“Pokoknya, Kak Jagad jangan dekati dia lagi kalau tidak mau terkena masalah!” “Kau pikir, kakakmu ini bodoh?” “Ya. Tapi kau mau jadi pria bodoh jika menganggu hubungan pernikahan orang. Sebaiknya, perasaanmu hilangkan saja.” Jagad terdiam sesaat. “Hilangkan, ya?” “Ya, hilangkan. Jangan terlibat hubungan apapun dengan wanita itu. Ah, bagaimana jika kucarikan wanita buat kencan buta denganmu?” “No! Tidak perlu. Jangan lakukan hal gila.” Jagad segera beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Davina yang masih tengah sarapan. Sepanjang jalan menuju rumah sakit, Jagad masih memikirkan mengenai perkataan sang adik. “Tapi, aku terlanjur tertarik padanya.” Pikiran Jagad cukup gila. Dia tahu jika seharusnya dia tidak tertarik pada Danas. Wanita itu adalah milik Langit. Namun, dia tidak bisa memungkiri jika dirinya sendiri tertarik. “Aarrgh … Bisa gila aku. Bagaimana bisa aku tertarik pada wanita yang telah beristri. Jagad. Kau harus sadar, dia istri sahabatmu.” Dia cukup frus
Jagad menatap tajam ke arah Langit. “La, kenapa kau tidak menyelidiki kembali mengenai kasus kematian Amaira?”Pertanyaan itu membuat raut wajah Langit berubah. “Jika aku melakukan penyelidikan ulang mengenai kasus Amaira, apa kau pikir akan ada yang berubah? Apa menurutmu, pelakunya akan berubah?”“Ya. Mungkin saja hasilnya berbeda.”“Vedio yang ditunjukan oleh Renata itu lebih dari cukup membuatku tahu siapa pembunuh dari Amaira.”“Terasuk tahu mengenai istrimu dan Amaira bersahabat dengan Renata?”Langit terdiam. Dia tidak pernah mendengarkan Renata menyebutkan jika dia bersahabat dengan Danas dan Amaira. “Kau tahu dari mana?”Helaan napas Jagad terdengar. “Ternyata kau tidak tahu jika mereka bersahabat saat SMA,” ucap Jagad pelan.“Bagaimana kau tahu?”Jagad tersenyum. “Kenapa kau tidak mencaritahunya sendiri, Lang. Aku tidak ingin mengatakan padamu karena takut kau akan salah paham denganku. Kau bisa mencaritahunya. Selain, istrimu, Danas dan juga Renata, ada satu sahabat mereka
Danas tengah bediri di depan rumah Davina, membawa sebuah kotak makan untuk sahabatnya itu.Bel pintu pun dibunyikan oleh Danas.Tidak membutuhkan waktu lama, Tania, ibu Davina membukakan pintu. “Oh, Danas. Apa kabar, sudah lama tidak main ke rumah,” seru Tania dibalas senyuman oleh Danas.“Iya, Tan. Danas sibuk. Davina ada? Danas ingin bertemu Davina dan juga Danas membawa makanan kesukaan Davina,” ucap Danas mengatakan maksud kedatangannya.“Naik saja, dia ada di kamarnya kok.”Danas tidak melangkah, ia masih di tempat yang sama. “Tidak perlu Tan, Danas—”Melihat sikap Danas seperti itu Tania paham dengan apa yang terjadi di antara Davina dan Danas.“Vina … Keluar, ada Danas. Dia datang bawa makanan kesukaanmu, loh.”Davina yang ada di dalam kamar mendengar namanya dipanggil beranjak keluar tetapi saat mendengar nama Danas, ia mengurungkan niatnya membuka pintu kamar.“Davina tidak ingin ketemu Danas, Ma.” Davina memilih menjawab dengan berteriak membuat Danas mendengar jawaban dar
Tania hanya bisa menghela napas kasar melihat putrinya itu. Namun, ia mengkhawtirkan Danas karena awan tampak mendung, ia takut hujan akan turun dan Danas masih menunggu Davina.Benar saja, tidak menunggu waktu lama hujan pun turun. Hal itu membuat Tania semakin panik serta khawatir di saat yang bersamaan. Jagad yang baru saja pulang melihat sang mama tengah mondar mandir kebingungan.“Ma, ada apa?”“Itu, adikmu tidak mau keluar kamar. Padahal temannya sedang menunggunya,” ucap Tania lirih. “Mereka bertengkar sepertinya,” tambah Tania.“Terus kenapa Mama khawatir.”“Temannya bilang kalau dia akan menunggu Davina di taman tapi adikmu tidak mau pergi. Mama takut temannya masih ada di sana menunggunya, dan ini lagi hujan.”Jagad paham apa yang dikatakan oleh sang mama. “Jagad akan pergi melihat apa teman Davina masih di sana atau tidak,” ucap Jagad kemudian keluar.Tania kebingungan, bagaimana Jagad akan pergi melihat teman Davina sedangkan dia tidak memberitahu di mana tempatnya. “Apa
Langit mencengkram kerah baju Jagad. Tatapannya penuh ketidaksukaan. “Bisa kita membahasnya setelah aku mengantarkannya? Dia sedang demam.” Jagad berbicara dengan sangat santai tetapi tidak dengan Langit.Pikirannya sedang tidak karuan melihat Danas pulang dengan kondisi basah kuyup ditambah dalam gendongan Jagad, sahabatnya.“Lepaskan, Lang. Ini bukan waktunya untuk ribut denganku," ucap Jagad membuat Langit melepaskan cengkraman tangannya.Jagad melihat ke arah sisi lain rumah, terlihat Renata ada di sana. Tatapan wanita itu dipenuhi ketidaksukaan, bukan karena Jagad menggendong Danas tapi Langit yang mulai memperhatikan Danas. Sejak awal Jagad sudah bisa memprediksikan jika Langit masih tetap berhubungan dengan Renata."Biar aku saja," seru Langit berusaha mengambil Danas dari gendongan Jagad.Menyadari jika dirinya tidak memiliki hak, Jagad pun memberikan Danas yang tidak sadarkan diri pada Langit.Langit bisa merasakan tubuh Danas yang hangat, bahkan wajahnya pun terlihat memera
“Tuan, pakaian Nyonya sudah saya ganti,” ucap Bi Surti.Jagad yang baru saja masuk mendengar perkataan Bi Surti segera naik ke lantai atas. “Aku akan memberikan dia inpus, ini bisa membantu meredakan demamnya. Ah, jangan lupa untuk buatkan bubur untuk dia minum obat setelah sadar,” ucap Jagad kemudian masuk ke dalam kamar. Langit tidak mau ketinggalan, dia terus mengikuti Jagad yang memasang inpus pada Danas. “Apa dia baik-baik saja?”“Oh, dia baik-baik saja. Hanya demam, dia butuh banyak istirahat,” jelas Jagadd kemudian memasang infus di tangan kanan Danas.Wajah Danas begitu pucat, dan lelah. Dia tidak tahu, masalah apa membuat Davina dan Danas bertengkar tetapi dia harus membuat adiknya dan Danas bertemu.“Ehem.” Langit mendehem membuat Jagad segera beranjak.“Apa kau tinggal dengan dia juga di sini?” tanya Jagad sambil menunjuk ke arah Renata.Langit melirik ke arah Renata sesaat. “Tidak, dia hanya mampir setelah pulang kantor.”Tatapan mata Jagad tajam, melihat Renata. “Aku t
Davina sangat malas untuk turun ke lantai bawah tetapi karena suara Jagad melengking dan terus memanggilnya akhirnya dirinya turun. Ia bisa melihat jika kakaknya terlihat marah. “Kakak seharusnya tidak ikut campur urusanku.”“Davina, tidak ada yang mengajarimu seperti itu.” Tania ikut berkomentar.“Ma. Dia menemui Davina, itu pilihannya. Dan, pilihan Davina tidak menemuinya.” Davina menegaskan mengenai pilihannya itu. Jagad menatap tajam sang adik. “Kau benar-benar keterlaluan. Dia sampai tidak sadarkan diri karena menunggumu dan kau mengatakan hal seperti itu. Di mana rasa kemanusiaanmu, Dav,” ucap Jagad membuat sang adik terkejut.Danas pingsan?“Aku capek bicara dengan kakak,” gerutu Davina kemudian kembali ke kamarnya.“Kau harus ikut denganku besok pagi untuk melihatnya. Jangan membantah dan kabur,” tegas Jagad membuat langkah kaki Davina sesaat terhenti kemudian kembali melanjutkan langkahnya.Hatinya tidak dapat memungkiri jika dia khawatir mengenai Danas yang tidak sadarkan
“Aku paham kenapa kamu menjauh darinya, tetapi-.” Jagad menghentikan ucapannya. Dia tidak yakin apakah adiknya mau menerima keterangannya. Anak itu lebih baik dikasih bukti daripada hanya sekedar omongan saja. “Aku tak mau berurusan lagi dengan dia. Aku tak mau terlibat dalam masalahnya.” Tampaknya Davina memang sudah begitu yakin dengan langkah yang diambilnya. Namun, tidak bagi Jagad. Dia tahu Davina bisa kembali menjadi baik jika sudah melihat sendiri apa yang terjadi. “Aku tidak memaksamu tapi aku tak ingin kamu menyesal dengan sikap keras kepalamu itu.” Jagad berkata sambil menyiapkan rencananya. Davina diam saja saat kakaknya mengatakan hal itu. Mereka berdua memang selalu seringkali berbeda pendapat. Davina tahu kakaknya selalu berusaha melakukan yang terbaik untuknya. Jagad mulai menjalankan rencananya. Dia tetap menyetir dengan mulai mengambil jalan yang berlawanan arah dari kampus Davina. Davina mengerutkan keningnya saat tahu Jagad mengambil jalan yang berbeda. “Kak
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu