasa, terlintas memori soal Amaira. Bagaimana gadis itu tertawa, selalu ceria dan juga seorang sahabat sejati yang tidak bisa dilupakan! Davina menahan air matanya, Amaira ... panggilnya dalam hati lirih. Mengapa, mengapa bisa sampai begini?“Antar aku ke kampus!” Davina meminta, karena Jagad hanya diam menatap. Napas Davina serasa memburu, serba salah lihat situasi di dalam. Udara panas serasa menyelimuti ruangan itu. Davina akhirnya menarik tangan kekar Jagad, hingga mereka ada di garasi. Tempat dimana mobil Jagad diparkir.“Cepat buka pintunya,” suruh Davina suaranya gemetar hebat. Matanya berkaca-kaca, Jagad sudah menduga, ini adalah hal yang Davina tidak sangka-sangka. Kematian Amaira sudah sangat memukul perasaannya. Dan sekarang, Davina tahu siapa yang sebenarnya membunuh Amaira. Dunianya seperti hancur, udara di sekitarnya seakan habis. Belum masuk ke dalam mobil, Davina sesenggukan, lama kelamaan me
Setelah tiga puluh menit, Davina merasa tenang. Masih di ruangan praktek kakaknya, dia melirik ke jam tangannya. Dan perawat tadi bilang, dalam waktu tiga puluh menit. Jagad memakai jas dokternya, lantas mengambil dokumen salah satu pasien. “Kau akan mulai praktek?” tanya Davina sambil menatap Jagad. “Ya. Tapi kalau kau masih ingin di sini, silakan. Belum ada pasien sama sekali. Aku mau visited ke ruang perawatan dulu.” Davina lantas berdiri dengan cepat dari kursinya. “Aku pergi saja,” katanya dengan cepat sebelum Jagad keluar dari ruangannya. “Apa kau yakin?” ulang Jagad bertanya, masih khawatir dengan keadaan Davina. Tapi tangisannya sudah lama berhenti memang. “Ya, aku sudah jauh lebih baik. Mungkin aku akan menjenguk Danas,” ucap Davina. “Aku ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang.” Mata Jagad makin membesar, kali ini dia mendekat ke arah adiknya itu. “Tapi kamu bisa hati-hati, kan?” Davina beberapa saat terdiam. “Paling tidak, jangan membuatku khawatir. Kamu tahu itu ada
Davina menutup pintu kamar Danas dan berjalan ke arah ranjang sahabatnya itu dengan kaki menghentak-hentak. Kedua tangannya dilipat di depan dada. "Langit belum juga datang, dia selalu seperti ini? Tak memedulikanmu? Padahal kamu sedang sakit," cerocos Davina seraya menjatuhkan bokongnya di pinggiran kasur Danas.Danas yang berusaha memejamkan matanya pun akhirnya membuka kembali kelopak mata itu."Ini lebih baik, Dav," kata Danas singkat sebelum akhirnya ia kembali memejamkan matanya.Davina tentu saja mengernyitkan keningnya heran. "Lebih baik? Suami yang tidak peduli dengan kondisi kesehatan istrinya sendiri?" Nada bicara Davina meninggi.Danas menganggukkan kepalanya. Ia membuka mata. "Itu lebih baik daripada dia yang di sini hanya untuk memarahi aku saja."Davina mendesah panjang. Melihat Danas yang mengatakan itu justru dengan wajah yang biasa saja seakan hal itu memang sudah biasa."Tidak bisakah kau mengatakan yang sebenarnya pada Langit?"Ucapan itu terlontar begitu saja dar
"Kak Jagad," panggil Davina saat ia membuka pintu kamarnya dan berpapasan dengan kakaknya itu.Jagad yang sudah membawa tas kerjanya menoleh ke arah Davina. Kedua alisnya terangkat."Ya?" tanyanya. Tidak biasanya Davina sudah memanggilnya bahkan saat pintu kamar mereka baru saja terbuka.Davina berjalan maju. Seakan tak ingin berbicara dengan nada yang cukup tinggi. Jagad makin penasaran dibuatnya."Untuk masalah Amaira." Davina mulai berkata. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri seperti memastikan kalau yang ada di sekitarnya memang hanya ada Jagad dan Davina."Kakak tau dari mana kalau yang membunuh Amaira adalah Renata, bukan Danas?" tanya Davina. Davina sendiri cukup penasaran. Dari mana kakaknya tahu. Apalagi mengingat kalau kakaknya adalah sahabat dari Langit."Yang mengetahui rahasia ini, kan, hanya aku, Danas, dan Renata saja. Ini sangat aneh mengingat aku tidak pernah mengatakan apa-apa kepada Kakak. Ditambah lagi aku yakin Danas ataupun Renata tidak akan memberitahukan keben
Renata dan Langit menghabiskan waktu makan malam romantis berdua. Di sebuah restoran berbintang bergaya eropa dengan langit malam sebagai pemandangan yang dapat dilihat melalui kaca jendela.Keduanya terlihat berbincang, saling menggoda satu sama lain. Terutama Renata, wanita itu bersikap begitu manja ketika hanya berduaan bersama kekasihnya.“Selepas ini aku akan mengantarmu pulang,” kata Langit setelah menenggak cairan berwarna kemerahan dari gelas bening yang ada di atas meja.“Ehh~ … aku belum mau pulang. Habis ini kita bisa keliling-keliling dulu. Atau kalau mau, kita juga bisa ke hotel,” jelas wanita itu sembari memberikan tatapan yang mengundang. Walau begitu, Langit kelihatan tidak menggubrisnya.“Aku masih harus bekerja besok. Lagi pula, bukankah aku sudah menuruti semua kemauanmu?”Mendengar penjelasan pria itu, Renata sontak kesal. Wanita itu merengut sembari menggelembungkan pipi.
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu